Oleh: Dr Drs Andreas
Muhrotien, MSi[1]
Sekolah
Tinggi Pastoral Santo Agustinus Pontianak telah menetapkan mata kuliah
Pendidikan Multikultur sebagai Mata kuliah tambahan diluar mata kuliah yang
berhubungan dengan keahlian guru agama katolik. Mata kuliah ini dipilih karena
kondisi saat ini memerlukan wawasan baru bagi guru agama katolik. Mata kuliah
ini menambah kompetensi guru agama katolik alumni STP Sto Agustinus Pontianak
memiliki nilai “plus” ketika berhadapan dengan keadaan yang serba terbatas di
sekolah-sekolah di Kalimantan Barat. Mereka bisa mengajarkan muatan lokal
mengenai pendidikan multikultur disamping mengajarkan agama katolik.
Krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat kita
saat ini semakin meningkat. Keadaan ini tampaknya ada kaitannya dengan
kondisi transisi di era otonomi daerah sekarang ini. Kondisi globalisasi dunia
juga tampaknya ikut berpengaruh. Berbagai ekspresi sosial budaya yang
sebenarnya “alien” ( asing ), yang tidak memiliki basis dan kulturalnya dalam
masyarakat kita, semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga
memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu
sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa
kita.
Hal
itu bisa dilihat misalnya: dari, semakin merebaknya budaya “McDonald-isasi”;
meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan
hedonisme; mewabahnya MTVisasi, “Valentine’s day”, dan kini juga “from’s night”
di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain dari
“cultural imperialism” baru, menggantikan imperialisme klasik”.
Dari
berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid,
budaya gado-gado tanpa identitas, di Kalimantan Barat dewasa ini. Pada satu
sisi, kemunculan budaya hybrid tampaknya tidak terelakkan, khususnya karena
proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi, pada sisi lain, budaya
hybrid dapat mengakibatkan erosi budaya. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat
mengakibatkan lenyapnya identitas cultural nasional dn local; padahal,
identitas nasional dan local tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya
integrasi sosial, cultural dan politik masyarakat dan Negara-bangsa.
Tragedy
kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di
berbagai kawasan di Kalimantan Barat menunjukkan betapa rentannya rasa
kebersamaan yang dibangun dalam Negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka
antara kelompok dan betapa rendahnya nilai-nilai multikulturalisme.
Multikulturalisme
sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan
budaya-budaya local tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain,
penting kita pahami bersama dalam kehiduapan masyarakat yang multicultural
seperti Kalimantan Barat. Jika tidak, dalam masyarakat kita kemungkinan besar
akan selalu terjadi konflik akibat ketidaksalingpengertian dan pemahaman
terhadap realitas multicultural tersebut.
Sama
dengan diskursus tentang perbedaan gender yang memunculkan paradigma kesetaraan
gender, dalam diskursus multikulturalisme ini, sebetulnya juga ditekankan upaya
untuk mewujudkan kesetaraan budaya.
Bila
dilacak, akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme di bentuk dari kata multi ( banyak ), kultur ( budaya ), dan
isme ( aliran/ paham ). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing
yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama dihargai sekaligus komunitasnya.
Menurut
Abraham A. Maslow dalam Theory of Human Motivation , bahwa salah satu kebutuhan
dasar manusia ( basic needs ) adalah pengakuan/ penghargaan. Pengingkaran
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari ketimpangan di
berbagai bidang kehiduapan. Multikulturalisme adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Maka, konsep kebudayaan harus
dilihat dalam perseptif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Berangkat
dari kronologi pergulatan wacana tersebut, dapat dipahami bahwa
multikulturalisme sebenarnya asalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas
dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang
memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa
yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang
beragam ( multicultural ). Dan bangsa yang multicultural adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik atau budaya ( ethnic and cultural groups )-nya yang ada
dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existensi yang ditandai
oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
Gagasan
multikulturalisme ini dinilai dapat mengakomodir kesetaraan budaya yang mampu
meredam konflik vertical dan horizontal dalam masyarakat yang heterogen di mana
tuntutan akan pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya, kelompok, etnis
sangat lumrah terjadi. Muaranya adalah tercipta suatu system budaya ( culture
system ) dan tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian
sebuah bangsa.
Dari
sinilah kemudian pembumian wacana multikulturalisme patut digulirkan pada ranah
pendidikan, yang selanjutnya mungkin bisa berupa pendidikan multicultural. Buku
ini bermaksud menawarkan Materi Pelajaran pendidikan multicultural dalam
konteks ke-Kalimantan Barat-an.
Dalam
ruang pengantar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir Kristianus
MSi, Donatianus MHum dan DR Toto Priyadi yang telah menyusun buku pelajaran
untuk Mahasiswa STP Sto Agustinus Pontianak ini, dan untuk semua pihak yang
banyak ikut andil dalam penulisan buku ini, di antaranya kepasa seluruh
keluarga besar Sekolah Tinggi Pastoral Sto Agustinus Pontianak.
0 comments:
Post a Comment