Monday, March 5, 2012

PENGANTAR MODUL


Ilustrasi
PENDIDIKAN MULTIKULTUR :
SEBUAH BENTUK PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN


Masyarakat Kalimantan Barat  dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, baik etnik, budaya, ras, bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Berbagai konflik bernuansa SARA yang terjadi beberapa tahun silam, sering dikaitkan dengan kegagalan bangsa ini memahami pluralitas. Secara spesifik pendidikan juga dituding telah gagal menjalin keragaman itu melalui pendidikan yang melampui sekat-sekat agama.
Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan motto Bhinneka Tunggal Ika. Namun, sayangnya, mooto  tersebut selama ini hanya menempati kesadaran kognitif masyarakat kebanyakan dan menjadi jargon lip service penguasa politik belaka, tidak diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari” .
Lebih celaka lagi, pendidikan agama yang seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang andal dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis, selama ini malah cenderung menampilkan wajahnya yang ekslusif dan dogmatis. Akibatnya, cita-cita leluhur untuk mencapai masyarakat majemuk yang harmonis, dimana perbedaan dan keanekaragaman budaya mampu berfungsi sebagai sumber daya yang memperkaya pemekaran manusia dan peradaban, sehingga kini masih menjadi impian.
Mencermati realitas tersebut, pemikiran mengenai pentingnya pendidikan multikultur, terutama bagi generasi baru Kalimantan Barat dan bangsa Indonesia yang majemuk bukan tanpa alasan. Apakah pendidikan budaya damai itu? Mungkin inilah yang masih menjadi pertanyaan banyak orang. Karena memang bentuknya yang relative baru dan belum disosialisasikan banyak orang. Kalaupun ada, itupun masih berupa gagasan-gagasan  mengenai arti pentingnya bentuk pendidikan multikulturalisme  bagi masyarakat agama. Gagasan-gagasan itu biasanya disertai arti dan definisi tentang pendidikan multikulturalisme yang berbeda-beda pula, sehingga menurut hemat kami perlu segera melakukan pengkajian dan penelitian secara komprehensif mengenai pendidikan ini, untuk dapat dijadikan landasan dan kebijakan pengembangan pendidikan yang berwawasan pluralisme.
Sebenarnya, pendidikan multikultur merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul di dunia pendidikan. Hanya saja, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ainurrofiq Dawam dalam bukunya Emoh Sekolah (2003:99-100), gaung dan peranan pendidikan multikultur kurang begitu menyakinkan bagi masyarakat yang seharusnya mengapresiasi pendidikan dikursus ini. Masyarakat yang harus mengapresiasi pendidikan multikultur adalah masyarakat yang secara objektif memiliki anggota yang heterogonitas dan pluralitas. Paling tidak heterogenitas dan pluralitas anggota masyarakat tersebut bisa melihat pada eksistensi keragaman suku (etnis), ras, aliran (agama), dan budaya (kultur). Istilah multikultur itu sendiri berakar dari kata kultur yang berarti budaya atau peradaban. Dalam pendidikan multikultur selalu muncul dua kata kunci, yaitu pluralitas dan cultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala peradaban dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari empat tema penting, yaitu aliran (agama), ras, (etnis), suku, dan budaya.
Dalam modul ini kami cenderung menggunakan istilah pendidikan multikultur, karena untuk lebih mudah dan gampang diingat-apalagi dengan mempertimbangkan pengertian kultur atau budaya yang sudah popular , yang substansi dasarnya adalah pendidikan pluralisme dan multikultur. Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan multikultur, banyak sekali literature mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan sebutan pendidikan multicultural. Namun literature-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991:1) mengartikan pendidikan multicultural sebagai any set of process by which schools work withrather then against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multikultural Education: Historical Development, Demension, and Practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada consensus tentang itu, ia berkesimpulan bahwa diantara banyak pengertian tersebut maka yang dominant adalah pengertian pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Pengertian-pengertian seperti ini, menurut Hasan Hamid (op. cit.:512-514), jelas tidak dengan konteks-konteksbudaya yang berbeda dari Amerika serikat walaupun keduanya memiliki bangsa dengan multikebudayaan.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu definisi tentang pendidikan multikultur yang disampaikan Frans Magniz Suseno (dalam suara pembaharuan, 23 september 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengendalikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam (op. cit,:100), menjelaskan definisi pendidikan multikultur sebagai pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultur yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multicultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah terciptanya kadamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagian yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali (dalam kompas, 26 april 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluraris secara agama sekaligus berwawasan multikulural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluraris multicultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Melalui pendidikan multikultur, dengan demikian, meminjam bahasanya Musya Ay’ari (seorang guru besar Fislafat islam), seseorang murid bisa diantarkan untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesiaan dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan spiritual  bangsa indinesia itu sendiri yang akan menjadi taruhannya (lihat dalam media Indonesia, 1 desember 2000). Akhirnya, modal pendidikan seperti ini, di harapkan mampu memberikan dorongan terhadap penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, sebab nilai dasar dari pendidikan budaya damai ini adalah pemaknaan dan pembumian nilai toleransi,empati,simpati,dan solidaritas sosial.
Akan tetapi, untuk merealisasikan tujuan pendidikan seperti itu, penyiar berkeyakinan, bahwa dalam proses pendidikan, setiap komunitas pendidikan perlu memperhatikan konsep unity in diversty.disertai suatu sikap, dengan tidak saja mengendalikan suatu mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak monointerpretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruksi agama-agama lain. Tentu saja, pemaknaman konsep seperti ini  tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan pendidikan multikultur adalah bukan untuk membuat sesuatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Setiap agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mulai mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi riil, yaitu suatu agama menyerah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh Karena itu, dialog dalam pendidikan pluralisme harus selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas agama- baik yang agung atau yang memalukan-dengan realitas agama lain yang agung atau memalukan itu.
Jelasnya, landasan filosofis pelaksanaan pendidikan multikultur di Kalimantan Barat dan di Indonesia umumnya harus didasarkan pada pemahaman adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang, maka manusia Indonesia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia.
Selain itu, juga harus didasarkan pada suatu pengertian bahwa “manusia memang berbeda. Tapi mereka juga memiliki kesamaan-kesamaan. Dan setidaknya dalam keadaan peradaban sekarang ini perasaan-perasaan mereka lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di antara mereka. Politik, ilmu pengetahuan architectonic itu, mengajarkan bahwa tanpa sesal mengarah ke penyatuan dunia. Satu-satunya pertanyaan yang timbul adalah, apakah penyatuan dunia akan berlangsung lewat penaklukan, paksaan, ataukah lewat kesepakatan, persetujuan. Di mana-mana tugas manusia yang paling mendesak adalah untuk memastikan bahwa penyatuan itu kelak akan berlangsung lewat damai persetujuan bersama”. 

0 comments:

Post a Comment