Politik Identitas

Politik identitas menjadi perbincangan multikultur di Kalbar.

Pergumulan Identitas

Setiap generasi di planet ini bergumul dalam pusaran identitas mereka.

Generasi Multikultur

Generasi multikultur tidak akan mudah terporvokasi politik identitas.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, March 5, 2012

KATA PENGANTAR PENDIDIKAN MULTIKULTUR BAGI MAHASISWA


 Oleh: Dr Drs Andreas Muhrotien, MSi[1]

            Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Pontianak telah menetapkan mata kuliah Pendidikan Multikultur sebagai Mata kuliah tambahan diluar mata kuliah yang berhubungan dengan keahlian guru agama katolik. Mata kuliah ini dipilih karena kondisi saat ini memerlukan wawasan baru bagi guru agama katolik. Mata kuliah ini menambah kompetensi guru agama katolik alumni STP Sto Agustinus Pontianak memiliki nilai “plus” ketika berhadapan dengan keadaan yang serba terbatas di sekolah-sekolah di Kalimantan Barat. Mereka bisa mengajarkan muatan lokal mengenai pendidikan multikultur disamping mengajarkan agama katolik.

PENGANTAR MODUL


Ilustrasi
PENDIDIKAN MULTIKULTUR :
SEBUAH BENTUK PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN


Masyarakat Kalimantan Barat  dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, baik etnik, budaya, ras, bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Berbagai konflik bernuansa SARA yang terjadi beberapa tahun silam, sering dikaitkan dengan kegagalan bangsa ini memahami pluralitas. Secara spesifik pendidikan juga dituding telah gagal menjalin keragaman itu melalui pendidikan yang melampui sekat-sekat agama.
Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan motto Bhinneka Tunggal Ika. Namun, sayangnya, mooto  tersebut selama ini hanya menempati kesadaran kognitif masyarakat kebanyakan dan menjadi jargon lip service penguasa politik belaka, tidak diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari” .
Lebih celaka lagi, pendidikan agama yang seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang andal dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis, selama ini malah cenderung menampilkan wajahnya yang ekslusif dan dogmatis. Akibatnya, cita-cita leluhur untuk mencapai masyarakat majemuk yang harmonis, dimana perbedaan dan keanekaragaman budaya mampu berfungsi sebagai sumber daya yang memperkaya pemekaran manusia dan peradaban, sehingga kini masih menjadi impian.
Mencermati realitas tersebut, pemikiran mengenai pentingnya pendidikan multikultur, terutama bagi generasi baru Kalimantan Barat dan bangsa Indonesia yang majemuk bukan tanpa alasan. Apakah pendidikan budaya damai itu? Mungkin inilah yang masih menjadi pertanyaan banyak orang. Karena memang bentuknya yang relative baru dan belum disosialisasikan banyak orang. Kalaupun ada, itupun masih berupa gagasan-gagasan  mengenai arti pentingnya bentuk pendidikan multikulturalisme  bagi masyarakat agama. Gagasan-gagasan itu biasanya disertai arti dan definisi tentang pendidikan multikulturalisme yang berbeda-beda pula, sehingga menurut hemat kami perlu segera melakukan pengkajian dan penelitian secara komprehensif mengenai pendidikan ini, untuk dapat dijadikan landasan dan kebijakan pengembangan pendidikan yang berwawasan pluralisme.
Sebenarnya, pendidikan multikultur merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul di dunia pendidikan. Hanya saja, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ainurrofiq Dawam dalam bukunya Emoh Sekolah (2003:99-100), gaung dan peranan pendidikan multikultur kurang begitu menyakinkan bagi masyarakat yang seharusnya mengapresiasi pendidikan dikursus ini. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikultur adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota yang heterogonitas dan pluralitas. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas anggota masyarakat tersebut bisa melihat pada eksistensi keragaman suku (etnis), ras, aliran (agama), dan budaya (kultur). Istilah multikultur itu sendiri berakar dari kata kultur yang berarti budaya atau peradaban. Dalam pendidikan multikultur selalu muncul dua kata kunci, yaitu pluralitas dan cultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala peradaban dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema penting, yaitu aliran (agama), ras, (etnis), suku, dan budaya.
Dalam modul ini kami cenderung menggunakan istilah pendidikan multikultur, karena untuk lebih mudah dan gampang diingat-apalagi dengan mempertimbangkan pengertian kultur atau budaya yang sudah popular , yang substansi dasarnya adalah pendidikan pluralisme dan multikultur. Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan multikultur, banyak sekali literature mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan sebutan pendidikan multicultural. Namun literature-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991:1) mengartikan pendidikan multicultural sebagai any set of process by which schools work withrather then against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multikultural Education: Historical Development, Demension, and Practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada consensus tentang itu, ia berkesimpulan bahwa diantara banyak pengertian tersebut maka yang dominant adalah pengertian pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Pengertian-pengertian seperti ini, menurut Hasan Hamid (op. cit.:512-514), jelas tidak dengan konteks-konteksbudaya yang berbeda dari Amerika serikat walaupun keduanya memiliki bangsa dengan multikebudayaan.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu definisi tentang pendidikan multikultur yang disampaikan Frans Magniz Suseno (dalam suara pembaharuan, 23 september 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengendalikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam (op. cit,:100), menjelaskan definisi pendidikan multikultur sebagai pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultur yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multicultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya kadamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagian yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali (dalam kompas, 26 april 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluraris secara agama sekaligus berwawasan multikulural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluraris multicultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Melalui pendidikan multikultur, dengan demikian, meminjam bahasanya Musya Ay’ari (seorang guru besar Fislafat islam), seseorang murid bisa diantarkan untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesiaan dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan spiritual  bangsa indinesia itu sendiri yang akan menjadi taruhannya (lihat dalam media Indonesia, 1 desember 2000). Akhirnya, modal pendidikan seperti ini, di harapkan mampu memberikan dorongan terhadap penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, sebab nilai dasar dari pendidikan budaya damai ini adalah pemaknaan dan pembumian nilai toleransi,empati,simpati,dan solidaritas sosial.
Akan tetapi, untuk merealisasikan tujuan pendidikan seperti itu, penyiar berkeyakinan, bahwa dalam proses pendidikan, setiap komunitas pendidikan perlu memperhatikan konsep unity in diversty.disertai suatu sikap, dengan tidak saja mengendalikan suatu mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak monointerpretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruksi agama-agama lain. Tentu saja, pemaknaman konsep seperti ini  tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan pendidikan multikultur adalah bukan untuk membuat sesuatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Setiap agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mulai mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi riil, yaitu suatu agama menyerah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh Karena itu, dialog dalam pendidikan pluralisme harus selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas agama- baik yang agung atau yang memalukan-dengan realitas agama lain yang agung atau memalukan itu.
Jelasnya, landasan filosofis pelaksanaan pendidikan multikultur di Kalimantan Barat dan di Indonesia umumnya harus didasarkan pada pemahaman adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang, maka manusia Indonesia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia.
Selain itu, juga harus didasarkan pada suatu pengertian bahwa “manusia memang berbeda. Tapi mereka juga memiliki kesamaan-kesamaan. Dan setidaknya dalam keadaan peradaban sekarang ini perasaan-perasaan mereka lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di antara mereka. Politik, ilmu pengetahuan architectonic itu, mengajarkan bahwa tanpa sesal mengarah ke penyatuan dunia. Satu-satunya pertanyaan yang timbul adalah, apakah penyatuan dunia akan berlangsung lewat penaklukan, paksaan, ataukah lewat kesepakatan, persetujuan. Di mana-mana tugas manusia yang paling mendesak adalah untuk memastikan bahwa penyatuan itu kelak akan berlangsung lewat damai persetujuan bersama”. 

BAB I KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Ilustrasi

  1. Pengertian Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah matakuliah baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan fakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.
Merujuk pendapat Andersen dan Cusher ( 1994:320 ), bahwa pendidikan multikutural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks ( 1993:3 ) mendefinisikan pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan ( anugerah Tuhan). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan ( global ).
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekomomi yang dialami oleh maing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragan secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan lain kata, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam ( plural ), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire ( pakar pendidikan pembebasan ), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara ganding” yang berusaha menjauhi realitas social dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multicultural ( Multicultural Education ) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa ( Hilliard, 1991-1992 ). Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu menckup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata social dan agama.
James Banks ( 1994 ) menjelaskan, bahwa pendidikan multicultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genegration. Yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genralisasi dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu. Kedua, theknowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran ( disiplin ). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ( culture ) ataupun social ( social ). Keempat, prejudice reducation, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran ( objek ) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang cirri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima cirri yaitu:
  1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
  2. Mempunyai keinginan untuk berkembang kea rah dewasa.
  3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
  4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikutural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia ( PD ) kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas ( keberagaman ) di Negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari Negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai focus pendidika multicultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multicultural, focus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan cultural domain atau mainstream. Focus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intercultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individual-individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominant, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti ( difference ), atau politics of recognition ( politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas ).
Dalam konteks itu, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhanya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan ( empowerment ) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Istilah “pendidikan multicultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multicultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM; demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
Sebetulnya, konsep pendidikan multicultural, utamanya di Negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multicultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometime forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system”.
Di Amerika, misalnya, muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikultiralisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdidi dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi, di mata bangsa Anglo Saxon yang menyebabkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu adalah kawasan tak bertuan, dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan.
Dari perespektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabeli secara generic dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal Negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru, yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Atau dalam bahasa lain, sekolah lain, sekolah sebagai medium transformasi budaya.
Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui system pendidikan pasa suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai system demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya, toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Sehubungan dengan hal di atas, akhir-akhir ini di Indonesia sedang mencuat wacana baru dalam khazanah pemikiran pendidikan, yakni pendidikan multicultural. Sebagaimana diberitakan oleh salah satu media nasional di tanah air, bahwa saat ini perlu dibangun konsep pendidikan multicultural ( Kompas, 02/ 09/ 2004 ). Tentu, hal tersebut patut diapresiasi secara positif oleh semua kalangan yang peduli terhadap “nasib” pendidikan di negeri ini. Gagasan tersebut muncul dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satu di antaranya adalah globalisasi. Globalisasi melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehiduapan manusia di berbagai belahan bumi, termasuk imbasnya adalah kebudayaan bangsa ( culture and tradition ).
Menurut HAR Tilaar, bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus hingga akhirnya kehilangan jati diri local dan nasionalnya. Pendidikan multicultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan budaya ( different of culture ).
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Prof. Dr. Sutjipto, dan Dr. Cut Kamaril Wardani. Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan penguatan budaya local ( local culture ). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada budaya local berisiko menimbulkan disintegrasi bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme selayaknya dikikis habis. Di sinilah urgensi pendidikan multicultural untuk dihindarkan dalam dunia pendidikan kita saat ini sebab, pendidikan merupakan instrument paling ampuh untuk memberikan penyadaran ( conscious ) kepada masyarakat, supaya tidak timbul konflik etnis, budaya dan agama.
  1. Paradigma Pendidikan Multikultural
Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2004 ), Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: horizontal dan vertical. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertiakal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat social budaya.
Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah, Usman Pelly ( 1988 ) menyatakan bahwa, meskipun setiap Warga Negara Indonesia ( WNI ) berbicara dalam satu bahasa nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat-istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.
Pada satu sisi, kemjemukan masyarakat memberikan side effect ( dampak ) secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negative, karena factor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan kanflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, kenflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan keridakharmonisan social ( social disharmony ). Pakar pendidikan, Syafri Sairin ( 1992 ), memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni : ( 1 ) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( acces to economic resources and to means of production ); ( 2 ) perluasan batas-batas social budaya ( social and cultural borderline expansion ); dan ( 3 ) benturan kepentingan politik, ideology, dan agama ( conflict of political, ideology and religious Interest ).
Menurut pandangan penulis, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multicultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragama, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri ( truth claim ) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA ( suku, adat, ras dan agama ). Fakta tersebut sebetulnya menunjukkan kegagalan pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Symbol budaya, agama, ideology, bendera, baju dan sebagainya, itu sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita setuju dalam perbedaan ( agree in disagreement ). Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling baik amal perbuatannya ( bertaqwa ). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-que’an Surat al Hujurat ayat 13: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan ( Bapak dan Ibu ), dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa ( bermacam-macam umat ) dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang lebih taqwa. Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. ( Al Hujurat: 13 ).
Pendidikan multicultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk macro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar macro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
I. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya ( berperadaban )”.
II. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis ( cultural ).
III. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis ( multikulturalis ).
IV. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Menurut M. Khoirul Muqtafa ( 2004 ), paradigma multicultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintahan, dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang merupakan indikasi nyata hal ikhwal di atas.
Sebagai tamsil adalah fenomena ( di )muncul(kan)nya UU “kontroversi” sisdiknas yang sengaja didesakkan “kelomok mayoritas”. Masih munculnya keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang diperluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi ( Formalisasi Syariah ). Kasus RUU Kerukunan Beragama yang sangat kental dengan aroma intervensi Negara yang deterministic dalam kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multicultural dalam “nalar” bangsa ini.
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-antropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horizontal maupun vertical. Secara horizontal, berbagai kelompok masyrakat yang kini dikategorikan sebagai “Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa atau ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya. Sedangkan secara vertical, berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-bedakan atas dasar meminjam istilah Karl Marx mode of production yang bermuara pada perbedaan kelas social dan budaya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk “mempersamakan” ( conformity ) atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideology “monokulturalisme” yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan uniformitas, merupakan bukti nyata. Maka, tak aneh kalau kemudian monokulturalime ini memunculkan reaksi balik atau resistensi dari pihak lawan dan mengandung implikasi-implikasi negatif ( side effect ) bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan sejak 1999, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tidih dengan “etnisitas”. Politik identitas kelompok, seiring dengan menggejalanya komunalisme, makin menguat.
Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semubelaka. Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan, tak jarang suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Ironis memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikan alasan dan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan alasan untuk bermusuh-musuhan atas nama perbedaan.
Factor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multicultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam menyikapi realitas multicultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya sebagaimana diungkapkan oleh Richard Rorty, seorang filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan dalam “toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjepak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri ( I am what I am not ). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh ( indifference ).
Sampai di sini, layak kita meneguhkan kembali paradigma multicultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak ke aspek psikomotorik dan efektif. Peneguhan ini dimaksudkan untuk mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap Goodenough ( 1976 ), adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empiric. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multicultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan ( continue ). Di sinilah fungsi strategis pendidikan multicultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa system standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multicultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multicultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi dari tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.
  1. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Men-design pendidikan multicultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama, bahwa pendidikan multicultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Apalagi, jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-harinya mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominant, akan berjalan dengan aman dan harmoni?
Dalam kondisi demikian, pendidikan multicultural lebih tetap diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan ( education ) dengan persekolahan ( schooling ), atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidikan dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiaasikan kebbudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan kelompok-kelompok social yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multicultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penusun program pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecendrungan memandang anak didik secara stereotype menurut identitias etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi ini siatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan ( baik formal maupun non formal ) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.
Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dank e-bhineka-an, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terejawatahkan dalam kelompok social dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendaat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat, yang menyatakan bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatua Negara, kebudayaan dan agama.
Jadi, dapat dipahami bahwa inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relative lama, sehingga individu-individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak social. Kondisi tersebut selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang membentuk individu tersebut adalah pendidikan atau, dengan istilah lain, masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multicultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat aadalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
  2. Masyarakat bergantungan pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melelui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.
  3. Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
  4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
  5. Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dunia pendidikan, maka akan tampak bahwa masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan keperibadian individu peserta didik. Sebab, keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber macro yang penuh alternative untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multicultural.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multicultural. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbale balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memperdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan akan datang.
  1. Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pada decade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education, selanjutnya di singkat ( MBE ), telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Dalam terminology ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multicultural ( multicultural education ) seperti yang dipakai dalam konteks kehidupan multicultural Negara-negara Barat. Sejumlah definisi terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, karya seorang pakar pendidikan multicultural dari California State University, Amerika Serikat, Hilda Hernandez, telah diungkap dua definisi “klasik” untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam ( plural ) secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Dalam satu decade terakhir, Hernandez mengembangkan sebauh definisi operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas, banhasa, agama, dan perkecualian-perkecualian yang memenuhi, membentuk, dan mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil perkembangan seutuhnya dari konstelasi/ interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan ( citizenship ) dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, social dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sentematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifesikan melalui konteks, proses, dan muatan ( content ). MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan dan keunggulan.
  1. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
Hingga saat ini, wacanapendidikan multicultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena actual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multicultural.
Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan multicultural yang dikembangkan di Indonesia sejak dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ( otoda ). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional ( disintegrasi bangsa dan separatisme ).
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/ gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etniitas”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia, juga di Negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam proses pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multicultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisii pendidikan .
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagai masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedy kemanusiaan tidak terulang kembali. Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dalam pertisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.
Model lainnya, pendidikan multicultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaraan, tetapi juga melakukan reformasi dalam system pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpang struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan social ( sense of crisis ), toleransi dan mengurangi prasangka antarkelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multicultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multicultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:
( 1 ) transformasi diri; ( 2 ) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan ( 3 ) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multicultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju ( snow ball ) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multicultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multicultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.
  1. Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global
Gambaran dunia saat ini tampak terasa semakin sempit. John Naisbit dalam Mega Trend 2000 juga menggambarkan demikian. Demikian pula Alvin Tofler seorang pakar sejarah dunia, juga menyebut demikian. Bahwa, Dunia telah menjadi kampung besar ( global village ), sebagaimana dikemukakan oleh ahli komunikasi Kanada, McLuhan. Bahwa, di era globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Apakah perbedaan mendasar antara pendidikan multicultural dan pendidikan global?
Pendidikan multicultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman cultural, hak asasi manusia, dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Apa kaitan pendidikan multicultural dengan pendidikan global? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali perlu kita rumuskan beberapa inti dari pendidikan multicultural. Pendidikan multicultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya ( the pride in ones home nation ) dengan demikian, pendidikan global tidak mengurangi pengembangan kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa. Oleh sebab itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada pendidikan global, yang ada adalah pendidikan dalam perspektif global.
Dalam pendidikan multicultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat local sampai kepada masyarakat dunia global James banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, yaitu:
  1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotype kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.
  2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.
  3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsannya sendiri.
  4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
  5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
  6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterkaitannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.
  1. Menuju Multikulturalisme Global
Berkenaan dengan cita-cita untuk mewujudkan tatanan multikulturalisme global, di sini patut dikemukakan tulisan Muhamad Ali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, berjudul “Menuju Multikulturalisme” ( kompas, 3 Januari 2004 ). Bahwa, dalam beberapa decade terakhir, masyarakat masih dipertontonkan hubungan internasional yang penuh gejolak. Ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ( USSR ) berakhir, ternyata sejarah konflik tidak benar-benar berakhir, sebagagaimana dugaan Francis Fukuyama dalam Magnum Opus-nya “The End of History, yang sangat fenomenal di Amerika.
Konflik Palestina-Israel dan invasi Amerika Serikat ( AS ) beserta sekutunya terhadap Irak, itu menunjukkan bahwa tata dunia belum seimbang dan belum stabil. Karakter baik-buruk manusia tidaklah berubah. Aktor-aktor masa kini, dengan berbagai nama dan identitas, baik yang lama maupun yang baru, ternyata tetap berselisih. Beberapa pendapat, kepentingan, ideology, agama, bahasa, kebudayaan, dan peradaban, itu semua menjadi alasan untuk saling berkonflik.realitas tersebut mengundang akademisi Amerika, Samuel P Huntington, untuk menulis karya kontroversialnya The Clash of Civilization ( Benturan antar Peradaban ). Karya tersebut, mempunyai asumsi dasar bahwa setelah kemenangan liberalisme dan kapitalisme global atas sosialisme komunisme, akan terjadi benturan peradaban antara budaya barat ( Amerika ) dengan budaya timur ( Islam ).
Namun demikian, mesti kita sendiri bahwa karakter dunia hingga detik ini sebetulnya masih tetap multicultural. Jika di masa pra-modern kekuatan-kekuatan politik dalam bentuk dinasti, kerajaan, kesukuan, dan keagamaan yang dominan; di masa modern, Negara bangsa ( nation state ) menjadi actor yang sangat dominant, mengalahkan kekuatan-kekuatan lain. Nasionalisme pun menjadi plural. Individu dan kelompok telah menjadikan Negara-negara sebagai identitas yang sangat penting dalam hubungan antarmanusia.
Dalam batas Negara-bangsa ( nation statee ), manusia memiliki budaya yang majemuk ( plural ), tetapi pada saat yang sama, mereka memiliki identitas budaya yang satu. Negara-bangsa begitu kuatnya sehingga budaya telah menjadi tunggal dalam kebudayaan nasional. Meskipun berbeda-beda tetap satu” ( unity in diversity ) menjadi slogan tidak hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat, Malaysia, Kanada, Australia, dan banyak lagi Negara lain. Pada level ini, multikulturalisme dipahami dalam batas Negara-bangsa ( nation state ).
Bagaimana dengan perbedaan budaya antarbangsa? Bagaimana kebudayaan Indonesia, misalnya, bisa berinteraksi dengan kebudayaan Malaysia, kebudayaan Thailand, kebudayaan Iran, kebudayaan Inggris, dan sebagainya?
Multikulturalisme global berangkat dari kenyataan sejarah di mana budaya-budaya bangsa begitu majemuknya, sehingga monokulturalisme, budaya tunggal, tidak mungkin menjadi agenda sebuah Negara-bangsa untuk dipaksakan kepada bangsa-bangsa lain.
Pengertian budaya di sini tidak terbatas dalam seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas: agama, ideology, system hukum, system pembangunan, dan sebagainya.
Budaya dapat bersifat lintas Negara, tetapi ada juga budaya yang telah menjadi ciri khas Negara-bangsa tertentu. Misalnya, para pendiri Negara Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai bagian dari budaya national, karena merupakan akumulasi dari nilai-nilai bangsa Indonesia. Malaysia juga merupakan Negara-bangsa yang berkembang dari berbagai unsure budaya, yaitu: Melayu, India, Tionghoa, dan lain sebagainya.
Terlepas dari berapa kesamaan cultural antara mayoritas orang Indonesia dan orang Malaysia seperti bahasa dan agama kedua Negara bangsa ini memiliki perbedaan system dan budaya pembangunan. Di sinilah multikulturalisme antarbangsa menjadi penting.
Hal tersebut merupakan contoh hubungan antardua Negara yang berdekatan secara geografis dan cultural. Bagaimana hubungan antarnegara-negara yang sangat berbeda seperti AS dan Irak? AS dan Indonesia? Bagaimana dengan bangsa-bangsa yang terpinggirkan dalam konstelasi politik dan ekonomi internasional seperti Palestina dan Kashmir?
Multikulturalisme-nya Charles Taylor, Etika Global-nya Hans Kung, Overlapping Consensus-nya John Rawls, Dialog Peradaban-nya Muhammad Khatami, serta nilai-nilai Asia dan Global Convivencia-nya Anwar Ibrahim merupakan tesis-tesis yang mengarah pada sebuah hubungan global yang harmonis.
Pernah pula diusulkan berbagai tesis untuk membangun harmoni global, seperti World Peace Through World Law ( Clark and Sohn ) dan World Order Models Projects ( WOMP ). Di dalam berbagai tesis ini terdapat sikap menghindari absolutisme yang menegasikan segala yang lain, tetapi mendorong sikap skeptisisme epitimologis yang sehat, dan keinginan untuk bersikap kritis yang membuka jalan lagi bagi kemajemukan demi perdamaian global ( global peace ).
Bentuk-bentuk multikulturalisme global bermacam-macam dan sangat kontekstual. Sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui integritas nasional Negara-negara lain juga menjadi bagian dari sikap multicultural. Begitu pula sikap warga-warga terhadap warga Negara lain, sikap orang “Barat” terhadap orang “Timur” dan sebaliknya.
Multikulturalisme global juga bisa terjadi antara nasionalisme agama dan Negara sekuler ( Juergens Meyer ), antara nasionalisme liberal dan nasionalisme liberal, dan sebagainya. Multikulturalisme global menghargai bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Multikulturalisme global menghindari sikap pemaksaan, seperti agresi militer dan pemaksaan budaya.
Multikulturalisme global juga bisa berbentuk sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui masyarakat bangsa minoritas ( politics of recognition ). Namun, pengakuan atas identitas kebangsaan tidak berhenti pada pengakuan formal. Multikulturalisme global menuntut perhatian dari bangsa yang kaya terhadap bangsa yang miskin, bangsa yang maju terhadap bangsa yang terbelakang dan bangsa sedang berkembang.
Menuju multikulturalisme global juga berarti menuju kemajemukan modernitas ( different modernities ). Misalnya saja, modernitas AS tidak selalu harus dipaksakan terhadap modernitas Irak, dan modernitas Malaysia berbeda dengan modernitas Indonesia.
Pemikir Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiri, dalam Arab-Islamic Philosophy; a Contemporary Critique, misalnya, menawarkan modernisasi yang peduli dengan tradisi-tradisi budaya dan keagamaan karena “tidak ada satu modernitas yang absolute dan universal”. Yang ada adalah bermacam modernitas yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Modernitas Eropa berbeda dengan modernitas China, modernitas Jepang, modernitas Arab, modernitas Indonesia, dan seterusnya.
Perbedaan system moral membutuhkan dialog, bukan penghancuran yang satu atas yang lain. Lembaga-lembaga pendidikan dan budaya dapat menjadi model dialog, dengan cara mendorong diskusi yang jujur dan terbuka, Masyarakat yang memperjuangkan kebebasaan dan persamaan berdiri di atas perbedaan-perbedaan budaya. Janji moral multikulturalisme bergantung pada nilai-nilai saling mendengar dan saling menghargai.
Multikulturalisme global tidaklah bertentangan dengan humanisme global. Karena, multikulturalisme global tidak berarti membenarkan segala bentuk pengungkapan budaya seperti terorisme dan kekerasan. Multikulturalisme global mengakui politik universalisme yang menekankan harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia ( human ). Tak ada warga dunia kelas satu dan warga dunia kelas dua. Humanisme, baik yang berdasarkan atas nilai-nilai transcendental seperti agama dan spiritualitas, maupun yang non-agama, sama-sama mengakui harga diri kemanusiaan ( humanity ). Menghargai perbedaan budaya ( different in culture ) adalah bagian dari nilai-nilai humanisme itu sendiri.
Contoh paling mutakhir tentang multikulturalisme global yang sejalan dengan humanisme global adalah bantuan humanitarian terhadap pemerintahan dan rakyat Aceh dan Sumetera Utara ( Sumut ) yang terkena musibah Gempa dan Tsumani. Dan sebelumnya bantuan kemanusiaan terhadap rakyat Iran yang baru saja terkena musibah gempa bumi, yang memakan korban lebih dari 30.000 jiwa dan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah.
Negara-negara Barat ( Amerika ) dan Aceh, Sumut ( Indonesia ) dan Iran secara ideologis dan pemerintahan sangat berbeda, tetapi atas dasar nilai-nilai humanisme, Negara-negara Barat menyatakan belasungkawa dan memberikan bantuan ke Aceh, Sumatera Utara ( Sumut ) dan Iran. Perbedaan ideologis dan budaya tidak mencegah Negara-negara dunia untuk menunjukkan etos solidaritas dalam bermacam-macam bentuk.
Paradigma multikulturalisme global kiranya menjadi jawaban alternative untuk mengatasi keretakan hubungan internasional. Di tahun-tahun mendatang, benturan antar nasionalisme dapat dikurangi dengan sebuah perubahan sikap dan kebijakan berbagai pemerintahan dan masyarakat sipil, dari sikap curiga dan memusuhi ke sikap saling menghargai. Dan kemudian, bekerja dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama, seperti kekerasan, kemiskinan, dan kebodohan.
DAFTAR BACAAN
Freire, Paulo, 2000, Pendidikan Pembebasan ( Jakarta: LP3S )
Gollnick, Donna M. & Phillip C. Chinn, 2002, Multicultural Education in a Plutalistic Society ( New Jersey & Ohio: Prentice Hall )
Hernandez, Hilda, 1989, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content ( New Jersey & Ohio: Prentic Hall ).
Maksum, Ali, Luluk Yunan Ruhendi, 2004, Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD )
Pelly, Usman dan Asih Menanti, 1994, Teori-Teori Sosial Budaya ( Jakarta: Dirjen Depdikbud )
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shifd for Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, dalam www.exchange.org/multicultural.
Sleeter, C.E, 1999, Making Choice for Multicultural Education: Five Approaches to Race, Class and Gender ( New York: John Wiley & Sons )
Sairin, Syafri, 1992, Telaah Pengelolaan keserasian social dari literature luar negeri dan hasil penelitian Indonesia ( Jakarta: kerja sama meneg KLH dan UGM )
Stavenhagen, Rudolfo, 1996, Education for a Multicultural World, dalam Jasque Delors ( et all ), Lerarning: the treasure within, ( Paris: UNESCO )
Tilaar, H. A. R., 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia ( Jakarta: Grasindo ).

BAB II KONSEP DASAR HUBUNGAN ANTAR MANUSIA


 A.    Siapa Manusia itu?
Peta Konsep
Anda pasti akan heran dengan subjudul  itu? Apakah penulis ini bukan manusia? Kalau penulis manusia,  mengapa membuat judul seperti itu? Anda akan menyangka bahwa penulis memberikan pertanyaan tolol….. sudah jelas namun dipertanyakan. Banyak orang akan berpikir seperti itu. Tidak salah ataupun keliru….. masalahnya, dapatkah anda memberikan gambaran pengertian tentang manusia itu? Atau, jika ada orang yang mengatakan bahwa anda seperti monyet, marah tidak anda? Tersinggungkah? Atau justru mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengiyakan. Begitu pula sebaliknya, apakah hal tersebut juga anda lakukan ketika ada orang yang mengatakan bahwa anda seperti manusia?
Bagi anda yang marah jika dikatakan seperti monyet, tidak keliru. Anda marah karena anda merasa sebagai manusia yang dilecehkan karena dianggap seperti monyet. Tetapi jangan-jangan, anda justru akan tersenyum dan tidak marah jika ada yang mengatakan anda seperti manusia? Kalau itu yang terjadi, penulis justru marah kalau dikatakan seperti manusia. Sebaliknya, penulis akan mengangguk-anggukkan kepala jika ada yang mengatakan bahwa penulis seperti monyet. Mengapa? Karena jika ada yang mengatakan saya seperti monyet berarti saya masih manusia; sedangkan jika saya dikatakan seperti manusia artinya saya bukan manusia – maka saya marah.
Lantas, siapa sih manusia itu? Para ahli biologi menyebutnya manusia adalah hewan yang berakal budi. Mengapa? Karena dalam dunia hewan, manusia digolongkan metazoa dengan phylum chordata, subphylumnya vertebrata masuk dalam klas mammalia yang ordenya primata, sub-orde antropoidea, keluarga dari homonidae dengan genus homo masuk spesies sapiens. Wacana seperti ini yang kemudian melahirkan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis. Disebut makhluk biologis karena manusia memiliki tanda-tanda yang sama dengan makhluk primata lainnya, yakni ditandai oleh:
a.     Sebagian primata hidup di atas pohon, hanya baboon dan manusia yang hidupnya di atas tanah.
b.     Anggota badannya mudah digerakkan, terutama yang berusia muda.
c.     Jari-jari primata dapat memegang benda kasar ataupun halus, mencengkeram, meraih dan fungsi lainnya.
d.     penglihatan primata lebih tajam, tetapi penciumannya lebih buruk dari mamalia lainnya.
e.     Otak primata relative lebih besar volumenya daripada mamalia lainnya.
Manusia sebagai makhluk biologis, sesuai dengan sifat dan kemampuannya maka diberikan berbagai macam sebutan. Pertama, manusia disebut homo sapiens yakni dikategorikan sebagai bagian dari zoology (Ilmu Hewan) yang dapat menggunakan sifat dan kemampuan berpikir secara bijaksana, sehingga manusia juga disebut sebagai makhluk rasional. Ke dua disebut homo faber, karena manusia mampu menggunakan sifat dan kemampuannya untuk membuat dan mempergunakan alat. Ke tiga disebut homo loquens, yakni makhluk yang dapat berbicara dan berkomunikasi social. Ke empat disebut homo sosialis, karena sifat dan kemampuannya untuk berkelompok (bermasyarakat). Ke lima disebut homo economicus, karena  menggunakan sifat dan kemampuannya untuk mengorganisasi pemenuhan kebutuhan hidupnya.  Ke enam disebut homo religiousus, disebut begitu karena ia memiliki sifat dan kemampuan untuk berpikir dan menyadari adanya kekuatan supranatural (Tuhan Yang Maha Segalanya).  Ke tujuh disebut homo delegans, karena sifat dan kemampuannya untuk mendelegasikan pekerjaan kepada yang lain dan menyadari keterbatasannya. Ke delapan disebut homo legatus, karena sifat dan kemampuannya untuk mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya.  Ke Sembilan disebut Artis creator, karena sifat dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan (estetika). Oleh karena itu, manusia memiliki berbagai macam sebutan yang menunjukkan bahwa manusia itu makhluk multidimensional.
Manusia juga disebut makhluk Individu, yaitu manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara anggota tubuhnya yang satu dengan yang lain. Kata Individu berasal dari kata latin ‘individuum’ artinya yang tak terbagi, entitas yang terkecil. Dalam pemahaman ilmu social-budaya menunjuk pada tabiat kehidupan jiwa manusia yang majemuk dengan peranannya dalam kehidupan social-budaya manusia. Dengan kata lain, individu menunjuk kepada keterbatasan manusia sebagai manusia perseorangan, manusia yang membutuhkan manusia lainnya, manusia sebagai mahkhluk social-budaya yang otonom. Manusia dalam berbagai hal banyak kesamaannya dengan yang lainnya, tetapi dalam banyak hal pula banyak perbedaannya. Sejenis tetapi berbeda, setiap individu mempunyai keunikannya sendiri. Keunikannya ini yang menjadikan tingkat peradaban yang berbeda, maka akan menghasilkan deferensiasi social.
Keunikan individu menjadi kepribadiannya. Tingkat kepribadian ini ikut menentukan dan mewarnai dunia social-budaya. Kepribadian yang unsurnya pengetahuan, perasaan dan naluri itu kemudian dikelola sedemikian rupa hingga melahirkan budaya, pola prilaku dan budaya materi.
Deferensiasi social melekat dan berkaitan dengan dunia social-budaya manusia. Pemberian identitas social kepada orang lain menjadi contoh konkrit deferensiasi social yang melekat pada manusia, sedang saya seorang siswa yang paling (maha) dibanding siswa lainnya ini adalah contoh konkrit dari deferensiasi social yang berkaitan dengan dunia social-budaya.
Ernst Cassirer (1944) memberikan pandangannya tentang manusia dan mencoba menggambarkannya dalam satu istilah ‘animal symbolicum’. Dengan istilah ini, Cassirer merangkum semua sebutan untuk manusia yang di uraikan di muka, sekalipun istilah itu masih juga tidak mampu menghadirkan gambaran manusia secara utuh.
Setiap individu merupakan suatu pribadi yang unik, berbeda antara yamg satu dengan yang lain. Aku bukan kamu dan kamu bukan aku, oleh karena itu kepribadian setiap individu juga berbeda. Kepribadian individu sangat tergantung kepada factor:

1) Pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa sescorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan individu itu ada bermacan-macam hal yang dialaminya melalui penerimaan pancaindranya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang lain, sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran autistik (suara), bau, rasa, sentuhan, tckanan rnekanikal (bcrat-ringan), tckanan termikal (panas-dingin) dan sebagainya yang masuk kedalam sel­-sel tertentu dibagian-bagian tertentu dari otak.
Seluruh proses akal manusia yang sadar (conscious) tadi dalam ilmu psikologi disebut "persepsi". Sementara itu, penggambaran baru dengan banyak pengertian tentang keadaan lingkungannya, disebut "apersepsi". Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi karena pemusatan akal yang Iebih intensif, disebut "pengamatan".
Adapun penggambaran abstrak tentang sesuatu berdasarkan penggabungan dan perbandingan dengan penggambaran lain yang sejenis berdasarkan azas-azas tertentu secara konsisten disebut "konsep". Sebaliknya adapula penggambaran baru yang kadangkala .juga tidak realistik , disebut "fantasi".
Seluruh penggambaran, (persepsi), apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur pengctahuan seseorang individu yang sadar. Selain itu, banyak pengetahuan atau bagian-bagian dari himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu selama hidupnya, seringkali hilang dari alarn akalnya yang sadar atau dalam kesadarannya dengan berbagai sebab, disebut "alam bawah sadar" (sub­conscious), kemudian ada pula pengetahuan individu yang saling baur dan tercampur, disebut "alarn tak sadar" (unconscious).

2) Kecuali pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam "perasaan" . Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilairrya sebagai suatu keadaan positif atau negatif.Suatu perasaan selalu bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi, biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu. Kehendak itu bisa bersilat positif artinya individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasanya sebagai suatu hal yang akan rnemberikan kenikmatan, keuntungan, kebahagiaan kepadanya , atau bisa juga negatif, artinya ada upaya untuk menghindari, menjauh, tidak senang, merasa tidak enak dan sebaginya dari hal yang dirasanya sebagai hal yang akan mcmbawa perasaan tidak nikmat padanya. Suatu kehendak keras untuk mendapatkan sesuatu, dinamakan "keinginan" . perasaan dan upaya keras untuk mendapatkan suatu itu, juga disebut "emosi" .

3) Setiap individu memiliki dorongan naluri.
            Dengan pengetahuan dan perasaannya maka dorongan naluri harus dikelola sedemikian rupa agar antara yang satu dengan yang lain menyadari bahwa kita sama dan sederajat (apalagi dihadapan Sang Pencipta). Dalam proses mengelola dorongan naluri inilah nilai-nilai sosial tentang cinta-kasih (bahkan diajarkan oleh Tuhan sendiri melalui nabi-nabiNya), tanggung jawab, pengabdian, keadilan, pandangan hidup, keindahan, penderitaan, kegelisahan dan harapan bermunculan dalam berbagai versi sangat tergantung kepada kepribadian setiap individu.
Manusia juga disebut sebagai makhluk cultural. Manusia merupakan kelompok makhluk yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi dalam proses evolusi sehingga memiliki kedudukan yang khusus di dalam ekosistem alam sekitarnya. Perbedaan yang utama bahwa manusia dikaruniai Tuhan selain kecerdasan juga akalnya. Dengan akal inilah maka membedakan secara mutlak manusia dengan binatang. Manusia dengan akalnya dapat berusaha membantu tubuhnya menghadapi berbagai keadaan, berbagai tempat dan cara hidup, sehingga lebih luas dalam menyesuaikan diri dengan alam sekitar, di mana ia hidup. Dengan akalnya manusia membuat alat-alat yang dapat digunakan untuk melengkapi dirinya alam keadaan tertentu.
Dengan kecerdasan otaknya dapat membantu tubuhnya dan mempermudah hidupnya. Misalnya ia tidak perlu memanjat pohon untuk mengambil buah-buahan, hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan galah. Apa yang dibuat dan diciptakan pada awalnya terbatas pada benda-benda yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Pertama kebutuhan untuk makan maka alat-alatnya berkaitan dengan upaya mencari makan. Kedua yaitu alat yang digunakan untuk menyambung akal sehingga mengalami kemajuan dan semakin luas bentuk alat-alat tersebut dan kegunaanya. Hal ini mempermudah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan menjadi dasar perekonomian dalam lingkungan sosial dengan kerja yang teratur.
Semua kemampuan manusia itu dilandasi oleh dorongan naluri yang dimilikinya, ditambah dengan kemampuan akal pikirannya, maka jadilah manusia yang seperti anda-anda bayangkan saat ini. Dorongan naluri yang dimiliki oleh manusia adalah sebagai berikut:
a.     dorongan naluri untuk mempertahankan hidup
b.     dorongan naluri untuk mencari makan
c.     dorongan naluri untuk mencari teman
d.     dorongan naluri untuk meniru
e.     dorongan naluri untuk sex
f.        dorongan naluri untuk mengabdi
g.     dorongan naluri akan keindahan
Dorongan naluri-dorongan naluri itu diolah dengan akal-pikirannya menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki oleh semua manusia di dunia. Keinginan atau hasrat disertai dengan keindahan akan melahirkan kesenian. Keinginan atau hasrat mengatur alam sekitar dalam menghadapi  tenaga alam yang gaib menimbulkan kepercayaan dan keagamaan. Keinginan untuk mengetahui apa yang dihadapinya akan menimbulkan ilmu pengetahuan.
Semua ciptaan manusia merupakan hasil usaha untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru sesuai kebutuhan jasmani dan rohaninya dikenal dengan kebudayaan. Sehingga manusia memiliki dua bagian yang tidak dapat dilepaskan yaitu segi kebendaan adalah buatan manusia merupakan perwujudan dari akal yang hasilnya dapat diraba atau nyata. Segi kerohanian yaitu alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur dan tidak dapat diraba hanya dapat dipahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan.
Manusia juga disebut makhluk politik (zoon politicon). Dalam setiap interaksi dengan manusia lain, selalu terdapat kepentingan sekalipun kepentingannya itu tersembunyi. Manusia selalu menginginkan pengakuan akan eksistensinya, sehingga manusia akan berdaya-upaya agar kepentingannya itu terpenuhi. Oleh karena itu, manusia akan menggunakan seluruh kemampuan akal pikirannya untuk menyusun strategi untuk mempengaruhi manusia lainnya. Pada ranah ini manusia mulai berpolitik, dengan argumentasi-argumentasi yang disusun dalam pikirannya, manusia menyembunyikan kepentingannya. Paling tidak, manusia yang satu akan mempengaruhi manusia lainnya, dengan maksud agar ia mempunyai pengikut. Jika sudah demikian maka mulailah manusia membuat kelompok, karena aku dan kamu sependapat maka menjadi kita. Dia-dia bukan kita, tetapi mereka; ketika bertemu dengan mereka maka kita menjadi kami. Dan selanjutnya, manusia mengenal dan mengenakan identitas sosialnya agar mudah menandai siapa kawan dan siapa yang ‘the others’ (yang bukan kawan), siapa ‘orang dalam’ dan siapa ‘orang luar’. Untuk lebih jelasnya silakan simak bab Politik Identitas.
Lantas, mengapa sering terjadi yang tadinya kawan berubah menjadi lawan? Homo homini lupus, manusia adalah srigala bagi manusia lainnya.  Hal itu disebabkan sifat manusia yang dinamis. Pikiran manusia itu tidak dapat diikat oleh waktu maupun tempat. Detik ini ia bicara kedelai, sebentar kemudian sudah menjadi air tahu, besok sudah menjadi tempe. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk homo duplex  yang memperlihatkan sifat-sifat yang paradox (bertentangan). Misalnya, disatu pihak ia menjadi konsumen produk masyarakat, dipihak lain ia juga menjadi produsen produk masyarakat; disatu pihak ia menjadi pengendali masyarakat (controler) dipihak yang lain ia menjadi obyek yang dikendalikan masyarakat; satu sisi menjadi pengaman masyarakat, dipihak lain menjadi perusak masyarakat. Pada satu sisi ia menjadi penegak nilai-nilai social, dan disisi lain ia menjadi pelanggar nilai-nilai social. Manusia itu hakim sekaligus terdakwa, bertindak sebagai jaksa dan juga pada saat yang sama ia akan bertindak sebagai pembela.
Hakekat manusia sebagai homo duplex tersebut, dapat diungkapkan sebagai mahluk yang dikuasai oleh nafsu hewani di satu pihak; dan dipihak lain dikendalikan oleh  “semangat malaikat”. Sifat manusia seperti itu, menurut Zijderveld menunjukkan Manusia merupakan individu yang unik. Baik kehidupannya, cara berfikirnya, emosinya, kesadarannya, dan segala tingkah-lakunya serta tindakannya. Dipihak yang lain, pada saat yang sama, manusia merupakan anggota dari jenisnya, menjadi mahluk sosial yang diatur oleh norma sosial yang membatasi cara berfikir, pengungkapan perasaan, dan tindakannya sesuai dgn peraturan serta pola masyarakat.
Manusia sebagai individu, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, sedangkan sebagai mahluk sosial ia harus bertindak sesuai dengan pola masyarakatnya dan bertanggug jawab serta mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada masyarakat. Pada tataran ideal, Manusia yang dapat menyeimbangkan kedua hakekat tersebut, merupakan manusia yang dapat tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat. Ia benar-benar dapat mengungkapkan dinamikanya secara seimbang. Nyatanya, sering dilindas oleh dinamikanya sendiri. Dinamika manusia yang memadukan manusia dengan sesamanya dan dunia lingkungannya, memadukan ‘dunia sosial’ yang penuh makna dengan ‘dunia alamiah’ yang penuh keteraturan, regularitas. Dunia sosial dunia yang serba tidak teratur, meloncat-loncat, hari ini senang lima detik berikutnya sedih. Menghayati dan mendalami hakekat kehidupan manusia memerlukan penginderaan dan kepekaan terhadap gejala-gejala seperti digambarkan di muka, yang meliputi sikap dan tingkah laku serta seluruh kepribadiannya sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Kemampuan seperti itu,  selain dapat diperoleh dari mempelajari bidang keilmuan yang berhubungan dengan gejala-gejala bersangkutan, juga dapat diperoleh dari latihan penghayatan terhadap gejala serta masalah sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita harus melakukan penginderaan, pengamatan dan penghayatan tentang apa yang kita alami di masyarakat.

B.    Konsep Dasar Hubungan Manusia: Manusia membutuhkan manusia lainnya

Meskipun manusia itu makhluk individu namun ia tidak akan sanggup untuk hidup sendirian di muka bumi ini. Coba anda perhatikan kisah Penciptaan! Mengapa Tuhan menciptakan Hawa? Mengapa Adam tidak dibiarkan sendirian oleh Tuhan? Yah…. Jawabannya dapat berbagai macam, tetapi intinya manusia tidak dibiarkan hidup sendirian oleh Tuhan. Oleh karena itu, manusia tidak akan sanggup hidup sendirian. Jika manusia hidup sendirian, maka manusia tidak akan dapat menyalurkan berbagai macam dorongan naluri yang dimilikinya. Manusia tidak akan dapat berkembang sebagai individu yang utuh. Manusia tidak akan memiliki kebudayaan dan manusia tidak akan memenuhi dunia seperti sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia itu HIDUP, dinamis perkembangannya.
Lantas, untuk apa hidup? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita berangkat dari proses siklus hidup manusia. Ketika seorang anak manusia dilahirkan mengapa harus menangis, sebab kalau tidak menangis justru orang-orang dewasa di sekitarnya mulai kawatir terhadap anak itu. Justru dengan menangis, bayi itu memberi sinyal sedang belajar bernafas, sebab tanpa bernafas ia tidak akan hidup. Bahkan menetek pun, seorang bayi tidak lantas otomatis pandai menetek tetapi ia harus belajar dengan bimbingan sang mama. Si bayi terus menerus berkembang dan belajar banyak hal. Mulai dari tengkurap, merangkak, berdiri dan kemudian baru belajar berjalan. Semua itu adalah proses belajar yang harus dilalui dan dialami oleh si bayi, hingga ia dapat berlari dan menjadi manusia mandiri. Tentu dengan syarat, selama si bayi itu mendapatkan kasih-sayang (asih), pengawasan (asuh) dan bimbingan (asah).
Dengan kata lain ilustrasi di atas, mengajak anda untuk memahami konsep-konsep dasar hubungan antar manusia. Pertama, seorang manusia agar dapat berhubungan dengan manusia lainnya maka harus ada kontak terlebih dahulu. Ibarat orang hendak menelpon seseorang, maka ia akan memperhatikan nada sambungnya terlebih dahulu. Nada sambungnya menunjukkan sibuk atau tidak, ini sama dengan harus kontak terlebih dahulu. Kedua, setelah ada tanda-tanda kontak baru kemudian terjadilah komunikasi. Dalam proses komunikasi ini, terjadi berbagai macam hubungan, mulai dari hubungan yang baik-baik hingga hubungan yang berakhir buruk. Komunikasi yang baik, biasanya ditandai dengan canda-tawa, saling pandang, saling merespon maksud dari lawan komunikasinya. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut interaksi antar manusia (interaksi sosial).
Interaksi social merupakan dasar (factor utama) dalam proses-proses social. Artinya, interaksi sosial merupakan kunci dari seluruh kehidupan sosial. Manusia hanya dapat dikatakan sebagai makhluk sosial, apabila ia mampu berinteraksi dengan orang lainnya, tanpa interaksi sosial maka kehidupan sosial tidak akan pernah mungkin terjadi. Perhatikan semut, mereka setiap bertemu selalu beradu kepala, saling membau sebagai tanda ’aku kawanmu’, ’aku orang diri’. Selama proses interaksi sosial terjadi, maka biasanya para komunikator itu saling bergaul, saling bertengkar, saling berkawan dan saling bermusuhan dan kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan nilai dan norma sosial.
Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis dalam bentuk sebagai berikut:















Suatu kerjasama yang terjadi dalam masyarakat, suatu waktu dapat berubah menjadi suatu persaingan yang berujung pada suatu pertikaian. Suatu pertikaian tidak akan selamanya berlangsung, maka akan tercipta akomodasi hingga akhirnya akan kembali menjadi suatu proses kerjasama. Jika suatu proses akomodasi dapat tercipta dalam kondisi yang asosiatif, maka akan diikuti oleh proses asimilasi dan akulturasi. Akan tetapi, jika tercipta dalam kondisi yang dissosiatif maka yang akan berkembang adalah proses persaingan yang akan berujung pada pertikaian (baik dalam bentuk ketegangan maupun konflik).
            Dalam proses kerja sama pasti ada norma dan nilai-nilai yang diberlakukan secara bersama dan di taati bersama. Ada kesepakatan yang dibuat dan digunakan bersama dengan sanksi yang disepakati bersama pula. Agar norma dan nilai ini dapat diakomodir oleh semua pihak maka kemudian kelompok yang terlibat itu akan saling berkomunikasi untuk membuat wadah sosial yang dapat menampung seluruh aspirasi anggotanya, yang disebut dengan lembaga sosial (institusi sosial).
            Lembaga sosial (institusi sosial) pengertiannya ada dua, yang berbentuk material dan non material. Pengertian institusi sosial yang berbentuk material adalah lembaga yang berupa wadah bagi persatuan orang untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya: sekolah menengah atas negeri I, yang terdiri dari pengurus sekolah, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Pengertian ini sama dengan istilah asosiasi sosial. Pengertian lain yang berbentuk non-material adalah apa yang disebut sebagai pranata sosial, yakni norma-norma dan nilai-nilai yang diberlakukan untuk mengatur hubungan antar pengurus, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Jadi lembaga sosial (institusi sosial) adalah himpunan dari norma-norma sosial yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat.
Istilah lembaga sosial dalam kehidupan sehari-hari sulit dipahami karena membingungkan. Secara implisit, lembaga sosial mempunyai fungsi sosial sebagai berikut:
a.     Memberi pedoman kepada anggota-anggota masyarakat, tentang bagaimana harus berbuat dan bersikap dalam pergaulannya di masyarakat;
b.     Menjaga keutuhan masyarakat;
c.     Memberikan pegangan untuk pengendalian sosial (social control) terhadap prilaku anggota masyarakat.
Agar supaya hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma sosial yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.
Norma sosial yang dibangun dan dihasilkan itu akan berguna untuk menjadi ’koridor’ bagi dinamika sosial manusia dalam berinteraksi. Dengan demikian, norma sosial merupakan aturan main para anggota masyarakat dalam berinteraksi. Norma sosial dibagi dalam empat tingkatan, mulai dari tingkat yang paling longgar sanksinya hingga tingkatan yang paling berat sanksinya. Pertama, disebut cara (usage) yang menunjuk pada suatu perbuatan. Misalnya saja: cara makan, cara tidur, cara ngomong, setiap individu pasti berbeda-beda. Ada orang yang cara makannya ”heboh”, mulutnya berbunyi mengecap, tangannya kanan-kiri digunakan dan sajian di meja makan berantakan. Tetapi ada juga yang cara makannya sangat diam, diatur, dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, sajian di meja makan dijaga agar tetap rapi. Perbedaan pada cara hanya menimbulkan sanksi  cemoohan saja. Kedua, kebiasaan (folkways) yakni menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kalau cara makannya saja heboh, maka cara itu jika diulang-ulang akan menjadi kebiasaan makan heboh. Kebiasaan jika dilanggar maka sanksinya dapat berupa jadi bahan omongan orang sekitar. Ketiga, tata-kelakuan (mores) yakni menunjuk pada kebiasaan yang dianggap sebagai cara berprilaku dan diterima sebagai norma pengatur. Sanksi bagi pelanggar berupa pengucilan, pe-marginal-an. Ke-empat apa yang disebut adat (istiadat – customs) yakni menunjuk pada tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat. Bila adat dilanggar maka sanksinya berwujud denda adat yang besarnya tergantung kepada berat-ringannya pelanggaran.
Norma sosial dapat menjadi pranata sosial jika melalui proses berikut: (a) institutionalization, proses pelembagaan yang meliputi norma sosial baru yang dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari; (b) internalized, proses pelembagaan yang meliputi norma tersebut kemudian menjadi ”darah daging” dalam jiwa angota-anggota komunitasnya. Dalam pemahaman seperti ini, menjadi sulit kiranya untuk mengatakan pranata sosial atau norma sosial yang lebih penting. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa hal itu diperlukan ketika kita akan menganalisisnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari justru agak sulit untuk memilah mana yang pranata dan mana yang norma. Norma sosial harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, lebih khusus lagi anggota komunitas (kelompok pendukung kebudayaan), oleh karena itu diperlukan pengawasan sosial (social – control).
Hubungan antar manusia hanya akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan jika norma-norma sosialnya dijaga dan difungsikan sebagaimana mestinya dan sesuaikan dengan tuntutan jaman. Hubungan antar manusia menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan masyarakat. Sebelum terjadi perubahan maka biasanya didahului oleh proses-proses sosial terlebih dahulu, yakni proses interaksi sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila anggota atau kelompok masyarakat saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan. Dengan kalimat lain, pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama menyebabkan perubahan dan perkembangan masyarakat, inilah yang disebut dengan dinamika sosial.
Hubungan antar manusia menghasilkan kehidupan bersama, kehidupan bersama hanya akan terjadi kalau ada proses interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Meskipun secara jasmaniah manusia saling bertemu, saling bersinggungan, saling melihat, tetapi belum tentu (bahkan tidak akan) menghasilkan pergaulan hidup dalam kelompok sosial. Contohnya adalah penonton film di bioskop, penonton sepakbola, atau orang-orang yang berkerumun disekeliling tukang obat di pasar, merupakan contoh kelompok manusia yang bukan kelompok sosial. Kelompok jenis ini disebut crowd (kerumunan). Pergaulan hidup atau interaksi sosial baru terjadi manakala para anggotanya saling mengadakan kerjasama, saling bertegur-sapa dsb.nya untuk mencapai tujuan bersama. Tentu saja dalam proses kerja sama ini dapat mengakibatkan adanya persaingan, dan ketika persaingannya memanas maka akan berubah menjadi pertikaian. Adanya pertikaian dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan, maka kemudian diperlukan proses akomodasi – proses penyelarasan kembali agar pertikaian kembali menjadi kerjasama baru. Begitu seterusnya dengan landasan dasar belajar dari pengalaman.
Di situ ada proses belajar yang merupakan representasi dari konsep dinamika sosial. Oleh karena itu, guna membahas masalah di atas, saya berangkat dari konsep tersebut. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dinamika sosial, agar pemahaman kita berangkat dari satu titik start yang sama. Dengan berangkat dari titik start yang sama berarti kita menyamakan persepsi; sehingga pembahasannya menjadi lebih terarah, tidak bertabrakan tetapi terus saling bersinggungan.
Dinamika sosial, di dalamnya berisi proses internalisasi (internalization), sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation) (Koentjaraningrat, 1980). Ke tiga istilah ini menunjuk pada proses belajar di dalam masyarakat, dengan kata lain masyarakat merupakan wahana pendidikan mengenai hubungan antar manusia bagi setiap anggotanya. Bagaimana pengertian ke tiga istilah tersebut?
            Pertama, saya mulai dari istilah internalisasi. Maksud daripada istilah ini adalah menunjuk pada proses panjang seorang anak manusia dari sejak ia dilahirkan, hingga ia hampir meninggal. Selama hidupnya ia belajar dan memperoleh pengalaman mengenai perasaannya, hasratnya, nafsunya, dan emosinya; sehingga ia dapat hidup bersama dengan anak manusia lainnya. Ia belajar bagaimana ”rangsangan” itu datang dan bagaimana ia harus memperoleh dan mengelolanya, agar ia terpuaskan. Setiap hari selama ia masih hidup, maka ia bertambah pengalamannya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perasaannya (secara antropologis, ia belajar memperoleh kesenangan, kegembiraan, perhatian, kebencian, kecintaan, benar – salah, malu dan lain-lain; secara sosiologis, ia mempunyai keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya); hasratnya (secara antropologis, ia ingin menyalurkan hasrat untuk bergaul, meniru, mencari tahu, berbakti, keindahan dan lain-lain; dan secara Sosiologis ia mempunyai keinginan untuk bersatu dengan manusia lainnya/masyarakat). Semua itu diperolehnya melalui proses belajar yang disebut dengan istilah internalisasi. Apa yang diperolehnya itu kemudian menjadi milik kepribadiannya yang khas, unik dan berbeda dengan orang lain. Mengapa ia harus belajar itu semua? Hal itu dikarenakan setiap orang mempunyai dorongan naluri untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, yang dalam Sosiologi disebut dengan istilah gregariuosness. Dengan demikian tidak mengherankan kalau ada ahli Antropologi atau Sosiologi yang menyebut manusia sebagai social animal (makhluk sosial).
            Ke dua, istilah sosialisasi dimaksudkan menunjuk pada proses belajar dari seorang manusia tentang pola-pola berprilaku dalam hidup bermasyarakat dengan berbagai macam peranan sosialnya, dan proses ini dilakukan dari sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Agar mempermudah mendapatkan gambaran tentang sosialisasi, maka mari kita bandingkan dua anak manusia, yang satu dilahirkan ditengah keluarga pejabat di kota dan yang lainnya dilahirkan ditengah keluarga biasa di kampung/desa. Si anak pejabat dari lahir sudah dikelilingi dengan berbagai ”fasilitas”. Ada pembantu, bahkan baby sitter, ada ibunya bahkan neneknya, yang masing-masing memberikan perhatian dan kasih sayang dengan pola prilaku yang berbeda. Selama pertumbuhan awalnya itu, ia sudah harus menghadapi berbagai tokoh sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan tokoh-tokoh itu, sehingga ia memiliki hubungan sosial yang lebih intensif dan kemudian mendorongnya menjadi individu yang mudah mengutarakan isi hati serta menerima maksud dan pikiran orang lain. Sebaliknya, si anak ”kampung” yang paling intensif berhubungan dengan ibunya. Kalau ia mempunyai kakak, kakaknya sudah asyik main sendiri paling hanya sekali-kali. Oleh karena itu, biasanya anak ”kampung” cenderung menjadi individu yang tertutup, pemalu dan cenderung kesulitan untuk menyampaikan isi hatinya.
            Perbedaan ’kepandaian’ yang dimiliki  (oleh anak pejabat dan anak desa itu) melalui proses belajar dan akan dijadikan miliknya yang kemudian dikembangkan secara turun temurun. Hal ini dilakukan secara horizontal dalam kelompoknya yang berbeda-beda sehingga penggabungan orang-orang yang disengaja disertai aturan-aturan mengenai hubungan antara satu dengan yang lainnya akan menimbulkan perbedaan. Oleh karena itu, norma social yang berkembang di kota berbeda dengan yang di desa. ada proses inkulturalisasi dalam keluarga.
Ketiga, konsep enkulturalisasi. Istilah ini maksudnya adalah bahwa manusia mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan utama dalam kehidupan sosial manusia. Keluarga merupakan kelompok primer bagi seorang anak manusia, di dalam keluarga terbentuklah frame of reference dan sense of belonging. Di dalam keluarga, manusia pertama kali memperhatikan hasrat keinginan orang lain, meniru pola prilaku individu yang yang menjadi reference-nya, belajar memberi dan menerima dari orang lain.  
Gabungan dari hal yang terkecil yaitu antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan bentuk keluarga. Gabungan yang lebih besar yaitu keluarga dengan keluarga yang disebut masyarakat. Maka pengalaman satu anggota keluarga yang diturunkan pada anggota lainnya termasuk kepandaiannya. Cara menurunkan kebudayaan tersebut karena manusia diberikan kepandaian berbicara. Bahasa adalah alat perantara yang paling utama bagi manusia. Dengan bahasa maka manusia dapat memahami sesuatu bersama-sama, dapat mendengar dari orang lain, ditambah pengamalannya sendiri sehingga semakin luas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang bersifat universal, yang memberikan fondasi bagi perkembangan individu dan kepribadiannya. Oleh karena itu, keluarga merupakan inti dari masyarakat, seperti kata Cooser (1967) bahwa keluarga merupakan mediator dalam mengaktualisasikan dan men-sosialisasikan nilai-nilai sosial. Dari sisi ini, tampak bahwa keluarga mempunyai fungsi pendidikan bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Kalau keluarga merupakan inti masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat juga mempunyai fungsi pendidikan bagi setiap individu yang menjadi anggotanya. Keluarga menjadi guru pertama (dan utama) bagi setiap individu, dan masyarakat menjadi ’guru besar’ bagi setiap individu. Dengan kata lain masyarakat sebagai salah satu wahana pendidikan kebudayaan. Dengan demikian masyarakat mempunyai kewajiban untuk mendidik generasi berikutnya agar mereka menjadi manusia-manusia yang mampu menghargai manusia lainnya. Kemampuan manusia terbatas dari apa yang didapat dalam masyarakat, karena berbeda-beda kepentingannya dan prioritas yang digunakan dalam hidupnya, meskipun terjadi dalam lingkungan yang sama. Sehingga pendukung kebudayaan bukanlah manusia secara individu tetapi juga masyarakat secara umum.
Dinamika sosial dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Dinamika sosial mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
·   Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling menghargai
·   Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain
·   Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota kelompok
·   Menimbulkan adanya i’tikad yang baik diantara sesama anggota kelompok.
Proses dinamika sosial mulai dari individu sebagai pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, belum mengenal antar individu yang ada dalam kelompok. Mereka membeku seperti es. Individu yang bersangkutan akan berusaha untuk mengenal individu yang lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair, proses ini disebut sebagai “ice breaking”. Setelah saling mengenal, dimulailah berbagai diskusi kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini disebut ”storming”. Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku individu, pada proses ini individu mengalami ”forming”. Dalam setiap kelompok harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota kelompok dan pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut ”norming”. Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan berbagai kegiatan, proses ini disebut ”performing”. Secara singkat proses dinamika sosial dapat dilihat pada gambar berikut:


  

Alasan pentingnya dinamika sosial:
·   Individu tidak mungkin hidup sendiri di dalam masyarakat
·   Individu tidak dapat bekerja sendiri dalam memenuhi kehidupannya
·   Dalam masyarakat yang besar, perlu adanya pembagian kerja agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik
·   Masyarakat yang demokratis dapat berjalan baik apabila lembaga sosial dapat bekerja dengan efektif