SEBUAH BENTUK PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM MEMBANGUN
PERDAMAIAN
Masyarakat Kalimantan Barat dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, baik
etnik, budaya, ras, bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. Berbagai konflik
bernuansa SARA yang terjadi beberapa tahun silam, sering dikaitkan dengan
kegagalan bangsa ini memahami pluralitas. Secara spesifik pendidikan juga
dituding telah gagal menjalin keragaman itu melalui pendidikan yang melampui
sekat-sekat agama.
Sebenarnya masyarakat Indonesia
telah lama akrab dengan motto Bhinneka
Tunggal Ika. Namun, sayangnya, mooto tersebut selama ini hanya menempati kesadaran
kognitif masyarakat kebanyakan dan menjadi jargon lip service penguasa politik belaka, tidak diimplementasikan secara
nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari” .
Lebih celaka lagi, pendidikan
agama yang seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan
moralitas universal yang andal dalam agama-agama sekaligus mengembangkan
teologi inklusif dan pluralis, selama ini malah cenderung menampilkan wajahnya
yang ekslusif dan dogmatis. Akibatnya, cita-cita leluhur untuk mencapai
masyarakat majemuk yang harmonis, dimana perbedaan dan keanekaragaman budaya
mampu berfungsi sebagai sumber daya yang memperkaya pemekaran manusia dan
peradaban, sehingga kini masih menjadi impian.
Mencermati realitas tersebut,
pemikiran mengenai pentingnya pendidikan multikultur, terutama bagi generasi
baru Kalimantan Barat dan bangsa Indonesia yang majemuk bukan tanpa alasan. Apakah
pendidikan budaya damai itu? Mungkin inilah yang masih menjadi pertanyaan
banyak orang. Karena memang bentuknya yang relative baru dan belum
disosialisasikan banyak orang. Kalaupun ada, itupun masih berupa
gagasan-gagasan mengenai arti pentingnya
bentuk pendidikan multikulturalisme bagi
masyarakat agama. Gagasan-gagasan itu biasanya disertai arti dan definisi
tentang pendidikan multikulturalisme yang berbeda-beda pula, sehingga menurut
hemat kami perlu segera melakukan pengkajian dan penelitian secara komprehensif
mengenai pendidikan ini, untuk dapat dijadikan landasan dan kebijakan
pengembangan pendidikan yang berwawasan pluralisme.
Sebenarnya, pendidikan multikultur
merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul di dunia pendidikan. Hanya
saja, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ainurrofiq Dawam dalam bukunya Emoh Sekolah (2003:99-100), gaung dan
peranan pendidikan multikultur kurang begitu menyakinkan bagi masyarakat yang
seharusnya mengapresiasi pendidikan dikursus ini. Masyarakat yang harus
mengapresiasi pendidikan multikultur adalah masyarakat yang secara objektif
memiliki anggota yang heterogonitas dan pluralitas. Paling tidak heterogenitas
dan pluralitas anggota masyarakat tersebut bisa melihat pada eksistensi
keragaman suku (etnis), ras, aliran (agama), dan budaya (kultur). Istilah
multikultur itu sendiri berakar dari kata kultur yang berarti budaya atau
peradaban. Dalam pendidikan multikultur selalu muncul dua kata kunci, yaitu
pluralitas dan cultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala
peradaban dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari
empat tema penting, yaitu aliran (agama), ras, (etnis), suku, dan budaya.
Dalam modul ini kami cenderung
menggunakan istilah pendidikan multikultur, karena untuk lebih mudah dan
gampang diingat-apalagi dengan mempertimbangkan pengertian kultur atau budaya
yang sudah popular , yang substansi dasarnya adalah pendidikan pluralisme dan
multikultur. Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan multikultur, banyak
sekali literature mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan
sebutan pendidikan multicultural. Namun literature-literatur tersebut
menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991:1) mengartikan pendidikan
multicultural sebagai any set of process
by which schools work withrather then against oppressed group. Banks, dalam
bukunya Multikultural Education:
Historical Development, Demension, and Practice (1993) menyatakan bahwa
meskipun tidak ada consensus tentang itu, ia berkesimpulan bahwa diantara
banyak pengertian tersebut maka yang dominant adalah pengertian pendidikan
multikutural sebagai pendidikan untuk people
of color. Pengertian-pengertian seperti ini, menurut Hasan Hamid (op. cit.:512-514), jelas tidak dengan
konteks-konteksbudaya yang berbeda dari Amerika serikat walaupun keduanya
memiliki bangsa dengan multikebudayaan.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu
definisi tentang pendidikan multikultur yang disampaikan Frans Magniz Suseno
(dalam suara pembaharuan, 23
september 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengendalikan kita untuk membuka
visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau
tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai
sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah
pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan,
dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam (op. cit,:100), menjelaskan definisi
pendidikan multikultur sebagai pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya
etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultur yang demikian, tentu
mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu
sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multicultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana
pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah
terciptanya kadamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagian yang terlepas dari
jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali (dalam kompas, 26 april 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada
proses penyadaran yang berwawasan pluraris secara agama sekaligus berwawasan
multikulural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluraris multicultural”.
Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya
komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama,
separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan
ini adalah toleransi.
Melalui pendidikan multikultur, dengan demikian,
meminjam bahasanya Musya Ay’ari (seorang guru besar Fislafat islam), seseorang
murid bisa diantarkan untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesiaan dalam
berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan
spiritual bangsa indinesia itu sendiri
yang akan menjadi taruhannya (lihat dalam media
Indonesia, 1 desember 2000). Akhirnya, modal pendidikan seperti ini, di
harapkan mampu memberikan dorongan terhadap penciptaan perdamaian dan upaya
menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, sebab nilai dasar dari pendidikan
budaya damai ini adalah pemaknaan dan pembumian nilai
toleransi,empati,simpati,dan solidaritas sosial.
Akan tetapi, untuk merealisasikan tujuan pendidikan
seperti itu, penyiar berkeyakinan, bahwa dalam proses pendidikan, setiap komunitas
pendidikan perlu memperhatikan konsep
unity in diversty.disertai suatu sikap, dengan tidak saja mengendalikan
suatu mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak monointerpretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam
hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran bahwa moralitas
dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruksi agama-agama
lain. Tentu saja, pemaknaman konsep seperti ini tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing
agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan pendidikan multikultur adalah bukan untuk
membuat sesuatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah
sesuatu yang absurd dan agak
mengkhianati tradisi suatu agama. Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang
dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Setiap agama mempunyai
sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut
agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mulai
mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai
sisi riil, yaitu suatu agama menyerah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan
sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh
Karena itu, dialog dalam pendidikan pluralisme harus selalu mengandalkan kerendahan
hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak
dibandingkan, dan realitas agama- baik yang agung atau yang memalukan-dengan
realitas agama lain yang agung atau memalukan itu.
Jelasnya, landasan filosofis pelaksanaan
pendidikan multikultur di Kalimantan Barat dan di Indonesia umumnya harus
didasarkan pada pemahaman adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama”
merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang, maka manusia
Indonesia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang
sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia.
Selain itu, juga harus didasarkan pada suatu
pengertian bahwa “manusia memang berbeda. Tapi mereka juga memiliki
kesamaan-kesamaan. Dan setidaknya dalam keadaan peradaban sekarang ini
perasaan-perasaan mereka lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di antara
mereka. Politik, ilmu pengetahuan architectonic
itu, mengajarkan bahwa tanpa sesal mengarah ke penyatuan dunia. Satu-satunya
pertanyaan yang timbul adalah, apakah penyatuan dunia akan berlangsung lewat
penaklukan, paksaan, ataukah lewat kesepakatan, persetujuan. Di mana-mana tugas
manusia yang paling mendesak adalah untuk memastikan bahwa penyatuan itu kelak
akan berlangsung lewat damai persetujuan bersama”.
0 comments:
Post a Comment