Monday, March 5, 2012

KATA PENGANTAR PENDIDIKAN MULTIKULTUR BAGI MAHASISWA


 Oleh: Dr Drs Andreas Muhrotien, MSi[1]

            Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Pontianak telah menetapkan mata kuliah Pendidikan Multikultur sebagai Mata kuliah tambahan diluar mata kuliah yang berhubungan dengan keahlian guru agama katolik. Mata kuliah ini dipilih karena kondisi saat ini memerlukan wawasan baru bagi guru agama katolik. Mata kuliah ini menambah kompetensi guru agama katolik alumni STP Sto Agustinus Pontianak memiliki nilai “plus” ketika berhadapan dengan keadaan yang serba terbatas di sekolah-sekolah di Kalimantan Barat. Mereka bisa mengajarkan muatan lokal mengenai pendidikan multikultur disamping mengajarkan agama katolik.
           
Krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat kita saat ini semakin meningkat. Keadaan ini tampaknya ada kaitannya dengan kondisi transisi di era otonomi daerah sekarang ini. Kondisi globalisasi dunia juga tampaknya ikut berpengaruh. Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya “alien” ( asing ), yang tidak memiliki basis dan kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa kita.
            Hal itu bisa dilihat misalnya: dari, semakin merebaknya budaya “McDonald-isasi”; meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan hedonisme; mewabahnya MTVisasi, “Valentine’s day”, dan kini juga “from’s night” di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain dari “cultural imperialism” baru, menggantikan imperialisme klasik”.
            Dari berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid, budaya gado-gado tanpa identitas, di Kalimantan Barat dewasa ini. Pada satu sisi, kemunculan budaya hybrid tampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi, pada sisi lain, budaya hybrid dapat mengakibatkan erosi budaya. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat mengakibatkan lenyapnya identitas cultural nasional dn local; padahal, identitas nasional dan local tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya integrasi sosial, cultural dan politik masyarakat dan Negara-bangsa.
            Tragedy kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Kalimantan Barat menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya nilai-nilai multikulturalisme.
            Multikulturalisme sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya local tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain, penting kita pahami bersama dalam kehiduapan masyarakat yang multicultural seperti Kalimantan Barat. Jika tidak, dalam masyarakat kita kemungkinan besar akan selalu terjadi konflik akibat ketidaksalingpengertian dan pemahaman terhadap realitas multicultural tersebut.
            Sama dengan diskursus tentang perbedaan gender yang memunculkan paradigma kesetaraan gender, dalam diskursus multikulturalisme ini, sebetulnya juga ditekankan upaya untuk mewujudkan kesetaraan budaya.
            Bila dilacak, akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme di bentuk dari kata multi ( banyak ), kultur ( budaya ), dan isme ( aliran/ paham ). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama dihargai sekaligus komunitasnya.
            Menurut Abraham A. Maslow dalam Theory of Human Motivation , bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia ( basic needs ) adalah pengakuan/ penghargaan. Pengingkaran masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari ketimpangan di berbagai bidang kehiduapan. Multikulturalisme adalah sebuah  ideology dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Maka, konsep kebudayaan harus dilihat dalam perseptif fungsinya bagi kehidupan manusia.
            Berangkat dari kronologi pergulatan wacana tersebut, dapat dipahami bahwa multikulturalisme sebenarnya asalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi  dengan budaya-budaya yang beragam ( multicultural ). Dan bangsa yang multicultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya ( ethnic and cultural groups )-nya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
            Gagasan multikulturalisme ini dinilai dapat mengakomodir kesetaraan budaya yang mampu meredam konflik vertical dan horizontal dalam masyarakat yang heterogen di mana tuntutan akan pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya, kelompok, etnis sangat lumrah terjadi. Muaranya adalah tercipta suatu system budaya ( culture system ) dan tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan  masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian sebuah bangsa.
            Dari sinilah kemudian pembumian wacana multikulturalisme patut digulirkan pada ranah pendidikan, yang selanjutnya mungkin bisa berupa pendidikan multicultural. Buku ini bermaksud menawarkan Materi Pelajaran pendidikan multicultural dalam konteks ke-Kalimantan Barat-an.
            Dalam ruang pengantar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir Kristianus MSi, Donatianus MHum dan DR Toto Priyadi yang telah menyusun buku pelajaran untuk Mahasiswa STP Sto Agustinus Pontianak ini, dan untuk semua pihak yang banyak ikut andil dalam penulisan buku ini, di antaranya kepasa seluruh keluarga besar Sekolah Tinggi Pastoral Sto Agustinus Pontianak.


[1]  Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Pontianak.

0 comments:

Post a Comment