tag:blogger.com,1999:blog-32265936805375240192024-03-12T20:56:12.108-07:00Kuliah Multikulturkristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.comBlogger9125tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-64026130956578096852012-03-05T21:08:00.000-08:002012-03-23T01:01:38.039-07:00KATA PENGANTAR PENDIDIKAN MULTIKULTUR BAGI MAHASISWA<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2n0mzgCdFpYZNbWumE9X1D4wE-vbWnCiX_8Yc0yzKjhHrGC7pmnaJYWv3RaOZ0uPd2v04RZzzhe16GKJ886xcpLL_WvMNoYvwCRCMtnTayrhsmvT-qctlL34nNX-9Umoa5DSyKyN3pJY/s1600/andeas+morotin.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2n0mzgCdFpYZNbWumE9X1D4wE-vbWnCiX_8Yc0yzKjhHrGC7pmnaJYWv3RaOZ0uPd2v04RZzzhe16GKJ886xcpLL_WvMNoYvwCRCMtnTayrhsmvT-qctlL34nNX-9Umoa5DSyKyN3pJY/s1600/andeas+morotin.JPG" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
Oleh: Dr Drs Andreas
Muhrotien, MSi<a href="file:///E:/CETAK/KATA%20PENGANTAR%20PENDIDIKAN%20MULTIKULTUR.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<a href="file:///E:/CETAK/KATA%20PENGANTAR%20PENDIDIKAN%20MULTIKULTUR.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"></span></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sekolah
Tinggi Pastoral Santo Agustinus Pontianak telah menetapkan mata kuliah
Pendidikan Multikultur sebagai Mata kuliah tambahan diluar mata kuliah yang
berhubungan dengan keahlian guru agama katolik. Mata kuliah ini dipilih karena
kondisi saat ini memerlukan wawasan baru bagi guru agama katolik. Mata kuliah
ini menambah kompetensi guru agama katolik alumni STP Sto Agustinus Pontianak
memiliki nilai “plus” ketika berhadapan dengan keadaan yang serba terbatas di
sekolah-sekolah di Kalimantan Barat. Mereka bisa mengajarkan muatan lokal
mengenai pendidikan multikultur disamping mengajarkan agama katolik.<br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">Krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat kita
saat ini semakin meningkat. </span>Keadaan ini tampaknya ada kaitannya dengan
kondisi transisi di era otonomi daerah sekarang ini. Kondisi globalisasi dunia
juga tampaknya ikut berpengaruh. Berbagai ekspresi sosial budaya yang
sebenarnya “alien” ( asing ), yang tidak memiliki basis dan kulturalnya dalam
masyarakat kita, semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga
memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu
sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa
kita.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hal
itu bisa dilihat misalnya: dari, semakin merebaknya budaya “McDonald-isasi”;
meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan
hedonisme; mewabahnya MTVisasi, “Valentine’s day”, dan kini juga “from’s night”
di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain dari
“cultural imperialism” baru, menggantikan imperialisme klasik”.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dari
berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid,
budaya gado-gado tanpa identitas, di Kalimantan Barat dewasa ini. Pada satu
sisi, kemunculan budaya hybrid tampaknya tidak terelakkan, khususnya karena
proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi, pada sisi lain, budaya
hybrid dapat mengakibatkan erosi budaya. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat
mengakibatkan lenyapnya identitas cultural nasional dn local; padahal,
identitas nasional dan local tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya
integrasi sosial, cultural dan politik masyarakat dan Negara-bangsa.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tragedy
kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di
berbagai kawasan di Kalimantan Barat menunjukkan betapa rentannya rasa
kebersamaan yang dibangun dalam Negara-bangsa, betapa kentalnya prasangka
antara kelompok dan betapa rendahnya nilai-nilai multikulturalisme.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Multikulturalisme
sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan
budaya-budaya local tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain,
penting kita pahami bersama dalam kehiduapan masyarakat yang multicultural
seperti Kalimantan Barat. Jika tidak, dalam masyarakat kita kemungkinan besar
akan selalu terjadi konflik akibat ketidaksalingpengertian dan pemahaman
terhadap realitas multicultural tersebut.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sama
dengan diskursus tentang perbedaan gender yang memunculkan paradigma kesetaraan
gender, dalam diskursus multikulturalisme ini, sebetulnya juga ditekankan upaya
untuk mewujudkan kesetaraan budaya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bila
dilacak, akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme di bentuk dari kata multi ( banyak ), kultur ( budaya ), dan
isme ( aliran/ paham ). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing
yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama dihargai sekaligus komunitasnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menurut
Abraham A. Maslow dalam Theory of Human Motivation , bahwa salah satu kebutuhan
dasar manusia ( basic needs ) adalah pengakuan/ penghargaan. Pengingkaran
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari ketimpangan di
berbagai bidang kehiduapan. Multikulturalisme adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Maka, konsep kebudayaan harus
dilihat dalam perseptif fungsinya bagi kehidupan manusia.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Berangkat
dari kronologi pergulatan wacana tersebut, dapat dipahami bahwa
multikulturalisme sebenarnya asalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas
dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang
memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa
yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang
beragam ( multicultural ). Dan bangsa yang multicultural adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik atau budaya ( ethnic and cultural groups )-nya yang ada
dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existensi yang ditandai
oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Gagasan
multikulturalisme ini dinilai dapat mengakomodir kesetaraan budaya yang mampu
meredam konflik vertical dan horizontal dalam masyarakat yang heterogen di mana
tuntutan akan pengakuan atas eksistensi dan keunikan budaya, kelompok, etnis
sangat lumrah terjadi. Muaranya adalah tercipta suatu system budaya ( culture
system ) dan tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian
sebuah bangsa.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dari
sinilah kemudian pembumian wacana multikulturalisme patut digulirkan pada ranah
pendidikan, yang selanjutnya mungkin bisa berupa pendidikan multicultural. Buku
ini bermaksud menawarkan Materi Pelajaran pendidikan multicultural dalam
konteks ke-Kalimantan Barat-an.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dalam
ruang pengantar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir Kristianus
MSi, Donatianus MHum dan DR Toto Priyadi yang telah menyusun buku pelajaran
untuk Mahasiswa STP Sto Agustinus Pontianak ini, dan untuk semua pihak yang
banyak ikut andil dalam penulisan buku ini, di antaranya kepasa seluruh
keluarga besar Sekolah Tinggi Pastoral Sto Agustinus Pontianak.</div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/KATA%20PENGANTAR%20PENDIDIKAN%20MULTIKULTUR.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></a> Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus
<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Pontianak</st1:place></st1:city>.</div>
</div>
</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-38078462476835925962012-03-05T20:52:00.000-08:002012-03-05T23:02:41.887-08:00PENGANTAR MODUL<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiA760CMz0MmjtyposJwQMh2rywUk1jNPDKgH8EGAFur-X5MkqcCjfuG7QdRebAl0K-hw65J2-OOSe7ZwhI3b-j8WvNBaoCemM3XTc_YH3hsASjPHhUAAs6YZHpigyAwSvbP9ELWhQpj8/s1600/multikulturalisme.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="202" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiA760CMz0MmjtyposJwQMh2rywUk1jNPDKgH8EGAFur-X5MkqcCjfuG7QdRebAl0K-hw65J2-OOSe7ZwhI3b-j8WvNBaoCemM3XTc_YH3hsASjPHhUAAs6YZHpigyAwSvbP9ELWhQpj8/s320/multikulturalisme.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi</td></tr>
</tbody></table>
PENDIDIKAN MULTIKULTUR :<o:p></o:p></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
SEBUAH BENTUK PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM MEMBANGUN
PERDAMAIAN<o:p></o:p></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Masyarakat Kalimantan Barat dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, baik
etnik, budaya, ras, bahasa, dan agama merupakan potensi sekaligus ancaman. <span lang="SV">Berbagai konflik
bernuansa SARA yang terjadi beberapa tahun silam, sering dikaitkan dengan
kegagalan bangsa ini memahami pluralitas. Secara spesifik pendidikan juga
dituding telah gagal menjalin keragaman itu melalui pendidikan yang melampui
sekat-sekat agama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sebenarnya masyarakat Indonesia
telah lama akrab dengan motto <i>Bhinneka
Tunggal Ika.</i> Namun, sayangnya, mooto tersebut selama ini hanya menempati kesadaran
kognitif masyarakat kebanyakan dan menjadi jargon <i>lip service</i> penguasa politik belaka, tidak diimplementasikan secara
nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari” .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Lebih celaka lagi, pendidikan
agama yang seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan
moralitas universal yang andal dalam agama-agama sekaligus mengembangkan
teologi inklusif dan pluralis, selama ini malah cenderung menampilkan wajahnya
yang ekslusif dan dogmatis. Akibatnya, cita-cita leluhur untuk mencapai
masyarakat majemuk yang harmonis, dimana perbedaan dan keanekaragaman budaya
mampu berfungsi sebagai sumber daya yang memperkaya pemekaran manusia dan
peradaban, sehingga kini masih menjadi impian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Mencermati realitas tersebut,
pemikiran mengenai pentingnya pendidikan multikultur, terutama bagi generasi
baru Kalimantan Barat dan bangsa Indonesia yang majemuk bukan tanpa alasan. Apakah
pendidikan budaya damai itu? Mungkin inilah yang masih menjadi pertanyaan
banyak orang. Karena memang bentuknya yang relative baru dan belum
disosialisasikan banyak orang. Kalaupun ada, itupun masih berupa
gagasan-gagasan mengenai arti pentingnya
bentuk pendidikan multikulturalisme bagi
masyarakat agama. Gagasan-gagasan itu biasanya disertai arti dan definisi
tentang pendidikan multikulturalisme yang berbeda-beda pula, sehingga menurut
hemat kami perlu segera melakukan pengkajian dan penelitian secara komprehensif
mengenai pendidikan ini, untuk dapat dijadikan landasan dan kebijakan
pengembangan pendidikan yang berwawasan pluralisme.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sebenarnya, pendidikan multikultur
merupakan sebuah istilah yang sudah lama muncul di dunia pendidikan. Hanya
saja, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ainurrofiq Dawam dalam bukunya <i>Emoh Sekolah </i>(2003:99-100), gaung dan
peranan pendidikan multikultur kurang begitu menyakinkan bagi masyarakat yang
seharusnya mengapresiasi pendidikan dikursus ini. Masyarakat yang harus
mengapresiasi pendidikan multikultur adalah masyarakat yang secara objektif
memiliki anggota yang heterogonitas dan pluralitas. Paling tidak heterogenitas
dan pluralitas anggota masyarakat tersebut bisa melihat pada eksistensi
keragaman suku (etnis), ras, aliran (agama), dan budaya (kultur). Istilah
multikultur itu sendiri berakar dari kata kultur yang berarti budaya atau
peradaban. Dalam pendidikan multikultur selalu muncul dua kata kunci, yaitu
pluralitas dan cultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala
peradaban dan keragaman. Sedangkan kultur itu sendiri tidak bisa terlepas dari
empat tema penting, yaitu aliran (agama), ras, (etnis), suku, dan budaya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dalam modul ini kami cenderung
menggunakan istilah pendidikan multikultur, karena untuk lebih mudah dan
gampang diingat-apalagi dengan mempertimbangkan pengertian kultur atau budaya
yang sudah popular , yang substansi dasarnya adalah pendidikan pluralisme dan
multikultur. Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan multikultur, banyak
sekali literature mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan
sebutan pendidikan multicultural. Namun literature-literatur tersebut
menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah. </span>Sleeter (dalam Burnet, 1991:1) mengartikan pendidikan
multicultural sebagai <i>any set of process
by which schools work withrather then against oppressed group.</i> Banks, dalam
bukunya <i>Multikultural Education:
Historical Development, Demension, and Practice </i>(1993) menyatakan bahwa
meskipun tidak ada consensus tentang itu, ia berkesimpulan bahwa diantara
banyak pengertian tersebut maka yang dominant adalah pengertian pendidikan
multikutural sebagai pendidikan untuk <i>people
of color.</i> Pengertian-pengertian seperti ini, menurut Hasan Hamid (<i>op. cit.</i>:512-514), jelas tidak dengan
konteks-konteksbudaya yang berbeda dari Amerika serikat walaupun keduanya
memiliki bangsa dengan multikebudayaan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu
definisi tentang pendidikan multikultur yang disampaikan Frans Magniz Suseno
(dalam <i>suara pembaharuan,</i> 23
september 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengendalikan kita untuk membuka
visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau
tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai
sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah
pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan,
dan solidaritas.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam (<i>op. cit,</i>:100), menjelaskan definisi
pendidikan multikultur sebagai pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya
etnis, suku, dan aliran (agama). <span lang="SV">Pengertian pendidikan multikultur yang demikian, tentu
mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu
sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang
hayat. Dengan demikian, pendidikan multicultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana
pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah
terciptanya kadamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagian yang terlepas dari
jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Muhammad Ali (dalam <i>kompas,</i> 26 april 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada
proses penyadaran yang berwawasan pluraris secara agama sekaligus berwawasan
multikulural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluraris multicultural”.
Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya
komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama,
separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan
ini adalah toleransi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Melalui pendidikan multikultur, dengan demikian,
meminjam bahasanya Musya Ay’ari (seorang guru besar Fislafat islam), seseorang
murid bisa diantarkan untuk dapat memandang pluralitas ke-Indonesiaan dalam
berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai kekayaan
spiritual bangsa indinesia itu sendiri
yang akan menjadi taruhannya (lihat dalam <i>media
Indonesia, </i>1 desember 2000). Akhirnya, modal pendidikan seperti ini, di
harapkan mampu memberikan dorongan terhadap penciptaan perdamaian dan upaya
menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, sebab nilai dasar dari pendidikan
budaya damai ini adalah pemaknaan dan pembumian nilai
toleransi,empati,simpati,dan solidaritas sosial.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Akan tetapi, untuk merealisasikan tujuan pendidikan
seperti itu, penyiar berkeyakinan, bahwa dalam proses pendidikan, setiap komunitas
pendidikan perlu memperhatikan konsep<i>
unity in diversty.</i>disertai suatu sikap, dengan tidak saja mengendalikan
suatu mekanisme berpikir terhadap agama yang tidak <i>monointerpretable,</i> atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam
hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran bahwa moralitas
dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruksi agama-agama
lain. Tentu saja, pemaknaman konsep seperti ini tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing
agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Tujuan pendidikan multikultur adalah bukan untuk
membuat sesuatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah
sesuatu yang <i>absurd</i> dan agak
mengkhianati tradisi suatu agama. <span lang="SV">Yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang
dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. Setiap agama mempunyai
sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut
agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mulai
mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai
sisi riil, yaitu suatu agama menyerah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan
sejarah yang bisa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh
Karena itu, dialog dalam pendidikan pluralisme harus selalu mengandalkan kerendahan
hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak
dibandingkan, dan realitas agama- baik yang agung atau yang memalukan-dengan
realitas agama lain yang agung atau memalukan itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Jelasnya, landasan filosofis pelaksanaan
pendidikan multikultur di Kalimantan Barat dan di Indonesia umumnya harus
didasarkan pada pemahaman adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama”
merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang, maka manusia
Indonesia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang
sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Selain itu, juga harus didasarkan pada suatu
pengertian bahwa “manusia memang berbeda. Tapi mereka juga memiliki
kesamaan-kesamaan. Dan setidaknya dalam keadaan peradaban sekarang ini
perasaan-perasaan mereka lebih penting ketimbang perbedaan-perbedaan di antara
mereka. Politik, ilmu pengetahuan <i>architectonic</i>
itu, mengajarkan bahwa tanpa sesal mengarah ke penyatuan dunia. Satu-satunya
pertanyaan yang timbul adalah, apakah penyatuan dunia akan berlangsung lewat
penaklukan, paksaan, ataukah lewat kesepakatan, persetujuan. Di mana-mana tugas
manusia yang paling mendesak adalah untuk memastikan bahwa penyatuan itu kelak
akan berlangsung lewat damai persetujuan bersama”. <span style="font-size: medium;"><o:p></o:p></span></div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-23670675925932458942012-03-05T20:25:00.000-08:002012-03-05T23:12:51.327-08:00BAB I KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL<div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.5in;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj12-GQZCJEOK4vx6b-q9c9Z9nE2HahASGvlxhxOLEtq5aD6EJu8J5Bzv0UdOZhdb-t0I9iQkOjJ2Hto9iS2X4NAzZmSDf1U3vYFvsfBj6TdzgZtciYmgdACGg_-vNS_1_hMZ_yhTteMdU/s1600/multicultural.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj12-GQZCJEOK4vx6b-q9c9Z9nE2HahASGvlxhxOLEtq5aD6EJu8J5Bzv0UdOZhdb-t0I9iQkOjJ2Hto9iS2X4NAzZmSDf1U3vYFvsfBj6TdzgZtciYmgdACGg_-vNS_1_hMZ_yhTteMdU/s1600/multicultural.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi</td></tr>
</tbody></table>
<b><br /></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.5in;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<ol start="1" style="font-family: Georgia, serif; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="font-weight: normal; text-align: justify;">Pengertian Pendidikan Multikultural</li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<o:p> </o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Sebagai sebuah matakuliah baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan fakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. <span lang="ES">Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Merujuk pendapat Andersen dan Cusher ( 1994:320 ), bahwa pendidikan multikutural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks ( 1993:3 ) mendefinisikan pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan ( anugerah Tuhan). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5OSLXzSCmOeeJmKA756s9CwVyoWiA_QY4z9YiXZZMNsUvp2T88LNu2EHeAiyLBDzCOMVNhVbkI5GEoR0iZWTZ6Pb8i_3YqC3UxBYf7vMSNlelGRM2-c8L3F6kWjR84wf60gu_5bQho9o/s1600/Table++bab+I.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="106" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5OSLXzSCmOeeJmKA756s9CwVyoWiA_QY4z9YiXZZMNsUvp2T88LNu2EHeAiyLBDzCOMVNhVbkI5GEoR0iZWTZ6Pb8i_3YqC3UxBYf7vMSNlelGRM2-c8L3F6kWjR84wf60gu_5bQho9o/s320/Table++bab+I.jpg" width="320" /></a></div>
<span lang="ES"> Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan ( global ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekomomi yang dialami oleh maing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragan secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan lain kata, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam ( plural ), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire ( pakar pendidikan pembebasan ), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara ganding” yang berusaha menjauhi realitas social dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"> </span>Pendidikan multicultural ( Multicultural Education ) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa ( Hilliard, 1991-1992 ). Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu menckup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata social dan agama.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
James Banks ( 1994 ) menjelaskan, bahwa pendidikan multicultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genegration. <span lang="SV">Yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genralisasi dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu. Kedua, theknowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran ( disiplin ). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ( culture ) ataupun social ( social ). Keempat, prejudice reducation, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran ( objek ) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang cirri-ciri umum peserta didik. </span>Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">lima</st1:city></st1:place> cirri yaitu:</div>
<ol start="1" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.</li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Mempunyai keinginan untuk berkembang kea rah dewasa.</li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l0 level1 lfo2; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.</li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<o:p> </o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikutural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia ( PD ) kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas ( keberagaman ) di Negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari Negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Mengenai focus pendidika multicultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multicultural, focus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan cultural domain atau mainstream. Focus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intercultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individual-individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominant, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti ( difference ), atau politics of recognition ( politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Dalam konteks itu, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhanya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan ( empowerment ) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Istilah “pendidikan multicultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multicultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM; demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Sebetulnya, konsep pendidikan multicultural, utamanya di Negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Pendidikan multicultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometime forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system”.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Di Amerika, misalnya, muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikultiralisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdidi dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi, di mata bangsa Anglo Saxon yang menyebabkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu adalah kawasan tak bertuan, dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Dari perespektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabeli secara generic dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal Negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru, yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. <span lang="SV">Atau dalam bahasa lain, sekolah lain, sekolah sebagai medium transformasi budaya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui system pendidikan pasa suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai system demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya, toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sehubungan dengan hal di atas, akhir-akhir ini di Indonesia sedang mencuat wacana baru dalam khazanah pemikiran pendidikan, yakni pendidikan multicultural. Sebagaimana diberitakan oleh salah satu media nasional di tanah air, bahwa saat ini perlu dibangun konsep pendidikan multicultural ( Kompas, 02/ 09/ 2004 ). Tentu, hal tersebut patut diapresiasi secara positif oleh semua kalangan yang peduli terhadap “nasib” pendidikan di negeri ini. Gagasan tersebut muncul dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satu di antaranya adalah globalisasi. Globalisasi melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehiduapan manusia di berbagai belahan bumi, termasuk imbasnya adalah kebudayaan bangsa ( culture and tradition ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Menurut HAR Tilaar, bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus hingga akhirnya kehilangan jati diri local dan nasionalnya. Pendidikan multicultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan budaya ( different of culture ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Prof. Dr. Sutjipto, dan Dr. Cut Kamaril Wardani. Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan penguatan budaya local ( local culture ). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada budaya local berisiko menimbulkan disintegrasi bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme selayaknya dikikis habis. Di sinilah urgensi pendidikan multicultural untuk dihindarkan dalam dunia pendidikan kita saat ini sebab, pendidikan merupakan instrument paling ampuh untuk memberikan penyadaran ( conscious ) kepada masyarakat, supaya tidak timbul konflik etnis, budaya dan agama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<ol start="2" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b>Paradigma Pendidikan Multikultural<o:p></o:p></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2004 ), Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: horizontal dan vertical. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertiakal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat social budaya.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="FI">Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah, Usman Pelly ( 1988 ) menyatakan bahwa, meskipun setiap Warga Negara Indonesia ( WNI ) berbicara dalam satu bahasa nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat-istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="FI"> Pada satu sisi, kemjemukan masyarakat memberikan side effect ( dampak ) secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negative, karena factor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan kanflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, kenflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan keridakharmonisan social ( social disharmony ). Pakar pendidikan, Syafri Sairin ( 1992 ), memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni : ( 1 ) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( acces to economic resources and to means of production ); ( 2 ) perluasan batas-batas social budaya ( social and cultural borderline expansion ); dan ( 3 ) benturan kepentingan politik, ideology, dan agama ( conflict of political, ideology and religious Interest ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="FI"> Menurut pandangan penulis, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multicultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragama, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri ( truth claim ) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="FI"> Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA ( suku, adat, ras dan agama ). Fakta tersebut sebetulnya menunjukkan kegagalan pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Symbol budaya, agama, ideology, bendera, baju dan sebagainya, itu sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita setuju dalam perbedaan ( agree in disagreement ). Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling baik amal perbuatannya ( bertaqwa ). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-que’an Surat al Hujurat ayat 13: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan ( Bapak dan Ibu ), dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa ( bermacam-macam umat ) dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang lebih taqwa. Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. ( Al Hujurat: 13 ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="FI"> Pendidikan multicultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk macro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar macro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="FI"> </span>Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>I.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya ( berperadaban )”.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>II.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis ( cultural ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>III.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis ( multikulturalis ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.75in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>IV.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span>Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<o:p> </o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
Menurut M. Khoirul Muqtafa ( 2004 ), paradigma multicultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintahan, dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang merupakan indikasi nyata hal ikhwal di atas.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
Sebagai tamsil adalah fenomena ( di )muncul(<st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">kan</st1:state></st1:place>)nya UU “kontroversi” sisdiknas yang sengaja didesakkan “kelomok mayoritas”. Masih munculnya keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang diperluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi ( Formalisasi Syariah ). Kasus RUU Kerukunan Beragama yang sangat kental dengan aroma intervensi Negara yang deterministic dalam kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multicultural dalam “nalar” bangsa ini.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-antropologis bangsa ini. <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> adalah masyarakat majemuk, baik secara horizontal maupun vertical. Secara horizontal, berbagai kelompok masyrakat yang kini dikategorikan sebagai “Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa atau ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya. Sedangkan secara vertical, berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-bedakan atas dasar meminjam istilah Karl Marx mode of production yang bermuara pada perbedaan kelas social dan budaya. <span lang="NO-BOK">Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk “mempersamakan” ( conformity ) atas nama persatuan dan kesatuan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="NO-BOK"> Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideology “monokulturalisme” yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan uniformitas, merupakan bukti nyata. Maka, tak aneh kalau kemudian monokulturalime ini memunculkan reaksi balik atau resistensi dari pihak lawan dan mengandung implikasi-implikasi negatif ( side effect ) bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan sejak 1999, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tidih dengan “etnisitas”. Politik identitas kelompok, seiring dengan menggejalanya komunalisme, makin menguat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="NO-BOK"> Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semubelaka. Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. </span><span lang="SV">Bahkan, tak jarang suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Ironis memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikan alasan dan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan alasan untuk bermusuh-musuhan atas nama perbedaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Factor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multicultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam menyikapi realitas multicultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya sebagaimana diungkapkan oleh Richard Rorty, seorang filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan dalam “toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjepak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri ( I am what I am not ). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh ( indifference ).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sampai di sini, layak kita meneguhkan kembali paradigma multicultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak ke aspek psikomotorik dan efektif. Peneguhan ini dimaksudkan untuk mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap Goodenough ( 1976 ), adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empiric. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multicultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan ( continue ). Di sinilah fungsi strategis pendidikan multicultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa system standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dalam melaksanakan pendidikan multicultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multicultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi dari tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<ol start="3" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b>Pendekatan Pendidikan Multikultural<o:p></o:p></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Men-design pendidikan multicultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, mengandung tantangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama, bahwa pendidikan multicultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Apalagi, jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-harinya mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominant, akan berjalan dengan aman dan harmoni?</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Dalam kondisi demikian, pendidikan multicultural lebih tetap diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city> beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan ( education ) dengan persekolahan ( schooling ), atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidikan dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiaasikan kebbudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan kelompok-kelompok social yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multicultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penusun program pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecendrungan memandang anak didik secara stereotype menurut identitias etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi ini siatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Keempat, pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan ( baik formal maupun non formal ) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Dalam konteks ke-Indonesia-an dank e-bhineka-an, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terejawatahkan dalam kelompok social dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendaat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat, yang menyatakan bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatua Negara, kebudayaan dan agama.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Jadi, dapat dipahami bahwa inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relative lama, sehingga individu-individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak social. Kondisi tersebut selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang membentuk individu tersebut adalah pendidikan atau, dengan istilah lain, masyarakat pendidik.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multicultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:</div>
<ol start="1" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat aadalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.</li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Masyarakat bergantungan pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melelui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.</li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.</li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.</li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-align: justify;">Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.</li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<o:p> </o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Bila penjelasan di atas ditarik di dunia pendidikan, maka akan tampak bahwa masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan keperibadian individu peserta didik. Sebab, keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber macro yang penuh alternative untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multicultural.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multicultural. <span lang="SV">Hal ini disebabkan adanya hubungan timbale balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memperdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan akan datang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<ol start="4" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b>Pendidikan Berbasis Multikultural<o:p></o:p></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pada decade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education, selanjutnya di singkat ( MBE ), telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Dalam terminology ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multicultural ( multicultural education ) seperti yang dipakai dalam konteks kehidupan multicultural Negara-negara Barat. Sejumlah definisi terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, karya seorang pakar pendidikan multicultural dari California State University, Amerika Serikat, Hilda Hernandez, telah diungkap dua definisi “klasik” untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam ( plural ) secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Dalam satu decade terakhir, Hernandez mengembangkan sebauh definisi operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas, banhasa, agama, dan perkecualian-perkecualian yang memenuhi, membentuk, dan mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil perkembangan seutuhnya dari konstelasi/ interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan ( citizenship ) dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV">MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, social dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sentematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifesikan melalui konteks, proses, dan muatan ( content ). MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan dan keunggulan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<ol start="5" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b>Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia<o:p></o:p></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Hingga saat ini, wacanapendidikan multicultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena actual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multicultural.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Perlu diketahui, bahwa di <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region> pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan multicultural yang dikembangkan di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> sejak dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ( otoda ). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional ( disintegrasi bangsa dan separatisme ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/ gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etniitas”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Model pendidikan di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, juga di Negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam proses pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognitif.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multicultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisii pendidikan .</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagai masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedy kemanusiaan tidak terulang kembali. Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dalam pertisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Model lainnya, pendidikan multicultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaraan, tetapi juga melakukan reformasi dalam system pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpang struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan social ( sense of crisis ), toleransi dan mengurangi prasangka antarkelompok.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multicultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multicultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES">( 1 ) transformasi diri; ( 2 ) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan ( 3 ) transformasi masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Selain itu, wacana pendidikan multicultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju ( snow ball ) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multicultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multicultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<ol start="6" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b>Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global<o:p></o:p></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="FI">Gambaran dunia saat ini tampak terasa semakin sempit. </span><span lang="SV">John Naisbit dalam Mega Trend 2000 juga menggambarkan demikian. Demikian pula Alvin Tofler seorang pakar sejarah dunia, juga menyebut demikian. Bahwa, Dunia telah menjadi kampung besar ( global village ), sebagaimana dikemukakan oleh ahli komunikasi Kanada, McLuhan. Bahwa, di era globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Apakah perbedaan mendasar antara pendidikan multicultural dan pendidikan global?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pendidikan multicultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman cultural, hak asasi manusia, dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Apa kaitan pendidikan multicultural dengan pendidikan global? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali perlu kita rumuskan beberapa inti dari pendidikan multicultural. Pendidikan multicultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya ( the pride in ones home nation ) dengan demikian, pendidikan global tidak mengurangi pengembangan kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa. Oleh sebab itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada pendidikan global, yang ada adalah pendidikan dalam perspektif global.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dalam pendidikan multicultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat local sampai kepada masyarakat dunia global James banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, yaitu:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotype kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsannya sendiri.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><span lang="SV">Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterkaitannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"><o:p> </o:p></span></div>
<ol start="7" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l1 level1 lfo1; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b>Menuju Multikulturalisme Global<o:p></o:p></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Berkenaan dengan cita-cita untuk mewujudkan tatanan multikulturalisme global, di sini patut dikemukakan tulisan Muhamad Ali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, berjudul “Menuju Multikulturalisme” ( kompas, 3 Januari 2004 ). Bahwa, dalam beberapa decade terakhir, masyarakat masih dipertontonkan hubungan internasional yang penuh gejolak. Ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ( USSR ) berakhir, ternyata sejarah konflik tidak benar-benar berakhir, sebagagaimana dugaan Francis Fukuyama dalam Magnum Opus-nya “The End of History, yang sangat fenomenal di Amerika.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Konflik Palestina-Israel dan invasi Amerika Serikat ( AS ) beserta sekutunya terhadap Irak, itu menunjukkan bahwa tata dunia belum seimbang dan belum stabil. Karakter baik-buruk manusia tidaklah berubah. Aktor-aktor masa kini, dengan berbagai nama dan identitas, baik yang lama maupun yang baru, ternyata tetap berselisih. Beberapa pendapat, kepentingan, ideology, agama, bahasa, kebudayaan, dan peradaban, itu semua menjadi alasan untuk saling berkonflik.realitas tersebut mengundang akademisi Amerika, Samuel P Huntington, untuk menulis karya kontroversialnya The Clash of Civilization ( Benturan antar Peradaban ). Karya tersebut, mempunyai asumsi dasar bahwa setelah kemenangan liberalisme dan kapitalisme global atas sosialisme komunisme, akan terjadi benturan peradaban antara budaya barat ( Amerika ) dengan budaya timur ( Islam ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Namun demikian, mesti kita sendiri bahwa karakter dunia hingga detik ini sebetulnya masih tetap multicultural. Jika di masa pra-modern kekuatan-kekuatan politik dalam bentuk dinasti, kerajaan, kesukuan, dan keagamaan yang dominan; di masa modern, Negara bangsa ( nation state ) menjadi actor yang sangat dominant, mengalahkan kekuatan-kekuatan lain. Nasionalisme pun menjadi plural. Individu dan kelompok telah menjadikan Negara-negara sebagai identitas yang sangat penting dalam hubungan antarmanusia.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Dalam batas Negara-bangsa ( nation statee ), manusia memiliki budaya yang majemuk ( plural ), tetapi pada saat yang sama, mereka memiliki identitas budaya yang satu. Negara-bangsa begitu kuatnya sehingga budaya telah menjadi tunggal dalam kebudayaan nasional. Meskipun berbeda-beda tetap satu” ( unity in diversity ) menjadi slogan tidak hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat, Malaysia, Kanada, Australia, dan banyak lagi Negara lain. Pada level ini, multikulturalisme dipahami dalam batas Negara-bangsa ( nation state ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Bagaimana dengan perbedaan budaya antarbangsa? Bagaimana kebudayaan Indonesia, misalnya, bisa berinteraksi dengan kebudayaan Malaysia, kebudayaan Thailand, kebudayaan Iran, kebudayaan Inggris, dan sebagainya?</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Multikulturalisme global berangkat dari kenyataan sejarah di mana budaya-budaya bangsa begitu majemuknya, sehingga monokulturalisme, budaya tunggal, tidak mungkin menjadi agenda sebuah Negara-bangsa untuk dipaksakan kepada bangsa-bangsa lain.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Pengertian budaya di sini tidak terbatas dalam seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas: agama, ideology, system hukum, system pembangunan, dan sebagainya.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Budaya dapat bersifat lintas Negara, tetapi ada juga budaya yang telah menjadi ciri khas Negara-bangsa tertentu. Misalnya, para pendiri Negara <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region> telah menjadikan Pancasila sebagai bagian dari budaya national, karena merupakan akumulasi dari nilai-nilai bangsa <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. <st1:country-region w:st="on">Malaysia</st1:country-region> juga merupakan Negara-bangsa yang berkembang dari berbagai unsure budaya, yaitu: <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Melayu</st1:city>, <st1:country-region w:st="on">India</st1:country-region></st1:place>, Tionghoa, dan lain sebagainya.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Terlepas dari berapa kesamaan cultural antara mayoritas orang <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region> dan orang <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Malaysia</st1:country-region></st1:place> seperti bahasa dan agama kedua Negara bangsa ini memiliki perbedaan system dan budaya pembangunan. Di sinilah multikulturalisme antarbangsa menjadi penting.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Hal tersebut merupakan contoh hubungan antardua Negara yang berdekatan secara geografis dan cultural. <span lang="SV">Bagaimana hubungan antarnegara-negara yang sangat berbeda seperti AS dan Irak? AS dan Indonesia? Bagaimana dengan bangsa-bangsa yang terpinggirkan dalam konstelasi politik dan ekonomi internasional seperti Palestina dan Kashmir?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Multikulturalisme-nya Charles Taylor, Etika Global-nya Hans Kung, Overlapping Consensus-nya John Rawls, Dialog Peradaban-nya Muhammad Khatami, serta nilai-nilai Asia dan Global Convivencia-nya Anwar Ibrahim merupakan tesis-tesis yang mengarah pada sebuah hubungan global yang harmonis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span>Pernah pula diusulkan berbagai tesis untuk membangun harmoni global, seperti World Peace Through World Law ( Clark and Sohn ) dan World Order Models Projects ( WOMP ). Di dalam berbagai tesis ini terdapat sikap menghindari absolutisme yang menegasikan segala yang lain, tetapi mendorong sikap skeptisisme epitimologis yang sehat, dan keinginan untuk bersikap kritis yang membuka jalan lagi bagi kemajemukan demi perdamaian global ( global peace ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Bentuk-bentuk multikulturalisme global bermacam-macam dan sangat kontekstual. Sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui integritas nasional Negara-negara lain juga menjadi bagian dari sikap multicultural. Begitu pula sikap warga-warga terhadap warga Negara lain, sikap orang “Barat” terhadap orang “Timur” dan sebaliknya.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES">Multikulturalisme global juga bisa terjadi antara nasionalisme agama dan Negara sekuler ( Juergens Meyer ), antara nasionalisme liberal dan nasionalisme liberal, dan sebagainya. Multikulturalisme global menghargai bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Multikulturalisme global menghindari sikap pemaksaan, seperti agresi militer dan pemaksaan budaya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Multikulturalisme global juga bisa berbentuk sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui masyarakat bangsa minoritas ( politics of recognition ). Namun, pengakuan atas identitas kebangsaan tidak berhenti pada pengakuan formal. Multikulturalisme global menuntut perhatian dari bangsa yang kaya terhadap bangsa yang miskin, bangsa yang maju terhadap bangsa yang terbelakang dan bangsa sedang berkembang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Menuju multikulturalisme global juga berarti menuju kemajemukan modernitas ( different modernities ). Misalnya saja, modernitas AS tidak selalu harus dipaksakan terhadap modernitas Irak, dan modernitas Malaysia berbeda dengan modernitas Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Pemikir Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiri, dalam Arab-Islamic Philosophy; a Contemporary Critique, misalnya, menawarkan modernisasi yang peduli dengan tradisi-tradisi budaya dan keagamaan karena “tidak ada satu modernitas yang absolute dan universal”. Yang ada adalah bermacam modernitas yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Modernitas Eropa berbeda dengan modernitas China, modernitas Jepang, modernitas Arab, modernitas Indonesia, dan seterusnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Perbedaan system moral membutuhkan dialog, bukan penghancuran yang satu atas yang lain. Lembaga-lembaga pendidikan dan budaya dapat menjadi model dialog, dengan cara mendorong diskusi yang jujur dan terbuka, Masyarakat yang memperjuangkan kebebasaan dan persamaan berdiri di atas perbedaan-perbedaan budaya. Janji moral multikulturalisme bergantung pada nilai-nilai saling mendengar dan saling menghargai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Multikulturalisme global tidaklah bertentangan dengan humanisme global. Karena, multikulturalisme global tidak berarti membenarkan segala bentuk pengungkapan budaya seperti terorisme dan kekerasan. Multikulturalisme global mengakui politik universalisme yang menekankan harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia ( human ). Tak ada warga dunia kelas satu dan warga dunia kelas dua. Humanisme, baik yang berdasarkan atas nilai-nilai transcendental seperti agama dan spiritualitas, maupun yang non-agama, sama-sama mengakui harga diri kemanusiaan ( humanity ). Menghargai perbedaan budaya ( different in culture ) adalah bagian dari nilai-nilai humanisme itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Contoh paling mutakhir tentang multikulturalisme global yang sejalan dengan humanisme global adalah bantuan humanitarian terhadap pemerintahan dan rakyat Aceh dan Sumetera Utara ( Sumut ) yang terkena musibah Gempa dan Tsumani. Dan sebelumnya bantuan kemanusiaan terhadap rakyat Iran yang baru saja terkena musibah gempa bumi, yang memakan korban lebih dari 30.000 jiwa dan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Negara-negara Barat ( Amerika ) dan Aceh, Sumut ( Indonesia ) dan Iran secara ideologis dan pemerintahan sangat berbeda, tetapi atas dasar nilai-nilai humanisme, Negara-negara Barat menyatakan belasungkawa dan memberikan bantuan ke Aceh, Sumatera Utara ( Sumut ) dan Iran. Perbedaan ideologis dan budaya tidak mencegah Negara-negara dunia untuk menunjukkan etos solidaritas dalam bermacam-macam bentuk.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"> Paradigma multikulturalisme global kiranya menjadi jawaban alternative untuk mengatasi keretakan hubungan internasional. Di tahun-tahun mendatang, benturan antar nasionalisme dapat dikurangi dengan sebuah perubahan sikap dan kebijakan berbagai pemerintahan dan masyarakat sipil, dari sikap curiga dan memusuhi ke sikap saling menghargai. Dan kemudian, bekerja dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama, seperti kekerasan, kemiskinan, dan kebodohan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<span lang="ES"><o:p> </o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<o:p> </o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b>DAFTAR BACAAN<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
<b><o:p> </o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Freire, Paulo, 2000, <i>Pendidikan Pembebasan</i> ( <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: LP3S )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Gollnick, Donna M. & Phillip C. Chinn, 2002, Multicultural <i>Education in a Plutalistic Society </i>( <st1:state w:st="on">New Jersey</st1:state> & <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Ohio</st1:state></st1:place>: Prentice Hall )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Hernandez, Hilda, 1989, <i>Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content</i> ( <st1:state w:st="on">New Jersey</st1:state> & <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Ohio</st1:state></st1:place>: Prentic Hall ).</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Maksum, Ali, Luluk Yunan Ruhendi, 2004, <i>Paradigma Pendidikan Universal</i> ( <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place>: IRCiSoD )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Pelly, Usman dan Asih Menanti, 1994, <i>Teori-Teori Sosial Budaya </i>( <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: Dirjen Depdikbud )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Paul Gorski, <i>Six Critical Paradigm Shifd for Multicultural Education and The Question We Should Be Asking</i>, dalam <a href="http://www.exchange.org/multicultural">www.exchange.org/multicultural</a>.</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Sleeter, C.E, 1999, <i>Making Choice for Multicultural Education: Five Approaches to Race, Class and Gender</i> ( <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">New York</st1:state></st1:place>: John Wiley & Sons )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Sairin, Syafri, 1992, <i>Telaah Pengelolaan keserasian social dari literature luar negeri dan hasil penelitian <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></i> ( <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: kerja sama meneg KLH dan UGM )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Stavenhagen, Rudolfo, 1996<i>, Education for a Multicultural World</i>, dalam Jasque Delors ( et all ), <i>Lerarning: the treasure within</i>, ( <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Paris</st1:city></st1:place>: UNESCO )</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia, serif; font-weight: normal; text-align: justify;">
Tilaar, H. A. R., 2002, <i>Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region> </i>( <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: Grasindo ).</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-62226128639141791272012-03-05T20:06:00.000-08:002012-03-06T00:07:48.443-08:00BAB II KONSEP DASAR HUBUNGAN ANTAR MANUSIA<br />
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMojyRsOTFZRr_ZokR3T3Qg1OzX8va9tlPLlGHU5wtQd5GsAfKmK5BNeC837bdFy5wxUd4d4pdi3A8QwFdnMwzFH3kVsXe03n6Fx9W1KcIavz734VYw7DauhOj7AK1JpiiQQJoKZA7Ejc/s1600/anak.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="167" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMojyRsOTFZRr_ZokR3T3Qg1OzX8va9tlPLlGHU5wtQd5GsAfKmK5BNeC837bdFy5wxUd4d4pdi3A8QwFdnMwzFH3kVsXe03n6Fx9W1KcIavz734VYw7DauhOj7AK1JpiiQQJoKZA7Ejc/s320/anak.jpg" width="320" /></a></div>
<span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: -0.25in;"> A.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-indent: -0.25in;">Siapa
<b>Manusia</b> itu?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqi2POVoxkiNlAgsHWb7jUX3SdcRrz01WdS9xUWyjQPndk8Pib0fAsjD9AhhrOB0TwES_REyhfNIHF4LUD8D6B-yqVrVw-GMRCj_fFtwBjjWGA23tksXwNsnbeXVPNJ6TYjs_3Szbt6lA/s1600/Table+bab+II+.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="87" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqi2POVoxkiNlAgsHWb7jUX3SdcRrz01WdS9xUWyjQPndk8Pib0fAsjD9AhhrOB0TwES_REyhfNIHF4LUD8D6B-yqVrVw-GMRCj_fFtwBjjWGA23tksXwNsnbeXVPNJ6TYjs_3Szbt6lA/s320/Table+bab+II+.jpg" width="320" /></a><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLBkSgn1eNTrf3a0gy-hC7PHBY9gF7WQADmq3FyzINhC2uv2BDPWdLkxxG5NjVAOtty5Ddq-G-dr9YHlMOyGM9UFUP07jOSEzsJ4TAwEYSGw6N-xZIckQp6IrHel-P4DX1uT0ern-jfK4/s1600/Table+BAB+2-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="256" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLBkSgn1eNTrf3a0gy-hC7PHBY9gF7WQADmq3FyzINhC2uv2BDPWdLkxxG5NjVAOtty5Ddq-G-dr9YHlMOyGM9UFUP07jOSEzsJ4TAwEYSGw6N-xZIckQp6IrHel-P4DX1uT0ern-jfK4/s320/Table+BAB+2-1.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Peta Konsep</td></tr>
</tbody></table>
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Anda pasti akan
heran dengan subjudul itu? </span><span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Apakah penulis ini
bukan manusia? Kalau penulis manusia,
mengapa membuat judul seperti itu? Anda akan menyangka bahwa penulis
memberikan pertanyaan tolol….. sudah jelas namun dipertanyakan. Banyak orang
akan berpikir seperti itu. Tidak salah ataupun keliru….. masalahnya, dapatkah
anda memberikan gambaran pengertian tentang manusia itu? Atau, jika ada orang
yang mengatakan bahwa anda seperti monyet, marah tidak anda? Tersinggungkah?
Atau justru mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengiyakan. Begitu
pula sebaliknya, apakah hal tersebut juga anda lakukan ketika ada orang yang
mengatakan bahwa anda seperti manusia?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Bagi anda yang
marah jika dikatakan seperti monyet, tidak keliru. Anda marah karena anda
merasa sebagai manusia yang dilecehkan karena dianggap seperti monyet. Tetapi
jangan-jangan, anda justru akan tersenyum dan tidak marah jika ada yang
mengatakan anda seperti manusia? </span><span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kalau itu yang terjadi, penulis justru
marah kalau dikatakan seperti manusia. Sebaliknya, penulis akan
mengangguk-anggukkan kepala jika ada yang mengatakan bahwa penulis seperti
monyet. Mengapa? Karena jika ada yang mengatakan saya seperti monyet berarti
saya masih manusia; sedangkan jika saya dikatakan seperti manusia artinya saya
bukan manusia – maka saya marah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Lantas, siapa sih
manusia itu? Para ahli biologi menyebutnya manusia adalah hewan yang berakal
budi. Mengapa? Karena dalam dunia <b>hewan, </b>manusia digolongkan <b>metazoa</b>
dengan <i>phylum</i> <b>chordata</b>, <i>subphylum</i>nya <b>vertebrata</b>
masuk dalam klas <b>mammalia</b> yang <i>orde</i>nya <b>primata</b>, <i>sub-orde</i>
<b>antropoidea</b>, keluarga dari <b>homonidae</b> dengan <i>genus</i> <b>homo</b>
masuk <i>spesies</i> <b>sapiens. </b></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Wacana seperti ini yang kemudian
melahirkan pengertian bahwa manusia adalah <b>makhluk biologis</b>. Disebut
makhluk biologis karena manusia memiliki tanda-tanda yang sama dengan makhluk primata
lainnya, yakni ditandai oleh:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Sebagian primata hidup di atas pohon,
hanya baboon dan manusia yang hidupnya di atas tanah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Anggota badannya mudah digerakkan,
terutama yang berusia muda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Jari-jari primata dapat memegang benda
kasar ataupun halus, mencengkeram, meraih dan fungsi lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">penglihatan primata lebih tajam, tetapi
penciumannya lebih buruk dari mamalia lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Otak primata relative lebih besar
volumenya daripada mamalia lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Manusia sebagai
makhluk biologis, sesuai dengan sifat dan kemampuannya maka diberikan berbagai
macam sebutan. Pertama, manusia disebut <b>homo sapiens</b> yakni dikategorikan
sebagai bagian dari zoology (Ilmu Hewan) yang dapat menggunakan sifat dan
kemampuan berpikir secara bijaksana, sehingga manusia juga disebut sebagai <i>makhluk
rasi</i>onal. Ke dua disebut <b>homo faber</b>, karena manusia mampu
menggunakan sifat dan kemampuannya untuk membuat dan mempergunakan alat. Ke
tiga disebut <b>homo loquens</b>, yakni makhluk yang dapat berbicara dan
berkomunikasi social. Ke empat disebut <b>homo sosialis, </b>karena sifat dan
kemampuannya untuk berkelompok (bermasyarakat). Ke lima disebut <b>homo
economicus</b>, karena menggunakan sifat
dan kemampuannya untuk mengorganisasi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ke enam disebut <b>homo religiousus</b>, disebut
begitu karena ia memiliki sifat dan kemampuan untuk berpikir dan menyadari
adanya kekuatan supranatural (Tuhan Yang Maha Segalanya). Ke tujuh disebut <b>homo delegans</b>, karena
sifat dan kemampuannya untuk mendelegasikan pekerjaan kepada yang lain dan
menyadari keterbatasannya. Ke delapan disebut <b>homo legatus</b>, karena sifat
dan kemampuannya untuk mewariskan kebudayaannya kepada generasi
berikutnya. Ke Sembilan disebut <b>Artis
creator</b>, karena sifat dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan
(estetika). Oleh karena itu, manusia memiliki berbagai macam sebutan yang
menunjukkan bahwa manusia itu makhluk multidimensional. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Manusia juga
disebut <b>makhluk Individu</b>, yaitu manusia merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan antara anggota tubuhnya yang satu dengan yang lain. Kata
Individu berasal dari kata latin ‘individuum’ artinya yang tak terbagi, entitas
yang terkecil. Dalam pemahaman ilmu social-budaya menunjuk pada tabiat kehidupan
jiwa manusia yang majemuk dengan peranannya dalam kehidupan social-budaya
manusia. Dengan kata lain, individu menunjuk kepada keterbatasan manusia
sebagai manusia perseorangan, manusia yang membutuhkan manusia lainnya, manusia
sebagai mahkhluk social-budaya yang otonom. Manusia dalam berbagai hal banyak
kesamaannya dengan yang lainnya, tetapi dalam banyak hal pula banyak
perbedaannya. Sejenis tetapi berbeda, setiap individu mempunyai keunikannya
sendiri. Keunikannya ini yang menjadikan tingkat peradaban yang berbeda, maka
akan menghasilkan deferensiasi social. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Keunikan individu
menjadi kepribadiannya. Tingkat kepribadian ini ikut menentukan dan mewarnai
dunia social-budaya. Kepribadian yang unsurnya pengetahuan, perasaan dan naluri
itu kemudian dikelola sedemikian rupa hingga melahirkan budaya, pola prilaku
dan budaya materi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Deferensiasi social
melekat dan berkaitan dengan dunia social-budaya manusia. Pemberian identitas
social kepada orang lain menjadi contoh konkrit deferensiasi social yang
melekat pada manusia, sedang saya seorang siswa yang paling (maha) dibanding
siswa lainnya ini adalah contoh konkrit dari deferensiasi social yang berkaitan
dengan dunia social-budaya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ernst Cassirer
(1944) memberikan pandangannya tentang manusia dan mencoba menggambarkannya
dalam satu istilah ‘<b>animal symbolicum</b>’. Dengan istilah ini, Cassirer
merangkum semua sebutan untuk manusia yang di uraikan di muka, sekalipun
istilah itu masih juga tidak mampu menghadirkan gambaran manusia secara utuh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Setiap individu merupakan suatu pribadi yang unik,
berbeda antara yamg satu dengan yang lain. Aku bukan kamu dan kamu bukan aku,
oleh karena itu kepribadian setiap individu juga berbeda. Kepribadian individu
sangat tergantung kepada factor: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">1<b>)<span style="letter-spacing: 0.1pt;"> Pengetahuan</span></b><span style="letter-spacing: 0.1pt;"> adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa
sescorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam
lingkungan individu itu ada bermacan-macam hal yang dialaminya melalui
penerimaan pancaindranya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang
lain, sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran autistik (suara), bau,
rasa, sentuhan, tckanan rnekanikal (bcrat-ringan), tckanan termikal (panas-dingin)
dan sebagainya yang masuk kedalam sel-sel tertentu dibagian-bagian tertentu
dari otak.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; letter-spacing: 0.1pt; line-height: 115%;">Seluruh proses akal manusia yang sadar (<i>conscious</i>) tadi dalam ilmu
psikologi disebut "persepsi". Sementara itu, penggambaran baru dengan
banyak pengertian tentang keadaan lingkungannya, disebut "apersepsi".
Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi karena pemusatan akal
yang Iebih intensif, disebut "pengamatan".<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; letter-spacing: 0.1pt; line-height: 115%;">Adapun penggambaran abstrak tentang sesuatu berdasarkan penggabungan dan
perbandingan dengan penggambaran lain yang sejenis berdasarkan azas-azas
tertentu secara konsisten disebut "konsep". </span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; letter-spacing: 0.1pt; line-height: 115%;">Sebaliknya adapula penggambaran baru yang kadangkala <sub>.</sub>juga tidak
realistik , disebut "fantasi".<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .6in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; letter-spacing: 0.1pt; line-height: 115%;">Seluruh penggambaran, (persepsi),
apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur
pengctahuan seseorang individu yang sadar. Selain itu, banyak pengetahuan atau
bagian-bagian dari himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu
selama hidupnya, seringkali hilang dari alarn akalnya yang sadar atau </span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dalam kesadarannya
dengan berbagai sebab, disebut "alam bawah sadar" (subconscious),
kemudian ada pula pengetahuan individu yang saling baur dan tercampur, disebut
"alarn tak sadar" (unconscious).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .6in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .6in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">2) Kecuali pengetahuan, alam kesadaran manusia juga
mengandung berbagai macam "<b>perasaan</b>" . Perasaan adalah suatu
keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilairrya sebagai
suatu keadaan positif atau negatif.Suatu perasaan selalu bersifat subjektif
karena adanya unsur penilaian tadi, biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam
kesadaran seorang individu. Kehendak itu bisa bersilat positif artinya individu
tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasanya sebagai suatu hal yang akan
rnemberikan kenikmatan, keuntungan, kebahagiaan kepadanya , atau bisa juga
negatif, artinya ada upaya untuk menghindari, menjauh, tidak senang, merasa
tidak enak dan sebaginya dari hal yang dirasanya sebagai hal yang akan mcmbawa
perasaan tidak nikmat padanya. Suatu kehendak keras untuk mendapatkan sesuatu,
dinamakan "keinginan" . perasaan dan upaya keras untuk mendapatkan
suatu itu, juga disebut "emosi" .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .6in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 0in; margin-right: .4in; margin-top: 0in; tab-stops: 5.7in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">3) Setiap individu memiliki <b>dorongan naluri</b>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Dengan pengetahuan dan
perasaannya maka dorongan naluri harus dikelola sedemikian rupa agar antara
yang satu dengan yang lain menyadari bahwa kita sama dan sederajat (apalagi
dihadapan Sang Pencipta). Dalam proses mengelola dorongan naluri inilah
nilai-nilai sosial tentang cinta-kasih (bahkan diajarkan oleh Tuhan sendiri
melalui nabi-nabiNya), tanggung jawab, pengabdian, keadilan, pandangan hidup, keindahan,
penderitaan, kegelisahan dan harapan bermunculan dalam berbagai versi sangat
tergantung kepada kepribadian setiap individu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Manusia juga
disebut sebagai <b>makhluk cultural</b>. Manusia merupakan kelompok makhluk
yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi dalam proses evolusi sehingga memiliki
kedudukan yang khusus di dalam ekosistem alam sekitarnya. Perbedaan yang utama
bahwa manusia dikaruniai Tuhan selain kecerdasan juga akalnya. Dengan akal
inilah maka membedakan secara mutlak manusia dengan binatang. Manusia dengan
akalnya dapat berusaha membantu tubuhnya menghadapi berbagai keadaan, berbagai
tempat dan cara hidup, sehingga lebih luas dalam menyesuaikan diri dengan alam
sekitar, di mana ia hidup. Dengan akalnya manusia membuat alat-alat yang dapat
digunakan untuk melengkapi dirinya alam keadaan tertentu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dengan kecerdasan
otaknya dapat membantu tubuhnya dan mempermudah hidupnya. Misalnya ia tidak
perlu memanjat pohon untuk mengambil buah-buahan, hal itu dapat dilakukan
dengan menggunakan galah. Apa yang dibuat dan diciptakan pada awalnya terbatas
pada benda-benda yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Pertama kebutuhan
untuk makan maka alat-alatnya berkaitan dengan upaya mencari makan. Kedua yaitu
alat yang digunakan untuk menyambung akal sehingga mengalami kemajuan dan
semakin luas bentuk alat-alat tersebut dan kegunaanya. Hal ini mempermudah
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan menjadi dasar perekonomian dalam
lingkungan sosial dengan kerja yang teratur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Semua kemampuan
manusia itu dilandasi oleh dorongan naluri yang dimilikinya, ditambah dengan
kemampuan akal pikirannya, maka jadilah manusia yang seperti anda-anda
bayangkan saat ini. <b>Dorongan naluri</b> yang dimiliki oleh manusia adalah
sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri untuk mempertahankan
hidup<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri untuk mencari makan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri untuk mencari teman<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri untuk meniru<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri untuk sex<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">f.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri untuk mengabdi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level2 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">g.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dorongan naluri akan keindahan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dorongan naluri-dorongan naluri itu diolah dengan akal-pikirannya
menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki oleh semua manusia di dunia.
Keinginan atau hasrat disertai dengan keindahan akan melahirkan kesenian.
Keinginan atau hasrat mengatur alam sekitar dalam menghadapi tenaga alam yang gaib menimbulkan kepercayaan
dan keagamaan. Keinginan untuk mengetahui apa yang dihadapinya akan menimbulkan
ilmu pengetahuan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Semua ciptaan
manusia merupakan hasil usaha untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan
baru sesuai kebutuhan jasmani dan rohaninya dikenal dengan<i> kebudayaan. </i>Sehingga
manusia memiliki dua bagian yang tidak dapat dilepaskan yaitu segi kebendaan
adalah buatan manusia merupakan perwujudan dari akal yang hasilnya dapat diraba
atau nyata. Segi kerohanian yaitu alam pikiran dan kumpulan perasaan yang
tersusun teratur dan tidak dapat diraba hanya dapat dipahami dari keagamaan,
kesenian, kemasyarakatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Manusia juga
disebut <b>makhluk politik</b> (zoon politicon). Dalam setiap interaksi dengan
manusia lain, selalu terdapat kepentingan sekalipun kepentingannya itu
tersembunyi. Manusia selalu menginginkan pengakuan akan eksistensinya, sehingga
manusia akan berdaya-upaya agar kepentingannya itu terpenuhi. Oleh karena itu,
manusia akan menggunakan seluruh kemampuan akal pikirannya untuk menyusun
strategi untuk mempengaruhi manusia lainnya. Pada ranah ini manusia mulai
berpolitik, dengan argumentasi-argumentasi yang disusun dalam pikirannya, manusia
menyembunyikan kepentingannya. Paling tidak, manusia yang satu akan
mempengaruhi manusia lainnya, dengan maksud agar ia mempunyai pengikut. Jika
sudah demikian maka mulailah manusia membuat kelompok, karena aku dan kamu
sependapat maka menjadi kita. Dia-dia bukan kita, tetapi mereka; ketika bertemu
dengan mereka maka kita menjadi kami. Dan selanjutnya, manusia mengenal dan
mengenakan identitas sosialnya agar mudah menandai siapa kawan dan siapa yang
‘the others’ (yang bukan kawan), siapa ‘orang dalam’ dan siapa ‘orang luar’. <b>Untuk
lebih jelasnya silakan simak bab Politik Identitas. <o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Lantas, mengapa
sering terjadi yang tadinya kawan berubah menjadi lawan? <i>Homo homini lupus</i>,
manusia adalah srigala bagi manusia lainnya. Hal itu disebabkan sifat manusia yang dinamis.
Pikiran manusia itu tidak dapat diikat oleh waktu maupun tempat. Detik ini ia
bicara kedelai, sebentar kemudian sudah menjadi air tahu, besok sudah menjadi
tempe. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk <b><i>homo duplex</i></b><i> </i>yang memperlihatkan sifat-sifat yang paradox
(bertentangan). Misalnya, disatu pihak ia menjadi konsumen produk masyarakat,
dipihak lain ia juga menjadi produsen produk masyarakat; disatu pihak ia
menjadi pengendali masyarakat (controler) dipihak yang lain ia menjadi obyek yang
dikendalikan masyarakat; satu
sisi menjadi pengaman masyarakat, dipihak lain menjadi perusak masyarakat. Pada
satu sisi ia menjadi penegak nilai-nilai social, dan disisi lain ia menjadi
pelanggar nilai-nilai social. Manusia itu hakim sekaligus terdakwa, bertindak
sebagai jaksa dan juga pada saat yang sama ia akan bertindak sebagai pembela. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hakekat manusia
sebagai homo duplex tersebut, dapat diungkapkan sebagai mahluk yang dikuasai
oleh nafsu hewani di satu pihak; dan dipihak lain dikendalikan oleh “semangat malaikat”. Sifat manusia seperti itu, menurut Zijderveld
menunjukkan Manusia merupakan individu yang unik. Baik kehidupannya, cara
berfikirnya, emosinya, kesadarannya, dan segala tingkah-lakunya serta
tindakannya. Dipihak yang
lain, pada saat yang sama, manusia merupakan anggota dari jenisnya, menjadi
mahluk sosial yang diatur oleh norma sosial yang membatasi cara berfikir,
pengungkapan perasaan, dan tindakannya sesuai dgn peraturan serta pola masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Manusia sebagai
individu, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, sedangkan
sebagai mahluk sosial ia harus bertindak sesuai dengan pola masyarakatnya dan
bertanggug jawab serta mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada masyarakat. Pada tataran ideal, Manusia
yang dapat menyeimbangkan kedua hakekat tersebut, merupakan manusia yang dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat. Ia benar-benar dapat
mengungkapkan dinamikanya secara seimbang. Nyatanya, sering dilindas oleh
dinamikanya sendiri. Dinamika
manusia yang memadukan manusia dengan sesamanya dan dunia lingkungannya,
memadukan ‘dunia sosial’ yang penuh makna dengan ‘dunia alamiah’ yang penuh
keteraturan, regularitas. Dunia sosial dunia yang serba tidak teratur,
meloncat-loncat, hari ini senang lima detik berikutnya sedih. Menghayati dan mendalami
hakekat kehidupan manusia memerlukan penginderaan dan kepekaan terhadap
gejala-gejala seperti digambarkan di muka, yang meliputi sikap dan tingkah laku
serta seluruh kepribadiannya sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Kemampuan seperti itu, selain dapat diperoleh dari mempelajari
bidang keilmuan yang berhubungan dengan gejala-gejala bersangkutan, juga dapat
diperoleh dari latihan penghayatan terhadap gejala serta masalah sosial yang
terjadi di sekitar kita. </span><span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kita
harus melakukan penginderaan, pengamatan dan penghayatan tentang apa yang kita
alami di masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="mso-list: l4 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">B.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><b><span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konsep Dasar Hubungan Manusia: Manusia
membutuhkan manusia lainnya<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Meskipun manusia itu makhluk individu
namun ia tidak akan sanggup untuk hidup sendirian di muka bumi ini. Coba anda
perhatikan kisah Penciptaan! Mengapa Tuhan menciptakan Hawa? Mengapa Adam tidak
dibiarkan sendirian oleh Tuhan? Yah…. Jawabannya dapat berbagai macam, tetapi
intinya manusia tidak dibiarkan hidup sendirian oleh Tuhan. Oleh karena itu,
manusia tidak akan sanggup hidup sendirian. Jika manusia hidup sendirian, maka
manusia tidak akan dapat menyalurkan berbagai macam dorongan naluri yang
dimilikinya. Manusia tidak akan dapat berkembang sebagai individu yang utuh.
Manusia tidak akan memiliki kebudayaan dan manusia tidak akan memenuhi dunia
seperti sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia itu HIDUP, dinamis
perkembangannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Lantas, untuk apa hidup? </span><span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Untuk menjawab
pertanyaan itu, mari kita berangkat dari proses siklus hidup manusia. Ketika
seorang anak manusia dilahirkan mengapa harus menangis, sebab kalau tidak menangis
justru orang-orang dewasa di sekitarnya mulai kawatir terhadap anak itu. Justru
dengan menangis, bayi itu memberi sinyal sedang <b>belajar</b> bernafas, sebab
tanpa bernafas ia tidak akan hidup. Bahkan menetek pun, seorang bayi tidak
lantas otomatis pandai menetek tetapi ia harus <b>belajar </b>dengan bimbingan
sang mama. Si bayi terus menerus berkembang dan <b>belajar</b> banyak hal.
Mulai dari tengkurap, merangkak, berdiri dan kemudian baru <b>belajar</b>
berjalan. Semua itu adalah proses <b>belajar</b> yang harus dilalui dan dialami
oleh si bayi, hingga ia dapat berlari dan menjadi manusia mandiri. Tentu dengan
syarat, selama si bayi itu mendapatkan kasih-sayang (asih), pengawasan (asuh)
dan bimbingan (asah). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dengan kata lain
ilustrasi di atas, mengajak anda untuk memahami konsep-konsep dasar hubungan
antar manusia. Pertama, seorang manusia agar dapat berhubungan dengan manusia
lainnya maka harus ada <b>kontak </b>terlebih dahulu. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ibarat orang hendak
menelpon seseorang, maka ia akan memperhatikan nada sambungnya terlebih dahulu.
Nada sambungnya menunjukkan sibuk atau tidak, ini sama dengan harus kontak
terlebih dahulu. Kedua, setelah ada tanda-tanda kontak baru kemudian terjadilah
<b>komunikas</b>i. Dalam proses komunikasi ini, terjadi berbagai macam
hubungan, mulai dari hubungan yang baik-baik hingga hubungan yang berakhir
buruk. Komunikasi yang baik, biasanya ditandai dengan canda-tawa, saling
pandang, saling merespon maksud dari lawan komunikasinya. Dengan demikian
terjadilah apa yang disebut interaksi antar manusia (interaksi sosial). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Interaksi social</span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> merupakan dasar
(factor utama) dalam proses-proses social. Artinya, interaksi sosial merupakan
kunci dari seluruh kehidupan sosial. Manusia hanya dapat dikatakan sebagai
makhluk sosial, apabila ia mampu berinteraksi dengan orang lainnya, tanpa
interaksi sosial maka kehidupan sosial tidak akan pernah mungkin terjadi.
Perhatikan semut, mereka setiap bertemu selalu beradu kepala, saling membau
sebagai tanda ’aku kawanmu’, ’aku orang diri’. Selama proses interaksi sosial
terjadi, maka biasanya para komunikator itu saling bergaul, saling bertengkar,
saling berkawan dan saling bermusuhan dan kemudian menghasilkan apa yang
disebut dengan <b>nilai dan norma sosial</b>.<b> <o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Interaksi sosial </span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">merupakan hubungan
yang dinamis dalam bentuk sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgO4gzqVHiwfNG3zEqPbIOAlC1VoqgJeoE-tg1-bhAiIX7-q6PZcnfhQUeFIQVOAhXxXlEGbJIka7FTQNMT6i5vkVOox7q1xJhyphenhyphenAS_8ChhB1G2YmIHBmF4O6wb6FWDCPY1IZd7bm9dJTJg/s1600/Table+BAB+II.3+.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="162" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgO4gzqVHiwfNG3zEqPbIOAlC1VoqgJeoE-tg1-bhAiIX7-q6PZcnfhQUeFIQVOAhXxXlEGbJIka7FTQNMT6i5vkVOox7q1xJhyphenhyphenAS_8ChhB1G2YmIHBmF4O6wb6FWDCPY1IZd7bm9dJTJg/s320/Table+BAB+II.3+.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
</div>
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td height="32" width="99"></td>
<td width="103"><br /></td><td width="75"><br /></td><td width="4"><br /></td><td width="1"><br /></td><td width="102"><br /></td><td width="13"><br /></td><td width="3"><br /></td><td width="62"><br /></td><td width="14"><br /></td><td width="4"><br /></td><td width="102"><br /></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Suatu kerjasama yang terjadi dalam
masyarakat, suatu waktu dapat berubah menjadi suatu persaingan yang berujung
pada suatu pertikaian. Suatu pertikaian tidak akan selamanya berlangsung, maka
akan tercipta akomodasi hingga akhirnya akan kembali menjadi suatu proses
kerjasama. Jika suatu proses akomodasi dapat tercipta dalam kondisi yang
asosiatif, maka akan diikuti oleh proses asimilasi dan akulturasi. Akan tetapi,
jika tercipta dalam kondisi yang dissosiatif maka yang akan berkembang adalah
proses persaingan yang akan berujung pada pertikaian (baik dalam bentuk
ketegangan maupun konflik).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Dalam
proses kerja sama pasti ada norma dan nilai-nilai yang diberlakukan secara
bersama dan di taati bersama. Ada kesepakatan yang dibuat dan digunakan bersama
dengan sanksi yang disepakati bersama pula. Agar norma dan nilai ini dapat diakomodir
oleh semua pihak maka kemudian kelompok yang terlibat itu akan saling
berkomunikasi untuk membuat wadah sosial yang dapat menampung seluruh aspirasi
anggotanya, yang disebut dengan lembaga sosial (institusi sosial).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> <b>Lembaga sosial</b> (institusi
sosial) pengertiannya ada dua, yang berbentuk material dan non material.
Pengertian institusi sosial yang berbentuk material adalah lembaga yang berupa <i>wadah</i>
bagi persatuan orang untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya: sekolah menengah
atas negeri I, yang terdiri dari pengurus sekolah, pengelola, guru, murid dan
komite sekolah. Pengertian ini sama dengan istilah <i>asosiasi sosial</i>.
Pengertian lain yang berbentuk non-material adalah apa yang disebut sebagai <i>pranata
sosial</i>, yakni norma-norma dan nilai-nilai yang diberlakukan untuk mengatur
hubungan antar pengurus, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Jadi <b>lembaga
sosial</b> (institusi sosial) adalah himpunan dari norma-norma sosial yang
menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Istilah lembaga
sosial dalam kehidupan sehari-hari sulit dipahami karena membingungkan. Secara
implisit, lembaga sosial mempunyai fungsi sosial sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l0 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Memberi pedoman kepada anggota-anggota
masyarakat, tentang bagaimana harus berbuat dan bersikap dalam pergaulannya di
masyarakat;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l0 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menjaga keutuhan masyarakat;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: .75in; mso-list: l0 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Memberikan pegangan untuk pengendalian
sosial (social control) terhadap prilaku anggota masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Agar supaya hubungan antar manusia dalam
suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakanlah
norma-norma sosial yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Norma sosial</span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> yang dibangun dan
dihasilkan itu akan berguna untuk menjadi ’koridor’ bagi dinamika sosial
manusia dalam berinteraksi. Dengan demikian, norma sosial merupakan aturan main
para anggota masyarakat dalam berinteraksi. Norma sosial dibagi dalam empat
tingkatan, mulai dari tingkat yang paling longgar sanksinya hingga tingkatan
yang paling berat sanksinya. Pertama, disebut <b>cara (usage) </b>yang menunjuk
pada suatu perbuatan. Misalnya saja: cara makan, cara tidur, cara ngomong,
setiap individu pasti berbeda-beda. Ada orang yang cara makannya ”heboh”,
mulutnya berbunyi mengecap, tangannya kanan-kiri digunakan dan sajian di meja
makan berantakan. Tetapi ada juga yang cara makannya sangat diam, diatur, dan
sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, sajian di meja makan dijaga agar tetap
rapi. Perbedaan pada cara hanya menimbulkan sanksi cemoohan saja. Kedua, <b>kebiasaan (folkways)</b>
yakni menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kalau
cara makannya saja heboh, maka cara itu jika diulang-ulang akan menjadi
kebiasaan makan heboh. Kebiasaan jika dilanggar maka sanksinya dapat berupa
jadi bahan omongan orang sekitar. Ketiga, <b>tata-kelakuan (mores)</b> yakni
menunjuk pada kebiasaan yang dianggap sebagai cara berprilaku dan diterima
sebagai norma pengatur. Sanksi bagi pelanggar berupa pengucilan, pe-marginal-an.
Ke-empat apa yang disebut <b>adat (istiadat – customs)</b> yakni menunjuk pada
tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku
masyarakat. Bila adat dilanggar maka sanksinya berwujud denda adat yang
besarnya tergantung kepada berat-ringannya pelanggaran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Norma sosial dapat
menjadi pranata sosial jika melalui proses berikut: (a) <b>institutionalization</b>,
proses pelembagaan yang meliputi norma sosial baru yang dikenal, diakui,
dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari; (b) <b>internalized</b>,
proses pelembagaan yang meliputi norma tersebut kemudian menjadi ”darah daging”
dalam jiwa angota-anggota komunitasnya. Dalam pemahaman seperti ini, menjadi
sulit kiranya untuk mengatakan pranata sosial atau norma sosial yang lebih
penting. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa hal itu diperlukan ketika kita
akan menganalisisnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari justru agak sulit
untuk memilah mana yang pranata dan mana yang norma. Norma sosial harus ditaati
oleh seluruh anggota masyarakat, lebih khusus lagi anggota komunitas (kelompok
pendukung kebudayaan), oleh karena itu diperlukan pengawasan sosial (social –
control). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hubungan antar
manusia hanya akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan jika norma-norma
sosialnya dijaga dan difungsikan sebagaimana mestinya dan sesuaikan dengan
tuntutan jaman. Hubungan antar manusia menyebabkan terjadinya perubahan dan
perkembangan masyarakat. Sebelum terjadi perubahan maka biasanya didahului oleh
proses-proses sosial terlebih dahulu, yakni proses interaksi sosial. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa proses-proses sosial adalah cara-cara
berhubungan yang dapat dilihat apabila anggota atau kelompok masyarakat saling
bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan. Dengan kalimat
lain, pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama menyebabkan
perubahan dan perkembangan masyarakat, inilah yang disebut dengan dinamika
sosial.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hubungan antar
manusia menghasilkan kehidupan bersama, kehidupan bersama hanya akan terjadi
kalau ada proses interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan
kunci dari semua kehidupan sosial. Meskipun secara jasmaniah manusia saling
bertemu, saling bersinggungan, saling melihat, tetapi belum tentu (bahkan tidak
akan) menghasilkan pergaulan hidup dalam kelompok sosial. Contohnya adalah
penonton film di bioskop, penonton sepakbola, atau orang-orang yang berkerumun
disekeliling tukang obat di pasar, merupakan contoh kelompok manusia yang bukan
kelompok sosial. Kelompok jenis ini disebut crowd (kerumunan). Pergaulan hidup
atau <b>interaksi sosial</b> baru terjadi manakala para anggotanya saling
mengadakan <b>kerjasama</b>, saling bertegur-sapa dsb.nya untuk mencapai tujuan
bersama. Tentu saja dalam proses kerja sama ini dapat mengakibatkan adanya <b>persaingan</b>,
dan ketika persaingannya memanas maka akan berubah menjadi <b>pertikaian</b>.
Adanya pertikaian dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan, maka kemudian
diperlukan proses <b>akomodasi</b> – proses penyelarasan kembali agar
pertikaian kembali menjadi kerjasama baru. Begitu seterusnya dengan landasan
dasar belajar dari pengalaman.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Di situ ada proses
belajar yang merupakan representasi dari konsep dinamika sosial. Oleh karena
itu, guna membahas masalah di atas, saya berangkat dari konsep tersebut. Untuk
itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dinamika sosial, agar
pemahaman kita berangkat dari satu titik start yang sama. Dengan berangkat dari
titik start yang sama berarti kita menyamakan persepsi; sehingga pembahasannya
menjadi lebih terarah, tidak bertabrakan tetapi terus saling bersinggungan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dinamika sosial</span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">, di dalamnya
berisi proses internalisasi (<i>internalization</i>), sosialisasi (<i>socialization</i>),
dan enkulturasi (<i>enculturation</i>) (Koentjaraningrat, 1980). Ke tiga
istilah ini menunjuk pada proses belajar di dalam masyarakat, dengan kata lain
masyarakat merupakan wahana pendidikan mengenai hubungan antar manusia bagi
setiap anggotanya. Bagaimana pengertian ke tiga istilah tersebut?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Pertama,
saya mulai dari istilah <b>internalisasi</b>. Maksud daripada istilah ini
adalah menunjuk pada proses panjang seorang anak manusia dari sejak ia
dilahirkan, hingga ia hampir meninggal. Selama hidupnya ia belajar dan
memperoleh pengalaman mengenai perasaannya, hasratnya, nafsunya, dan emosinya;
sehingga ia dapat hidup bersama dengan anak manusia lainnya. Ia belajar
bagaimana ”rangsangan” itu datang dan bagaimana ia harus memperoleh dan
mengelolanya, agar ia terpuaskan. Setiap hari selama ia masih hidup, maka ia
bertambah pengalamannya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
perasaannya (secara antropologis, ia belajar memperoleh kesenangan,
kegembiraan, perhatian, kebencian, kecintaan, benar – salah, malu dan
lain-lain; secara sosiologis, ia mempunyai keinginan untuk menjadi satu dengan
suasana alam sekelilingnya); hasratnya (secara antropologis, ia ingin
menyalurkan hasrat untuk bergaul, meniru, mencari tahu, berbakti, keindahan dan
lain-lain; dan secara Sosiologis ia mempunyai keinginan untuk bersatu dengan
manusia lainnya/masyarakat). Semua itu diperolehnya melalui proses belajar yang
disebut dengan istilah internalisasi. Apa yang diperolehnya itu kemudian
menjadi milik kepribadiannya yang khas, unik dan berbeda dengan orang lain.
Mengapa ia harus belajar itu semua? Hal itu dikarenakan setiap orang mempunyai
dorongan naluri untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, yang dalam
Sosiologi disebut dengan istilah <b>gregariuosness</b>. Dengan demikian tidak
mengherankan kalau ada ahli Antropologi atau Sosiologi yang menyebut manusia
sebagai <i>social animal</i> (makhluk sosial).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Ke
dua, istilah <b>sosialisasi</b> dimaksudkan menunjuk pada proses belajar dari
seorang manusia tentang pola-pola berprilaku dalam hidup bermasyarakat dengan
berbagai macam peranan sosialnya, dan proses ini dilakukan dari sejak masa
kanak-kanak hingga masa tuanya. Agar mempermudah mendapatkan gambaran tentang
sosialisasi, maka mari kita bandingkan dua anak manusia, yang satu dilahirkan
ditengah keluarga pejabat di kota dan yang lainnya dilahirkan ditengah keluarga
biasa di kampung/desa. Si anak pejabat dari lahir sudah dikelilingi dengan
berbagai ”fasilitas”. Ada pembantu, bahkan baby sitter, ada ibunya bahkan
neneknya, yang masing-masing memberikan perhatian dan kasih sayang dengan pola
prilaku yang berbeda. Selama pertumbuhan awalnya itu, ia sudah harus menghadapi
berbagai tokoh sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan tokoh-tokoh itu,
sehingga ia memiliki hubungan sosial yang lebih intensif dan kemudian mendorongnya
menjadi individu yang mudah mengutarakan isi hati serta menerima maksud dan
pikiran orang lain. Sebaliknya, si anak ”kampung” yang paling intensif
berhubungan dengan ibunya. Kalau ia mempunyai kakak, kakaknya sudah asyik main
sendiri paling hanya sekali-kali. Oleh karena itu, biasanya anak ”kampung”
cenderung menjadi individu yang tertutup, pemalu dan cenderung kesulitan untuk
menyampaikan isi hatinya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Perbedaan ’kepandaian’ yang
dimiliki (oleh anak pejabat dan anak
desa itu) melalui proses belajar dan akan dijadikan miliknya yang kemudian
dikembangkan secara turun temurun. Hal ini dilakukan secara horizontal dalam
kelompoknya yang berbeda-beda sehingga penggabungan orang-orang yang disengaja
disertai aturan-aturan mengenai hubungan antara satu dengan yang lainnya akan
menimbulkan perbedaan. Oleh karena itu, norma social yang berkembang di kota
berbeda dengan yang di desa. ada proses <b>inkulturalisasi </b>dalam keluarga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Ketiga, konsep <b>enkulturalisasi</b>.
Istilah ini maksudnya adalah bahwa manusia mewariskan kebudayaannya kepada
generasi berikutnya. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan utama dalam
kehidupan sosial manusia. Keluarga merupakan kelompok primer bagi seorang anak
manusia, di dalam keluarga terbentuklah <i>frame of reference</i> dan <i>sense
of belonging</i>. Di dalam keluarga, manusia pertama kali memperhatikan hasrat
keinginan orang lain, meniru pola prilaku individu yang yang menjadi
reference-nya, belajar memberi dan menerima dari orang lain. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Gabungan dari hal
yang terkecil yaitu antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan bentuk
keluarga. Gabungan yang lebih besar yaitu keluarga dengan keluarga yang disebut
masyarakat. Maka pengalaman satu anggota keluarga yang diturunkan pada anggota
lainnya termasuk kepandaiannya. Cara menurunkan kebudayaan tersebut karena
manusia diberikan kepandaian berbicara. Bahasa adalah alat perantara yang
paling utama bagi manusia. Dengan bahasa maka manusia dapat memahami sesuatu
bersama-sama, dapat mendengar dari orang lain, ditambah pengamalannya sendiri
sehingga semakin luas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Keluarga merupakan
unit sosial terkecil dalam masyarakat yang bersifat universal, yang memberikan
fondasi bagi perkembangan individu dan kepribadiannya. Oleh karena itu,
keluarga merupakan inti dari masyarakat, seperti kata Cooser (1967) bahwa
keluarga merupakan mediator dalam mengaktualisasikan dan men-sosialisasikan
nilai-nilai sosial. Dari sisi ini, tampak bahwa keluarga mempunyai fungsi
pendidikan bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Kalau keluarga
merupakan inti masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat juga mempunyai
fungsi pendidikan bagi setiap individu yang menjadi anggotanya. Keluarga
menjadi guru pertama (dan utama) bagi setiap individu, dan masyarakat menjadi
’guru besar’ bagi setiap individu. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dengan kata lain masyarakat sebagai
salah satu wahana pendidikan kebudayaan. Dengan demikian masyarakat mempunyai
kewajiban untuk mendidik generasi berikutnya agar mereka menjadi manusia-manusia
yang mampu menghargai manusia lainnya. Kemampuan manusia terbatas dari apa yang
didapat dalam masyarakat, karena berbeda-beda kepentingannya dan prioritas yang
digunakan dalam hidupnya, meskipun terjadi dalam lingkungan yang sama. Sehingga
pendukung kebudayaan bukanlah manusia secara individu tetapi juga masyarakat
secara umum. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<b><span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dinamika sosial</span></b><span lang="FI" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> dapat
didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu
bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu
berubah-ubah. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dinamika sosial mempunyai beberapa tujuan, antara lain:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: .75in; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Membangkitkan kepekaan diri seorang
anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan
rasa saling menghargai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: .75in; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menimbulkan rasa solidaritas anggota
sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: .75in; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menciptakan komunikasi yang terbuka
terhadap sesama anggota kelompok<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level1 lfo4; tab-stops: .75in; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menimbulkan adanya i’tikad yang baik
diantara sesama anggota kelompok.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Proses dinamika
sosial mulai dari individu sebagai pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan
latar belakang yang berbeda-beda, belum mengenal antar individu yang ada dalam
kelompok. Mereka membeku seperti es. Individu yang bersangkutan akan berusaha
untuk mengenal individu yang lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair,
proses ini disebut sebagai “ice breaking”. Setelah saling mengenal, dimulailah
berbagai diskusi kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini
disebut ”storming”. Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku
individu, pada proses ini individu mengalami ”forming”. Dalam setiap kelompok
harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota kelompok dan
pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut ”norming”.
Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan berbagai kegiatan,
proses ini disebut ”performing”. Secara singkat proses dinamika sosial dapat
dilihat pada gambar berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; tab-stops: .5in; text-align: justify;">
</div>
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td height="19" width="71"></td>
</tr>
<tr>
<td></td>
<td></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; tab-stops: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2JxY5tkNVEVSn89fmhyphenhyphen3RYzKV0_6lmw0kAZrON_86ufYVykTSzlLGyOug3lbEIvbddjbZG55Cpjz-nAHe1sQAbkBSHnz0uQY4IZjiVHPRUS_veR2hmF6KYyMIRfMg0-OclQgGxFOL6sY/s1600/Table+BAB+II.4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="93" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2JxY5tkNVEVSn89fmhyphenhyphen3RYzKV0_6lmw0kAZrON_86ufYVykTSzlLGyOug3lbEIvbddjbZG55Cpjz-nAHe1sQAbkBSHnz0uQY4IZjiVHPRUS_veR2hmF6KYyMIRfMg0-OclQgGxFOL6sY/s320/Table+BAB+II.4.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; tab-stops: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p> </o:p></span><span style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; tab-stops: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Alasan pentingnya dinamika
sosial:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 45.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 45.0pt; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Individu tidak mungkin hidup sendiri di
dalam masyarakat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 45.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 45.0pt; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Individu tidak dapat bekerja sendiri
dalam memenuhi kehidupannya<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 45.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 45.0pt; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dalam masyarakat yang besar, perlu
adanya pembagian kerja agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 45.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 45.0pt; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol; font-size: 12pt; line-height: 115%;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Century Gothic', sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Masyarakat yang demokratis dapat
berjalan baik apabila lembaga sosial dapat bekerja dengan efektif<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="text-align: justify;">
<br /></div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-83751726007102248042012-03-05T20:05:00.000-08:002012-03-06T00:15:53.234-08:00BAB III PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div style="border-bottom: double windowtext 2.25pt; border: none; mso-element: para-border-div; padding: 0in 0in 1.0pt 0in;">
<div class="MsoNormal" style="border: none; mso-border-bottom-alt: double windowtext 2.25pt; mso-padding-alt: 0in 0in 1.0pt 0in; padding: 0in;">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrXCGXnCevivqAI87KAgTOYZCefHLsMukZ3S9Cr7VaPwZUXAb_erWVLDgsAJgA4H4NWfqgiFMKud5baB2Xo7d6M0BIx_LmkJAp0B0ledkpnTeyRJ0gwHnUJI3DI2FtA8YgL6wnvW_E5Ps/s1600/Menjalin.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="165" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrXCGXnCevivqAI87KAgTOYZCefHLsMukZ3S9Cr7VaPwZUXAb_erWVLDgsAJgA4H4NWfqgiFMKud5baB2Xo7d6M0BIx_LmkJAp0B0ledkpnTeyRJ0gwHnUJI3DI2FtA8YgL6wnvW_E5Ps/s320/Menjalin.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Dialog Budaya di Menjalin</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;"><i>Kata Kunci:
Masyarakat, Pluralisme ; Budaya, Multikulturalisme</i></span></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="mso-list: l2 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<span style="font-family: Calibri, sans-serif;"> A. <span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span></span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pendahuluan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span style="font-family: Calibri, sans-serif;">Samuel P.
Huntington (1993)</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-3..rtf#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></span></a><span style="font-family: Calibri, sans-serif;">
“meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan
tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi
justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi
ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya
struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah
didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya
perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz
Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik
menjadi sumber perpecahan ketika <i>leadership</i> yang mengikatnya lengser. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Ramalan Huntington tersebut diperkuat dengan alasannya
mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara
lain adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxaUH62qMGl6XS6C2G9WnBFPMJGeAUYI3JGQD1JsLM-IMCyq1kPqrbeOtF4LRY1NUNH95fHr-lKrsEao5_p9WoYH-v55CzrCyHhqVdoWyQVZxIx_hr0X6_DCVIyyuoQ8NLnyvSaxQV1Sk/s1600/BAB+III-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="163" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxaUH62qMGl6XS6C2G9WnBFPMJGeAUYI3JGQD1JsLM-IMCyq1kPqrbeOtF4LRY1NUNH95fHr-lKrsEao5_p9WoYH-v55CzrCyHhqVdoWyQVZxIx_hr0X6_DCVIyyuoQ8NLnyvSaxQV1Sk/s320/BAB+III-1.jpg" width="320" /></a><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Pertama, </span></i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">perbedaan antara peradaban tidak
hanya riil, tetapi juga mendasar.<i> Kedua</i>, Dunia sekarang semakin
menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat.<i>
Ketiga, </i>proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang
ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam,
diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. <i>Keempat</i>,
timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu
sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari
posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban
Non-Barat<i>.</i> <i>Kelima, </i> karakteristik dan perbedaan budaya
kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding
karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, <i>keenam</i>
regionalisme ekonomi semakin meningkat.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref2"></a><a href="http://poetraboemi.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/blank.htm#_ftn2" title="_ftnref2"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="color: blue;">2</span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab
utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang
Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam
entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju
entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini
jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru
disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan
perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena
persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi sebuah
pemersatu yang kokoh. Beberapa hal ini yang kemjudian dibeberapa negara menjadi
dasar dikembangkannya pendidikan multikulturalisme.<o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-left: .5in; mso-list: l1 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Symbol;">·<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><b><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Pendidikan Multikulturalsme<o:p></o:p></span></i></b></div>
<div style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Pendidikan
multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari
kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai
golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat
ini sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.
Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki identitas ras
atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan watak kultural yang
sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk menyelenggarakan pendidikan
multikultural. Sebagai contoh adalah adalah seprti negara jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di Australia,
Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa ketiadaan pendidikan
multikultural menimbulkan berbagai ketegangan dalam kehidupan sosial. <o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Ungkapan
tersebut mengandung makna bahwa setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka(<i>prejudice</i>)
yang memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk. Misalnya,
setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang perangkat
prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi, misalnya, hidup
dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China, dan sebaliknya. Kelompok
etnis tertentu menyimpan sejumlah prasangka terhadap kelompok etnis lainnya,
atau pemeluk agama tertentu mempunyai prasangka terhadap pemeluk laiinya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Berbagai
prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat langgeng. Dari waktu
ke waktu, berbagai prasangka itu berubah. Perubahan dalam prasangka ini dapat
menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu
tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai,
saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling
menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk dalam suatu
masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri
masing-masing.<o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-left: .5in; mso-list: l2 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="ES" style="font-family: Calibri, sans-serif;">B.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span lang="ES" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Apa Itu Pluralisme dan Multikulturalisme.<o:p></o:p></span></b></div>
<div style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: 31.65pt;">
<span lang="ES" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Pluralisme
berhubungan erat dengan dan menjadi dasar dari multikulturalisme. Idealnya,
suatu masyarakat multikultural merupakan kelanjutan dari pluralisme. Masyarakat
multikultural biasanya terjadi pada masyarakat plural. Sebaliknya, pluralisme
bukan apa-apa tanpa menjadi multikulturalisme. Pengakuan terhadap pluralisme
seharusnya meningkat menjadi multikulturalisme. Namun, kenyataannya,
kesenjangan selalu ada antara pengakuan pluralisme dengan pelaksanaan
multikulturalisme.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraph" style="mso-list: l4 level1 lfo2; text-indent: -.25in;">
<b><i><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-style: normal; font-weight: normal;">
</span></span></i></b><b><i><span lang="ES" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme </span></i></b><b><i><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 49.65pt;">
<span lang="FR" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Apa yang dimaksud dengan pluralisme? </span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Kita dapat mengikuti beberapa kategori makna pluralisme.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 49.65pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 17.45pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pertama</span></i></b><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">, makna pluralisme jika
dihubungkan dengan konsep lain:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l6 level1 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">1)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme (<i>ethnic</i>)-pluralisme
etnik-adalah koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan sosial dan budaya
antara beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l6 level1 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">2)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme (<i>political)-</i>pluralisme
politik-merupakan koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam
distribusi kekuasaan kepada berbagai kelompok interest, kelompok penekan,
kelompok etnik dan ras, organisasi dan lembaga politik dalam masyarakat;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l6 level1 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">3)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Struktur kekuasaan
yang pluralistik-(pluralistic power structure)- merupakan sebuah system yang
mengatur pembagian hak kepada semua kelompok yang beragam dalam suatu
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l6 level1 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">4)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Model pluralis (<i>pluralistmode</i>l)-adalah
analisis sistem politik yang memandang bahwa kekuasaan merupakan perluasan dari
persaingan antara berbagai kelompok <i>interest</i>;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l6 level1 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">5)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Dual pluralist
theory-teori yang mengatakan bahwa kekuasaan dalam sistem sosial
didistribusikan di antara beragam kelompok dan individu;<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l6 level1 lfo3; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">6)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme media.
Dalam studi media (<i>media studies</i>), (1) pluralisme merupakan pandangan
bahwa media massa mempunyai kebebasan dan kemerdekaan yang sangat besar dan
diakui oleh negara, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan dalam
masyarakat; (2) media massa harus dipandang sebagai media untuk melakukan
kontrol sosial. Karena itu, media harus dikelola oleh sebuah manajemen yang
profesional sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi yang ideal bagi
kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyat; (3) dalam pandangan pluralisme
media, audensi tidak boleh dilihat sebagai sasaran yang dapat dimanipulasi
media. Audensi harus dipertimbangkan dalam relaksi yang setara dengan media
karena audensi merupakan sumber pemberitaan dan sasaran bisnis; dan (4)
pluralisme juga memandang bahwa media masa merupakan agen terciptanya kebebasan
berpendapat dari suatu masyarakat demogratis. Karana itu institusi media harus
dibiarkan bebas untuk mengontrol pemerintah dan berhubungan dengan audiens, di
mana audens bebas memilih informasi yang bermanfaat bagi mereka (Liliweri,
2003)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 17.45pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Kedua</span></i></b><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">, maka pluralisme sebagai doktrin:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l3 level1 lfo4; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">1)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme adalah
dokrin yan mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak ada satupun ”sebab”
yang bersifat tunggal (<i>monism</i>) atau ganda (<i>dualism</i>) bagi
terjadinya perubahan suatu masyarakat. Pluralisme yakin, ada banyak sebab yang dapat
mengakibatkan timbulnya gejala sosial atau perubahan dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l3 level1 lfo4; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">2)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme merupakan
dokrin yang pada awalnya timbul sekitar tahun 1980-an. Pemunculan kembali
ideologi itu dikarenakan tidak ada satupun ”gaya simbolik budaya” yang mampu
menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l3 level1 lfo4; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">3)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Konsep pluralisme
dimaknai oleh pemerintah sebagai proses melakukan bargaining atau kompromi
terhadap para pemimpin dari beragam kelompok (etnik dan ras atau kelompok
lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dan
lain-lain. Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau
sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat
yang semakin modern dan kompleks, agar setiap individu atau kelompok dapat
berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme
adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan
perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances.
Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa tak ada satu kelompok pun yang
menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti;
sekurang-kurangnya pergantian itu dilakukan melalui pengaruh individu atau
kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 17.45pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 17.45pt; text-align: justify;">
<b><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Ketiga</span></i></b><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">, makna pluralisme dalam konsep
ilmu pengetahuan (ilmu sosial):<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo5; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">1)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme merupakan
sebuah model ”politik” yang memungkinkan terjadinya perluasan peran individu
atau kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses politik
bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika ini tercapai, akan hadir sebuah spektrum
sosial atas kekuasaan yang lebih demokratis, karena kekuasaan berada ditangan
beberapa individu dari beragam kelompok yang berbeda-beda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo5; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">2)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme
menggambarkan suatu keadaan masyarakat di mana setiap individu atau kelompok
yang berbeda-beda dapat memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai <i>social
fabric</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo5; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">3)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme merupakan
salah satu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa sosial, misalnya sebab
dari sebuah perubahan sosial, harus dapat di uji melalui interaksi beragam
faktor dan bukan dianalisis hanya dari satu faktor semata-mata, dan beragam
faktor itu adalah faktor kebudayaan. Inilah yang membedakan pandangan Weber
bahwa kebudayaan imatetiil mendorong perubahan sosial, dari pandangan Marx
bahwa perubahan sosial bersumber dari kebudayaan materiil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; mso-list: l0 level1 lfo5; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">4)<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Pluralisme merupakan
pandangan posmodern yang mengatakan bahwa semua kebudayaan manusia harus
dihargai dan diperhatikan. Tak ada satu kebudayaan (atau masyarakat) pun yang
superior terhadap kebudayaan atau masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan
mempunyai kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang lain.
Pandangan ini wajar, karena pada kenyataannya betapa sering kita menemukan ada
kebudayaan atau seperangkat kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu
yang tidak kita ketahui secara pasti. Oleh karena itu, pluralisme menglaim
bahwa dalam masyarakat dimana kita hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang
tidak setara. Karenanya, setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara sosial
oleh penduduk yang beragam. Tesis utama pluralisme sering digunakan dalam ilmu
politik secara konservatif, bahwa kekuasaan sosial ekonomi harus disebarkan secara
berimbang di antara semua kelompok dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa secara teoritis, pluralisme (budaya) merupakan sebuah konsep
yang menerangkan ideal (ideologi) kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat
multikultur, di mana kekuasaan ”terbagi secara merata” di antara
kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mendorong pengaruh timbal
balik di antara mereka. Dan dalam masyarakat multikultur tersebut,
kelompok-kelompok etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan
seimbang, dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka
menjalankan tradisi kebudayaannya (Suzuki, 1984).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Rumusan istilah yang dapat ditarik dari rumusan-rumusan makna
pluralisme di atas adalah:<i> pertama</i>, pluralisme (budaya) menggambarkan
kenyataan bahwa dalam masyarakat, ada kelompok-kelompok etnik yang tidak
terakulturasi ke dalam identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok
seperti ini menampilkan perilaku budaya yang berbeda, misalnya berbicara dengan
bahasa yang lain dari bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dengan
mayoritas agama yang dipeluk etniknya, dan lain-lain, yang berarti mereka
menampilkan sistem nilai yang berbeda dari nilai etniknya. <i>Kedua</i>, bahwa
terbentuk pula pluralisme struktural dalam masyarakat, yang menggambarkan
perbedaan budaya di antara, kelompok-kelompok etnik, tetapi perbedaan tersebut
hanya terletak pada wilayah struktur sosial semata-mata. Berarti, meskipun
kelompok-kelompok etnik itu mempunyai beberapa unsur budaya yang sama dengan
budaya dominan, mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) yang
terpisah dari kelompok dominan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Menurut Suzuki, bagaimanapun juga, dalam pluralisme
terkandung konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik tertentu dan tetap
mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi
mereka dengan orang lain dari kebudayaan dominan. Akhirnya, pluralisme sebagai
sebuah ideologi berasumsi bahwa semua ”isme” (rasisme, reksisme, kelasisme)
merepkan pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain. Bagaimanapun
juga, konsep pluralisme budaya memang sangat bertentangan dengan fokus etnisitas yang tunggal. Sebagaimana dikatakan
oleh Newman, pluralisme merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan
struktur sosial masyarakat, dimulai dari
perubahan struktur sosial individu dan kelompok (Suzuki 1984; Soderquist 1995).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;">Sementara itu, john Gray dalam Singelis (2003) mengatakan
bahwa pada dasarnya pluralisme mendorong
perubahan cara berpikir dan bersifat universal, untuk mencegah
klaim pandangan bahwa ada
kebudayaan yang paling benar. Menurut Gray, semua kebudayaan itu penting
sehingga tidak ada satu kebudayaan pun
yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan itu menjadi
rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumentasi paling penting
dari pluralisme. Jadi, seorang pluralis-dengan kata lain –harus dan selalu akan
mengatakan bahwa meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma universal, dan
norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan dimana saja, harus diingat
bahwa norma-norma universal itu tidak lebih baik daripada validitas kearifan
budaya sendiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraph" style="margin-left: 21.3pt; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt;"><br />
<b>2. Multikulturalisme<o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konsep
multikulturalisme, berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan (2002), <u>tidak</u> dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa (<i>ethnic group</i>) atau kebudayaan
sukubangsa (<i>ethnic culture</i>) yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Kalau konsep dan prinsip kemajemukan lebih menekankan pada keanekaragaman yang
ada dalam realitas masyarakat per se, kemajemukan adalah sesuatu yang dapat
dilihat dan diterima secara kasat mata, sesuatu yang fisik, realitas fisik (<i>physical
reality</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Oleh karena itu keanekaragaman
(<i>pluralism</i>) itu terletak atau adanya lebih dahulu dari atau cikal bakal
dari akan tampilnya multikulturalisme.
Jadi, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang bersifat majemuk atau
beragam dalam kesukubangsaan atau etnisitas (<i>etnicity</i>), dan yang
menerima dan menghargai keanekaragaman yang sudah tentu mengandung di dalamnya
perbedaan -- misalnya budaya, nilai-nilai budaya, pendapat atau ide dan apa
saja yang terkait dengan keberagaman fisik, sebagai suatu realitas yang ada.
Dengan konsep ini, multikulturalisme lebih dipandang dan semestinya
diperlakukan sebagai ideologi dan bukan lagi sebagai prinsip – sebagaimana
pluralisme sudah diperlakukan. <o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 115%; margin-left: .25in; text-align: justify;">
<b><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Multikulturalisme
menurut Para Ahli</span></i></b><i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;"><o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span style="font-family: Calibri, sans-serif;"></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">
Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat
peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan
pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari
sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata
merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian
problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau
salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang
seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan
tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan
berjalan bersama, tanpa adanya konflik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Adanya
sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan
ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span style="font-family: Calibri, sans-serif;"></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">
Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan
politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin
tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia
tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 115%; margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Jalan keluar
dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada
keanekaragaman budaya yang sejati.<b> <o:p></o:p></b></span></div>
<div style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">C.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Perjalanan
Multikulturalisme di Indonesia</span></b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Terlepas dari perbedaan pendapat diatas mengenai
“multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi
pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya
perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa
Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang
dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari
Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk,
seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan
lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat,
budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah
kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya
disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington,
keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak
kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham
sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada
perpecahan. </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon,
dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan
diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja
menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang
utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras
agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul
persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para
pejuang kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: Calibri, sans-serif;"> Hal ini disadari betul oleh para <i>founding
father</i> kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar
biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan
ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa
yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh.
Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam
dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa
pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para
penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928
merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus
dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah
Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan
Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu
persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam
sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai
pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun
politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu
menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan
dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi
seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama
ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang
terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh
mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila
seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama,
multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar
terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat
kemanusiaan itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin: 0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;">D.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><span class="text"><b><span style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia</span></b></span><b><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span class="text"><span style="font-family: Calibri, sans-serif;">Semenjak
reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka
tahun itu sebagai titik tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan
berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang
(diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa. Integrasi nasional yang
selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi
relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat
sejalan dengan reformasi tersebut. </span></span><span class="text"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Desentralisasi
kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi
tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik
nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari
kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka
ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span class="text"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah
politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian.
Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh,
selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas,
dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><br />
</span><span class="text"><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Masalah model</span></b></span><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span class="text"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking
Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme
mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk
kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu.
Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan
sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia
tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan
gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif,
maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural
sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang
masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang
dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?</span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span class="text"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan
multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama, model yang
mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun
bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan
nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. </span></span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><br />
</span><span class="text"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak
untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai
penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan
menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini
dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk
menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite
tertentu.<o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span class="text"><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan
kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan
kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). </span></span><span class="text"><span lang="FI" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model
ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki
sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan
diperlakukan sebagai orang asing.</span></span><span lang="FI" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span class="text"><span lang="FI" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui
eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini,
keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan
identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena
penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih
kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai
kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan
negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif
sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-
konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu
sendiri.</span></span><b><span lang="FI" style="font-family: Calibri, sans-serif;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level1 lfo1; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">E.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; line-height: normal;"> </span></span><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Ketika
Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah</span></b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 115%; margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik
sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik
sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara
anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik
berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText2" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 35.45pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses
interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya
saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam
masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi
destruktif bahkan anarkis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Perkembangan
terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah
berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso,
Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih
besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap
remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak
menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan
dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik
sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu
dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang
bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih
ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita
terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang
mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain. <o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 115%; margin-left: 35.45pt; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja
bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering
berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial
berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang
pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat
tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya
menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat
setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok
masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream,
yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini
dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan
politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya <o:p></o:p></span></div>
<div style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l2 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">F.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Penutup<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 34.9pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif
dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam
masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu
kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 34.9pt;">
<i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Kompetensi
kebudayaan</span></i><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;"> adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka
yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang
dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. <i>Kompetensi
kemasyarakatan</i> merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang
terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. <i>Kompetensi
kepribadian</i> adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat
berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses
pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati
dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 34.9pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri
dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak
setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan
politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa
dan negara. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 34.9pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah
komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan
beberapa hal penting, misalnya:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level2 lfo7; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi
politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan
yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan
sehari-hari.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level2 lfo7; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan
politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan
antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan
identitas masing-masing unsur kebudayaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: 115%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 1.0in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-list: l5 level2 lfo7; tab-stops: list 1.0in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;">
</span></span></b><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang
disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan
penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga<o:p></o:p></span></div>
<div style="line-height: 115%; margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: 27.8pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif;"> Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun
untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam
kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai.
Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial
budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan
pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi
masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat
bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka
Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang
perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya
itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi
kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif;">Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa
dapat dihindari. </span><span lang="SV" style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 14.2pt; text-indent: -7.1pt;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-3..rtf#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Gill Sans', sans-serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a>
<span lang="FI" style="font-family: Calibri, sans-serif;">Pendapat
Samuel P Huntington (1993) tentang alasan terjadinya suatu konflik peradaban
adalah didominasi oleh hal-hal yang berbau SARA, seperti suku, agama, ras, dan
antargolongan</span></div>
</div>
</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-50585587265654011282012-03-05T20:03:00.000-08:002012-03-05T20:39:05.228-08:00BAB IV MENGENAL KULTUR SUKUBANGSA DI KALIMANTAN BARAT<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgzNDACGY87b8DxDvy0xUVkWs-ZizkOd5wdRyc7YC-36QjAKtQ3k7lf_A2DqH0S8AsA4g77HlfdsG-EyAQvr1UkikNfDCt3BqfCzmZwciDj8AgdeWOgmCyd11wJnq0bq9hHimkBxgTmzQ/s1600/BAB+IV-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="129" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgzNDACGY87b8DxDvy0xUVkWs-ZizkOd5wdRyc7YC-36QjAKtQ3k7lf_A2DqH0S8AsA4g77HlfdsG-EyAQvr1UkikNfDCt3BqfCzmZwciDj8AgdeWOgmCyd11wJnq0bq9hHimkBxgTmzQ/s320/BAB+IV-1.jpg" width="320" /></a></div>
<b style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: 'Arial Narrow', sans-serif; font-size: 14pt;">Kesukubangsaan</span></b><br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN"> Seorang dalam melakukan
interaksi dengan sesama dalam kehidupan sosial dipengaruhi, antara lain, oleh
identitas kesukubangsaannya. Dengan identitas kesukubangsaan tertentu, yang
ditentukan baik untuk mengkaterogikan diri sendiri atau orang lain, seseorang
dapat mengaktifkan ikatan kelompok sesama suku bangsa. </span><span lang="SV">Ikatan itu nantinya dapat membentuk pola
tersendiri dalam hubungan interaksi dengan sesama. Itu terjadi, karena didalam
ikatan kesukubangsaan bukan saja terlekat ciri budaya (Barth, 1988: 12),
melainkan juga tatanan sosial dan nilai-nilai dasar (Barth, 1988: 14 dan 15)
yang terbawa sejak lahir.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN">Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar
merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan Melayu. Dayak adalah
rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang karena bidang usahanya ekonomi, maka
cenderung ‘pandai-pandai’ bermain dengan kelompok yanag sedang berkuasa,
umumnya mereka mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif.
Sebagaimana Dayak, Madura adalah rakyat biasa, yang seakan menjadi budak bagi
kelompok etnik lainnya. Namun tidak seperti Dayak, kelompok etnik pendatang ini
harus menghambakan dirinya bukan hanya pada satu, melainkan juga kelompok etnik
lainnya, hal ini terjadi karena migran Madura yang pertama masuk kalbar adalah
yang berpendidikan rendah bahkan tidak
berpendidikan. Usaha mereka pada saat masuk kalbar adalah buruh dan pekerja
sektor informal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN">Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan
hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan
masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan
pendidikan yang besar kepada etnik Cina dan Dayak. Secara sadar atau tidak,
Belanda ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN">Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor
membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan
karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat
Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan
pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah
berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik (Partai
Persatuan Dayak) dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian
mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa.
Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa
mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi
kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai
penjajahnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat
Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan
juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Sedangkan Madura
dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan usaha sendiri dalam
bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan
pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat
membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan
menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha
mengadakan koptasi, namun gagal.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan
bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik,
melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang
relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara
perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah.
Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki
posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus
memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah
terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN">Orde Baru adalah masa “kuliah Politik Identitas” bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka
berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan
perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai
Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap
sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi
sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan
tersebut berhasil mentransformasikan
dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman
kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya
terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang
Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung,
berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan
oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu
tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun setelah
kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat
Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan
hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok
etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian
bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan
tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli,
mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah
saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya.
Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan
hukum adat Melayu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian
terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus
Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu
menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan
tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah
dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah
jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif
seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan
gubernur pada akhir 2002.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih
leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut
Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala
besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Lebih dari itu, ia
juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama
Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah
terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi,
mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan
konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik
internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil
menjadi bupati di Sanggau.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan dalam politik.
Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih sebagai anggota DPRD
tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai Golkar yang berkuasa
atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam, dan/atau NU atau PKB
pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik secara berurutan
dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha mendekatkan diri
secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada hukum adat, sedangkan
secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai nasional dan Islam yang
umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja tidak sepenuhnya dapat
menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang harus terpaksa
menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; mso-outline-level: 1; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pemaparan berikut ini
merupakan gambaran tentang kultur identitas
masing-masing kelompok suku bangsa di Kalimantan Barat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="NO-BOK">4.1.
MENGENAL ETNIK DAYAK <o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
PENGANTAR</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Ave dan King
(1986) memperkirakan bahwa jumlah orang Dayak dikalimantan adalah sekitar tiga
juta orang, sedangkan sellato (1986) menyebutkan sekitar enam juta orang (jika
orang dayak sudah menjadi orang melayu karena memeluk <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">agana</st1:place></st1:city> islam masuk hitungan). Mengenai jumlah
orang Dayak ini, sempai sekarang memang belum ada data yang pasti. Namun, pada
tahun 1990 diperkirakan bahwa jumlahnya minimal berkisar sepertiga jumlah
penduduk pulau tersebut (MacKinnon, dkk., 1996).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
Orang Dayak dianggap sebagai
penduduk asli <i> </i>(<i>indigenous
people)</i>pulau Kalimantan Suku Dayak,menurut asal- usulnya,adalah imigran
dari daratan Asia,yakni Yunan di cina selatan .kelompok imigran yang pertama
kali masuk adalah kelompok rasNegrid dan Weddid(coomans,1987)yang kini tidak
ada lagi,serta ras Aurtaloid (Mackinnon,1996).selanjutnya adalah kelompok
imigran melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM.kelompok imigran terakhir
adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras
Mongologid (Coomans,1987;sellato,1989;Rousseau1990).Mackinnon mencatat,<i>larer waves of</i> <i>migrants,tbemongoloids,brought rice cultivation from mainland asia
about 5,000 year ago(glover,1979).permanent settlement and rice barvesting
necessi tated tbe claring of field. A system of sbifting cultivation evolved”(</i>1996:356).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sejarah perjalanan suku ini selalu diwarnai sebagai “Objek” dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya
menghasilkan generasi yang berbeban psikologis berat. Dayak Kanayatn seperti
halnya suku-suku Dayak Lainnya di Kalimantan
selalu menjadi objek misalnya saja objek “ pembangunan” yang cerita
tentang ini sudah demikian jelasnya, lalu sebagai objek” penelitian” yang latar
belakangnya karena suku ini terbelakang, bodoh, primitif, dll yang apabila
hasil kajiannya ditampilkan akan membuat pembaca menjadi kasihan, miris,
prihatin, dll . dari perjalanan yang penuh “objek” ini, orang Dayak untuk “setara” saja dengan orang lain, harus
berjuang berat. Contoh kasus terakhir di
Kalbar tentang pemilihan Gubernur, persentasi Dayak yang mencalonkan diri
menjadi Gubernur 4 : 19 , dan lebih dari 80% hanya berani mencalonkan dirinya
menjadi Wakil Gubernur. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sebelum abad ke 19, bahkan sampai
tahun 1894 Daerah Kalimantan ini disebut
Terra incognita (lihat Nieuwenhuis
perjalanan borneo 1894) cerita suku ini masih sangat sedikit. Baru
ketika kolonial belanda masuk, catatan-catatan tentang suku ini mulai tersedia.
Salah satu sebab mengapa proses belajar antar generasi suku ini sulit adalah
karena budaya”lisan” yang mewarnai kehidupan sehari-harinya. Adapun bangsa
eropa yang awal abad ke-19 masuk kedaerah ini membawa budaya tulisan, maka
hanya merekalah yang membuat tulisan tentang suku ini. Menurut cerita jika
ingin belajar tentang Dayak, sebaiknya anda pergi ke negeri Belanda, disana
tersedia sangat banyak dokumentasi tentang suku ini.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bayangkan, orang Dayak untuk
belajar tentang dirinya saja, mereka harus pergi kenegeri yang jauh dimana
untuk pergi kesana hanya sedikit orang
yang bisa,karena persoalan ekonomi .</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
KEBUDAYAAN DAYAK</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tidaklah mudah
untuk berbicara tentang kebudayaan Dayak (Fridolin Ukur), yang mencakup lebih
dari 450 suku yang tersebar di seluruh Kalimantan ini, termasuk mereka yang ada
di Negara tetangga seperti Malaysia. Namun banyak penelitian yang telah
diadakan mengenai suku-susku dayak di Kalimantan ini kita berkesimpulan bahwa
tidak ada pulau besar lain di Indonesia ini yang dapat dikatakan memiliki
semacam kesatuan budaya seperti <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Asal-Usul Penamaan Suku Dayak</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
Secara harfiah, kata “Dayak”
berarti orang ayang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang
Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga
merupakan nama kolektig bagi banyak kelompok susku dikalimantan dan <st1:place w:st="on">Borneo</st1:place>. Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat
kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya,
seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsure budaya
lainnya (Nieuwenhuis, 1990; Mallinckrodt, 1928; Stohr, 1959; Hudson, 1966,
1967, 1972; Kennedy, 1974; King, 1979, 1994; Sellato, 1986; Rousseau, 1990).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Teori yang
secara umum diterima bahwa suku-suku pribumi penduduk Kalimantan berasal dari
daratan Asia, dari wilayah Cina Selatan (Propinsi Yunan) yang ikut dalam arus
perpindahan (migrasi) besar-besaran antara tahun 3000-1500 sebelum masehi. Dari
rombongan yang tida di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,
mereka termasuk rombongan yang pertama (disebut Proto Melayu). <st1:city w:st="on">Ada</st1:city>
teori yang mengatakan bahwa perjalanan tersebut terbagi dua arah: yang satu
bergerak melalui Indo Cina dan terus ke jasirah <st1:country-region w:st="on">Malaysia</st1:country-region>
dan terus ke Kalimantan; sedangkan rombongan lainnya melalui <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Taiwan</st1:country-region></st1:place> dan Filipina.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pada waktu
penyeberangan ke <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place> dimudahkan karena
permukaan air laut pada jaman es turun secara drastic. Namun ada pula teori
yang mengatakan bahwa pada waktu itu Kalimantan masih belum berwujud pulau,
tetapi menyatu dengan Sumatera dan daratan <st1:place w:st="on">Asia</st1:place>.
Hal ini dibuktikan dengan jenis ikan sungai yang terdapat di <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>
hamper semuanya terdapat di Sumatera. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tentang
pemakaian istilah “Dayak” untuk menandai suku-suku pribumi di <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>
ini terdapat beberapa teori. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place>
yang berpebdapat, karena tersebut dupergunakan karena memang sudah ada dalam
bahasa Iban berarti <i>manusia</i>; dalam
bahasa Tanjung dan Benua, kata itu berarti <i>hulu
sungai</i> seperti umpamanya Mahakam Dayak berarti Hulu Mahakam. Di Kalimantan
Timur ada suku yang bernama Lun Daye, yang berarti orang dari daerah hulu. Di
dalam bahasa Ngaju ada jenis padi yang bernama “parei dayak”, yang pohonnya
lebih rendah dari padi yang biasa.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> pula yang berpendapat,
dan pendapat ini yang banyak dianut, bahwa istilah iti siberikan untuk
membedakan penduduk pribumi (asli) dengan penduduk pribumi yang datang datang
kemudian dan bermukim di pantai dan yang telah memeluk agama Islam. Dan orang
dayak sendiri cenderung menyebut penduduk pantai pantai tersebut sebagai orang
Melayu. Jadi nama ini diberikan untuk menandai penduduk pribumi di pedalaman
atau penduduk pegunungan yang bukan Islam, dan sebab itu ekuivalen dengan
kata/nama Toraja (<i>Encyclopaedia der
Nederlandsch Indie, Jilid I, A-G, 1917</i>).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Orang Dayak
yang kenudia memeluk agama Islam tidak lagi menyebut dirinya orang Dayak tetapi
menjadi orang Melayu, demikian pula bahasa yang digunakanpun bukan lagi bahasa
Dayak, tetapi bahasa Melayu. Jadi sebenarnya di antara orang Melayu itu banyak
terdapat orang Dayak. Di sini kita melihat bahwa penduduk yang asalnya serumpun
itu bisa menjadi berbeda karena agama dan bahasa baru yang diikuti dan
diamutnya. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place>
kesan pada waktu itu bahwa kata Dayak itu mengandung nada ejekan atau hinaan
terhadap mereka yang dianggap masih belum maju.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Lambat laun
kesan negative tadi kian menghilang terutama setelah sebagian besar penduduk
sudah mengecap pendidikan, ditambah pula dengan berkembangnya kesadaran
kebangsaan. Hal ini nampak di tahun tigapuluhan dengan lahirnya <b><i>Pakat
Dayak</i></b>, suatu organisasi social budaya masyarakat Dayak yang berpusat di
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Banjarmasin</st1:city></st1:place>,
yang anggotanya terdiri dari semua penganut agama-agama. Lebih terasa lagi
kemudia di tahun limapuluhan, ketika terbentuk<b><i> Partai Dayak</i></b><i> </i>yang berpusat di <st1:city w:st="on">Pontianak</st1:city>
dengan cabang-cabangnya di seluruh <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>.
Penamaan ini diterima sebagai identitas bersama secara social budaya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dari segi
penulisan, terdapat 3 bentuk: <i>Dayak</i>,
kedua <i>Daya</i> dan <i>Dyak.</i> Yang terakhir ini yaitu bentuk Dyak biasanya dijumpai dalam
literature bahasa Inggris terutama tulisan-tulisan mengenai suku-suku di
Malaysia Timur. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Ada</st1:place></st1:city>
sementara kalangan yang enggan memakai kata Dayak (dengan huruf <b>k</b>) karena katanya penulisan tersebut
mengandung makna kurang baik. Mengingat ada perkataan di salah satu suku di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>,
yaitu kata “<i>dayak-dayakan</i>” yang
berarti gila-gilaan atau yang senada. Menurut hemat saya alas an ini terlalu
naïf, karena terlalu banyak kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti yang
sangat berbeda di dalam bahasa lainnya. Kata yang serupa dalam bahasa Ngaju
(dayak-dayakan atau dadayakan) berarti berjalan sempoyongan, seperti anak kecil
yang baru belajar berjalan. Ini bisa saja diartikan secara negative tetapi juga
positif. Kalau kita secara objektif menilai semua ini, rasanya tidak ada alas an
untuk menolak penulisan tersebut, seperti Ensklopedia <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pengelompokan suku-suku dayak</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Di kalangan ahli sejarah orang
Dayak di Kalimantan dan Borneo,memang belum ada kesepakatan mengenai <i>datum</i> histori yang pasti perihal
kedatangan kelompok imigran di kepulauan tersebut .yang disepakati halnya bahwa
orang Dayak merupakan imigran dari daratan Asia (sellato,1992).latar belakang
historis inilah yang pernah dipergunakan oleh pemerintah untuk menyatakan bahwa
orang Dayak bukanlah penduduk asli Kalimantan dan Borneo.Oleh karena itu,dalam
pandangan tersebut,mereka tidak mempunyai hak tradisional atas tanah dan hutan
di Kalimantan (singarimbun, 1994,1996).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Masyarakat Dayak di kepulauan tersebut terdiri dari
kelompok-kelompoksuku besar dan sub-sub suku kecil.ada beberapa pendapat yang
mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai
450-an(Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993;sellato,1989;Rousseau,1990).selain
itu,dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak,juga terhadap beraneka
ragam versi.berdasarkan hukum adat,Mallinckrodt (<i>Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928</i>)mengklasifikasikan suku Dayak
kedalam enam subsuku besar yang disebutnya
<i>stammenras</i>, yaitu
(1)kenyah-kenyah-bahu;(2)Ot danum;(3)Iban;(4)murut;(5)kelamantan;dan(6)punan .</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Lain halnya dengan W.Stohr (“Das
Totenritual der Dajak”,dalam <i>etbnologia,</i>Koln:1959)
yang membagi suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu
(1)kenyah-kenyah bahu,(2)Ot danum (Ot
danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan);(3)Iban;(4)Murut (dasun,murut, kalabit ;(5)
klemantan (kilemantan,Dayak Darat );dan(6) punan.sedangkan Hudson(1967)membagi
suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam
mubyarto,dkk.1991;31-32).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-border-between: .5pt solid windowtext; mso-padding-between: 1.0pt; mso-padding-top-alt: 0in; padding-top: 1.0pt;">
Lain lagi dengan sellato
(1989).ia mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok
besar,yaitu(1)orang melayu;(2)orang iban ;(3)kelompok
baito(Ot-danum,siang,murung,luangan,ma’anyan,benuag,bentian,dan
tujung);(4)kelompok Barat;(5)kelompok timur laut;(6)kelompok Kenyan dan
kanyahyang tnggal di Kalimantan timur da npedalaman seraak;(7)kelompok utara
tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan,seperti orang kelabit,lun
Dayeh,lun bawang dan murut bukit,orang kajang,Berawang,dan melanin di sebelah
barat Kalimantan.dalam kelompok
ini,hanya orang kelabit danlun dayeh yang bersawah;dan(8)suku penan
(bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di kelimantan
(singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon
dkk.,1996:356-363;sellato,1989).klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan
alasan-alasan (1)aliran sungai;(2)geografis,etnografis,dan budaya
material;(3)bahasa yaitu bahasa austronesia,bahasa Filipina,bahasa
melayu,bahasa di sulawesi selatan,dan bahasa madagaskar;(4)cara dan tempat
penguburan orang meninggal;(5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata
pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sebagaimana dikutip singarimbu
(1996:260),masalah klasifikasi suku Dayak ini ditanggapi oleh kingsebagai
berikut:</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i>The people of borneo present major difficulities to scbolars interested
in formulating compre bensive etbnic classification.ti is an awesome task to
sort uot tbe varied and often conflicting terms used ti refer to a category or
grouping of people.Our predicament is also compounded webn we realize tbat,in
boneo,tbere are very few neatly bounded etbnic. Looking specifi-cally at tbe
upper kapuas regtion, it is clear tbat from tbe limited bistorical and oral
materials which we bave at our disposal, a situation of in stability existed in
tbe past with, on tbe one band, a significance ndegree of fission and cultural
dif-ferentiation of originally similar grouping, and on tbe otber band, tbe
fusion and cultural interpretation of different grouping.</i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Atas klasifikasi di atas,ave
danking (1986:13)berpendapat bahwa salah satu ciri penting </div>
<div class="MsoNormal">
dari masyarakat Dayak adalah berladang .atas dasar
itu,mereka tidak memasukan orang punan ke dalam kelompok suku Dayak,karena
terutama hidup dari berburu dan meramu (dikutip dari singarimbun,1996:226).
Sedangkan hoffman(1985)berpendapat bahwa orang punan remasukorang Dayak
juga,namun kelompok ini memilih spesialisasi sebagai pengumpul hasil-hasil
hutan dengan cara mengambar di hutan. Klasfikasi trsebut dibuat berdasarkan
alasan-alasan ,seperti (1)aliran sungai;(2)gegorafis,etnografis ,dan budaya
material;(3)bahasa, yaitu bahasa austonesia;bahasa filifina, bahasa
melayu,bahasa di sulawesei selatan, bahasa di madagaskar; (4) cara dan tempat
penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi sosisl; dan (6)mata
pencaharian hidup,dan lain-lain (sellato,1989:58-62).dalam teori antropologi
dan hukum adat,metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas,telah di
lakukan oleh beberapa ahli sejak lama.
Misalnya,pertama-tama adalah van vollehoven (1918)yang mencitakan konsep
“daerah huku adat”(<i>recbtskring).</i>
Menurutnya,di Indonesia terdapat 19 daerah hukum adat,dan salah satunya adalah
Kalimantan atau boneo.kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area”
.selanjutnya ,J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang
diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963),Hildred Geesrtz
(komunitas budaya),dan koentjaraningrat (1971).Akhirnya,Ave (1970 yang
memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu
(1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan
teknologi.ketiganya disebut <i>mode of
production</i> (Marzali,1997:141-147).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dove (1988) berpendapat bahwa klasifikasi etnis Dayak dan
suku-suku lain di Indonesia, bahkan di dunia, yang di dasarkan pada
bentuk-bentuk mata pencaharian hidup adalah akibat dari strategi adaptasi
setiap kelompok terhadap lingkunganya. Perspektif ini di sebut ekologi
kebudayaan (Tsing,1984,1993,1998).lihat peta suku Dayak di Kalimantan dan <st1:place w:st="on">Borneo</st1:place>.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Suku-suku Dayak
yang tersebar di seluruh pulau <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place> ini
memang cukup banyak jumlahnya, ada yang besar, sedang ataupun kecil. Keadaan
dan geografi dan demografi telah mengakibatkan suku-suku ini terisolasi dan
terpisah, sehingga walaupun semula merupakan satu runpun tetapi setelah ribuan
tahun tampaknya seolah-olah tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Tidak
heran kalau ada yang berpendapat bahwa nama umum “Dayak” tidak boleh dijadikan
alas an untuk memandang semua suku Dayak itu sebagai satu kesatuan antropologis
dan cultural. Tetapi menurut pendapat saya justru digunakannya nama Dayak itu
untuk memberikan identitas bersama, karena memang ada raut dasar yang menunjuk
kepada kesamaan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Untuk
memudahkan memperoleh gambaran yang lebih memadai telah diusahakan membuat
pengelompokan suku-suku Dayak ini berdasarkan pada kesamaan-kesamaan tertentu,
seperti kesamaan hokum adapt, ritus-ritus, bahasa, dsb. Sampai sekarang ada 3
(tiga) pengelompokan yang telah ditampilkan pada penelitian ilmiah yang cukup
dapat diandalkan. Pertama, yang diadakan oleh <b>H.J.Mallinckrodt</b>, berdasarkan kesamaan hokum adapt (<i>Het Adatrecht van Borneo, Leiden, 1928</i>).
Ia membedakan enam rumpun suku yang disebutnya <i>Stammanras:</i> (1)<i>
Kenya-Kayan-Bahau</i>, (2) <i>Ot Danum</i>,
(3) <i>Iban</i>, (4) <i>Murut</i>, (5) <i>Klemantan</i>, (6)
<i>Punan</i>. Kedua, diadakan oleh <b>W.Stohr</b> (<i>Das Totenritual der Dajak, Ethnologica</i>,<i>, Koln</i>.<i>1959</i>) dengan
melihat dari segi ritus kematian. Ia memang bertolak dari pembagian yang telah
dilakukan oleh Mallinckrodt, lalu mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan sesuai
dengan criteria yang di pakai, yaitu ritus kematian. Menurut Stohr ada 6
kelompok besar: (1) <i>Kenya-Kayan-Bahau</i>,
(2) <i>Ot Danum</i>, yang dibagi menjadi: a.<i> Ot Danum-Ngaju</i>, b. <i>Maanyan-Lawangan</i>, (3) <i>Iban</i>,
(4)<i> Murut</i>, yang mencakup:<i> Dusun Murut-Kelabit</i>, (5) <i>Klemantan</i>, meliputi: a. <i>Klemantan</i>, b. <i>Dayak Darat </i>(Land Dajak), (6) <i>Punan</i>.
<b>Ketiga,</b> diadakan oleh <b>A.D.Hudson</b> yang membaginya menurut
bahasa. Penelitian hanya terbatas pada suku-suku yang berada dikalimantan
tengah dan selatan serta sebagian di <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>
timur yang berbatasan dengan Kalteng. Ia mengambil batasan wilayah kesebelah utara
sampai pegunungan Schwaner-Muller dengan sungai-sungai busang, murung dan
mahakam; ke sebelah barat di daerah sungai mentaya dan sebelah selatan dan
timur sampai ke daerah pantai di laut jawa dan selat makasar. Wilayah ini
dihuni oleh kelompok Ot Danum (kalau kita lihat versi Mallinckrodt dan Stohr,
pen.). menurut <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Hudson</st1:place></st1:city>,
kelompok ini secara bahasa ia golongkan sebagai keluarga Barito (Language of
the Barito Family).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Cirri-ciri pokok kebudayaan dayak</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Adanya
pembagian suku-suku dayak dalam kelompok-kelompok besar berdasarkan kesamaan
hokum adapt, bahasa ataupun ritus kematian memperlihatkan adanya keragaman yang
cukup alami mengingat kondisi geografis dan demografis <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>.
Namun kita dapat menelusiri beberapa ciri pokok yang sifatnya khas yang
memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
1. Rumah panjang (<i>lamin,
betang, balai, lawu hante</i>)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
Pada umumnya, pola kediaman orang
Dayak adalah rumah panjang (<i>longhouse</i>),
yang memiliki nama berbeda-beda sesuai dengan bahasa local masing-masing
kelompok suku (Alexander, 1993; Helliwell, 1993; Sather, 1993).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Semua suku
dayak, kecuali suku punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam di
rumah-rumah panjang yang disebut <i>lamin,
betang, balai, lewu hante</i>, dsb. Cirri-ciri khas rumah panjang ini: dibangun
diatas tiang-tiang yang cukup tinggi; didalamnya selalu terdapat ruangan yang
luas yang digunakan untuk kepentingan bersama, seperti upacara adapt, tempat
tamu bermalam dsb. ; masing-masing keluarga menempati satu kamar, sedangkan
jejaka yang belum menikah tidur diruangan umum. Pasangan yang baru menikah
dapat membangun kamar tambahan pada rumah panjang itu. Itu sebabnya rumah
panjang ini bisa berkembang dan menjadi semakin panjang.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Rumah panjang ini berfungsi sebagai:</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>tempat perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari
binatang buas maupun dari musuh-musuh lainnya;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>pusat seluruh kehidupan suku, karena disitulah semua
upacara, baik yang menyangkut kehidupan pisik maupun rohani, diselenggarakan;
dari situ mereka berangkat mencari nafkah dan kesitu mereka membawa rejeki;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>lambang kehidupan komunal yang harmonis; di rumah
panjang tidak ada yang kekurangan dan tidak ada yang kelebihan; keseluruhan
penghuni bertanggungjawab memelihara kesejahteraan bersama;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>pusat pendidikan dan pembinaan kaum muda. Di dalam
bahasa maayan, balai ini disebut sebagai “balai mantawara, jaru mantaajar” yang
artinya balai pendidikan, tempat pengajaran. Dalam penguraiannya dikatakan:
“jika gadis-gadis belum bisa mengayam para jejaka belum bisa membuat tali dan
menempa tombak, naiklah kebalai pendidikan dan ruang pengajaran, supaya si
cantik manis pandai mengayam si pria gagah mamapu membuat tombak.”.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
2. senjata : Mandau dan Sumpitan</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Senjata yang
khas dan dimiliki oleh semua suku Dayak adalah <i>Mandau</i>, yang tidak dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia.
Sejenis pisau yang panjang, dibagian pangkal kecil tebal, kemudia kian melebar
dan sedikit melengkung. Di bagian ujung melancip. Di sepanjang alur pisau
dihiasi dengan ukiran dan kadang-kadang diisi perak atau kuningan. Kepala atau
hulu mandau ini terbuat dari kayu atau tanduk, juga diukir. Demikian pula
sarung pisau terbuat dari kayu berukir, dan kadang-kadang dari kulit binatang.
Yang sangat unik dari mandau ini, ialah apabila ia diikatkan dipinggang, maka
mata pisau yang tajam itu selalu terarah keatas/kedalam dan tidak kebawah
seperti halnya pada senjata-senjata jenis pisau lainnya. Dan ini hanya terjadi
pada mandau. Ini memberi petunjuk pada cara penggunaan praktis dalam ilmu
pertempuran. Dengan sekali mencabut langsung menyerang, dengan tidak
menggunakan gerakan mengayun tangan dari atas ke bawah.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<i>Sumpitan</i> juga merupakan senjata khas
Dayak, yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) yang sangat keras demi
mempertahankan daya tahan kelurusannya. Senjata ini digunakan untuk berburu dan
berperang dangan mempergunakan <i>Damak</i>.
Damak ini ada yang beracun dan ada pula yang tidak. Racunnya pun ada bebagai
jenis, dari sifatnya sekedar sebagai pembius sampai pada mematikan langsung.
Mengenai senjata sumpitan ini saya tidak mengetahui secara pasti apakah juga
dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia. Tetapi yang pasti semua suku Dayak
memiliki dan mengenal senjata sumpitan ini. Ketika senjata api sebagai alat
berburu ditarik masyarakat, kita melihat bagaimana sumpitan berfingsi lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
3. anyaman</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kerajinan rumah
tangga yang berupa anyaman (khususnya dari rotan) terdapat dari semua suku
Dayak. Yang unik adri anyaman ini nampak dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: a. tikar
tidur dan tikar upacara, dan b. keranjang angkut yang bertali bahu. Tikar tidur
dan tikar upacara pada umumnay dianyam dengan janinan rotan halus dengan
motif-motif yang diambil dari mitologi suku. Tiap-tiap motif mempunyai nama dan
makna sendiri.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sedangkan
keranjang rotan, khususnya keranjang angkut yang diberi bertali untuk bahu,
menurut saya unik dimiliki oleh suku dayak. Keranjang angkut ini fungsi dan
kegunaannya bermacam-macam, ada untuk pakaian, padi, kayu baker, dsb.
Kegunaannya itu nampak dalam bentuk halus-kasarnya pembuatannya, demikian pula
besa-kecilnya keranjang tersebut.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
4. tembikar</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bejana,
tempayan, belangan tembikar sejak ribuan tahun merupakan bagian dari tradisi
suku-suku dayak di <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>. Fungsi bejana
ini pun beraneka ragam, dari tempat penyimpanan beras, tuak dan benda-benda
lainnya sampai kepada tempat penyimpanan mayat. Bentuk dan motif yang ada pada
bejana ini pun bermacam-macam pula yang menentukan penggunaannya. Ia juga
merupakan lambang kekayaan dan status social seseorang. Di kalangan suku-suku
tertentu bejana merupakan salah satu syarat sebagai “mas kawin”.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
5. system perladangan</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Bennett
(1976;247) melihat bahwa adaptasi merupakan perilaku responsive manusia
terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata
system-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya agar dapat
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut
berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan
tertentu dan kemudia membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk
menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan
suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun social (Alland, Jr,
1975; Alland, Jr dan McCay, 1973; Moran, 1982, 1983). Sebagai suatu proses
mengatasi suatu perubahan, hal ini dapat berakhir dengan sesuatu yang
diharapkan. Oleh karena itu, strategi adaptasi merupakan suatu system interaksi
yang terus-menerus antara manusia serta antara manusia dengan ekosistemnya
(bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 76-77; Abdoellah, 1997:51-53).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menurut McElroy dan Townsend
(1989), kemampuan suatu kategori individu untuk beradaptasi mempunyai nilai dan
makna bagi kelangsungan hidupnya. Semakin besar kemampuan adaptasi makhluk
hidup, semakin besar pula kelangsungan hidup makhluk tersebut. Sejalan dengan
pandangan ini, Sahlins (1968) berpebdapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses
dimana siatu kategori individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya. Oleh
karena itu, baik Sahlins maupun <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Anderson</st1:city></st1:place>
(1973) berpebdapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang
berkesinambungan dan tidak akan pernah berakhir dengan kesempurnaan. Jadi
adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, karena lingkungan dan
populasi manusia selalu berubah (Hardesty, 1977 via Abdoellah, 1997).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Berdasarkan konsep adaptasi ini,
hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya harus bersifat sirkuler.
Artinya, tingkah laku manusia (kebudayaan) dapat mengubah suatu lingkungan, dan
sebaliknya lingkungan yang berubah itu memerlukan adaptasi yang selalu di dapat
diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di
lingkungan tempat tinggalnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 75-76). Oleh karena itu,
adalah releven apa yang dikatakan oleh Alland Jr (1975: 70), yaitu bahwa <i>to combine the study of bebavioral
adaptation as human ecology (external adaptation) with the investigation of
mental structures (internal adaptation) and their manifestation in actual
behavioral system.</i> Inilah yang disebut ekologi structural di mana ada
interaksi antara <i>mind, behavior, and
ecological adaptation </i>(1975:59).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sementara itu, para pengikut
posibilisme kebudayaan berpandangan bahwa lingkungan selalu bersifat memberi kemungkinan
dan pembatasan-pembatasan bagi terbentuknya suatu bentuk kebudayaan tertentu
sebagai akibat dari proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam ataupun
lingkungan social budayanya (bdk. Sahlins, 1968). Pandangan ini merupakan
reaksi terhadap determinisme kebudayaan (bdk. Kaplan dan Manners, 1999; Ellen,
1991). Penganut determinisme lingkungan dan paradigma positivisme linear
berpandangan bahwa lingkungan menjadi penentu kebudayaan manusia (bdk. F.
Barth, 1968; Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Sedeangkan positivisme
memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan
fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, dimanipulasi, dan
digeneralisasi sehingga gejala didepan bias diprediksikan. Ilmu-ilmu social
yang menganut paham ini harus mengunakan metode ilmiah yang objektif dan bebas
nilai. Dengan perkataan lain, positivisme masyarakat pemisahan fakta dengan
nilai dalam rangka pemahaman objektif atas realitas social. Implikasinya adalah
bahwa proses perkembangan masyarakat dianalogikan secara linear (bdk. Rimbo G.
dkk., 1998).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sisten
perladangan (berpindah) adalah budaya yang merata di kalangan penduduk asli <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>. Walaupun ini tidak dapat dikatakan khas
dayak, karena system perladangan ini terdapat dimana-mana di Indonesia ini,
namun ada segi-segi yang khas dapat dikategorikan sebagai budaya suku dayak.
Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan adapt berladang:</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>permintaan izin dari kepala suku/kepala adapt;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>pencarian hutan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan
tertentu, baik dari segi pengetahuan tentang alam, maupun dari segi kepercayaan
apakah hutan yang akan digarap itu akan mendatangkan kebahagiaan atau
kecelakaan;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>upacara membuka hutan dan penggarapan selanjutnya
seperti tebang, bakar dan pembersihan;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>penanaman padi dengan system “menugal” yaitu mengunakan
tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih
padi;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembukaan awal dan
penugalan biasanya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh penduduk;
pekerjaan ini dilakukan secara bergiliran ditiap-tiap lading. Dengan demikian
kebutuhan akan tenaga kerja dapat diatasi bersama;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>kerja menuaipun dilakukan lagi secara gotong-royong;</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>peristiwa menugal dan menuai dianggap peristiwa
kegembiraan, dan sebab itu hamper selalu dibarengi dengan nyanyian dan
tari-tarian.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Walaupun ada
diantara suku-suku Dayak ini yang telah mempergunakan system persawahan, dengan
irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti dikalangan <i>suku-suku Lun Daye</i> di Karayam – Kaltim
dan <i>suku Kalabit</i>, namun pada umumnya
semua terbiasa dengan system perladangan. System perladangan ini sudah
memeperhitungkan siklus rotasi tanaman, dengan menanam kembalii bekas
perladangan dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi, karet dan pohon
buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar
kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudia
setelah masa daur 4-6 tahun baru diharap kembali. Oleh sebab itu <b>perladangan (berpindah) tidak bisa
dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
6. kedudukan wanita dalam masyarakat</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
System geologis
dalam masyarakat Dayak adalah parental, di mana garis keturunan ayah-ibu
dianggap sama. Ini berbeda dengan system patrilineal (garis keturunan
ayah/lelaki) ataupun system matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Karena
itu dalam masyarakat dayak pada hakekatnya kaum wanita mempunyai kedudukan yang
sama dengan kaum pria. Baik dalam kehidupan social maupun kehidupan religius
kaum wanita cukup menonjol peranannya. Bila dibandingkan dengan agama-agama
lain seperti Kristen yang memerlukan waktu yang panjang sekali untuk
membangkitkan wanita menjadi pendeta. Maka dalam masyarakat dayak sudah sejak
semulanya kaum wnaita berperan sebagai <i>balian</i>
(imam, prietress). Di kalangan suku Maayan umpamanya, jabatan balian kematian (<i>wadian matei</i>) hanya dijabat kau wanita.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kedudukan saa
kaum wanita ii dijamin dalam hokum adapt, seperti dalam hokum adapt perkawinan.
Pada dasarnya perkawinan di kalangan susku dayak bersifat monogamy. Adanya
poligami adalah suatu keadaan yang tidak normal, keadaan yang luar biasa atau
diluar kebiasaan. Bila hal tersebut terjadi ada ketentuan adapt yang memberikan
keunggulan kepada istri pertama. Bila terjadi perjinahan, ada sanksi-sanksi
yang tegas dalam hokum adapt. Biasanya pengaturannya cukup rinci, seperti:</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>perjinahan dengan wanita yang sudah bersuami; inipun
dibedakan lagi antara wanita yang sudah punya anak dengan yang belum punya anak.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l7 level1 lfo4; tab-stops: list .5in; text-indent: -.25in;">
-<span style="font-size: 7pt;">
</span>Perjinahan yang dilakukan oleh lelaki yang sudah
beristri hukumnya berbeda dengan lelaki yang belum beristri; dan banyak lagi
ketentuan-ketentuan adapt yang pada dasarnya hendak menjamin kedudukan wanita.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
7. seni tari</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dalam
masyarakat tradisional, tdilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan
seremonial. Namun ada juga tarian yang diadakan pada kesempatan umum, seperti
pada waktu gotong-royong menanam padi dan waktu menuai. Tarian pada dasarnya
merupakan seleberasi kehidupan. Oleh sebab itu sejauh saya mengetahui, hokum
adapt dikalangan suku dayak melarang diadakannya tari-tarian selama masa
tertentu setelah peristiwa kematian. Pada akhir ritus kematian, yang menandakan
kembali ke kehidupan, diadakanlah pesta tari-tarian yang meriah.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tarian
dikalangan suku dayak tidak dikhususkan kepada kaum spesialis penari, tetapi
pada dasarnya selalu merupakan tarian rakyat, di mana setiap orang,
laki-perempuan, tua-muda ikut berpartisipasi. Falsafah tarian itu selalu
menunjuk kepada perayaan kehidupan, kelepasan dari ketakutan terhadap maut
serta segala rasa duka pribadi; ia melukiskan klimaks dramatis dari suatu
transisi dari kematian ke kehidupan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sebagai tarian
rakyat, walaupun ada pola gerak tarian itu, namun setiap peserta bebas
mengadakan improvisasi-improvisasi menurut variasinya sendiri. Tidak ada gerak
yang didiktekan oleh bentuk tarian tersebut. Semua tarian dikalangan suku dayak
memperluhatkan wajah tarian popular, artinya tidak merupakan ungkapan feudal,
seperti tarian keratin dan sejenisnya. Kebebasan mengadakan inprovasisasi dalam
tarian memperlihatkan adanya aspek-aspek kompetitif yang kreatif.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Masa kini
sebagai akibat tuntutan kemoderenan, apa lagi dalam proses melakukan
parawisata, maka gerakan-gerakan bebas itu telah dikoreografikan menjadi
gerakan kelompok, yang dilakukan oleh para penari menurut pola geometris dengan
gerak-gerak bersama. Masalahnya tentu bagaimana menemukan jalan agar kekuatan
vital dan orisinalitas tarian itu dapat dilanjutkan dan dipertahankan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
ADAT</div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: .5in;">
Orang Dayak juga sangat berpegang
teguh pada hokum adat atau adat-istiadat tradisional nenek moyang mereka yang
diwariskan turun-temurun (Schaerer, 1963; Ukur, 1971; Garang, 1974; Coomans,
1993; Schiller, 1997).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
. “Sistem adat” sebenarnya merupakan satu keseluruhan sistem
yang berisi pengetahuan mengenai <i>sifat-sifat
alam</i>, pengetahuan mengenai moralitas dan etika manusia, pengetahuan
mengenai keterbatasan manusia, dan pengetahuan tentang bagaimana perilaku
manusia, kecenderungan-kecenderungan yang jahat dapat melukai manusia lain
sekaligus melukai alam, bersandar pada <b>moralitas</b>
<b>keseimbangan.(</b>Bagus S). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kata
“adat” yang sering dipergunakan oleh masyarakat Dayak tidak menunjuk pada
sesuatu yang monolitik atau sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih
besar, melainkan menunjuk pada suatu keseluruhan yang mungkin terwakili oleh
sesuatu yang merupakan bagian. Pada konteks-konteks tertentu kata adat dapat menunjuk pada aturan, ritual atau
sistem religi, namun secara keseluruhan pengertian mengenai adat adalah
kesatuan yang utuh dari semua itu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kepeimpinan lokal </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pada zaan dahulu,suatu <i>benua</i>
dipimin oleh kepala adat Besar yang
disebut <i>Mangku</i>,sedangkan <i>luug</i> dipimpin oleh kepal adat keci
(let-let mangku)dan petinggi atau kepala kamug menurut struktur kepemimpinan lokal.kepala adat kampung
memperhatikan soal-soal adat,hukum adat,peradilan adat di kampung,sedangkan
petinggi memperhatikan hah-hal di luar bidang adat tersebut.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Asal-usul sistem kepemimpinan tersebut bisa dijelaskan
dengan melihat asal-usul pembukaan suatu kampung atau pemungkiman .perintis
pertama dan para pengikutnya dalam membuka ladang di hutan primer biasanya
didirikan suatu lug atau perkampungan. Kemudian ,perintis diangkat oleh
pengikutnya menjadi kepala lug dan di beri gelar <i>merbajag</i>,sedangkan seluruh kerabat dan keturunanya di sebut
bajig.selain <i>merbajag</i>,ada <i>penggawag</i> ,yaitu pengawal <i>merbajag</i> dan fungsionaris lain yang
disebut <i>mantig tatau</i> yang bertugas
memperhatikan kepentingan dan kesejahteran warga benua atau lug.ada pula yang
disebut <i>pemanuk</i> yang berfungsi
sebagai penglima dan pemimpin perang suku <i>(balaag</i>).ada
lagi yang disebut <i>pemancarang</i> yang
dipilih dari kalangan <i>bajig</i> untuk
mengatur kehidupan adat dan peradilan adat<i>(besarag-besagig)</i>.dalam
struktur kepemimpinan ini,ada orang secara khusus memperhatikan perladangan
warga kampung,yang disebut <i>kepala padang</i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
DAYAK KANAYATN</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Terminologi untuk memberi nama
pada suku ini Dayak Kanayatn, sampai sekarang pada tataran peneliti antropologi
dan sebagian besar masyarakat akar rumput masih dipertanyakan. Penyebabnya
adalah bagi masyarakat akar rumput mereka menamai dirinya BAAHE, adapula yang
menamai dirinya Dayak Bukit, dan sebutan-sebutan berdasarkan aliran sungai.
Sedangkan pada tataran ilmiah (peneliti) tidak terdapatnya sebutan Dayak
Kanayatn pada dokumen-dokumen tentang suku-suku penghuni Kalimantan. Dari
berbagai dokumen hasil penelitian asal- muasalnya yang bisa diterima adalah
pada rumpun Dayak Selako . Sejarah sebutan Dayak Kanayatn masih menarik untuk ditelusuri,
terutama bagi generasi Dayak yang menyebut dirinya Kanayatn itu sendiri.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dasar Pemikiran bahwa mereka
(baahe,bajare,banana’) juga Dayak Salako, menurut Simon Takdir adalah premis bahwa mereka yang berbahasa
baahe/banana’ dan ba ngape adalah Dayak Salako antara lain persamaan antara
praktek agama tradisional dan bahasanya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menurut
orang tua-tua duhulu,dan bahkan menurut orang yang berbahasa bakati sendiri
bahwa kanayatn itu adalah mereka yang berbahasa bakati;banyadu,bainyam,dan
dialek serumpun lainya. Proses pengambilan nama oleh Dayak Salako kabupaten
Pontianak (kabupaten yang dulu) terhadap nama kanayatn (kandayan) barang kali
berpatokan dari buku karangan seorang Missionaris (bukan antropolog) Pastor
Donatus Dunselman Ofm Cap,yang berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van DeTaal En
Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo (1949)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Penelitian
Dunselman banyak dilakukan di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu.saya tahu bahwa
daerah Tiang Tanjung dekat dengan desa-desa orang
bakati’(Jirak,Sebangki,Timpurukng) dan desa-desa orang
banyadu’(pentek,semade,perigi).kontak antara komunitas dalam hal
bahasa,pertukaran barang,perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang
Tanjung.barangkali Dunselman bertanya seperti ini “urakng ahe ba kita’ nian?”
Informan ini menjawab”Aku nian urakng Kanayatn”.Tanpa mengorek informasi lebih
jauh lagi Dunselman langsung mematenkan informasi itu.saya menduga informan itu
mengatakan kalau dirinya dulu orang kanayatn yang berbahasa bakati’/nyadu’tapi
sekarang menikah dan tinggal di Tiang Tanjung sehingga menjadi komunitas Tiang
Tanjung dan berbahasa baahe/banana’menurut saya disinilah letak kekeliruan itu
sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bukti
lain dari kekeliruan itu adalah artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas
Putra (1997) mereka mengatakan :</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
“
<i>menurut beberapa sumber,pada tahun 1948 orang-rang yang berdialeg bakati’dan
banyadu’yang sekolah di Nyarumkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang
dari samalantan dan pahuman.menurut orang Dayak Bukati Talaga orang kanayatn
itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’mereka
misalnya tidak mampu mngucapkan kata-kata yang berakiran dengan:
utn.atn-ikng,-ukng-ekng,secara baik dan benar.dan yang tidak fasi berbahasa
ahe/banana itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek
Mpape,-banyadu’ dan balangin<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Secara etnik dapat disimpulkan
bahwa mereka yang tidak fasih berbahasa baahe/banana adalah mereka yang
non-baahe/non-banana’yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak dapat
seperti penutur asli)dalam ucapan baahe/banana’-nya.jadi mereka non baahe/non
banana’ adalah Kanayatn.dengan demikian yang fasih berarti bukan kanayatn
(kandayan).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Agama Tradisional </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Praktek
agama tradisional antara wilayah membagian Kabupaten yang dulu yaitu Kabupaten
Sambas dan Kabupaten Pontianak adalah sama secara umum.misalnya,mithos
Ne’Kulup,kosa kata untuk perangkat persembahan (Nyangahatn) misalnya
tumpi’poe’,apar,buis,pabayo,pantak,soor (salor),dan tempat-tempat mistis
seperti bukit Bawakng, Nek Bancina Tanyukng Bunga (bukit sungai Raya/Pasir
Panjang ) berada dikabupaten Sambas.</div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-right: 0in; tab-stops: 135.0pt;">
<span lang="IN">Bagi suku Dayak, Nyangahathn berarti
melantunkan mantra kepada Jubata, yang</span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-right: 0in; tab-stops: 135.0pt; text-indent: 0in;">
<span lang="IN"> merupakan bagian
dari rangkaian kegiatan religius mereka. Dalam tesisnya berjudul “Mantra
In Baliathn In The Dayak Kanayathn Siciety” Regina menulis
bahwa “ Baliathn in the DK
(Dayak) Society is the speech event in which a series of activity are done,
such bayanyai’, (discussing), nyangahathn (saying prayer), singing the mantra
by the shaman and his/her assistent, batarang mata (giving information) babatak
lala’ (telling that something ia taboo to be done or to be eaten) and basene’ ayo (returning the human’s spirit
at the closing of the ceremony) (1997:27). Dari kutipan ini dapat dikemukakan
bahwa Nyangahathn diterjemahkan
sebagai Saying Prayer, yang
berarti melantunkan doa atau berdoa. </span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-right: 0in; tab-stops: 135.0pt;">
<span lang="IN">Selain itu dari kutipan di atas juga terungkap bahwa dalam Baliathn, sebelum memulai membaca mantra
(singing the mantra), terlebih dahulu dilakukan Nyangahathn. Perbedaan
tahapan antara Baliatn dan
Nyangahatn, secara eksplisit menunjukkan
bahwa melantunkan mantra sebagai Nyangahatn, berbeda dengan melantunkan mantra
untuk tujuan Baliathn. Sedangkan menurut
Bahari Dinju, Dkk, Nyangahathn adalah wujut upacara religius. Ia mengatakan untuk mewujudkan kepercayaan
tersebut masyarakat Dayak Binua kaca’
selalu melaksanakan dalam bentuk
upacara religius. Dalam bentuk yang paling sederhana ungkapan religius ini dinamakan BABAMAKNG, yaitu ungkapan kepercayaan dalam pernyataan pendek
tanpa atau dengan kurban sederhana, yaitu nasi’ dua’ gare’ (nasi dan garam,
atau sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau dan rokok daun nipah). Sedangkan bentuk yang besar disebut
Nyangahathn. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .25in;">
Pengertian Nyangahatn sebagai tindakan saying mantra atau pelantunan
mantra, cenderung hanya memberikan
tekanan pada perlakuan terhdap unsur lisan dari
kegiatan tersebut. Padahal
kenyataannya tindakan melantunkan mantra hanyalah bagian dari keseluruhan
kegiatan, dan hanya dapat dilaksanakan apabila seluruh syarat dipenuhi yang
meliputi : sajian, tempat, waktu serta kemampuan khas tokoh atau petugas
nyangahatn yang disebut Panyangahatn<b><i>.
</i></b>Berdasar kenyataan tersebut,
istilah Nyangahatn tidak hanya menekankan pada pelentunan unsur lisannya,
melainkan melingkupi keseluruhan
kegiatan dan syarat yang mendukung dilaksanakan kegiatan Nyangahatn. Dengan
demikian <b><i>Nyangahatn dapat dijelaskan sebagai tatacara melantunkan atau
menyampaikan ungkapan yang khas Dayak yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa
syukur, mohon rejeki perlingdungan dan
keselamatan kepada Awa pama (roh leluhur) dan Jubata (Subjek yang illahi), yang
disertai penyerahan kurban (palantar) dengan tatacara yang seragam, yang telah
ditetapkan oleh adat.<o:p></o:p></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 22.5pt;">
Berdasar penjelasan di atas, maka
istilah Nyangahatn dapat disejajarkan bersinonim dengan istilah upacara dalam bahasa Indonesia. Sesuai Kamus Bahasa
Indonesia, kata upacara memiliki
pengertian peralatan; tindakan atau
rangkaian perbuatan yang terikat peraturan adat atau agama. Sedangkan
Nyangahathn adalah rangkaian tindakan yang terikat pada adat suku Dayak. Dengan
demikian istilah Nyangahatn memiliki pengertian yang identik dengan upacara. Sedangkan unsur lisan yang dibacakan atau
dilantunkan disebut Sangahatn.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 51.0pt; text-align: justify;">
Dalam rangkaian kegiatan berladang suku Dayak, dikenal paling tidak </div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
18 tahapan
Nyangahatn (upacara adat) sebagaimana
terlihat pada gambar mengenai Kronologis Kegiatan dan Upacara Adat perladangan Suku Dayak kanayatn
Kalimantan Barat berikut ini:</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
KEGIATAN NON
UPACARA KEGIATAN
BERUPA UPACARA</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
</div>
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td height="9" width="35"></td>
<td width="252"></td>
<td width="2"></td>
<td width="264"></td>
</tr>
<tr>
<td height="2"></td>
<td align="left" colspan="3" valign="top"><img height="2" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif" v:shapes="_x0000_s1027" width="518" /></td>
</tr>
<tr>
<td height="4"></td>
</tr>
<tr>
<td height="728"></td>
<td></td>
<td align="left" valign="top"><img height="728" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif" v:shapes="_x0000_s1028" width="2" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 4px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251647488;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif" v:shapes="_x0000_s1029" width="39" /></span>
Baburukng</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 3px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251648512;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1030" width="39" /></span>
Ka’
Pantak</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 106px; margin-top: 2px; position: absolute; width: 183px; z-index: 251649536;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif" v:shapes="_x0000_s1031" width="183" /></span>Pilih lahan</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 2px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251650560;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1032" width="39" /></span>
Ngawah (+ toto’ Pangalabur)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 106px; margin-top: 8px; position: absolute; width: 183px; z-index: 251651584;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image007.gif" v:shapes="_x0000_s1033" width="183" /></span>Nebas</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 214px; margin-top: 7px; position: absolute; width: 75px; z-index: 251652608;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image008.gif" v:shapes="_x0000_s1034" width="75" /></span>Mengistirahatkan mata besi</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
Dan
mengeringkan tebasan</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 6px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251653632;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1035" width="39" /></span>
Nyangahatn Raba</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 106px; margin-top: 0px; position: absolute; width: 183px; z-index: 251654656;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image007.gif" v:shapes="_x0000_s1036" width="183" /></span>Membakar</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 5px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251655680;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image009.gif" v:shapes="_x0000_s1037" width="39" /></span>
Balabuh Ka’ Pabanihan (atau</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
Balabuh Padapm Api</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 106px; margin-top: 4px; position: absolute; width: 183px; z-index: 251656704;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image010.gif" v:shapes="_x0000_s1038" width="183" /></span>Nugal</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 10px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251657728;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1039" width="39" /></span>
Muakng Tabut</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="position: relative; z-index: 251658752;"><span style="height: 12px; left: 287px; position: absolute; top: -3px; width: 39px;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image011.gif" v:shapes="_x0000_s1040" width="39" /></span></span>
Ngamalo Lubakng Tugal</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="position: relative; z-index: 251659776;"><span style="height: 12px; left: 287px; position: absolute; top: -4px; width: 39px;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image012.gif" v:shapes="_x0000_s1041" width="39" /></span></span> Ngiliratn (Muang Baho)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 106px; margin-top: 2px; position: absolute; width: 183px; z-index: 251660800;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image013.gif" v:shapes="_x0000_s1042" width="183" /></span>Merumput</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 8px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251661824;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif" v:shapes="_x0000_s1043" width="39" /></span>
Nyiakng Buntikng Laki (padi 3 bln)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
Dan
Nyiakng Buntikng Bini (4 bln)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 178px; margin-top: 7px; position: absolute; width: 111px; z-index: 251662848;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image014.gif" v:shapes="_x0000_s1044" width="111" /></span>Persiapan/pakarangan</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 0px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251663872;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image012.gif" v:shapes="_x0000_s1045" width="39" /></span>
Macah Talo’ Padi Mampar</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 0px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251664896;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif" v:shapes="_x0000_s1046" width="39" /></span>
Ngikat/ngabat
Pihawakng (siap </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
Ngetam</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="position: relative; z-index: 251665920;"><span style="height: 12px; left: 287px; position: absolute; top: -1px; width: 39px;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1047" width="39" /></span></span>
Marantika (Penyerahan Panen </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
Perdana)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 4px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251666944;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif" v:shapes="_x0000_s1048" width="39" /></span>
Ngarantuk (sentuhan pemberkatan)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 3px; position: absolute; width: 39px; z-index: 251667968;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1049" width="39" /></span> Matahatn (Pesta)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="height: 12px; left: 0px; margin-left: 106px; margin-top: 8px; position: absolute; width: 183px; z-index: 251668992;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image010.gif" v:shapes="_x0000_s1050" width="183" /></span>Panen</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<span style="position: relative; z-index: 251670016;"><span style="height: 12px; left: 287px; position: absolute; top: -4px; width: 39px;"><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif" v:shapes="_x0000_s1051" width="39" /></span></span>
Mabut Pihawakng</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
(membawa semangat padi pulang</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
ke dango- tempat menyimpan padi).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
</div>
<table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0">
<tbody>
<tr>
<td height="0" width="287"></td>
</tr>
<tr>
<td></td>
<td><img height="12" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image015.gif" v:shapes="_x0000_s1052" width="51" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
Naik Dango </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
(Herman Ivo, dkk.,1999:3)</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 22.3pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<u>Catatan</u>:</div>
<div class="MsoBodyText3">
<span lang="IN">Upacara Ngikat dilaksanakan pagi hari, dilanjutkan dengan
penetaman padi untuk keperluan persiapan pelaksanaan Upacara marantika pada
subuh keesokan harinya, yang dilanjutkan dengan Upacara Ngarantuk. Upacara
Matahatn, dilaksanakan beberapa hari setelah
Ngarantuk, agar masyarakat
memiliki waktu cukup melaksanakan pesta ini secara bersama. </span></div>
<div class="MsoBodyText3">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bahasa</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Secara
isoglos ( garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata dalam
bahasa serumpun) menunjukan bahwa bahasa ba’ahe/banana’ dan bahasa
badameo/bajare adalah berasal dari satu rumpun. Secara umum kosa kata adalah
sama namun perbedaan ucapan dan beberapa kosa kata lainya karena hasil dari
penyesuaian terhadap lingkungan.saya membagi bahasa Salako ini menjadi tiga
ragam dialek (isolek) yaitu</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: 5.4pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-insideh: .5pt solid windowtext; mso-border-insidev: .5pt solid windowtext; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 83.15pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dialek Badameo/badamea/jare</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dialek Ahe /Jare</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ahe/janya</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.6pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bahasa Indonesia</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 83.15pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Daerah</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Binuo Bantanan,</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Binuo Sakawokng</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sawak,Gajekng</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Mampawah/Sa’iri</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sangah dan Menyuke</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.6pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 83.15pt;" valign="top" width="111"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kata/Kalimat</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dameo/Damea </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sio/sia</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Na’un</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ahe jare</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sia</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Naun</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.55pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ahe janya,Ape</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Keatn,kea</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Naung,naun</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 88.6pt;" valign="top" width="118"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Apa katanua </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sini </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sana</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Adanya dua hal yang sama diatas
menunjukan bahwa mereka berasal dari satu titik sentral,yaitu dari daerah
salako (austronesia) di kabupaten Sambas.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perbedaan yang ada dalam praktek
agama tradisional dalam bahasa (isolek) karena hasil proses adaptasi terhadap
lingkungan serta kontak budaya (alkurturasi) dengan dunia luar.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kontak
budaya dengan dunia luar telah terjadi antara daerah Pakana (Karangan) di
Mempawah Hulu dengan kerajaan Majapahit pada pertengahan tahun 1300 M.ketika
itu Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta yang dibantu oleh Patih Gajah Mada dan
membawa Majapahit ke jaman keemasaan. Perluasan daerah terjadi sampai ke
Kalimantan Barat yaitu kerajaan Sidiniang di Karangan. disini Gumantar dalam
mengenang Raja pendiri Majapahit,Raden Wijaya yang bergelar Kertajasa
Jayawardana (1293-1309) memberi nama putri nya Dara Irakng (Dara
Hitam).Kertajasa selain menikahi empat putri Kertanegara (Raja Singosari) juga
menikahi Dara Jingga yang bergelar Sjri Indresjwari,seorang putri dari kerajaan
Melayu yang dibawa Panglima kerajaan Singosari sebagai upeti.pada waktu telah
terjadi pengaruh ucapan bahasa dari bahasa Kawi (jawa kuno) kebahasa daerah
setempat.Misalnya</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: 5.4pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-insideh: .5pt solid windowtext; mso-border-insidev: .5pt solid windowtext; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 105.3pt;" valign="top" width="140"><div class="MsoNormal">
Bhs.Kawi</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 110.7pt;" valign="top" width="148"><div class="MsoNormal">
Dialek Ahe/Janya</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 110.7pt;" valign="top" width="148"><div class="MsoNormal">
Dialek Dameo/Jare</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 110.7pt;" valign="top" width="148"><div class="MsoNormal">
Bahasa Indonesia</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 105.3pt;" valign="top" width="140"><div class="MsoNormal">
1.Pahoman</div>
<div class="MsoNormal">
2.Walu</div>
<div class="MsoNormal">
3.Tineget/tenget</div>
<div class="MsoNormal">
4.Marga</div>
<div class="MsoNormal">
5.Walyan</div>
<div class="MsoNormal">
6.Sunsang</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 110.7pt;" valign="top" width="148"><div class="MsoNormal">
Pahuman</div>
<div class="MsoNormal">
Balu</div>
<div class="MsoNormal">
Teget</div>
<div class="MsoNormal">
Maraga</div>
<div class="MsoNormal">
Baliatn</div>
<div class="MsoNormal">
Sunsakng</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 110.7pt;" valign="top" width="148"><div class="MsoNormal">
Pahauman</div>
<div class="MsoNormal">
Bau</div>
<div class="MsoNormal">
Teget</div>
<div class="MsoNormal">
Marago</div>
<div class="MsoNormal">
Baiyotn</div>
<div class="MsoNormal">
Sunsokng</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 110.7pt;" valign="top" width="148"><div class="MsoNormal">
Tempat sidang</div>
<div class="MsoNormal">
Duda</div>
<div class="MsoNormal">
Tolak</div>
<div class="MsoNormal">
Jalan</div>
<div class="MsoNormal">
Belian</div>
<div class="MsoNormal">
Kepala kebawah</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Daerah Kabupaten Sambas
(kabupaten yang dulu) mempunyai dialek dengan fonem/o/ dalam contoh 4 dan
6.dialek ini muncul karena barang kali pengaruh kerajaan Sriwijaya di Palembang
lebih kuat,Dialek tersebut lebuh mirip dengan bahasa Palembang,misalnya :ngpo
(ngapa),kamano (kemana,dst.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span lang="SV">4.2. MENGURAI
IDENTITAS ETNIK MELAYU SAMBAS<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">Sosio Historis <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Melayu sesungguhnya meliputi seluruh suku
bangsa yang ada di Nusantara . Tapi dalam perkembangan selanjutnya Melayu adalah orang yang beragama Islam dan
berbahasa Melayu. Merujuk pada Anwar Din
(2008:13-15), <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-indent: -1.0in;">
<span lang="SV"> Orang Melayu terbentuk
daripada gabungan pelbagai kumpulan etnik. Sebagahgiannya terdiri daripada
masyarakat watan di Semenanjung Tanah Melayu, iaitu orang Kelantan, orang
Terengganu, orang Kedah, orang Pahang, orang Johor, orang perak dan orang
Melaka. Sebahagian lagi berasal dari keturunan Jawa, Sunda, Bugis-Makasar,
Minangkabau, Banjar, mandailing, Krinci, Riau, Boyan, acheh dan Jambi. Selain
itu, terdapat komuniti-komuniti lain seperti orang Arab, India, Siam, Cina, dan
erofah beragama Islam yang menjadi Melayu. Asas penyatuan Melayu ialah agama
Islam dan bahasa melayu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Teori tentang asal usul orang Melayu yang
agak relevan telah diberikan oleh Stamford Raffles sejak awal abad ke-19 lagi
(Anwar Din, 2008:15). Merujuk Anwar Din, Stamford Raffles begitu cemburu dengan
Islam, namun beliau mengakui sumbangan Islam dalam pembentukan orang Melayu. </span>Menurut
beliau :</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-indent: -1.0in;">
The most
obvious and natural theory on the malay origin is that they did not exist as a
separate and distinct nation until the arrival of the Arabians in the <st1:place w:st="on"><st1:placename w:st="on">Eastern</st1:placename> <st1:placetype w:st="on">Seas</st1:placetype></st1:place>. At the present day they seem to
differ from the more original nations, from which they sprung in about the same
degree, as the Chuliahs of Kiling differ from Tamil and Telinga nations on the
Coromandel coast, or the Mapillas of Malabar differ from the Nairs, both which
people appear in like manner with the Malays, to have been gradually formed as
nations, and separated from their original stock by the admixture of Arabian
blood, and the introduction of the Arabic language and Moslem religion.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<st1:city w:st="on">Menurut Shamsul</st1:city>,<st1:state w:st="on">AB</st1:state> ( dalam Yusuf Ismail dan Rahimah, 2000: 194-195), <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Stamford</st1:city></st1:place> raffles adalah
orang pertama yang memperkenalkan konsep the Malay Nation, the Malay race. Di
dalam bukunya “ On the Malayu nation, with a Translation of its Maritime
Institutions” yang diterbitkan dalam jurnal Asiatic Researcher (Calcutta, 1816,
12 :140-160). Konsep bangsa Melayu berasaskan bahasa. Konsepsi Raffles secara
epistimologis dipengaruhi oleh pendekatan Johann Herder (1744-1803) seorang
pemikir Jerman yang menganjurkan konsep ‘ bahasa jiwa bangsa’. Konsep ‘ bangsa
Melayu’ Menurut Raffles ini sebagai
berikut :</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify; text-indent: -1.0in;">
…. I
cannot but consider the Malayu nation as one people, speaking one language,
though spread over so wide a space, and preserving their character and customs,
in all the maritime states lying berween the <st1:placename w:st="on">Sulu</st1:placename>
<st1:placetype w:st="on">Seas</st1:placetype> and the Southern Oceans, and
bounded longitudinally by Sumatra and the western side of Papua or <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">New Guinea</st1:country-region></st1:place>
(Raffles, 1816 : 103)</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dapat
kita rumuskan dari uraian tersebut bahwa Raffles telah mempunyai gambaran yang
jelas tentang ‘sempadan fizikal/batas wilayah’ kawasan penempatan bangsa
Melayu, yang kemudiannya kita kenal sebagai ‘alam Melayu’, ‘Dunia Melayu’, atau
‘Nusantara’.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Selain
dari konsep bahasa itu, Raffles juga menambahkan dengan memasukan konsep sejarah untuk bangsa Melayu. <span lang="FI">Kosepnya itu ialah Salalatus-Salatin
(Peraturan segala Raja-raja) sebagai sejarah Melayu. Selengkapnya Syamsul AB dalam Yusuf Ismail dan Rahimah, 2000: 194-195
mengatakan <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 63.0pt; text-align: justify; text-indent: -63.0pt;">
<span lang="FI"> “ Boleh kita rumuskan bahwa
Raffles, sebagai sarjana perintis, telah meletakan batu asas dan kerangka
epistemologi ilmu kolonial Melayu, bersendikan skema klasifikasi dan teori
sosial Erofah, melalui konsep ’bangsa Melayu berasaskan bahasa’,’konsep wilayah
Melayu’,’konsepsi sejarah Melayu’ dan ’konsep ras melayu’. Ringkasnya, apa yang
telah dilakukannya ialah mengasaskan sebuah ’ paradigma Raffles’.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dalam
pengertian umum, berdasarkan kepada konstitusi Negara <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Malaysia</st1:country-region></st1:place>, ”Melayu” adalah seseorang
yang berbicara serta berbudaya melayu dan beragama Islam <i>(one who speaks Malay habitually, practices Melayu culture, and is a
muslim).</i> Secara geografis suku bangsa muslim yang berbicara dan berbudaya
melayu adalah penduduk dari berbagai suku yang mendiami kawasan Asia Tenggara
yang membentang dari selatan siam, seluruh Malaysia, Brunei Darussalam, seluruh
kawasan Indonesia, dan sebagian Filipina Selatan termasuk Kepulauan Sulu.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Selain itu ada pengertian Melayu yang
lebih luas dan universal lagi dari pada pengertian Melayu secara agama, geografis
dan etnis. Konsep itu adalah ”Alam Melayu”
seperti yang dikemukakan oleh James T. Collins. Menurutnya konsep Alam
Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan pada peranan bahasa Melayu dalam
batas geografi Asia Tenggara. Dalam konsep ini melayu tidak hanya sebatas etnis
dan agama (Islam) melainkan semua komponen semua penduduk Asia Tenggara yang
bahasanya dipertuturkan dengan bahasa Melayu.
Dari konsep ini dapat ditarik kesimpulan umum bahwa orang-orang dari
etnis apapun di Asia Tenggara ini, sekalipun tidak beragama Islam, termasuk
kedalam keluarga besar Melayu asalkan mereka berbahasa Melayu. Melayu ini dapat
dikategorikan sebagai Melayu ”tua”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Banyak perbincangan yang menyoalkan apakah
Melayu merupakan penduduk asli pulau Kalimantan. Untuk mengkritisi masalah ini
ada baiknya kita identifikasikan suku bangsa Melayu melalui tahapan
perkembangan kebudayaannya. Menurut Muhammad Yusoff Hasyim (2000) peradapan Melayu dapat dibagi kepada lima
periode besar, yaitu:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 27.35pt; mso-list: l0 level2 lfo5; tab-stops: list 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV">1.<span style="font-size: 7pt;"> </span></span><span lang="SV">Periode awal, dimulai dengan zaman
pra-sejarah (zaman Batu dan Zaman Logam). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 27.35pt; mso-list: l0 level2 lfo5; tab-stops: list 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV">2.<span style="font-size: 7pt;"> </span></span><span lang="SV">Periode pengaruh Hindu dan Budha, terutama
dalam bentuk sinkretisasi budaza asing dengan budaza setempat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 27.35pt; mso-list: l0 level2 lfo5; tab-stops: list 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV">3.<span style="font-size: 7pt;"> </span></span><span lang="SV">Periode pengaruh Islam, dalam bentuk
pengikisan pengaruh Hindu dan Budha serta perwujudan rasionalisasi pengaruh
Islam dengan pengaruh setempat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 27.35pt; mso-list: l0 level2 lfo5; tab-stops: list 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV">4.<span style="font-size: 7pt;"> </span></span><span lang="SV">Periode pengaruh Asing (Barat dan Timur),
yaitu masa penjajahan: Portugis, Belanda, Jepang, Inggris, dll.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 27.35pt; mso-list: l0 level2 lfo5; tab-stops: list 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<span lang="SV">5.<span style="font-size: 7pt;"> </span></span><span lang="SV">Periode setelah Merdeka: di Indonesia
mulai tahun 1949, di Malaysia mulai tahun 1957, dan di Brunei Darussalam mulai
tahun 1984, dll.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 9.35pt; tab-stops: list 76.3pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Jika kita perhatikan periodesasi tersebut
di atas maka terlihat dengan jelas ternyata Melayu di Asia tenggara telah
sangat tua keberadaannya, dan boleh jadi asal mula Melayu “tua” itu
sesungguhnya ádalah penduduk paling pertama dan asli yang mendiami wilayah
Nusantara dan atau Asia Tenggara itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Suatu penelitian yang dilakukan oleh
Muzium Sarawak melaporkan bahwa komunitas pertama yang mendiami pulau Kalimantan
ini adalah manusia di gua Niah yang telah hidup sejak 50.000 tahun sebelum
Masehi. Gua Niah merupakan satu kawasan studi arkeologi (kajipurba) yang
penting di wilayah Serawak, Malaysia timur, dan juga di Asia Tenggara, terletak
disekitar 110 km keselatan kota Miri. Goa ini telah diteliti oleh Muzium
Sarawak mulai tahun 1954. Banyak barang purba yang ditemukan didalam goa ini yang mengisyaratkan pernah di
huni oleh manusia antara 50.000 – 40.000 tahun sebelum masehi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Menurut Munawar (2003:5) bahwa Suku Melayu di Kalimantan pada hakekatnya
terdiri dari orang Melayu asli yang berasal dari Sumatera atau Semenanjung
Malaka dan yang berasal dari orang-orang Dayak (Melayu-Dayak) dari proses
Islamisasi. Sekarang antara keduanya tidak lagi dapat dibedakan mana yang asli
dan mana yang bukan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dalam konteks Melayu
Sambas pun hal di atas juga
berlaku. Merujuk kepada Bakran Suni, et all (2007:152), bahwa asal usul Melayu
Sambas dapat dibagi kedalam dua
golongan, yang pertama adalah yang berasal dari keturunan raja/sultan Sambas
dan yang kedua adalah orang-orang dari suku bangsa lain yang memeluk agama
Islam dan bertutur dalam bahasa Melayu Sambas. Jadi dengan demikian asal usulnya
tidak tunggal dan tidak pun berazaskan keturunan. Yang Azas adalah beragama Islam dan berbahasa Melayu Sambas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Berdasarkan dua perspektif tadi, yaitu periodesasi
Kebudayaan Melayu dan Manusia Gua Niah, dapat disimpulkan bahwa secara biologis
suku bangsa Melayu di Kalimantan, termasuk Melayu Sambas, tidak lain adalah
penduduk asli Kalimantan itu sendiri, yang pada periode awal mereka hidup
sebagai manusia purba baik dalam kulturnya maupun kepercayaannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Pada periode kedua peradaban Melayu telah
bercorak Hindu-Budha dengan hampir semua kerajaan Melayu tunduk dibawah
pengaruh kekuasaan Majapahit. Ketundukan itu dibuktikan dengan pemberian upeti
kepada Majapahit setiap tahun dalam bentuk satu tempayan (gentong) air pinang
muda. Periode ini berlangsung hingga abad ke-14 M. Sebagaimana kerajaan lain di
Kalimantan Barat, wujud dominasi kerajaan Majapahit di kerajaan yang ada di
Sambas adalah dalam bentuk keterlibatan langsung anak keturunan penguasa
Majapahit di kerajaan ini. Di dalam naskah <i>Asal
Raja-raja Sambas</i> dikemukakan nama-nama penguasa ”Sambas Tua” dan
keluarganya seperti Ratu Sepuda’, Mas Ayu Anom Kesukma Yudha, Mas Ayu Bungsu,
Pangeran Prabu Kencana dan Pangeran Mangkurat yang semua nama dan gelarnya itu
bercorak Hindu-Budha dan Jawa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Setelah kekuasaan Majapahit runtuh dan
poros pengaruh regional nusantara berpindah ke kerajaan Melayu Johor yang
terletak di Semenanjung Melayu, kerajaan Sambas juga tunduk dibawah pengaruh
Johor, meskipun masih tetap bercorak Hindu-Budha.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-right: -4.5pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Pada periode
ketiga Peradaban Melayu yang bercirikan Islam, Sambas telah mengukuhkan dirinya
sebagai bagian dari wilayah Islam yang dimulai dengan dideklarasikan kesultanan
(Kerajaan Islam) Sambas oleh Raden Sulaiman pada tahun 1040H/1630M. Proses
dakwah Islam berikutnya lebih banyak dilakukan dengan pendekatan pembauran,
baik dalam bentuk perkawinan maupun dalam bentuk asimilasi antar adat setempat
dan agama/kepercayaan yang ada dengan ajaran Islam. Dengan demikian ciri utama
kehidupan keagamaan masyarakat Sambas pada masa berikutnya ini ditopang oleh
dua penyangga tersebut, yaitu ajaran Islam dan kepercayaan/budaya setempat.
Oleh penguasa Sambas ajaran Islam dibakukan dalam bentuk <i>Hukum Kanun</i> sedangkan kepercayaan/budaya setempat dibakukan dalam <i>Hukum Adat.</i> Eksistensi dan saling
pengaruh antara kedua hal tersebut melahirkan tiga corak budaya mereka, <i>pertama:</i> Islam dan kepercayaan/adat
setempat sama-sama berlaku dengan masing-masingnya berdiri sendiri, <i>Kedua:</i> pengamalan Islam <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV"> Ditinjau
dari perjalanan sejarahnya, identitas Melayu Sambas yang terlihat sampai saat
ini merupakan hasil interaksi dan akulturasi beberapa kebudayaan besar yang
pernah hadir dan memainkan peranannya di Sambas dalam jangka waktu yang cukup
lama. Beberapa kebudayaan besar yang memiliki andil dalam pembentukan identitas
Melayu Sambas adalah sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV"> <i>Pertama:</i> Kebudayaan Pagaruyung, Mingkabau.
Diantara komunitas pendatang yang pertama datang ke Sambas adalah para perantau
dari Pagaruyung. Pendatang yang terkenal dengan tradisi merantau dan
berlayarnya ini sangat berpengaruh kepada semangat merantau dan berlayar pada
orang Melayu Sambas sejak jaman dahulu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV"> <i>Kedua:</i> Kebudayaan Jawa. Budaya ini
dipastikan ada pengaruhnya dalam pembentukan identitas Melayu Sambas. Sebagian
besar sistem religi dan kepercayaan (seperti kepercayaan kepada makhluk halus
semacam hantu), pola dan sikap hidup (seperti sifat sabar dan mengalah) serta
tradisi tertentu (seperti <i>bepapas</i>)
mirip dengan budaya Jawa. Pengaruh ini terjadi sebagai akibat dari perjalanan
sejarah Sambas yang dalam waktu yang cukup lama, sejak pertengahan abad ke-14,
kekuasaan Jawa telah masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sambas.
Bahkan dapat dikatakan masa awal perpolitikan dan pemerintahan di Sambas adalah
dimulai dan berada di bawah pengaruh langsung kerajaan Majapahit yang bercorak
Hindu/Budha.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span lang="SV"> Ketiga:</span></i><span lang="SV"> Kebudayaan Melayu Brunei dan Melaka. Kebudayaan
ini bercorak Islam dan terpusat di Istana. Melayu Sambas pernah besar dengan
kesultanannya yang gemilang lebih dari tiga abad (1631-1943). Sejarah kekuasaan
di Sambas merupakan simbolisasi kebanggaan yang melegenda, khususnya di
Kalimantan Barat kesultanan Sambas adalah satu-satunya kesultanan tua yang
masih dapat disaksikan peninggalannya secara utuh sampai dengan saat ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<i><span lang="SV">Keempat:</span></i><span lang="SV"> Kebudayaan Bugis. Eksistensi orang Bugis
di Sambas dimulai dengan aktivitas perdagangan mereka ke Sambas dan
disediakannya areal pemberhentian mereka di sekitar pelabuhan Sambas yang
disebut dengan Kampung Bugis. Di antara kebudayaan Bugis yang diserap oleh
Melayu Sambas adalah bahasa, terutama terlihat pada penamaan atau sebutan
tertentu dengan tambahan kata <i>”ng”</i>
seperti <i>main = maing, masin = masing,
kain = kaing.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Menurut
Husna Asmara, (2002:2), <i>Menyikapi
Tekad Mufakat Masyarakat Kalimantan,</i> Pengertian Melayu Sambas ini merujuk
kepada eksistensi suku bangsa Melayu yang ada di Sambas sejak berdirinya
Kesultanan Sambas (1040H/1631M) sampai dengan sekarang ini. Tanpa menyertakan
”Melayu Tua” seperti yang dikonsepsikan oleh Muhammad Yusoff Hasyim berkenaan
dengan Melayu Zaman Pra-sejarah (Zaman Batu dan Zaman Logam) dan Melayu Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha (1992:2-3), serta yang dikonsepsikan oleh Prof. James
T. Collins tentang <i>The Prehistory of
Malay</i> dan <i>Early Malay</i> (1998:vii)
sehingga olehnya digagas perluasan makna Melayu dengan konsep ”Alam Melayu”
(Yusriadi, 2003:vi-vii).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Apabila kemudian kita memadukan berbagai
data-data tersebut di atas dengan etnik asli
yang berdiam di wilayah yang sama sebagaimana yang pernah di rilis oleh ahli-ahli
antropologi, maka kemungkinan besar
sebagian besar etnik Melayu Sambas
berasal dari etnik yang sekarang ini disebut sebagai etnik Selako, etnik Lara, etnik Borneo asli lainnya<a href="file:///E:/CETAK/bab-4.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a>.
Lihat diagram rekonstruksi dibawah ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV"> Diagram
1.<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="tab-stops: 157.5pt; text-align: center;">
<span lang="IN" style="font-size: 14pt;"><img height="276" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image017.jpg" v:shapes="_x0000_i1025" width="575" /><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 45.0pt;">
<span lang="SV">Hibriditas identitas yang
terjadi di Sambas ini sebenarnya menarik untuk dikembangkan sebagai wacana
multikulturalisme di Sambas. Selama ini masyarakat Sambas dikonstruksi sebagai
masyarakat majemuk yang (hanya) terdiri dari tiga suku bangsa dan budayanya
yakni Melayu, Dayak dan Cina. Konstruksi ini demikian kuat didukung oleh Pemda
Kabupaten Sambas, dalam Gelar Budaya Multietnis di Alun-alun Keraton
Alwatzikhoebillah Sambas tanggal 20 Desember 2005 hanya menampilkan kesenian
dari tiga suku bangsa tersebut. Sambas sebenarnya lebih kaya akan keberagaman
budaya karena ada komunitas-komunitas etnis dan budaya lain yang pantas
diperhitungkan seperti Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura dan etnis lain serta
bentuk-bentuk budaya hibriditas yang merupakan hasil dari proses akulturasi
budaya berbagai kelompok etnis. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span><span lang="FI"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="FI">2.2. Sosio Budaya Melayu<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">Apabila membicarakan tentang budaya, dua persoalan pokok yang tidak boleh
diabaikan ialah cara hidup dan sikap sesebuah masyarakat itu terhadap sesuatu
perkara seperti pendidikan, ekonomi, politik, seni dan adat istiadat. </span>Budaya
yang masih terpelihara adalah warisan tradisi yang sudah menjadi darah daging seperti
kenduri kendara, majlis perkahwinan dan sebagainya yang memerlukan penglibatan
saudara mara serta amalan tolong-menolong. Kamus Dewan Edisi Keempat 2005
mendefinisikan sosiobudaya sebagai hubungan masyarakat dengan budaya. Hubungan
ini adalah seperti cara hidup, adat istiadat dan lain lain.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
Menurut Hannerz (1992:3)
menyatakan bahwa…. To study culture is to study ideas, experiences, feelings,
as wel as the external forms that such internalities take as they are made
public, available to the senses and thus truly social. For culture, in the
anthropological view, is the meanings which people create, and which create
people, as members of societies. Culture is in some way collective. Selanjutnya
Anwar Din (2008:33) menyatakan budaya itu tercakup di dalamnya tentang cara
hidup sesuatu masyarakat, tamadun, peradabannya dan kemajuan akal budinya. Dan
pengertian cara hidup itu pula, mencakup hal-hal tentang cara berfikir, adat
istiadatnya, kesenian dan hal-hal mengenai kehidupan mereka seperti cara
berekonomi, cara berpolitik, cara belajar dan lain-lain. Budaya adalah sesuatu
nilai dan pegangan hidup, gabungan dua unsur budi (sesuatu yang luhur, murni
dan suci) dan daya (keupayaan, kemampuan dan kekuatan yang terangkum di dalam
akal, jasmani dan rohani). Kekuatan akal semata-mata tanpa kekuatan jasmani
tidak dapat melahirkan bangsa yang maju, positif dan dapat memenuhi perubahan
dalam semua aspek kehidupan. <span lang="SV">Hassan
Ahmad (dlm Dewan Budaya, 1996), memberikan pendapatnya tentang budaya. Menurut
beliau, mempunyai budaya bererti mempunyai adat, mempunyai peraturan atau sistem
hidup, mempunyai moral dan etika. Kebudayaan adalah tanda bahwa manusia boleh
berfikir, mempunyai perasaan dan daya cipta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<b><span lang="SV">2.2.1.
Kehidupan Masyarakat Melayu Sambas<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dari aspek budaya, masyarakat Melayu Sambas mewarisi budaya yang berasal
dari asal suku bangsa yang membangunnya seperti Bugis, Banjar dan suku bangsa
lainnya yang beraga Islam dan menyebut dirinya Melayu serta diakui sebagai
Melayu. Hal utama yang penting bahwa budaya tersebut adalah berteraskan Islam.
Tauhid dan prinsip-prinsip Islam mendasari setiap aspek kehidupan sama ada
kehidupan individu, berkeluarga, ekonomi, seni, pendidikan dan lain-lain.
Bagaimanapun, terdapat sedikit perbedaan di antara segala jenis gagasan atau
idea yang berpunca daripada agama Islam dengan yang berpunca daripada kehidupan
tempatan masyarakat Islam sendiri terutama sebagai kesan simbolik ataupun
perlambangan terhadap alam ghaib yang ganjil dalam kehidupan. Segala gagasan
yang bukan Islam ini dinamakan adat atau kepercayaan (Zainal Keling, 1989:33).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Masyarakat Melayu tradisional di daerah Sambas masih juga mengekalkan
amalan yang dianuti oleh golongan tua sejak zaman berzaman. Amalan ini
mencakupi pelbagai aspek sosiobudaya yang dianggap unik dan tersendiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">Masyarakat Melayu Sambas juga mempunyai ikatan kekeluargaan dan kekerabatan
antara satu sama lain, sama ada melalui darah keturunan mahu pun melalui
perkahwinan. </span>Hasil kajian daripada penduduk kampung Sasak mendapati
anak-anak mereka yang sudah berkahwin akan membina rumah secara berdekatan atau
berkelompok dengan keluarga mereka yang terdekat. Lagipun pada masa dahulu,
perkahwinan dengan sepupu atau dengan
penduduk kampung itu sendiri menjadi amalan dan budaya masyarakat
Melayu di daerah Sambas.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Kaum kerabat merupakan orang yang amat penting dalam kehidupan mereka. Kaum
kerabat bukan saja dikenali sebagai kaum keluarga tetapi juga sebagai sahabat
karib karena mereka merupakan teman yang paling rapat dan tempat mendapat
bantuan sama ada dalam keadaan suka ataupun duka. Misalnya, apabila ada
peristiwa yang penting seperti perkahwinan, bersalin, khatam Al-Quran,
berkhatan, kematian dan kemalangan. Kaum kerabat akan berkumpul bersama bagi
meringankan beban keluarga yang berkenaan. Bantuan dan pengaruh kaum kerabat
bukan saja dapat dirasakan pada ketika tertentu, bahkan dapat dirasakan
sepanjang hidup seseorang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Satu lagi aktiviti atau amalan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Melayu
Sambas untuk merapatkan lagi hubungan kekeluargaan ialah bersilaturahmi pulang
ke kampung halaman. Bersilaturahmi pulang ke kampung bermaksud menziarahi kaum keluarga atau
sahabat handai dalam jangka masa satu
hingga dua hari dan paling tidaknya sempat makan dan minum.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<b><span lang="SV">2.2.2.
Adat dan Kepercayaan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Agama Islam dan adat tradisi dianggap sama penting dalam kehidupan
masyarakat Melayu Sambas. Ketaatan dan kepatuhan kepada kedua-duanya dipercayai
dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka baik di dunia mahupun
di akhirat. Sebaliknya, ketidakpatuhan terhadap ajaran agama atau adat
dipercayai akan mengakibatkan kecelakaan atau malapetaka seperti sial, rezeki
berkurangan, wabak penyakit, kemalangan, kemandulan, kematian, gangguan makhluk
halus dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Adat dan kepercayaan masyarakat Melayu Sambas menjangkau berbagai aspek
kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan agama. </span>Dalam masyarakat
Melayu Sambas, adat memainkan peranan yang penting dalam menangani hal ehwal
masyarakat Melayu Punca utama adat adalah berupa kaedah-kaedah kehidupan
seharian yang muncul secara langsung daripada rasa keadilan yang tertanam di
kalangan masyarakat. Oleh itu, Penghulu atau Ketua Kampung dalam
penyelesaiannya bukan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi
menjelaskan bagaimana keputusannya terhadap perkara tersebut membawa
keharmonian dan ketenteraman di dalam masyarakatnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
Sementara itu, kepentingan
aspek keagamaan menjadi pegangan masyarakat Melayu Sambas. <span lang="SV">Masyarakat Melayu Sambas khususnya telah lama
menganut agama Islam iaitu sekitar abad ke-15</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-4.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></a><span lang="SV">.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sehingga kini agama Islam mempunyai pengaruh yang kuat dan menebal dalam
kehidupan mereka. Prinsip agama Islam dijadikan pedoman hidup dan sebagai
masyarakat beragama Islam, mereka bersembahyang lima waktu sehari, berpuasa
dalam bulan Ramadhan, membayar zakat dan fitrah, menunaikan fardhu haji,
mengaji dan berkhatam Al-Quran, mengharam daging babi dan minuman keras serta
menyambut perayaan seperti Hari Raya Puasa, Hari Raya Haji dan Maulidur Rasul.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText2" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Bicara
dalam kontek Melayu Sambas tentang upaca ritual adat/keagamaan pada dasarnya
lebih dekat pada ajaran, budaya (culture) agama Islam. Hari-hari besar agama
Islam merupakan hari-hari besar bagi masyarakat Melayu Sambas. Meskipun dalam
implementasinya terdapat pengaruh budaya orang-orang Melayu sebagai budaya
murni etnis yang bukan dari ajaran agama. Sehingga dalam pengamalannya memunculkan
“gaya atau model” seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (sebagai dua kelompok
organisasi keagamaan dalam Islam yang besar). Peringatan bernuansa Islamy yang
sering diperingati/dilaksanakan diantaranya adalah peringatan tahun baru Islam
( 1 Muharam), isro’ mi’raj Nabi ,puasa bulan ramadhan, nuzulul qur’an, hari
raya 1 syawal dan 10 zulhijjah dan sebagainya. Umumnya peringatan-peringatan
bernuansa keagamaan masih diperingati masyarakat Melayu Sambas dengan berbagai
model dan pola tersendiri dari berbagai daerah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Pendek kata, pengaruh agama Islam boleh dirasakan wujud dalam semua
peringkat kehidupan khususnya seperti adat perkahwinan, adat bersalin dan
kelahiran dan adat kematian. Bagi menjaga kepentingan agama Islam dalam
kehidupan mereka , masjid dan surau serta pegawai-pegawai agama dilantik. <i>Pegawai
agama</i>, orang alim seperti Imam, Khatib dan Bilal serta Penghulu dan Ketua
Kampung diberi penghormatan yang tinggi dan kepada merekalah penduduk bertumpu
untuk mendapat penerangan dan penyelesaian agama dan adat istiadat serta
masalah kehidupan seharian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Adat berkhatan juga merupakan tradisi yang diamalkan di daerah ini sedikit
masa dahulu. </span><span lang="FI">Disebabkan
terdapatnya kemudahan kesihatan dan perubatan moden, adat ini semakin
dilupakan. Dalam majlis berkhatan, kanakkanak yang hendak berkhatan, hendaklah
disuruh mandi di sungai untuk <i>berendam</i>. Berendam adalah istilah yang
digunakan oleh masyarakat Melayu Sambas yang bermaksud mandi dalam jangka masa
yang agak lama di sungai iaitu tiga hingga empat jam. Upacara ini dilakukan
kononnya untuk membina semangat dan sebagai cabaran pertama untuk menempuh alam
remaja. Selain itu, upacara ini dilakukan kononnya untuk menghilangkan rasa
sakit ketika berkhatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">Amalan mandi Safar <i> </i>sangat
menebal dikalangan masyarakat Melayu Sambas sekitar tahun 60an hingga tahun
70an. </span><i>Air </i>yang digunakan<i> </i>ialah air yang telah direndam
dengan ayat-ayat suci Al-Quran dan jampi serapah (ditulis pada kertas putih)
yang diberi oleh Imam atau Khatib di kampung tersebut. Upacara mandi ini biasa
dilakukan oleh sesebuah keluarga pada sebelah malam purnama bulan Safar. Tujuan
mandi ini kononnya untuk menjauhkan segala kecelakaan dan kesialan dalam hidup
serta dijauhkan daripada berbagai jenis penyakit dan diberkati dalam hidup.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Kepercayaan
dan pengamalan terhadap nilai-nilai setempat tidaklah merata pada seluruh warga
kampung. Kepercayaan dan pengamalan warisan tradisi setempat sangat kuat di
lingkungan keluarga para pewaris tradisi itu. Dapat dikatakan bahwa, semakin
dekatnya hubungan kekeluargaan seseorang dengan pewaris tradisi semakin kuat
mereka memegang kepercayaan dan amalan tradisi begitu juga sebaliknya. Bahkan,
ada juga penduduk yang hampir seluruhnya meninggalkan kepercayaan dan amalan
tradisi; terutama yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun
begitu tidak terjadi pertentangan di masyarakat.</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2">
<span lang="SV">RUJUKAN <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Abdul
Aziz, Rahimah & Mohamed Yusoff Ismail, 2000. Masyarakat, Budaya dan
Perubahan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Anwar Din, 2008. Asas
Kebudayaan dan Kesenian Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Bakran Suni, et all, 2007.
Sejarah Melayu Sambas, Lembaga penelitian Universitas Tanjungpura Pontianak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Barth, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Frederick</st1:place></st1:city>. 1969. <i>Ethnic Group and Boundaries, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Boston</st1:city></st1:place></i>:The
Little Brown and Company.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Barker,
Chris. 1999. <i>Cultural Studies</i>, Teori
dan Praktek, Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Collins, J.T. & Awang Sariyan, 2006. Borneo and the Homeland of
The Malays, Dewan Bahasa dan Pustaka, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Kuala
Lumpur</st1:place></st1:city>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Collins, J.T. ,2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Sejarah Singkat.Obor,
<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Coomans, Mikhail, 1987.
Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Dove, Michael R, 1988. The
Real and Imagined Role of Culture in Development, case studies from <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region>, <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype>
of <st1:placename w:st="on">Hawaii Press</st1:placename>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Honolulu</st1:city></st1:place>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Duman, J.1975. Dalam J.U.Lontaan, <i>Sejarah
Hukum Adat dan Adat Kebiasaan di Kalimantan Barat</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Bumi Restu.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de Geographie van <st1:place w:st="on">Borneo</st1:place>’s
Wester afdeeling. Supplement to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap,
1901-03. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Leiden</st1:city></st1:place>
: Brill, 1903.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Eriksen, Thomas Hylland, 1995. Small Places, Large Issues An
Introduction to Social and Culture Anthropology, Pluto Press,
London-Sterling-Virginia.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Geertz, Clifford,
1973. The Interpretation Of Cultures, Basic Books, Inc., Publishers, <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">New York</st1:state></st1:place>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="FI">Hulten,
Herman Josef, 1992, Hidupku di antara
suku Daya, Gramedia, Jakarta<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="FI">Ishak bin Saat, 2006.
Sejarah Sosiobudaya Melayu, Karisma Publication, Shah Alam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
King, Victor T. 1993. The Peoples of <st1:place w:st="on">Borneo</st1:place>,
Blackwell, Oxport & Cambridge.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
King, Victor T & Michael Hitchook, 1997. Images of Malay-Indonesian Identity, <st1:placename w:st="on">Oxport</st1:placename> <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype>
Press, Oxport-<st1:country-region w:st="on">Singapore</st1:country-region>-<st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">New York</st1:state></st1:place>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
Kuhr, E.L.M, 1995.
Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV Uitgeverij, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Leiden</st1:city></st1:place>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Koentjaranigrat.
2000. <i>Kebudayaan mentalitas dan
pembangunan</i>, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Koentjaranigrat. </span><span lang="FI">2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Jakarta: djambatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="FI">Leahy, Louis. 1985.<b> </b>Manusia
Sebuah Misteri: Suatu Kajian Tentang
Filsafat Manusia<b> ,</b> Jakarta: PT.
Gramedia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="FI">Madrah, Dalmasius, 1997.
LEMU Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq & Tunjung, Puspa Swara & Yayasan Rio Tinto, Jakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="FI">Maunati, Yekti, 2004, Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Rademacher,J.C.M., 1780,
Beschrijving van het Eiland Borneo, voor zo Verre het Zelve, </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
tot nu Toe, Bekend
is. VBG 2, p.107-148) in second <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Batavia</st1:city></st1:place>
ed.(1823),43-69.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Shamsul Amri Baharudin,
2007. Modul Hubungan Etnik, Universiti Teknologi Mara, Shah Alam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Suni, Bakran, et all, 2007,
Sejarah Melayu Sambas, Universitas
Tanjungpura, Pontianak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Takdir, Simon. 2003. Suku
Dayak Selako, Belum Publikasi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="SV">Veth, P.J. Veth. Borneo’s
Wester-afdeeling, geographisch, statistisch, historisch, voorafgegaan door eene algemeene
schets des gansch eilands (Zaltbommel: Joh. </span>Nomanen Zoon, 1854)</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
4.3. MENGENAL KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADURA: </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Madura dapat dikatakan identik dengan
islam, meskipun tidaksemua penduduk memeluk agama Islam. Di Kabupaten Sumenep
pada tahun 2000, pemeluk islam sebanyak 968.772 orang, Kristen sebanyak 916
orang, Katolik 947 orang (<i>kabupaten
Sumenep dalam angka 2000:98</i>). Namun demikian adat-istiadat orang Madura
sangat dipengaruhi agama Islam.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Citra madura
sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Seseorang yang sudah Haji dianggap
telah memperoleh kesempurnaan hidup. Hampir setiap rumah orang madura memiliki
bangunan <i>langgar</i> atau surau sebagai
tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur
halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi <i>Ka’bah</i> yang merupakan kiblat orang islam ketika melaksanakan ibadah
sholat (Wiyata, 2002:44).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Di Madura, sebutan untuk ulama atau kiai
seperti diatas adalah <i>Keyae</i>. Seorang
kiai adalah orang yang tinggi
pengetahuan agamanya. Biasanya seorang Keyae, memiliki atau memimpin sebuah
pondok pesantren. Tetapi, dapat juga karena ia memiliki darah keturunan dari
seorang Kiai. Sampai saat ini, unsure
keturunan itu merupakan factor penentu penyebutan seseorang sebagai
Kiai. Apalagi factor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang
karismatik, maka anak-anaknya, secara otomatis, juga akan disebut oleh
masyarakat Madura sebagai kiai. Ia akan mudah mempengaruhi dan mengerakkan
masayarakatnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Agama Islam dan ulama di Madura memiliki
tempat yang khusus dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebagai suatu kelompok
etnik, masyarakat Madura memiliki sentimen keagamaan islam yang
tinggi.Identitas keagamaan islam yang kuat dikalangan masyarakat Madura berakar
dari proses histeris yang panjang. Proses peng-Islaman penduduk local mulai
meluas dan intensif sejak pertengahan abad ke-16 ketika raja-raja local di
Madura mulai memeluk agama Islam. Sejalan dengan meningkatnya perdagangan antarwilayah pada masa lalu,
penyebaran agama islam di Madura juga meningkat pesat. Daerah-dareah Madura
yang memiliki perkembangan potensi perdagangan yang cukup pesat, seperti
Sumenep, tumbuh menjadi daerah islam yang sangat penting jika dibandingkan
dengan wilayah Madura yang lain .</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ulama atau keyae memiliki tempat yang
spesifik dalam masyarakat madura, tidak hanya karena proses histories seperti
di atas, tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (<i>tegal</i>) dan struktur pemukiman penduduk
yang ada. <span lang="FI">Kondisi-kondisi demikian,
kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas
ulama. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan,
pembangun sentiment kolektif keagamaan, dan penyatu elemen-elemen sosial atau
kelompok kekerabatan yang tersebar karena factor-faktor ekologis dan struktur
pemukiman tersebut. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan jika ulama atau
kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan memiliki pengaruh yang besar dalam
kehidupan orang Madura (Kuntowijoyo, 1993:85-87). Karena kepatuhannya kepada
kiai yang sangat kuat, seorang ulama muda dari Bangkalan, KH. Khozim Karim,
menyebut masyarakat Madura sebagai “masyarakay kiai”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">“Dalam masyarakat madura, kiai paling dihormati
dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kiai memiliki harta dan
penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kiai akan lebih dihormati kalau ia
memiliki charisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu
agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan di laksanakan umatnya (orang
madura). Pejabat dan orang kaya di sini, masih hormat kepada kiai. Setelah kiai,
pejabatlah yang dihormati masyarakat madura. Ia symbol keberhasilan sukses
duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena
kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat
akan mencium tangan kiai. Orang kaya dihormati kalau ia baik. Artinya, kekayaan
yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik.
Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, di
kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap
seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, ilmunya (ilmu dunia), dan
baru hartanya.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Hubungan kiai dan umatnya
sangat dekat, dan kiai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa
yang dikatakan oleh seorang kiai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan
kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak. Masuknya
kiai dalam kegiatan politik praktis yang cukup meningkat di Madura pada masa
reformasi ini sering memanfaatkan mobilitas umat untuk kepentingan politik
praktis mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">Madura Barat Vs Madura Timur<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Antara kiai di Madura Barat
(Bangkalan) dan kiai di Madura Timur (Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) agak
berbeda (Mutmainnah, 2002). Seluruh kiai di Bangkalan masih terikat dalam
jaringan kekerabatan yang luas dengan ulama karismatik di Jawa dan Madura,
yakni Sjaikhona Kholil. Ia dalah pendiri pondok pesantren Sjaikhona Kholil di
Bengkulu pada tahun 1875. Di pesantren itu, pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari atau
sesepuh NU, alm. K.H. As’ad Sjamsul Arifin, dan bung karma pernah belajar ilmu
agama. Karena aspek histories itu, hubungan antar kiai bersifat hierarkis. Baik
secara sosial maupun secara politik (kekuasaan local), kiai memainkan peranan
yang dominan dalam kehidupan masyarakat Bangkalan. Dalam kekuasaan politik
local, peranan birokrat dan lembaga legislative local, serta <i>blater</i> bersifat subordinasi terhadap
kedudukan kiai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Di Madura timur, secara umum,
hubungan sosial antar kiai tidak diikat oleh jaringan kekerabatan yang luas
seperti di Bangkalan. Hubungan antar kiai tidak bersifat hierarkis.
Massing-masing kiai bersifat otonom, khususnya dalam hubungan dengan umatnya
dan dengan lembaga sosial yang lain, seperti birokrat dan legislative. Dalam
sturktur sosial, kiai memiliki hubungan sosial yang dominant dengan umatnya,
tetapi dalam sturktur politik/ kekuasaan local, kiai di Madura Timur merupakan
salah satu kekuatan sosial politik, disamping lembaga eksekutif (bupati) dan
lembaga legislative (DPRD). Distribusi kekuasaan mereka relative seimbang,
tidak saling mendominasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">BLATER<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Sebagaimana diuraikan di atas, <i>blater</i> merupakan kelompok sosial yang
cukup berpengaruh di kalangan masyarakat Madura. Dalam pengertian local, <i>blater</i> adalah orang yang memiliki
kecenderungan berperilaku kriminal, seperti mencuri, berjudi, main perepuan,
membunuh, dan mabuk-mabukkan (Wiyata, 2002:254). Mereka ditakuti masyarakat
karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok <i>blater</i> cenderung bersifat simbiosis,
saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic.
Tidak sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai <i>blater</i> sehingga kadang-kadang perangai <i>blater</i>-nya tetap muncul, sekalipun
mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">MORALITAS<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Dalam hal moralitas, umat
melihat kiai secara konservatif. Pandangan ini, biasanya, berbeda dengan
pandangan umum masyarakat di luar pesantren atau di luar orang Madura.
“Rata-rata istri kiai di Madura adalah 4 orang. Jarang ada perempuan yang
menolak lamaran kiai, tetapi jumlah yang demikian jarang sekali. Dikawini oleh
kiai, besar barokahnya bagi orang perempuan. Bagaimana orang perempuan tidak
mau? Kiai itu kan memiliki harta benda atau kekayaan yang cukup, dihormati
orang, dan apa lagi jika kiai baik dari segi fisik (tampan) dan psikis? Bagi
keluarga perempuan, menikah dengan kiai juga untuk mengangkat status sosial
keluarganya dimata masyarakat. Banyak istri seorang kiai, tidak mengubah
persepsi masyarakat terhadap dirinya”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Selain kiai masih memainkan
peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai
“gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada
pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam
ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah,
seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative
masyarakat atau umatnya. Tidak ada
larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal
ini adalah kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha
ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai
itu bertani.Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh
santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang
lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan
memperoleh <i>barokah kiai.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Jadi, kiai tidak menanggani
kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kiai sendiri yang terjun berdagang
atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya,
jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang
lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap
martabat kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima
seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya
petani atau pedagang yang sesungguhnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">DUKUN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">Berdasarkan hasil penelitian Joordan, sebagaimana
dikutip Kuntowijoyo (1993:84), menyebutkan bahwa kegiatan pelayanan kesehatan
di Puskesmas belum secara optimal di manfaatkan oleh masyarakat Madura karena
masih sangat kuat menggunakan system pengobatan medis tradisional yang
dilakukan oleh dukun atau kiai. Dukun dan kiai memiliki peranan utama dalam
usaha penyembuhan dan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, kegagalan fungsi
kelembagaan kesehatan modern itu, secara antropologi, disebabkan para petugas
kesehatan kurang memiliki pemahaman yang baik terhadap struktur sosial
masyarakat Madura sehingga mereka kurang mendayagunakan potensi sosial (budaya)
local untuk mencapai keberhasilan program-program pembangunan di bidang kesehatan
masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">PEMBANGUNAN PEDESAAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Dalam perkembangan berikutnya,
sejalan dengan perubahan-perubahan sosial (budaya) yang terus berlangsung, kiai
telah memainkan peranan yang konstruktif dalam pembangunan pedesaan. Hasil
penelitian Mansurnoor (1990) menunjukkan bahwa kiai di daerah pedesaan telah
mengambil peranan yang partisipatif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Ia
sering dimintai pertimbangan tentang pelaksanaan suatu program pembangunan.
Pelibatan partisipasi dan dukungan kiai terhadap pelaksanaan pembangunan
sebenarnya bukanlah hal yang sulit jika saja para perencana pembangunan dan
birokrat pemerintah memiliki strategi kebudayaan yang tepat dalam menyampaikan
program-program tersebut secara jelas dan terbuka kepada kiai.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Proses kegiatan pembangunan
Madura, sampai saat ini, menunjukkan bahwa para kiai sebenarnya, memiliki sikap
adaptif yang baik terhadap program pembangunan. Resistensi terhadap pembangunan
tidak akan terjadi jika saja tujuan pembangunan tersebut untuk kepentingan kemaslahatan
umat dan tetap menjaga sikap agamis masyarakat Madura. Dalam menyikapi gejala
pembangunan di Madura, kiai Muhammad dari Bangkalan menyatakan bahwa prinsip
utama para kiai adalah dalam rangka <i>amar
ma’ruf nabi mungkar</i>, yaitu menyerukan perbuatan kebaikan dan menyingkirkan
kemungkaran (Tojjib, 1998:139). Pandangan-pandangan kiai patut dipertimbangkan
dalam kebijakan pembangunan Madura, mengingat kedudukan dan peranan sosial yang
mereka miliki sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat madura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Menurut pandangan orang
Madura, pembangunan merupakan suatu hal yang mesti terjadi. Islam sendiri tidak
menyukai kemiskinan. Yang mereka harapkan adalah manfaat nyata pembangunan bagi
orang Madura. </span><span lang="SV">Masyarakat
madura dapat menyaksikan dan merasakan sendiri manfaat pembangunan bagi
kehidupannya. Jika itu yang terjadi, niscaya mereka tidak akan menolak
dilaksanakannya pembangunan di Madura. Mereka percaya bahwa pembangunan memang
menguntungkan kehidupannya dengan segenap identitas keislamannya. Dalam perspektif
ini, pembangunan Madura adalah pembangunan untuk kepentingan masyarakat madura
yang memiliki citra santri sangat kuat, bukan untuk menyingkirkan masyarakat
dan kebudayaan madura yang agamis (Islam).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">HARGA DIRI<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">KEDUDUKAN ISTRI DAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dalam studi tentang <i>carok</i>, Wiyata (2002:170-185)
mengungkapkan bahwa harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik
jika ia dipermalukan (<i>malo</i>) atau
dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura, menanggung beban malu merupakan
pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan <i>carok</i>
merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan
kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang madura, <i>ango’an poteya tolang etembeng poteya mata</i>, yang artinya “lebih baik
mati daripada hidup menanggung malu” menjadi referensi dan perbuatan <i>carok</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dalam studi tentang <i>carok </i>tersebut dikemukakan bahwa salah
satu penyebab <i>carok</i> yang potensial
adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang telah bersuami
tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan
perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan symbol
kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau
perempuan ditapsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dasar pembela terhadap istri (<i>abilabi binek</i>) tersebut ditemukan oleh
penyair Madura, D. Zawawi Imron (1986), dalam ungkapan, “saya kawin dinikahan
oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan
agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya
(Islam), sekaligus menginjak-nginjak kepala saya”. Karena itu, martabat dan
kehormatan istri merupakan perwujudan dari martabat dan kehormatan suami karena
istri adalah landasan kematian (<i>bantalla
pate</i>). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai <i>agaja’ nyaba,</i> yang pengertiannya sama
dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Wiyata, 2002:173).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Berikut ini disajikan sebuah
petikan peristiwa <i>carok</i> di Bangkalan,
Madura, yang disebabkan oleh masalah perempuan, yakni mengganggu istri orang
lain (lihat Wiyata, 2002: 89-107).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Di suatu petang menjelang matahari terbenam, atau tepatnya sekitar pukul
17:30 WIB, hari kamis, ketika orang-orang di desa Rombut sedang menunggu saat
berbuka puasa, terjadi peristiwa <i>corak</i>
antara Mat Tiken (45) dengan dua orang yang masih saudara sepupu, yaitu
Kamaluddin (32) dan Mokarram (38). Tiken yang diketahui telah menjalin hubungan
cinta dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Kamaluddin sangat cemburu dan
marah sehingga berniat harus membunuh Mat Tikan. Untuk melakukan niatnya itu,
Kamaluddin minta Bantu MOkarram. Keduanya mendatangi Mat Tiken dan langsung
menantang <i>carok</i>. Mat Tiken melayani
tentangan itu sehingga terjadilah <i>carok</i>
di antara mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Karena Mat Tiken adalah seorang <i>jagoan</i>,
<i>corak</i> corak tersebut berakhir dengan
kematian Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok
di sekujur tubuh mereka, terutama di bagian perut. Usus mereka terburai keluar
karena bacokan Mat Tiken tepat mengenai bagian tengah perut memanjang dari arah
samping kiri ke samping kanan. Mat Tiken sendiri hanya menderita luka-luka
ringan. Pada bahu sebelah kiri terdapat luka bacok sepanjang kira-kira 10 cm
melintang dari bagian atas depan ke bagian belakang. </span><span lang="FI">Selain itu, jari kelingking tangan kiri hamper
putus. Setelah dirawat hamper sebulan luka-luka itu sembuh. Senjata tajam yang
dipergunakan oleh Mat Tiken untuk menewaskan Kamaluddin dan Mokarram berupa
sebilah celurit dari jenis <i>dang-asok,</i>
sedangkan yang dipergunakan oleh Kamaluddin dan Mokarram adalah dari jenis <i>are’takabuwan.</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Kaum perempuan Madura memiliki
nilai khusus dalam masyarakat dan kebudayaan Madura. Nilai khusus tersebut
berwujud adanya perhatian yang lebih kepada anak-anak perempuan dari pada anak
laki-laki. Perhatian yang khusus dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan
Madura, seperti struktur pemukimannya, system pewarisan, dan sosialisasi.
Integrasi atas unsur-unsur tersebut sekurang-kurangnya dapat dipakai untuk
mengidentifikasi kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat Madyra.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">PEMUKIMAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">TERKAIT DENGAN PERKAWINAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Pola-pola pemukiman
tradisional orang Madura terwujud dalam <i>taneyan
lanjang</i> (halaman panjang). Deretan rumah yang terbagun dalam kesatuan
permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan. Masing-masing
penghuninya terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak-anak perempuan itu
menikah, suami akan menetap di rumah yang telah disediakan oleh orang tua perempuan
(matrilokal). Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah setelah mereka
menikah dan menetap dirumah yang telah disediakan oleh orang tua istrinya.
Dalam hal ini, anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga
mereka atau keluarga intinya (Wiyata, 1989). Struktur pemukiman tradisional itu
lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan Madura dalam
keluarganya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">PEWARISAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">KEDUDUKAN PEREMPUAN LEBIH TINGGI<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Demikian pula dalam hal
pewarisan harta keluarga. </span><span lang="SV">Sekalipun
orang Madura beragama Islam, norma pewarisan menganut system adat setempat.
Harta warisan dibagikan ketika orang tua masih hidup. Pola-pola umum yang
berlaku dikalangan masyarakat Madura, hak perolehan harta warisan antara anak
laki-laki dan anak perempuan sesuai asas <i>se
lake’ mekol, se binek nyo’on</i>. </span><span lang="FI">Artinya, bagian anak laki-laki sebanyak satu <i>pikulan</i>, sedangkan anak perempuan satu <i>sunggian.</i> Sekurang-kurangnya, bagian anak laki-laki dan perempuan
relative sama. Perempuan memang memperoleh bagian rumah dan pekarangannya,
sedangkan laki-laki memperoleh bagian tanah pekarangan atau tanah tegalan yang
nilainya setara atau lebih banyak daripada bagian yang diperoleh anak
perempuan. Jika tidak demikian, dapat mengundang percecokan untuk berebut harta
warisan antarkerabat setelah kedua orang tuanya meninggal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Dalam studi kasus di
Posongsongan, Sumenep, ditemukan fakta bahwa pada umumnya, anak perempuan akan
memperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah
dan tanah pekarangan, secara umum, diberikan kepada anak perempuan dan tidak
boleh dijual kepada siapapun. Tanah lading atau tegalan boleh dijual kepada
keluarga sendiri. Dalam pembagian warisan ini, jarang sekali terjadi anak
laki-laki diberi bagian lebih banyak. Bagian anak perempuan ini lebih banyak
karena perempuan akan menjadi tempat berpulangnya (<i>pamoleanna</i>) saudara laki-lakinya jika terjadi percerayan atau kasus
yang lainnya (Sidiq, 1992:49).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Fakta-fakta di atas merupakan
unsur sosial budaya yang dapat di identifikasikan untuk melihat kedudukan
penting perempuan dalam masyarakat Madura. Dalam perspektif antropologi
simbolik, nilai penting perempuan terkait erat dengan eksistensi kehidupan
orang Madura. Mitologi-mitologi tradisional di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia,
menunjukkan bahwa perempuan simbolisasi dari tanah (bumi), kekayaan, dan
kesuburan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Interpretasi simbolik atas
cerita rakyat Madura tentang kekalahan Dempo Awang dari Raja Sumenep, Joko
Tole, telah menunjukan hal yang sama, yakni penghormatan terhadap perempuan
Madura. Dalam kanteks cerita tersebut, perempuan merupakan simbolisasi dari
negeri, tanah, dan kekayaan alam orang Madura. Jika dalam cerita tersebut Joko
Tole berhasil dikalahkan oleh Dempo Awang dan gadis-gadis Madura berhasil direnggut
keperawanannya oleh Dempo Awang, hal itu merupakan simbolisasi dari “penaklukan
tanah, negeri, kerajaan, dan kekayaan Madura” oleh orang asing. Jika kondisi
demikian yang terjadi, niscaya madura dan rakyatnya berada dalam “penjajahan”
orang lain. Pembelaan Joko Tole merupakan cerminan untuk menegakkan martabat
dan harga diri orang Madura serta sebagai upaya mempertahankan sumber-sumber
orang Madura. Oleh karena itu, perempuan harus dijaga kehormatannya dengan
mempertaruhkan nyawa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">PANDANGAN TERHADAP TANAH<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Perempuan dalam cerita
tersebut tidak dapat dimaknai secara harfiah. Demikian juga, pernyataan penyair
D. Zawawi Imron, bahwa focus harga diri orang (suami) Madura terletak pada
perempuan (istri), tidak dapat dimaknai secara harfiah. Pernyataan itu
selalu bermakna simbolik. Makna yang terkandung didalamnya adalah berkaitan
dengan tanah dan kesuburan yang menjadi sumber kehidupan orang Madura. Dalam
perspektif ini, sekali pun tanah di Madura kurang subur, tandus dan kering,
nilai tanah tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomis yang diperoleh dari
tanah tersebut. Tanah menjadi tempat bergantung hidup orang Madura, karena
tidak ada lagi pilihan harta kekayaan lain dan kelangkaan sumber daya alam
sehingga nilai tanah menjadi tinggi atau berharga di mata orang Madura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Oleh sebab itu, tanah juga
ikut menentukan harga diri oang Madura. Nilai tanah akan semakin besar bagi
kehidupan orang madura jika didalam tanah terebut dikubur para leluhur mereka.
Di daerah pedesaan madura, leluhur dan kerabat keluarga yang telah meninggal,
biasanya, dikubur di sekitar pekarangan rumah. Ikatan kekerabatab yang kuat
dimanifestasikan juga dalam ikatan leluhur, yang diwuijudkan dengan menguburkan
para kerabat ditanah pekarangan yang dimiliki. Oleh sebab itu, merupakan
pantangan besar bagi orang madura menjual tanah pekarangan, tanah tegal, dan
rumah kepada orang lain. Selain malu terhadap tetangga, tindakan tersebut dapat
mengakibatkan tidak selamat hudupnya (<i>ecapok
tola </i>atau<i> keneng tola</i>), anak bisa
cacat, sering sakit, atau keluarga tidak akur (Samsu, 1992: 2). Jika rumah dan
tanah warisan (<i>tanah sanghkolan</i>)
dijual, maka ia akan dicela oleh masyarakat. Tindakan demikian dianggap aib
sosial. Masyarakat akan berpikir, “sudah tidak dapat menambahi, harta kekayaan
orang tuanya malah dijual”. Para leluhur diyakini masih dapat mempengaruhi
kehidupan di dunia. Oleh karena itu, tanah, leluhur, dan kehidupan orang madura
memiliki hubungan yang erat (gambaran secara lebih detail disajikan pada subbab
tersendiri dalam bab tiga).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Tanah dimadura merupakan unsur
yang dapat menimbulkan konflik sosial atau <i>carok</i>.
Konflik demikian itu, biasanya, timbul berkaitan dengan pembagian warisan dalam
keluarga. Jika terjadi <i>carok</i> antara
kerabat biasanya dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah pembagian
warisan keluarga. Sementara itu, konflik-konflik sosial yang melibatkan pihak
lain, seperti Negara dan pemerintah, biasanya terjadi karena klaim histories
bahwa tanah tersebut merupakan milik leluhur mereka, seperti ditunjukkan dengan
adanya kuburan pera leluhur, sebagian terjadi di ladang-ladang garam, karena
diatas tanah tersebut terdapat kuburan leluhur sehingga tidak dapat digusur
untuk lokasi pembangunan fisik; atau karena nilai ganti rugi yang kecil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Seorang informan, Pak Najib
(49), warga sumenep, memberikan pandangan tentang bagaimana orang madura
memperlakukan para leluhur mereka, seperti berikut ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI">“Yang ada didalam tanah itu adalah keluarga saya atau leluhur saya. Setiap
tahun atau setiap saat, saya <i>nyekar </i>dan
berdoa sebagai bentuk penghormatansaya kepada ahli kubur. Ini adalah hal yang
sacral. Makam ini tidak bisa dipindah karena memindahkan makam sama dengan
melakukan penghinaan terhadap harga diri atau martabat keluarga saya. Kalau
makam ini terkena proyek pembangunan, seperti pembangunan jalan raya, maka arah
jalan itu yang harus dipindahkan, bukan makamnya. Makam tidak bisa dipindah.
Tabu itu”. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Menurut Pak Najib, tradisi <i>nyekar</i> dan membaca doa, seperti surat
yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih
hidup didunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang di
kirimkan itu diyakinkan akan berdampak positif timbale-balik, baik yang masih
hidup didunia, maupun yang sidah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang
yang masih hidup akan selamat dari siksa dunia dan akhirat, sedangkan yang
sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah
dan rakhmat allah SWT. Kedua belah pihak saling mendoakan. Dikatakan Pak Najib,
berdoa di atas makam lebih berharga (<i>afdol</i>)
dari pada mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar. Makan yang pertama,
merupakan tempat menyatunya jasad manusia dan tanah, lebih sacral dari pada
makam yang baru ditanah lain, tempat tulang belulang itu dipindahkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Sebab-sebab lain yang dapat
mengganggu harga diri orang madura selain masalah kehormatan perempuan, tanah,
dan leluhur, adalah masalah air, penghinaan terhadap agama, dan pelecahan
terhadap anggota keluarga, apa lagi jika hal itu dilakukan di tempat umum
(dibandingkan juga, Wiyata, 2002:89-168; Kusumah, 1992:7). Dengan kondisi alam
yang tandus dan kering, air merupakan sumber daya alam yang sangat langka (<i>scarcity resources</i>) di madura. Air
memiliki makna simbolik dan kedudukan sosial yang penting sebagai sumber
kehidupan orang madura. Secara simbolik, air adalah identik dengan eksistensi
kehidupan orang madura. Oleh sebab itu, gangguan terhadap air merupakan ancaman
terhadap eksistensi kehidupan mereka. Dalam perspektif simbolik, perempuan, tanah,
leluhur, dan air merupakan kesatuan integral dan menjadi sumber kehidupan utama
masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Masalah air menjadi perhatian
utama orang madura ketika musim kemarau tiba. Kebutuhan air akan meningkat
karena pada musim ini air bukan hanya dipakai untuk konsumsi keluarga,
melainkan juga untuk ternak dan penunjang pertanian tembakau. Oleh sebab itu,
perebutan air sering terjadi di kawasan yang dapat diakses oleh public, seperti
sungai dan mata air. Akibat lebih jauh dari perebutan tersebut adalah timbulnya
konflik sosial dalam bentuk <i>carok</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Agama menjadi sumber konflik
sosial karena kedudukannya yang penting sebagai salah satu unsure pembentuk
identitas etnik madura. </span><span lang="SV">Sebagai
unsure identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang
madura. Oleh karena itu, pelecehan terhadap agama atau perilaku yang tidak
sesuai dengan agama, seperti menganggu kehormatan perempuan dan mengkritik <i>kiai</i> serta mengkritik kerilaku keagamaan
orang madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang madura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Gambaran tentang hubungan
antara keagamaan dan penghormatan terhadap <i>kiai</i>
yang sekaligus mencermunkan hadga diri orang madura, dapat disimak dari
penjelasan Pak Yusron (55), warga sumenep, berikut ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES">Kejadian di suatu desa yang berada diwilayah kecamatan Blito, sumenep. </span><span lang="SV">Sebelumnya, memang sudaj ada masalah
politik antara orang NU dengan orang PAN. Orang NU kan kebanyakan masuk PKB.
Orang Muhammadiyah masuk PAN. Bagi orang madura, khususnya yang awam, orang
muhammadiyah itu dianggap bukan muslim. Pak Hasyim, disamping sebagai orang
muhammadiyah, juga aktif di PAN. Ia sering mengkritik <i>kiai</i> dalam kehidupan beragama orang madura. Pada saat ranting PAN
dibentuk, rumah Pak Hasyim itu dilempari batu, kotoran orang, kotoran kambing,
dan pohon mangga yang ada didepan rumahnya ditebang oleh masyarakat setempat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sebelumnya, memang sudah ada masalah dengan
masyarakat setempat, yakni ketia nenek Pak Hasyim meninggal dunia. Pada saat
itu, sepetlah pemakaman, Pak Hasyim mengumumkan dengan berbagai alasan
sosial-agama kepada para pelayat yang masih ada di kuburan, kalau neneknya itu
tidak <i>ditablili</i> dan dibacakan surat
yasin. Masyarakat kaget mendengar ucapan tersebut dan tersinggung harga
dirinya, yang terkait dengan identitas keagamaan mereka. Apa lagi di rumah Pak
Hasyim ada pernyataan, “Islam agamaku dan Muhammadiyah gerakanku”. Bagi
masyarakat madura, <i>kiai</i> jangan
dikritik macam-macam dan agama islam yang benar bagi orang madura adalah agama
islam berfaham <i>ahlussunnahwal jama’ah</i>
yang dipraktikkan oleh orang-orang NU. Selain paham tersebut, orang madura
sulit menerima paham lain sebagai ajaran agama islam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Menjaga nama baik keluarga
juga merupakan bagian dari menjaga harga diri orang madura. Setiap orang madura
tidak dapat menerima jika ia menyaksikan salah satu atau lebih anggota
kerabatnya dipermalukan atau dianiaya orang lain, apalagi jika hal itu
dilakukan ditempat umum. Tindakan seperti itu dianggap sebagai penghinaan
terhadap harga diri orang madura. Oleh sebab itu, dengan segala cara orang
madura akan menegakkan harga dirinya, jika menghadapi perilaku orang lain yang
dapat melukai perasaannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pak Najib bercerita bahwa pada
bulan agustus tahun 2002 yang lalu, ia sedang panen tembakau. Harga tembakau
pada panen tahun ini sangat merugikan petani, padsahal kualitas tembakau sangat
baik. Suatu hari, seseorang datang kerumahnya dan merniat membeli tembakau
tersebut. Pak Najib menawarkan harga tembakau per kg Rp 8.000,00. Pedagang
menawarkan harga Rp 7.000,00. Setelah berlangsung tawar-menawar, akhirnya
disepakati harga pembelian Rp 7.000,00. Tanpa berpikir panjang tembakau yang
dimiliki Pak Najib dijual semua kepedagang tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Penjualan tembakau tersebut
tanpa sepengetahuan dan berkonsultasi dengan istri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Ketika itu, istrinya sedang keluar rumah berkunjung ke kerabatnya. Setelah
tahu bahwa tembakau dijual dengan harga Rp 7.000,00, istrinya marah-marah dan
membacok tangan Pak Najib singga keluar darah. Keduanya terlibat percecokkan
yang mengundang para kerabat dan tetangganya. Istri menuntut diperhatikan dalam
transaksi penjual tembakau, karena ia juga berjasa dalam proses produksi
kegiatan pertanian tembakau. Istri dan kaum perempuan adalah pihak yang paling
bertanggung jawab untuk menyirami dan menyiangi tanaman tembakau.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Tindakan istri yang menganiaya suaminya
seperti yang dialami keluarga Pak Najib tersebut telah memancing kemarahan dari
kerabat Pak Najib. Mereka merasa dihina oleh istri Pak Najib dan terjadi
pertengkaran yang seru dan hampur berujung pada perceraian. Berkat kesigapan
keluarga dan akan-anak Pak Najib, akhirnya peristiwa tersebut dapat didamaikan.
Jika peristiwa tersebut tidak dapat didamaikan, menurut Pak Najib, akan terjadi
<i>carok</i> antar keluarga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Ikatan kerabat yang erat
merupakan salah satu unsure yang ikut mendasari pembelaan orang madura terhadap
anggota keluarganya yang disakiti atau dihina oleh orang lain. Pembelaan itu
tidak hanya ada dalam lingkup suami-istri seperti kasus Pak Najib tersebut,
tetapi juga dalam lingkup kerabat yang lebih luas. Jika seorang keponakan
disakiti atau dihina oleh orang lain, niscaya para kerabatnya juga akan
membelanya. Pembelaan itu tidak semata-mata untuk menjaga ikatan kekerabatan,
tetapi juga untuk menjunjung tinggi martabat keluarga. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">C. Tanah, Makam, Leluhur, dan kekerabatan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> <i>Sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutabing
ludira,</i> demikian pepatah (jawa) lama yang dikiranya sangat tepat untuk
mengabarkan arti penting sejengkal tanah. Orang akan mempertahankannya dengan
taruhan nyawa. Tanah memang mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, terutma pada masyarakat agraris. Tanah memeiliki nilai produktif
dan nonproduktif. Tanah produktif, biasanya, berupa tanah-tanah sawah dan
tegalan yang digarap dan dijadikan sumber pendapatan keluarga. Tanah
nonproduktif, pada umumnya, berupa tanah pekarangan untuk tempat mendirikan
rumah sebagai tempat tinggal, disamping ada pula yang dibuat makam bagi
keluarganya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Kondisi tanah dimadura, pada
umumnya, kurang menguntungkan untuk dioleh. Selain sarana irigasi masih sangat
minim, tanah di madura termasuk tanah kapur bercampur lempung yang menyerap air
(higroskopis), serupa dengan tanah perbukitan kapur disepanjang pantai utara
pulau Jawa yang secara geologis masih satu deretan (De Jonge, 1989:5-6). Dengan
demikian, tanah pertanian dimadura lebih banyak berupa tegalan yang ditanami
palawija, seperti singkong, kacang-kacangan, kedelai, dan umbi-umbian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Secaya umum tanah dimadura
tidak memiliki produktivitas tinggi. Akibat sumber daya alam yang terbatas itu,
sebagaimana telah dideskripsikan pada bab 2, banyak orang madura memilih
melakukan migrasi dan bertempat tinggal diluar pulau madura. Akibat arus
migrasi yang deras tersebut, timbul spekulasi pendapat disebagian orang luar
madura bahwa orang madura tidak mementingkan tanah. Namun, pada kenyataannya
tidak demikian, Orang madura memiliki pandangan tertentu terhadap tanah. Pada
kenyataannya, dalam kehidupan orang madura, tanah mempunyai dimensi yang amat
luas, sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam kehidupannya. Tanah
tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi, tetapi juga dilihat dari nilai-nilai
lain yang menyertainya seperti nilai religius dan nilai kekerabatan yang
terkait satu sama lain. Gambaran keseluruhan mengenai pandangan orang madura
terhadap tanah, pada dasarnya, merupakan gambaran kosmologi yang terkait dengan
segala aspek kehidupan yang lebih luas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">1.Tanah dan Leluhur<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Masyarakat madura sebagaimana
telah dideskripsikan pada subbab A bab 3, dikenal sebagai pemeluk agama islam
yang kuat. Dapat dikatakan bahwa islam merupakan identitas orang madura
(Maulana, 1992). Agama islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial,
seperti tampak pada cara berpakaian. Mereka (Kaum lelaki) selalu mengenakan <i>songko’</i> (kopiah) dan sarung, terutama
pada saat menghadiri upacara ritual, sholat jumat, bepergian, atau menerima
tamu yang belum dikenal. Menonjolnya cirri keislaman orang madura itu ditandai
pula oleh banyaknya pondok pesantren, dan lembaga itu menjadi tujuan utama
adalah menuntut pendidikan keagamaan. Namun, dalam kategori tertentu, islam
dimadura tidak dianggap islam murni, tetapi disebut “islam local” (Woodward,
1989: 69-70), yaitu islam yang bercampur adat, seperti abangan atau agama Adam
di Jawa (Geertz, 1989).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Selain melaksanakan ajaran
agama dengan taat, orang madura mempertahankan kepercayaan asal yang
mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan
perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara
keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam
melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (<i>rokat</i>), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman
kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh <i>kiai</i>, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau
tanah tegalnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Orang madura pada dasarnya
berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri
sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang
bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam
transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup
lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh
berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam.
Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak
terpisah dari dunia gaib. Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta
segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang
teratur dan harmonis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Tanah mempunyai ikatan dengan
roh nenek moyang (leluhur) dan lebih dari itu, tanah merupakan bagian dari
kekuasaannya. Menurut kepercayaan orang madura, roh nenek moyang datang pada
setiap malam jumat untuk melihat keadaan rumah, tanah pekarangan, tanah
tegalan. Roh itu datang tiga kali dalam satu malam, yaitu pada saat menjelang
magrib, pukul satu, dan pukul tiga dinihari. Saat pergantian siang dan malam (<i>sorop are </i>atau<i> para’ cumpet are</i>) segala roh halus keluar, termasuk yang jahat.
Oleh karena itu, anak-anak tidak boleh keluar rumah, terutama bagi giginya
belum tanggal, karena dianggap sangat berbahaya. Melalui permohonan kepada roh
nenek moyang diharapkan segala ganguan gaib itu dapat ditangkal. Untuk menyambut
kedatangan roh leluhur mereka, dupa dibakar menjelang magrib, boleh dilakukan
oleh orang laki-laki ataupun perempuan. Pembakaran dupa dapat dilakukan
dihalaman rumah (<i>taneam</i>) dan didalam
rumah, yang penting asap pembakaran dupa itu merata di seluruh bagian tersebut.
Didalam rumah pembakaran dupa dilakukan di salah satu tiang (<i>sesaka</i>) yang terletak ditimur laut (<i>mordhaja</i>). Biasanya, diatasnya
diletakkan pusaka atau kitab suci <i>Al-Qur’an</i>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Tujuan dari pembakaran dupa
pada tempat-tempat tersebut, pertama adalah untuk memohon berkah dari roh
leluhur yang menjaga tanah yang mereka tempati. Kedua, berkah diharapkan dari
orang yang membuat pusaka yang diletakkan disalah satu tiang rumah, karena
pembuatannya pasti yang sakti. Ketiga, Agar dapat berkah dari kanjeng nabi
Muhammad SAW. Doa yang disampaikan adalah doa selamat agar seluruh keluarganya
senantiasa mendapat perlindungan dari-Nya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pada dasarnya, secara gaib
tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh nenek noyang
yang dulu memiliki tanah itu. Orang Madura sangat percaya bahwa roh-roh orang
yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah. Oleh karena itu, orang yang
menguasai tanah harus mengetahui asal-usul tanah itu, karena hal itu berkaitan
pengiriman doa dan permohonan berkah. Secara nyata tanah itu dimiliki oleh
seseorang, tetapi secara gaib roh nenek moyang menyatu di dalam tanah itu dan
sekaligus mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Hubungan tanah dengan roh
leluhur juga terlihat dalam kebiasaan orang madura mengubur jenazah. Setiap
keluarga luas (<i>extended family</i>) pada
umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Kuburan itu biasanya, terletak pada
bagian timur tanah pekarangan atau ditanah tegalnya. Menurut cerita masyarakat,
pada zaman dahulu biasanya orang menguburkan jenazah di dalam rumah. Kemudian,
dalam perkembangannya jenazah dikubur di pekarangan dan, sekarang pada umumnya
dibagian dari tanah tegalnya. Namun, semua itu tidak menutup kemungkinan untuk
mengubur orang yang telah meninggal di tanah kuuran orang lain, tentunya
setelah memohon izin kepada pemilik tanah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Karena hubungan tanah dengan
roh leluhur yang begitu erat, penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama
halnya dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu, pantang bagi mereka untuk menjual
tanah pekarangan maupun tanah tegalan kepada orang luar (bukan saudara). Selain
malu terhadap tetangga, penjualan tanah tersebut dapat mengakibatkan <i>ecapok</i> <i>tola </i>atau <i>kenning tola</i>
(tidak selamat atau sial). Jika salah seorang anggota keluarga ingin menjual
tanahnya, sebagai pembeli biasanya adalah salah seorang anggota keluarga
batihnya. Seandainya tidak ada, saudara sepupu atau dua sepupu juga boleh, yang
penting pembeli tersebut masih ada hubungan darah. </span><span lang="NO-BOK">Di dalam melakukan transaksi tidak menggunakan
istilah membeli tetapi mengganti. Semua itu untuk menetralisasi keadaan, baik
terhadap tetangga maupun yang lebih penting terhadap nenek moyang. </span><span lang="SV">Aturan penjualan tanah tegalan lebih lunak
bila dibandingkan dengan tanah pekarangan. Hal itu dikarenakan, tanah
pekarangan dipandang mempunyai ikatan hubungan emosional yang lebih kuat,
mengingat ditempat itu didirikan rumah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian,
secara rasional, adanya bagian kuburan pada tanah tegalan atau pekarangan akan
mengakibatkan penjualan tanah, yang menurut adat, pantang untuk dilakukan.
Mereka biasanya, menjual tanah untuk menambah biaya naik haji.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Hubungan antara tanah dan roh
leluhur tampak pada upacara ritual pembuatan sumur. Perlengkapan yang
diperlukan untuk upacara tersebut adalah <i>tajin</i>
(bubur) tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam, serta air kopi dan dupa. <i>Tajin</i> putih melambangkan kesucian niat
orang yang membuat sumur, <i>tajin</i> hijau
adalah lambing wana air itu ditujukan kepada Nabi Qidlir (juga Khidlir atau
Khaidir) sebagai penguasa air, dan tajin warna hitam diartikan sebagai penolak
bala. Adapun air kopi dan dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang yang
menjaga tanah yang akan digali agar mendapat perlindungan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Hubungan antara tanah dan
leluhur tampak lagi dalam upacara pembuatan rumah. Sebelum pondasi dipasang,
sebuah upacara selamatan diselenggarakan yang dipimpin oleh seorang kiai atau
pemika agama. Selamatan diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang turut
membantu bekerja. Doa yang diucapkan kiai selaku pemimpin upacara ditujukan
kepada tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar mendapatkan berkah
dan tidak mendapatkan kangguan apa pun terhadap rumah yang sedang dibangun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Berdasarkan pandangan orang
madura, rumah dan tanah merupakan sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan
karena diatas tanah tersebut rumah berdiri. Begitu pula hubungan rumah dengan
manusia .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">. Keberadaan makam yang
kecil-kecil dan tersebar dipekarangan rumah penduduk banyak diketemukan,
khususnya didaerah pedesaan. Apalagi tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa
jenazah harus dikubur disuatu tempat yang sudah ditentukan. Alasan yang paling
mendasar mengenai pemakaman jenazah di tanah sendiri adalah agar arwah (roh)
orang yang meninggal dapat mnyatu dengan tanah sehingga keberadaannya lebih
tenang dan tidak bergentayangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Masyarakat madura memandang
bahwa antara ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama islam dan melestarikan
kepercayaan asli dapat berjalan secara bersama. Mereka percaya bahwa roh orang
yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu dan
lingkungannya. Roh leluhur dapat dihubungi untuk maksud tertentu, seperti
membuka lahan baru untuk areal pertanian ataupun mendirikan rumah baru. Bahkan,
orang yang akan pergi keluar daerah, baik mencari pekerjaan ataupun belajar,
biasanya terlebih dahulu, mendatangi makam leluhurnya untuk memohon doa restu
dan perlindungan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Makam dan kuburan keramat
mempunyai persamaan, yakni ditempat tersebut terdapat jenazah yang dikubur.
Namun, secara spesifik, diantara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal
jenazah siapa yang tertaman disitu. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur
adalah angora keluarga biasa. Meskipun makamnya setiap malam jumat dikunjungi
ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tapi semasa hidupnya dia tidak
memiliki kelebihan dalam ilmu kanuragan atau bidang lain yang bermanfaat bagi
hajad hidup orang banyak. Adapun kuburan kemamat, arwah (roh) yang bersemayam
disitu dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu
tidak hanya bermanfaat bagi ahli rawisnya, tetapi juga diperlukan untuk
melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut
<i>buju’ yang “kesaktiannya” </i>sangat
diperlukan bagi kepentingan public (<i>public
fungcation</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Kepercayaan orang madura
terhadap <i>buju’</i> cukup tinggi. Hampir
di setiap kampung (dusun) terdapat <i>jubu’</i>,
yang sangat fungsional (sebagai <i>axis
powers</i>) untuk menjaga keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat
setempat. Mengenai kesaktian <i>buju’</i> di
masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan
melalhi legenda atau cerita rakyat (<i>folklore</i>).
Isi legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh
tersebut merupakan pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian
menjadi cikal bakal atau pembabat desa, atau dapat pula sebagai orang yang
sakti ketika hidup, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah orang
sembarangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Roh penjaga <i>buju’</i> dipercaya oleh masyarakat madura
sebagai arwah orang mati swecara suci, yang dipanggil oleh tihan untuk melawan
kekuasaan jahat. Dengan demikian, roh tersebut diharapkan melindungi manusia
dari pengaruh roh-roh jahat. Kuburan orang seperti tiu, biasanya sering
dikunjungi oleh ahli warisnya untuk dimintai pertolongan dan perlindungan dalam
kehidupannya. Jika roh didalam kubur itu diyakini memiliki kekuatan yang besar,
maka roh itu juga menjadi milik masyarakat luas, meskipun bukan keluarganya
sehingga fungsinya pun lebih luas, yakni diyakini dapat melindungi penduduk
setempat. Roh leluhur seperti itu disebut <i>bangotowa,</i>
yaitu roh leluhur yang melindungi sebuah wilayah. Ada pun kuburannya disebut <i>buju’</i>, yaitu kuburan yang dikeramatkan
oleh warga suatu wilayah yarena diyakini dapat memberikan perlindungan kepada
sekluruh warga di wilayah itu. <i>Bangotowa</i>
ini di Jawa sering disebut <i>punen</i>
(kuburan leluhur) dan keberadaannya disana sering menjadi satu dengan <i>danyang</i> (penunggu gaib). Roh leluhur
penghuni <i>buju’</i> biasanya merupakan
tokoh masyarakat yang pada masa hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan
banyak berjasa bagi kehidupan masyarakat. Kebesaran tokoh itu, kemudian
dilegitimasi melalui cerita legenda atau <i>folklore</i>
secara turun-temurun sehingga pada generasi berikutnya difigurkan sebagai tokoh
yang karismatik dan kesaktian yang ia miliki dipercayai masih menyatu dengan
kuburannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Terdapat bermacam-macam bentuk
legitimaasi tentang kuburan keramat yang terdapat di madura. Semuanya
tergantung kepada spesfikasi ketokohan arwah yang dikeramatkan atau respons
masyarakat terhadap lingkungannya dalam mempertahankan hidupnya. Misalnya,
kuburan itu dikeramatkan karena suatu ketika mengeluarkan cahaya terang pada
malam hari. Cahaya itu sering diartikan dengan <i>pulung</i> yang identik dengan wahyu, yakni sebagai tanda-tanda alam
yang dapat membawa berkah dari tuhan berupa kesejahteraan hidup bagi suatu
warga, tempat cahaya itu berada. Namun, ada pula makam yang dikeramatkan karena
terdapat salah seorang warga yang ditemui oleh roh penunggu <i>buju’</i> melalui peristiwa mimpi (<i>wangst</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Menurut jenisnya, kuburan
keramat yang terdapat dimadura dapat dibedakan menjadi emapt macam, yaitu: 1)
makam keturunan raja, 2) makam para wali atau tokoh penyebar agama islam, 3)
makam pembabat desa, dan 4) makam orang sakti, termasik didalamnya mereka yang
ketika hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">a. Makam keturunan raja<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Makam keturunan raja mendapat
sebutan khusus yang berbeda dengan istilah kuburan keramat yang lain, yang biasa
disebut <i>buju’</i>, di sumenep, misalnya,
makam keturunan raja disebut <i>asta tinggi.</i>
Makam keturunan raja mendapat tempat yang khusus, selain terletak di tempat
yang tiggi di sebuah perbukitan. <i>Asta
tinggi </i>sumenep tertanam jenazah keluarga raja-raja sumennep, seperti
Pangeran pulag jiwo, pageran sepuh pageran room, pageran jimat, R.A.
tirtonegoro, bindere soad, dan pangeran somolo. Masing-masing tokoh yang
dimakamkan di dalam <i>asta </i>dianggap
memiliki kelebihan semasa hidupnya dan kelebihannya itu tersosialisasikan
dengan baik kepada masyarakat luas melalui legenda khususnya di Sumenep. Atas
kelebihan itu, oleh orang-orang tertentu, arwahnya dipuja melalui ziarah pada
setiap malam jumat dengan harapan agar mendapatkan berkah darinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sebagai salah satu contoh
tokoh Bindere Soad, yang tidak lain adalah suami R.A. Tirtonegoro, memiliki
kelebihan bahwa ketika masih berada dalam kandungan ia dapat memberikan jawaban
(menyahut) kepada ayahnya ketika memanggil ibunya yang sedang sholat. Kiai
Abdullah, ayah Bindere Saod, merasa heran atas jawaban anak yang masih berada
di dalam kandungan. Kebesaran Bindere Saod terkulir juga akibat ia berhasil
menikahi R.A. Tirtonegoro, ratu terakhir Kerajaan Sumenep, dengan selamat. Diceritakan bahwa setiap kali R.A. Tirtonegoro
menikah, suaminya selalu meni9nggal. Akan tetapi, ketika dinikahi Bindere Soad,
hal seperti itu tidak terjadi. Hal itu mengindikasikan bahwa ia adalah orang
yang sakti. Kasaktiannya, waktu itu diperolah melalui betapa di gua Pajudan
yang terletak sekitar 35 km ka arah barat dari kota Sumenep. Hingga bsaat ini
gua tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sebagai tempat <i>menepi </i>(bertapa) bagi siapa saja yang mempunyai keinginan tetapi
belum terkabul. Di samping itu, ada pula orang yang menganggapnya sebagai keturunan
Nabi Muhammad S.A.W, malalui garis ibu yaitu garis keturunan Sayyidina Husen
dan Susuhunan Kudus.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">b. Makam para wali atau tokoh penyebar agama islam<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Di sumenep, tepatnya didesa
Talago, dekat pantai barat pulau Poteran terdapat makam Sayyid Yusuf, yang
sangat dikenal sebagai penyebar agama islam pertama di desa itu. Posisi makam
berada di dekat laut sehingga membuat makam tersebut lebih bertuah. Berdasarkan
kepercayaan para peziarah, ketika perjalanan menuju ke makam tersebut
disaksikan oleh Nabi Qidir (penguasa air) karena harus menyeberang selat yang
hanya panjang sekitar 2 km, dengan menggunakan sampan atau perahu kecil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Makam tersebut pertama kali
ditemukan oleh salah seorang raja Sumenep, yang ketika itu sedang melakukan
perjalanan menuju ke Bali. Ketika melewati tempat tersebut, sang raja melihat
sebuah sinar yang memancar seperti tiang api ditengah hutan kegelapan. Karena
tertarik, sang raja berusaha mencari letak sumber sinar tersebut. Setelah
ditemukan ternyata berasal dari sebuah kuburan. Sejak saat itu, banyak orang
yang berziarah ke makam tersebut, terutama dalam kaitannya dengan kunjungan
terhadap makam para wali di Jawa yang kemudian diteruskan kemakam-makam
penyebar agama islam di Madura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Hari yang dianggap baik untuk
berziarah ke makam itu adalah malam selasa dan jumat kliwon. Ada pun yang
menjadi tujuan para peziarah sangat beragam, tetapi yang paling menonjol adalah
yang berkaitan dsengan urusan jabatan dan meningkatkan tarap hidup. Walaupun
banyak dikunjungi orang, keberadaan makam Sayyid Yusuf hingga saat ini masih
misteri, karena ada yang beranggapan bahwa yang berada dimakam itu hanyalah roh
atau sukma atau hamya berupa <i>petilasan,</i>
sedangkan jasadnya ada yang mengatakan berada dibanten, ada pula yang mengatakan
berada di pontianak, dan ada lagi yang menganggap berada di Afrika Selatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">c. Makam pembabat desa<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Di lihat dari konteksnya,
jenis makam ini paling banyak dimadura, karena hamper disemua tempat (dusun)
terdapat <i>buju’</i> sebagai tempat yang
dikeramatkan, yakni sebagai cikal bakal desa. Mengenai kesaktian yang dimiliki
sang tokoh sangat beragam, misalnya <i>buju’
</i>Anggasuta atau yang juga dikenal dengan <i>buju’
</i>Gubang, terletak didesa Kebondadap Timur. Kecamatan seronggi, kabupaten
sumenep. Tempat itu juga disebut <i>gubang</i>
(berarti lubang), karena dulunya merupakan rawa yang banyak hubungannya. Dengan
mengerahkan segala kekuatannya ia menutup lubang-lubang itu untuk dijadikan
makam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Menurut kepercayaan
masyarakat, Anggasuta adalah orang pertama yang memperkenalkan cara membuar
garam dikawasan Kalianget (sumenep), yang hingga kini sangat dikenal sebagai
daerah produksi garam berkualitas tinggi. Untuk mengenang jasanya, maka makam
Anggasuta bersama anggota keluarganya dikeramatkan sebagai <i>buju’</i>, disebut <i>buju’</i> atau
anggota Anggasuta yang terletak didesa Panggirpapas, kecamatan kalianget.
Bentuk upacaya yang paling besar disebut upacara <i>nyadar</i> (berarti nazar: janji berbuat sesuatu juka niatnya
tercapai), yakni sebuah puacara yang dilakukan panggirpapas untuk memuja
leluhur mereka, Anggasuta, yang dianggap penemu garam pertama dan yang
mengislamkan masyarakat sekiratnya. Waktu penyelenggaraannya dikaitkan dengan
peringatan Mailid Nabi, tepatnya setelah tanggal 12 Maulid dan paling terakhir
tanggal 19 Maulid, pada hari sabtu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Cerita yang berkembang
dimasyarakat Panggirpapas mengambarkan bahwa Anggasuta adalah Brawijaya V,
yanki raja majapahit yang melarikan ridi ke madura setelah ia ditaklukkan oleh
Raden Patah dari kerajaan Demak. Walau pun mengakui bahwa agama islam suatu
kebenaran, tetapi sebagai raja besar dari kerajaan Hindu, tidak mungkin hal itu
dilakukan. Oleh karena itu, ia menyamar sebagai Syeh Anggasuta dan mengasingkan
diri di Penggirpapas dengan membuka lembaran hidup baru ditempat pinggiranyang
penduduknya miskin sambil mengajar agama islam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Wujud penghormatan terhadap
leluhur Anggasuta tidak hanya pada saat upacara <i>nyadar</i>, tetapi juga pada ritus-ritus <i>along life cicle </i>(lingkaran hidup manusia), seperti acara khitanan,
perkawinan dan kematian. Sebagai masyarakat yang pendapatan utamanya sebagai
petani garam, kebesaran nama Anggasuta sebagai penemu garam selalu melekat
dalam hati sanubari masyarakat setempat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Kebesaran Anggasuta di bidang
lainnya, yaitu keberaniannya melindungi sisa-sisa pasukan kerajaan bali yang
tertinggal setelah diusir oleh kerajaan sumenep dari madura. Hingga saat ini,
sisa-sisa budaya hindu bali masih tampak dalam kehidupan budaya masyarakat di
Panggirpapas. Misalnya, dalam upacara <i>nyadar</i>,
orang yang memasak, termasuk menanak nasi adalah orang laki-laki dengan
berpakaian warna hitam. Demikian pula dalam hal bentuk rumah tradisional,
penataan ruangannya terpengaruh corak budaya bali, yakni dipekarangan terdapat <i>regol</i> kecil sebagai pintu gerbang masuk
halaman rumah. Adapun dibidang religi, masyarakat panggirpapas memiliki <i>magic</i> yang kuat, baik yang berupa <i>white magic </i>maupun <i>black magic</i>. Corak budaya seperti itu berbeda sekali dengan budaya
madura ditempat lain yang menunjukkan corak keislaman yang kuat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">d. Makam orang sakti<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Diantara sekian banyak <i>buju’</i> yang bermitologi sebagai makam
orang sakti di madura, certia tentang Joko Tole sangat popular dikawasan
madura, terutama di kabupaten sumenep. Bahkan, kendaraan Joko Tole, yakni
seekor kuda terbang yang bernama megaremeng, dipakai sebagai symbol pemerintah
kabupaten sumenep. <i>Buju’</i> Joko Tole
terletak di desa lancu, kecamatan manding, sekitar 15 km kearah utara dari kota
sumenep. Pada setiap malam jumat kliwon dan selasa kliwon banyak orang datang <i>menepi </i>di <i>buju’ </i>ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Oleh masyarakat sumenep, Joko
Tole dianggap tokoh legendaries dengan kesaktian yang luar biasa, terutama
ketika berhasil mengalahkan Dempo Awang, seorang pelaut ulung datang ke madura
untuk merampok dan memperkosa keperawanan semua perempuan madura. Joko Tole
sebagai seorang pemuda yang berilmu tinggi dengan gagah berani menunggang kuda
terbang berhasil membinasakan Dempo Awang hingga perahunya hancur berantakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Atas keberhasilannya
melindungi kaum perempuan madura dari kejahatan Dempo Awang, maka, <i>buju’</i> Joko Tole banyak dikunjungi oleh
kaum perempuan, baik tua maupun muda, untuk berziarah, dengan harapan agar
mendapatkan berkah dari arwahnya. Permintaan yang paling menonjol bagi
perempuan muda yang belum berkeluarga adalah memohon agar segera mendapatkan
jodoh yang ideal. Adapun untuk perempuan yang sudah berkeluarga, pada umumnya,
memohon agar suaminya tidak berselingkuh atau terhindar dari perceraian.
Berbeda dari kaun perempuan, untuk peziarah laki-laki pemujaannya lebih tertuju
kepada peralatan perang Joko Tole, yang dianggap mempunyai kekuatan sakti.
Yakni <i>buju’</i> Gedhugan, yang terletak
didesa ketawang karay, kecamatan ganding, sekitar 22 km ke arah barat dari kota
sumenep, juga dikeramatkan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">3, Tanah danKekerabatan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sisitem kekerabatan yang berlaku pada setiap
kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan sebagai variasi, yang mengambarkan
bagaimana bentuk jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan,
kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer,
yakni mulai dari keturunan, ikatan perkawinan, system pewarisan, sampai system
religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sistem kekerabatan orang
madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat
dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertical maupun
horizontal. Namun, jika dilihat dari system pewarisan, terutama yang berupa
tanah pekarangan dan rumah, terjadi ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang
berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak
perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat madura adalah <i>matrilokal genealogis</i>. Hal itu tampak
pada pola pemukiman ideal yang berlaku di madura, yang disebut <i>tanean lanjang</i> (berarti ‘halaman
panjang’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman <i>tanean lajang</i> adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur
sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan didepan rumah tersebut terdapat
halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun,
dibagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai
tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk
menerima tamu yang belum dikenal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pola pemukiman yang berupa <i>tanean lajang</i> menunjukkan adanya
hubungan yang erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang
tinggal didalam <i>tanean lajang</i>.
Penghuni <i>tanean lajang </i>adalah
anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya.
Pola permukiman semacam itu masih tampak jelas di madura, terutama didaerah
pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai dengan pola berjajar ideal
sebagaimana digambarkan dalam permukiman <i>tanean
lajang</i> (Wiyata, 1989). Yang jelas, pengelompokkan rumah tangga yang
membentuk keluarga luas masih tampak sekali. Sebagai contoh, letak rumah tidak
beraturan sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak
lagi memanjang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pola pemukiman <i>tanean lajang</i> yang masih itu memberikan
gambaran bahwa system pewarisan tanah dimadura masih sesuai dengan aturan adat
yang berlaku. Dalam pembagian warisan menurut adat madura memang terdapat
perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sesuai dengan adat
menetap setelah kawin yang matrilokal, seorang suami mengikuti istrinya dan
keluar dari keluarga batihnya sendiri. Oleh karena itu, hanya anak perempuan
yang memperoleh bagian dari tanah pekarangan. Kemudian, karena anak perempuan
itu nantinya juga akan menerima suami dari luar setelah ia kawin, maka
konsekuensinya ia juga harus menyediakan rumah untuk tempat tinggal suaminya.
Pola pemukiman seperti itu menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan
dimadura lebih kuat pada kaum perempuan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sistem pembagian warisan yang
berupa tanah pekarangan secara sepintas tidak seimbang, karena anak laki-laki
tidak memperoleh bagian dan harus keluar dari keluarga batihnya setelah ia
menikah. Keadaan itu, ternyata, berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak
laki-laki di madura pada usia menjelang <i>akhil
baliq</i>. Mereka tidak betah tinggal di rumah dan lebih cenderung bergabung
dengan anak laki-laki lain yang sebaya kalau tidak mondok di pesantren. Keadaan
itu, hamper sama dengan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Cara pembagian warisan tanah
telagan tidak sama dengan tanah pekarangan. Dalam pembagian tanah telagan
antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama. Hubungan
kekerabatan yang terbentuk ikatan pewaris yang berupa tanah tegal itu,
tampaknya, tidak sekuat ikatan pewaris tanah pekarangan. Apa lagi jika tanah
tegal yang diwariskan itu letaknya jauh dari tempat tinggalnya, maka
pengaruhnya terhadap ikatan kekerabatan juga bertambah lemah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dalam membagi warisan kepada
anak-anaknya, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, tempak
orang tua cukup kompromis. Maksudnya, walaupun pembagiannya tidak seratus
persen sama, anak-anak tetap menerimanya jika hal itu sudah menjadi kehendak
orang tua. Mereka pantang sekali berselisih gara-gara masalah tanah warisan
dan, cekcok semacam itu, membuat mereka malu terhadap tetangga. Sikap kompromis
ini, dipengaruhi beberapa hal, yaitu <i>pertama</i>,
mungkin, ada kaitannya dengan masih tebalnya mitos masyarakat bahwa tanah
adalah sama dengan nenek moyang (leluhur). Sementara itu, roh nenek moyang
sendiri dianggap selalu mengawasi keadaan rumah dan ranah. <i>Kedua,</i> karena besarnya wibawa orang tua terhadap anak-anaknya, dan
sebaliknya, besarnya sikap hormat terhadap orang tua karena besarnya tanggung
jawab dalam membina anak, mulai membesarkan, sampai mencarikan jodoh, dan
bahkan, sampai dapat hidup mandiri, masih menjadi tanggung jawabnya. Dengan
demikian, ada perasaan takut dan segan anak terhadap orang tua, bahkan orang
tua pula pihak yang kali pertama harus dihormati dalam falsafah <i>buppa’-bhabhu’, ghuru, rato</i> (lihat
subbab A bab 3).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Persoalan keluarga akan muncul
jika secara kebetulan sebuah rumah tangga tidak memiliki anak perempuan. Jika
demikian, pembagian warisan, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah
tegalan, dibagi rata sesuai jumlah anaknya. Jika menerapkan system matrilokal
secara konsekuen, akibatnya rumah induk akan kosong karena semua anak-anaknya
mengikuti istri masing-masing. Dalam hal ini, biasanya, orang tua menghendaki
salah satu anaknya tinggal bersamanya. Mengenai siapa yang harus tinggal
bersama orang tua memang tidak ada ketentuan. Pada dasarnya, semua itu,
dipertimbangkan beberapa hal menurut ketentuan. Pada dasarnya, semua itu,
dipertimbangkan menurut beberapa hal, antara lain siata yang paling dicocoki,
keluarga istri dari anak yang mana yang sekiranya dianggap kurang mampu
sehingga tidak dapat disediakan fasilitas rumah seperti diharapkan, dan yang
lebih penting lagi siapa yang sanggup merawat orangtuanya nantinya. Caranya
dimusawarahkan sedemikian rupa sehinghga ditemukan pilihan yang terbaik. Yang
penting, rumah induk itu tidak boleh dikosongkan dan harus ada yang menempati.
Mengosongkan rumah induk dianggap menelontarkan roh leluhur penjaga rumah dan
tanah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Secara umum, tanah merupakan
pengikat utama hubungan kekerabatan. Tanah pekarangan (<i>tanean</i>) berdiri beberapa rumah tinggal keluarga matrilokal yang
berfungsi sebgai pengikat hubungan kerumahtanggaan. Dalam kehidupan
sehari-hari, kebersamaan antar rumah tangga tampak sekali, mulai dari bercakap-cakap,
masak-memasak, sampai membicarakan masalah keluarga dari masing-masing rumah
tangga. Lain halnya dengan tanah tegalan. Sesuai dengan fungsinya, tanah
tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam budaya pertanianh, terutama
kebersamaan dalam bekerja mengolah tanah yang pada umumnya dikerjakan secara
bergotong royong.. bentuk ikatan gotong royong, biasanya, berdasarkan
kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan itu,
biasanya masih satu keluarga <i>sataretan</i>
(saudara kandung), hasil dari pembagian warisan (<i>sangkolan</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Fenomena diatas dapat
diartikan bahwa tanah pekarangan mempunyai ikatan yang lebih kuat dan mempunyai
pengaruh hubungan keluarga lebih intensif jika dibandingkan dengan tanah
tegalan yang hanya sebatas hubungan kerja. Perdesaan yang lain, tanah
pekarangan mengikat hubungan keluarga matrilokal, sedangkan tanah tegalan lebih
luas lagi, yakni termasuk juga keluarga dari saudara laki-laki.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Oleh karena tanah mempunyai
daya pengikat hubungan keluarga yang kuat, maka ada pantanganb bagi masyarakat
untuk menjual tanah dengan dibumbui mitos-mitos yang berupa resiko yang dapat
berakibat fatal bagi yang melanggarnya. Terutama yang berupa tanah pekarangan
karena telah membentuk kelompok primodial keluarga dalam <i>tanean</i> <i>lajang</i>, jelas
sangat tertutup untuk dimasuki oleh orang dari luar keluarga luasnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">D. Ulama dan Politik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Telah dipaparkan di subbab
sebelumnya bahwa islam dan ulama sangat dekat dengan identitas cultural
masyarakat madura sehingga ulama menempati tempat istimewa. Agama islam secara
intensif masuk kemadura sekitar abad XV, seiring dengan mulai memudarnya
pengaruh kerajaan maja pahit di jawa timur. Pada masa tersebut, ajaran islam
sedikit demi sedikit mulai tertanam pada masyarakat madura. Menurut berbagai
berbagai pemberitaan pada abad XV, datanglah dijawa seorang ulama islam dari
Campa, merupakan penganjur agama yang bernama Rakhmat dan diriwayatkan
merupakan ipar kemenakan raja maja pahit. Oleh pacat tanda terung, yang waktu
itu berkuasa diwilayah Surabaya, ia diberi izin bermukim di Ampel Denta. Karena
keberhasilannya menyebarkan agama islam. Ia lalu terkenal dengan nama Sunan
Ampel dan merupakan salah seorang <i>wali
sanga</i> yang sangat berpengaruh di jawa. Orang-orang mdura kemudian sangat
memuliakannya dan sampai sekarang makamnya di Masjid Ampel menjadi tujuan
ziarah yang ramai (Rifai, 1993:21-22).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Peran ulama di madura,
tampaknya,tidak dapat di lepaskan dari sejarah perkembangan agama islam di
mandura sejak terjadi kontrak perdagangan antara mandura dengan pusat-pusat
islam di pesisir utara jawa.oleh karena itu,perdagang dan pelaut mandura di
duga termasuk salah satu kelompok awal penganut ajaran islam di madura.
Perkembangan islam di mandura semakin meningkat ketika kontran antara mandura
dengan mekah semakin intensif melalui jemaah haji. Pada waktu itu, banyak
pedagang kaya,yang sekaligus pembuka agama,melaksanakan ibadah haji
dan,pulangnya membawa tambahan ilmu keanamaan yang diperolehnya dari negeri
asal agama islam. Pada tahun 1880,di pulau madura terdapat 896 orang haji dan
sepuluh tahun kemudian berkembang menjadi 1.364 orang. Hsil yang paling nyata
dari kehadiran para haji ini adalah semakin bersihnya ajaran dari pengaruh
local, semakin banyak jumlah orang yang menunaikan ibadah haji di suatu daerah,
semakin semarak pula syiar islam dengan institusi-institusinya dan yang paling
menonjol serta berpengaruh besar terhadap perkembangan islam di sekitarnya
adalah pesantren (tim peniliti PMB-LIPI, 1995:49). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Setelah historis,ulama,terutama
dalam masyarakat islam teradisional (NU)telah menjadi panutan masyarakat,baik
mengenai masalah keagamaan maupun masyarakat. Seperti di katakan Dhofier
(1993:45):<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">“keberadaan seorang ulama sebagai pemimpin pesantren,di tinjau dari tugas
dan fungsinya,dapat di pandang sebagai penomena kepentingan yang unik sebab
ulama di samping sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan pesantren juga
sebagai pemimpin masyarakat “.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Ternyata Dhofier tersebut
menunjukan bahwa ulama memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup luas, baik di
dalam pesantern maupu masyarakat.bahkan,di dalam pesanteren seorang ulama dapat
di ibaratkan sebagai seorang raja dalam sebuah kerajaan kecil dengan kekuasaan
dan kewenangan yang absolut. Menurut Dhofier (1982:58), kekuasaan dan
kewenangan ulama di dalam pesantrennya nyaris mutlak, karena
santri,umumnya,mengangap “ulama adalah pemilik,guru,pemimpin,dan penguasa
tunggal” di dalam pesantrennya. Selainn itu,kekuasaan dan kewenangan ulama juga
dapat masyarakat sekitar pesantren,terutama berwujud pengaruh dan peranan dalam
mobilisasi masyarakat (dhofier,1982:58, effendi,1990:1;tojjoib,1998:111).
Tigkat kepatuhan masyarakat kepada seorang ulama di antaranya dimanifestasikan
dalam bentuk dukungan moril dan matril (berupa pemberian uang maupun
barang-barang lain). Misalnya,ketika anggota masyarakat berkunjung ke rumah
seorang ulama,atau wali santri berkunjung ke pondok pesanteren untuk menjenguk
anaknya,hampir dapat di pastikan memberikan uang (nyabis) atau membawa
barang-barang bawaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Anggapan kerajaan di atas
dapat di pahami setidak-tidaknya di lihat dari anggapan para santri dan
masyarakat bahwa seorang ulama adalah pemimpin duniawi sekaligus ukhrowi,atau
dengan kata lain sebagai wakil tuhan di dunia. Hal itu,tidak jauh berbeda
dengan anggapan masyarakat pada massa lalu bahwa seorang raja adalah symbol
kekuasaan mikrokosmos dan makrokosmos. Raja dalam kosmologi jawa di percayai
sebagai seseorang yang memperoleh bisikan langit sehingga dirinya memiliki
kesempurnaan,kesaktian,dan kekuatan maha besar untuk menjalankan
kekuasaan,yakni menjaga keadaan <i>tata
tentrem kerta dahaja </i> mulai tergangun
(Anderson,1972:19). Barang kali,kita dapat membayangkanya sebagai pintu air
yang menampung air seluruh sungai dan bagi tanahyang lebih rendah merupakan
satu-satunya sumber air dan kesuburan (magkis-suseno,1984:100).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">
Dengan kelebihan pengetahuan dan penghayatan di bidang keagamaan
islam,ulama dianggap memiliki kewenangan khusus dibidang keagamaan. Karena
agama di anggap sebagai acuan nilai,moral,dan norma yang di yakini dan di anut
oleh masyarakat,maka ulama pun sekaligus di sebut sebagai pemimpin oleh sebab
itu, kekuasaan (<i>autlhoroty</i>) ulama
dianggap mempunyai makna sacral betapapun kecil dimensi makrokosmos (Effendy,
1990:2). Bahkan, lebih dipertegas lagi seoerang ulama sering dikaitkan dengan
fenomena kekuasaan, yakni sebagai pewaris risalah kenabian yang bersifat
supranatural. Figure ulama dianggap sebagai seorang yang mampu memberikan saran
sesuai dangan petunjuk tuhan dari hasil <i>istikhoro
</i>(Mansurnoor, 1990:211-233). </span><span lang="FI">Sebagai seorang tokoh, sering kali kalangan ulama melakukan istikhoro untuk
meminta petunjuk tuhan. Fenomena itu telah menyebabkan peran ulama menjadi
sangat diperhitungkan, tidak hanya menyangkut masalah-masalah keagamaan, tetapi
juga masalah sosial dan politik. Secara tegas, Hiroko Horikoshi (1987:76)
menyatakan bahwa ulama menguasai pendidikan islam di madrasah, memegang
kekuasaan tertinggi dalam penafsiran Qur’an dan Hadits, dan sering pula muncul
sebagai pemimpin sosial politik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="FI"> Ulama
menjadi panutan masyarakat, disamping karena dianggap menguasai masalah
keagamaan, juga dianggap memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat
kebanyakan, yakni kesaktian. Para ulama umumnya dianggap mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu berupa <i>kajunela
</i>atau <i>kasekten</i>, terutama ketika
yang bersangkutan hendak membuka “daerah baru” yang masih belum santri.
Perjalanan kiai Kholil yang sangat terkenal dan sekarang mewariskan pondok
pesantren besar dimadura, ketika mulai membuka pesantrennya di bangkalan pada
permulaan abad XIX, tidak terlepas dari kasaktian yang dimilikinya (tim
peneliti PMB-LIPI, 1995:44).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="FI"> Dalam
kehidupan sosial, masyarakat madura sendiri lebih berorientasi kepada ulama
daripada kepada birokrasi. Namun, ulama dimadura, seperti juga di jawa, selalu
tumbuh dikalangan elite ekonomi dan sekaligus politik setempat. Posisi ulama
yang begitu sentral itu sejajar dengan kemampuan ekonomi mereka yang ham-pir
pasti bersifat elitis. Ini, pertama-tama, berkaitan dengan latar belakang
keluarga, tempat ulama itu ditumbuhkan. </span><span lang="ES">Ulama di jawa dan madura selalu tumbuh dari keluarga berada dan terhormat.
Seperti yang dikatakan oleh Effendy (1989:5) bahwa ulama sebagai pendiri
pesantren tidak satupunyang berasal dari keluarga kurang mampu. Akibat berbagai
posisi yang dimiliki ulama tersebut tercipta pola hubungan yang bersifat
paternalitis, yang menem[patkan ulama sebagai patron dan maasyarakat sebagai
klien. Kondisi hubungan dengan paternalitik inilah yang membuat ulama sebagai
panutan atau acuan sikap masyarakat, terutama dalam urusan sosial politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">
Islamisasi di madura, seperti pada umumnya di daerah lain, pada awalnya
berjalan dengan birokrasi. Para Da’I yang melakukan islamisasi awal
berdampingan secara histories dengan para birokrat tradisional. Bahkan, dapat
ditemukan beberapa ulama yang memiliki hubungan darah dengan penguasa
terdisional atau justru berasal dari kalangan kaum ningrat yang dapat
dipastikan sebagai keluarga pejabat pada zaman pemerintahan terdisional. Sejumlah
ulama terkenal di bangkalan, seperti KH. Fuad Amin Imron, sampai sekarang masih
memakai gelar bangsawan “raden” (tim peneliti PMB-LIPI, 1995:46-47). Hal itu,
menunjukkan bahwa kemunculan elite kiai tidak berasal dari orang kebanyakan
atau masyarakat biasa, tapi lahir dari kalangan elite yang sudah mapan, baik
secara ekonomi maupun politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">
Keterlibatan ulama dalam politik praktis (dalam pengertian politik
modern) sudah berlangsung baik sejak zaman penjajahan, masa revolusi
kemerdekaan, maupun sesudah masa kemerdekaan. Sebagai contoh, pada masa
penjajahan dan revolusi kemerdekaan banyak ulama yang menggabungkan diri ke
dalam barisan Hisbullah atau Sabilillah, bahkan sebagian besar menjadi komandan
dan pemimpinnya. Oleh karena itu, banyak santri diantara yang terlibat atau
dilibatkan dalam barisan itu. Akibatnya, banyak pula pesantren yang akhirnya
berkembang menjadi markas Hisbullah, atau Sabilillah, yang karena banyak pula
pesantren yang terganggu pendidikan dan pengajarannya karena ulama dan santrinya
bergerilya di daerah (Effendy, 1990:10). </span><span lang="SV">Berikutnya, ulama justru menempati posisi penting dalam pergerakan
nasional. Tidak sedikit organisasi modern kaum pribumi yang didirikan dan
dipimpin ulama. Bahkan, menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam
pergerakan nasional (Shiraishi, 1997).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">
Selanjutnya, pada masa kemerdekaan, peranan ulama dalam penggung politik
masih terus berlangsung. Bahkan, pada masa-masa awal kemerdekaan semakin besar
dan intensif. Keterlibatan KH. Wahlid Hasyim dari pesantren Tebuireng, KH.
Abdulhalim dari pesantren Majalengka dan sebaginya dalam konstituante untuk
merumuskan dasar negera Indonesia pada dasawarsa lima puluhan adalah salah satu
contohnya (Effendy, 1990:11).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">
Tampilnya ulama dalam panggung politik, terutama dalam organisasi
politik, semakin dominant ketika NU (Nahdlatul Ulama) berubah menjadi partai
politik. Karena ulama telah menajadi panutam masyarakat, NU sebagai partai yang
didukung oleh ulama tradisional relative tidak sulit untuk meraup suara yang
cukup besar. Bahkan, NU pada pemilu 1971 menduduki posisi terbesar dalam
perolehan suara dimadura: NU memperoleh 67%, PSII 4,9%, Parmusi 2,0%, Golkar
25,5%, dan Partai Nasional 0,5% (De Jongle, 1989:275). Padahal, menjelang
pemilau 1971 berlangsung, rezim orde baru sudah mempersiapkan diri untuk
memenangkan Golkar, diantaranya melalui sekretatian Bersama Golongan Karya
(Sekber Glokar). Bahkan, pemerintah orde baru telah mengeluarkan peraturan
mengenai kehidupan politik para pegawai megeri dengan melarang Keikutsertaan
sejumlah kecil pegawai negeri untuk bergabung dalam suatu partai dan meminta
kepada yang lainnya untuk melaksanakan “monoloyalitas”, yang maksudnya meereka
harus setia kepada Golkar saja (Reeve, 1985:188; Feillard, 1999:117-118). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
MENGENAL</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
PULAU MADURA</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dari sudut pandang latar belakang
etnis, komposisi demografis penduduk dimadura menunjukkan dominasi suku madura.
Namun, kelompok penduduk non madura dapat dijumpai pula, sekalipun secara
kuantitatif merupakan minoritas. Pengamatan secara langsung membenarkan
realitas itu, meskipun sacara absolute tidak dapat dipastikan jumlahnya karena
data sensus penduduk pada periode pascakolonial cenderung meniadakan informasi
penduduk berdasarkan latar belakang etnisitas. Disamping kelompok suku madura
secara mayoritas, dimadura juga dijumpai penduduk dengan identitas etnis Jawa,
Mandar, Bugis, Melayu, Cina, dan kelompok minoritas Eropa juga ditemui
keberadaannya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Keberadaan kelompok masyarakat
non-madura justru lebih mudah diketahui pada periode colonial, karena data
sensus penduduk menurut asal-usul etnis. Pada tahun 1900, jumlah keseluruhan
penduduk madura mencapai 1.758.000 jiwa, dengan tiga kelompok minoritas utama,
yakni penduduk Eropa (747 jiwa), Cina (4.381 jiwa), Arab (1.774 jiwa), dan
lainnya (111 jiwa). Tiga puluh tahun kemudian, penduduk Eropa menjadi berjumlah
1.051 jiwa dan Cina berjumlah 5.029 jiwa, sedangkan data untuk orang Arab tidak
diketahui (Kuntowijoyo, 1980:82). Angka itu menunjukkan bahwa, secara
kuantitatif, penduduk non-madura memang merupakan minoritas. Kelompok minoritas
terbesar adalah Cina, disusul kelompok Arab pada urutan kedua.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pada tahun 1930, Residen madura,
W.H. Ockers (dalam kartodirdjo, 1978:CLXX), melaporkan bahwa orang bugis dan
madura bermukim terutama di madura kepulauan, seperti Kangean, Selambu, dan
Bawean. Ockers juga menyebutkan adanya pusat pemukiman orang Kambang dari
Sulawesi di Pulau Sapekan. Laporan bupati sumenep pada tahun 1950 juga
menyebutkan keberadaan komunitas Bugis di pulau Masalembu (Djawatan Penerangan,
1951:33). Lebih lanjut, kajian Vredenbregt (1990:15) memperlihatkan keberadaan
kelompok orang <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Palembang</st1:city></st1:place>
di pulau Bawean. Seperti umumnya ditemui pada masa sekarang, pada masa lalu
orang Cina dan Arab bertempat tinggal diwilayah perkotaan. Komunitas-komunitas
non-madura itu dikepalai oleh orang Arab, sedangkan orang Cina dikepalai oleh <i>wijkmeester.</i> Puluhan orang <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">India</st1:country-region></st1:place>
juga bermukim di Sumenep (<i>Memori Residen
Madura F.B. Batten,</i> dalam Kartodirdjo, <i>et
al, ed, </i>1978: CXXXVIII).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tidak ada data yang secara khusus
menunjukkan bagaimana pertumbuhan masing-masing kelompok etnis yang bermukim di
madura pada era kemerdekaan. Akan tetapi, secara umum, diketahui bahwa jumlah
penduduk madura terus bertambah dalam perjalanan waktu. Menurut kalkulasi
Kuntowijoyo (1980:79), berdasarkan data penduduk 1850-1930, pertumbuhan
penduduk madura rata-rata mencapai 2,7 persen pertahun, sedangkan tingkat
pertumbuhan untuk Jiwa secara umum hanya sebesar 1,9 persen pertahun. <span lang="ES">Namun, pada periode pendudukan jepang dan
Perang kemerdekaan, penduduk madura mengalami pertumbuhan negative. Dalam
periode 1941-1950 jumlah penduduk madura berkurang sekitar 400.000 jiwa,
sedangkan penduduk jawa bertambah sebesar 2 juta jiwa (De Jogle, 1989:22).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES">Memasuki periode kemerdekaan, pertumbuhan penduduk madura dilampui oleh
tingkat pertumbuhan penduduk di jawa timur. Dalam periode 1980-2000, penduduk
madura bertambah dari 2.687.000 jiwa menjadi 3.118.000 jiwa. Dalam periode 20
tahun, rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk madura mencapai 0,83% pertahun
tahun (<i>jawa timur dalam angka 2000, </i>2001:51;
Niehof, 1985: 26).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES">Menurut dikotomi wilayah desa-kota, tingkat pertumbuhan penduduk di madura
tidaklah bersifat seragam. Menurut Kuntowijoyo (1993:62) atas dasar pengamatan
di kabupaten Bangkalan, pertumbuhan penduduk diwilayah pedesaan madura lebih
lambat daripada wilayah perkotaan. Penjelasan terhadap fenomena tersebut adalah
daya dukung ekonomi wilayah pedesaan yang lebih kecil karena katergantungan
kepada sector agraris yang sudah mencapai titik jenuh dibandingkan dengan
perkotaan yang masih mungkin menyandarkan aktivitasnya pada sector
non-pertanian, khususnya sector perdagangan. Dengan kata lain, wilayah
perkotaan dimadura, sekalipun dari arti yang terbatas, masih dapat memberikan
dukungan ekonomis lebih besar daripada wilayah pedesaan, termasuk dengan
melakukan urbanisasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES">2. Kepadatan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES">Jika dilihat dari sidut kepadatan penduduk (<i>population density</i>), pda tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk
madura mencapai 588 jiwa/ km2. selama periode 1995-2000, secara konsisten,
kabupaten pamekasan menempati urutan tertinggi dari segi tingkat kapadatan
penduduk, yakni sebesar 804 jiwa/km2 pada tahun 1995 dan 851 jiwa/km2 pada
tahun 2000. secara konsisten pula, urutan kadua ditempati kabupaten bangkalan,
disusul kabupaten Sampang, dan kabupaten Sumenep pada urutan berikutnya. </span>(lihat
Tabel 2.3).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i>Kepadatan penduduk madura menurut kabupaten 1995 dan 2000<o:p></o:p></i></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: 5.4pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 480;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kabupaten</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
1995</div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
2000</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bangkalan</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
573</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
605</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sampang</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
572</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
580</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pamekasan</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
804</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
851</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sumenep</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
463</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
483</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Total Madura</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
564</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
588</div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Jawa Timur</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 2.05in;" valign="top" width="197"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
703</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 142.2pt;" valign="top" width="190"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
732</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sumber: <i>jawa dalam angka 2000 </i>(<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Surabaya</st1:city></st1:place>:
BPS Provinsi Jawa TImur, 2001), hlm. 45.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tingkat kepadatan penduduk madura
tampak tidak selalu parallel dengan besar jumlah penduduk. Hal itu, tentu saja,
juga tergantung pada luas territorial masing-masing kabupaten. Kabupaten
Pamekasan, yang secara absolute mempunyai jumlah penduduk terendah, ternyata
memmpunyai tingkat kepadatan yang tinggi. Sebaliknya, kabupaten Sumenep
mempunyai tingkat kepadatan terendah, sekalipun jumlah penduduknya terbesar di
antara semua kabupaten di madura.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Di daerah lairan sungai yang
mungkin praktik budidaya pertanian pada musim penghujan merupakan daerah yang
paling padat penduduk. Di daerah inilah pada masa lalu berdiri pusat-pusat
kekuasaan (<i>keraton</i>) yang kemudian pada
era kemerdekaan berkembang menjadi berapa ibu <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">kota</st1:city></st1:place> kabupaten di madura. Hanya daerah
semacam itulah yang berpeluang besar mampu menyangga kepadatan penduduk yang
tinggi dan memungkinkan berkembangnya kelompok-kelompok masyarakat dengan
aktivitas ekonomi non-agraris (De Jogle, 1989). Contoh yang dapat disebut
disini adalah Bangkalan dan Arosbaya di kabupaten Bangkalan, Pamekasan dan
Bundar di kabupaten Pamekasan, serta Sumenep di Kangean di kabupaten Sumenep.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kepadatan penduduk yang tinggi
juga terdapat didaerah pesisir pantai selatan. Produksi pertanian didaerah ini
adalah ketela dan jagung dan, sebenarnya, dibandingkan dengan padi tidak banyak
mendukung terjadinya konsentrasi penduduk dalam jumlah besar. Kepadatan kawasan
sepanjang pantai selatan hanya dimungkinkan berkat berkembangnya aktivitas
penangkapan ikan dan perdagangan yang terjalin dengan kota-kota lain di pantai
utara jawa. Tjiptoatmodjo (1989), secara komprehensif, telah menggambarkan
ramainya aktivitas perdagangan dikota-kota selat madura hingga pertengahan abad
ke-19. sumber tradisional,<i>Babad Sumenep</i>,
juga menyebutkan adanya aktivitas pedagang dari jawa di kota-kota madura
(Werdisastra, 1996:22).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Berkebalikan dengan kawasan
sepanjang pantai selatan, disepanjang kawasan pantai utara madura tingkat
kepadatan penduduk lebih rendah. Menurut De Jogle (1989:19), hal itu tidak
terlepas dari ketergantungan yang lebih besar dapa aktivitas pokok penangkapan
ikan. Kondisi perairan yang bergelombang besar dan teknologi pelayaran yang
sederhana rupanya tidak memungkinkan mereka melakukan penangkapan ikan
ditempat-tempat yang jauh dari laut jawa. Penangkapan ikan pun hanya dilakukam
di musim timur. Kalaupun di masa lalu aktivitas perdagangan juga telah terjalin
dengan beberapa <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">kota</st1:city></st1:place>
pantai di jawa. Sulawesi, dan <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place>,
intensitasnya lebih kecil dan bahkan semakin berkurang pada era kemerdekaan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tingkat kepadatan penduduk paling
rendah ditemukan di daerah-daerah yang lebih tinggi dengan kondisi alam yang
sebagian besar tersusun atas bantuan karang (De jonge,1989:19). Sekalipun
kegiatan pertanian tetap di lakukan di kawasan itu, hasilnya jelas tidaklah
memadai karena lahan yang tersedia sangat terbatas dan produkvitas lahan pun
jauh lebih rendah dibandingkan dengan kawasan madura lainya yang mempunyai sistem
irigasi relative lebih baik,khususnya pada musim penghujan.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Secara umum,dibandingkan dengan
jawa dan daerah di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,pulau
madura termaksud kategori daerah padat penduduk (<i>density populated region</i>). Bahkan, pada <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place> kolonial belanda,pulau ini,mempunyai
tingkat kepadatan penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
kepadatan penduduk di jawa pada umumnya. Pada tahun 1815,misalnya,kepadatan
penduduk madura adalah 41,2 jiwa per km<span style="font-size: 8pt;"> 2</span><i> </i> ,sedangkan
kepadatan penduduk di jawa baru mencapai 33,9 jiwa per km <span style="font-size: 8pt;">2</span>.dalam priode 1867-1940, kepadatan penduduk
madura selalu lebih tinggi di bandingkan dengan jawa.pada tahun 1940,kepadatan
penduduk madura meningkat menjadi 414,8 jiwa km <span style="font-size: 8pt;">2</span>,
sedangkan kepadatan penduduk di jawa hanya 357,2 jiwa per km <span style="font-size: 8pt;">2</span>,(De
jonge,1989:21).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pada periode
kemerdekaan,kepadatan penduduk di jawa terus berada di atas angka kepadatan
penduduk madura yang turun drastis pada priode pendudukan jepang.pada tahun
1955,angka kepadatan penduduk madura berkurang, yaitu 328 jiwa per km <span style="font-size: 8pt;">2</span>,sedangkan kepadatan penduduk di jawa secara
keseluruhan mencapai 409 jiwa per km<span style="font-size: 8pt;"> 2</span>.pada
tahun yang sama,tingkat kepadatan penduduk untuk jawa timur adalah 394 jiwa per
km <span style="font-size: 8pt;">2</span> (Reksohadiprodjo dan Hadisapoetro,
1986:319). Meskipun kepadatan penduduk di mdura terus bertambah, dalam
kenyataanya,laju pertumbuhan kepadatan penduduk tetap lebih lambat.pada tahun
1971,angka kepadatan di madura adalah 458 jiwa per km <span style="font-size: 8pt;">2</span>,sedangkan untuk jawa besar 561 jiwa per km <span style="font-size: 8pt;">2 </span>(De jonge,1989:21).sementara itu,pada tahun
2000,kepadatan penduduk madura mencapai 588 jiwa per km <span style="font-size: 8pt;">2</span>,sedangkan angka kepadatan untuk jawa timur sebesar 732 jiwa per
km <span style="font-size: 8pt;">2</span>.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Secara absolute,tingkat kepadatan
penduduk madura memang lebih rendah,tetapi terkanan sosial ekonomi penduduk di
madura jauh lebih besar5. tetapi hal itu terkait dengan fakta bahwa daya dukung
alam madura lebih rendah daripada jawa karena kondisi alamnya yang gersang dan
tandus tidak dapat diingkari,produktivitasi lahan pertanian di madura lebih
kecil dari pada tingkat produktivitasi lahan pertanian di jawa,seperti tampak
jelas, misalnya dalam produksi padi per kapita.sebagai ilustrasi, misalnya,pada
priode 1950-1955 di ketahui bahwa produksi besar per kapita di madura rata-rata
hanya 39,86 kg per tahun,sedangkan untuk jawa timur saja mencapai 143,14 kg
(Reksohadiprodijo dan Hadisapoetro,1986:324). Keadan alam yang gersang dan
tandus merupakan penyabab utama rendah tingkat kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat madura (Wiyata,2002:35).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Rendah tingkat kehidupan
sosial-ekonomi tercemin pula dari tingkat pendidikan yang dapat di nikmati
masyarakat madura. Dapat di tingkatkan bahwa sampai saat ini tingkat pendidikan
di kalangan masyarakat madura masih rendah.berdasarkan data sensus tahun 1971
di ketahui bahwa proporsi jumlah penduduki yang buta hurup (tidak dapat menulis
dan membaca)di kalangan masyarakat madura mencapai persentase sangat
tinggi,yaakni 68% dengan rincian:69.3% di Bangkala,72,1% di sampang,64,4%di
pamekasan,dan 66,5% di sumenep (Niehof,1985>32).berbagai upaya yang telah di
tempuh selama priode Orde Baru untuk memajukan pendidikan di madura masih perlu
di tingkatkan karena, ternyata,jumlah penduduk yang buta hurup masih
tinggi.pada tahun 1995, di kabupaten sampang misalnya,proporsi jumlah penduduk
buta hurup masih sangat tinggi, yakni sekitar 53%,lebih besar dibandingkan
jumlah penduduk yang bisa baca-tulis (47%) (Suyanto,<i>et al</i>., 1997:21).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Memang benar bahwa pada <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">massa</st1:city></st1:place> kemerdekaan tingkat
kesejahteraan masyarakat madura terus msngalami peningkatan, seperti di
tunjukan oleh peningkatan pendapatan per kapita kurang lebih sepuluh kali lipat
antara tahun 1970 dan 1990. Namun, secara umum, tingkat pendapatan per kapita
penduduk madura kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita penduduk
indoinesia (De jonge,1989:43; De jonge,1990:21). Beratnya tekanan kehidupan
sosial-ekonomi merupakan faktor pendorong <i>(push
factor)</i> yang menggerakkan orang madura melakukan migrasi ke tempat lain di
luar madura dan, permasalahan ini, akan di paparkan secara lebih mendalam dalam
bagian berikut ini.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
C. Madura dalam perubahan zaman</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dalam rentangan sejarah jangka
panjang, tidak duragukan bahwa madura dan masyarakatnya mengalami berbagai
dinamika, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Masyarakat madura yang
sekarang adalah masyarakat hasil teransformasi yang telah berlangsung selama
berabad-abad. Dalam prose situ dapat disaksikan bukan hanya serangkaian
perubahan, melainkan juga sejumlah kesinambungan sejarah masih dapat ditemukan.
Dalam konteks ini, cukup releven menengok pemikiran sejarawan besar aliranAnnales,
Braudel, yang membedakan sejarah dalam tiga lapisan, yakni lapisan panjang (<i>longe duree, </i>struktur, geografi),
lapisan menengah (<i>moyenneduree, </i>kunjunktur,
ekonomi), dan lapisan pendek (<i>counte
duree, </i>peristiwa, politik) (Braudel, 1972-1973; Ankersmit, 1987:281-283).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bertolak dari pemikiran Braudel
tersebut, mulai dengan lapisan ketiga, <i>counte
duree</i>, yang terkait dengan dimensi politik, tampak bahwa madura menampilkan
irama perubahan cepat. Hal itu, jelas jika menilik perkembangan sejarah madura mulai
dari era prakolonial yang diwarnai dengan perebutan hegemoni antara berbagai
pusat kekuasaan local madura, aliansi, dan resistensi terhadap penetrasi
terhadap kekuasaan luar, khususnya yang berpusat dijawa dan bali, integrasi
dalam kekuasaan colonial belanda, pendudukan jepang, pembentukkan Negara
madura, hingga integrasi ke dalam Negara kesatuan republic Indonesia.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dalam periode kerajaan-kerajaan
Nusantara, madura berurut-turut dibawah kekuasaan <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Kediri</st1:city></st1:place>, Singosari, Majapahit, Demak, dan
mataram (Rifai, 1993:7-40). Penguasaan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terntu
saja mempunyai pengaruh bagi madura, adapun pengaruh yang paling terasa hungga
saat ini adalah yang ditinggalkan oleh kerajaan Mataram. Di bawah kekuasaan
mataram, pengaruh budaya jawa semakin mengakar, terutama dengan ditempatkannya
panglima pasukan jawa, Tumenggung Anggadipa sebagai penguasa di sumenep dan
penerimaan rakyat semenep terhadap kepemmpinannya (Riafi, 1993:52). </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perbedaan antara masyarakat
madura barat dan madura timur yang masih dikenali hingga dewasa ini sampai
tingkat tertentu merupakan konsekuensi dari dinammika politik di madura pada
masa lampau. Dari sudut pandang jarak geografis, agak mengherankan bahwa madura
timur yang relative lebih jauh dari pusat-pusat politik dijawa, khususnya
kerajaan mataram, justru lebih banyak mendapat pengaruh budaya jawa. Hal itu,
tampak jelas jika dilihat dari sudut pandang linguistic. Masyarakat madura
timur mengenal adanya tingkatan bahasa (kasar-halus), mirip seperti pola yang
berlaku dalam bahasa jawa. Sebaliknya, dimadura barat cemacam itu tidak banyak
ditemukan karena bahasa yang digunakan dalam masyarakat madura barat ternyata
masih egaliter, yang agaknya mengesankan bahwa masuarakat madura barat lebih
kuat mencerminkan budaya rakyat madura kebanyakan. Bahkan, sampai paruh kedua
abad ke-19, nama madura memang hanya merujuk pada bagian barat pulau tersebut,
yang sekarang merupakan kabupaten Bangkalan dan sampang (Niehof, 1985:23; De
Jogle, 1990:3).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Penetrasi kekuasaan belanda ke
madura diawalai oleh permintaan bantuan dari penguasa sumenep untuk membebaskan
diri dari kekuasaan Mataram. VOC yang menjadi embrio pemerintah kolonoal
belanda memandang madura penting semata-mata dengan pertimbangan keamanan
aktivitas perdagangan yang mereka lakukan, padipada ketertarikkan pada potensi
ekonomi yang dimiliki madura (Rifai, 1993:41). Keberhasilan VOC memadamkan
pemberontakan Ke Lesap yang berlangsung beberapa decade berikutnya semakin
memperkuat kedudukan belanda di madura. Di bawah kekuasaan VOC, pengelolaan
madura barat dan timur dilakukan dengan cara berbeda. Pemekasan dan Sumenep
(madura timur) dikelola sebagai daerah swapraja sehingga pengangkatan bupati
dilakukan melalui pendatanganan kontrak ikatan politik. Sebaliknya, madura
barat diperlakukandengan pendatanganan janji syarat (Rifai, 1993:46).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Namun, pada paruh ekdua abad
ke-19, pemerintah kolonial belanda berangsur-angsur menghapus swapraja di
madura, dengan diwakili dari Pemekasan (1858). Pengelola wilayah madura secara
langsung ditangani sendiri oleh pemerintah colonial hindia belanda sehingga
akhir kekuasaannya dengan membentuk madura sebagai daerah keresidenan
(Abdurrachman, 1971:57). Dalam mengelola wilayah, residen madura dibantu oelh
beberapa orang asisten residen yang wilayah kerjanya tumpang-tindih dengan
daerah kekuasaan bupati. Konsekuensi reformasi administratif tersebut adalah
menguatkan hak-hak ekonomi belanda di satu sisi dan hilangnya <i>privilege</i> yang sebelumnya memiliki kaum
ningrat madura, misalnya menyangkut penarikan pajak, upeti, <i>percaton</i>, dan <i>pancen</i> (Kuntowijoyo, 1993:89-94).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bagi masyarakat
kebanyakan,reorganisasi admistrasi pemerintahan madura dinilai membawa banyak
dampak positif. Penghapusan kerajaan mengurangi konflik antar penguasa lokal
madura sehingga kesengsaraan rakyat berkurang. Rakyat biasa tidak segan membuka
lahan pertanian baru karena tidak ada kekuatiran bahwa lahan yang dibuka dengan
susah payah akan diklaim oleh raja seperti masa sebelumnya (Rifai, 1993:59).
Dengan kata lain, dibawah pemerintahan langsung, hak milik individual atas
tanah yang mereka peroleh, baik lewat hak waris tertentu maupun hak yasan,
diakui dan dikodifikasikan menurut hukum barat sehingga lebih terjamin.
Disamping itu, secara langsung, rakyat biasa akan merasakan beban mereka
menjadi lebih ringan berkat digantikannya pajak tanah dan pajak rumah tangga
oleh iuran baru yang lebih ringan, termasuk penghapusan kerja wajib (<i>pancen</i>) yang dahulu diberikan para
keluarga bangsawan (De Jogle, 1990:12-13).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dalam lapisan sejarah madura
jangka menengah (menyangkut dimensi ekonomi), irama perubahan berlangsung lebih
lambat. Pandangan demikian, setidak-setidaknya, menemukan pembenaran dalam
gambaran umum mengenai masyarakat madura bahwa karakteristik masyarakat agraris
masih tetap melekat. Meskipun dalam proporsi yang berubah, kenyataannya
masyarakat penduduk madura masih menguntungkan kehidupannya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian besar, pada sector pertanian (De Jogle, 1998b).
masih dominannya sifat agraris seakan mengilustrasikan betapa lama rentang
waktu yang panjang masyarakat madura tidak banyak mengalami perkembangan yang
signifikan. Bahasa Kuntowijoyo (1993:62), “madura sekarang ini masih merupakan
daerah masa lalu”.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Data sensus
tahun 1971 menggungkapkan sekitar 80% dari total angkatan kerja dimadura,
sebesar 911.000, mengeluti sector agraris (termasuk nelayan) untuk menopang
kehidupannya. Persentase tertinggi terdapat dikabupaten Pamekasan, yakni 88,2%,
sehingga diketiga kabupeten lainnya masing-masing: Sampang (77,4%), Sumenep
(78,2%), dan Bangkalan (76,9%) (Niehof, 1985:19).Data struktur penduduk menurut
mata pencaharian di madura tahun 1992 menyebutkan bahwa 64% penduduk berkerja
di sector pertanian,di susul kelompok penduduk dengan mata pencaharian di
sector perdagangan sebesar 11%,dan industri kurang lebih 9% (<i>jawa
timur membangun,</i>1993). Secara lebih mendetail,sekitar 60% penduduk
pamekasan adalah petani dan buruh tani,sedangkan di kabupaten sampang,211.000
orang (sekitar 85%) dari 261.000 orang jumlah angkatan kerja bermata pencaharian
sebagai petani (tim LIPI,1995:17). </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Sebagai
perbandingan,pada akhir abad ke-19 residen madura,luplink weddik,mencatat bahwa
sector pertanian merupakan tulang pungung kehidupan mayoritas masyarakat madura (niehof,1985:28).
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Dalam kegiatan
pertanian,tanah merupakan factor penting karena menjadi pondasi bagi
berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut. Perubahan yang terjadi menyangkut
persediaan dan cara lahan pertanian digunakan merupakan petunjuk penting
mengenai arah perkembangan sector pertanian. Data statistic mengenai areal
tanah pertanian madura paling tua yang berhasil di peroleh adalah sejak tahun
1886. untuk periode sebelumnya, data tidak tersedia. Namun ,secara umum,dapat
di duga bahwa areal tanah pertanian pada priode sebelumnya cendrung meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. <span lang="ES">Berdasarkan pada data yang tersedia, dapat di tampilkan secara kronologis
perkembangan lahan pertanian di madura pada era colonial.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Berbeda dengan jawa, yang pertanianya secara
dominant di lakukan pada lahan sawah pertanian madura sebagian besar dilakukan
pada lahan tegalan. Dominasi tegalan dalam pertanian boleh di katakana belum
beriubah. Meskipun selama priode pemerintahan orde baru dengan di lancarkan
kebijakan pertanian yang popular dengan sebutan revolusi hijau di antaranya
melalui pembangunan sistem irigasi lahan sawah dengan irigasi teknis di madura
tetap sama saja,sempit, dan terbatas. Program revolusi hijau dengan target
peningkatan produksi beras ternyata tidak membawa pengaruh besar terhadap
sector pertanian madura,khususnya dalam hal produksi padi. Hal itu,di sebabkan
program tersebut lebih di rancang untuk menerapkan di daerah-daerah dengan
sector pertanian sawah dari pada ekosistem yang lain. Seperti di kemukakan Palte (1989:12). Terdapat bias
sawah dalam kebijakan pemertitah orde baru di sector partanian. Dengan
demikian,program tersebut kurang cocok, baik bagi pertanian di daerah dataran
tinggi maupun di daerah dengan karaktistik fisik berupa ekologi tegalan,
seperti madura.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Mengacu pada pikiran Braudel mengenai sejarah
lapisan jangka panjang, secara structural,madura tidak banyak berubah. Ekologi
tegalan masih mempengaruhi cara kegiatan-kegiatan ekonomi di lakukan. Dengan
dominanya lahan tegalan aktivitas pertanian padi hanya dapat dilakukan di areal
tanah yang relatif terbatas. Kalaupun aktivitas penanaman padi di
selengarakan,sebagian besar penanam hanya di lakukan setahun sekali,yakni saat
musim penghujan.hal tersebut untuk menjamin tercukupinya kebutuhan irigasi
dengan pertimbangan sangat terbatasnya persediaan air irigasi di daratan
madura. Sehubungan dengan itu,tanaman pertanian yang lebih dominant dalam
ekologi tegalan madura adalah jagung,tenaman yang tengkat kebutuhan irigasinya
lebih kecil dari pada tanaman padi. Namun,selain jagung masih mdi jumpai pula
berbegai jenis tanaman lainya,seperti ketela, kacang-kacangan, kedelai,
umbi-umbian dan tembakau.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Lebih dominanya tanaman jagung di bandingkan
dengan padi dalam pertanian di madura secara eksplisit tercemin dalam luas
areal penanaman. Data statistic colonial untuk tahun 1920 menunjukan bahwa
total penanaman padi hanya mencapai 81.100 hektar,sedangkan penanaman jagung
mencapai 371.900 hektar. Pada tahun 1940,area pananaman padi,meningkat sedikit
menjadi 86.300 hektar,sedangkan untuk penanaman jagung terjadi peningkatan
lebih besar,yakni menjadi 309.700 hektar (boomgaard dan van zanden,
1990:96-97). Pada tahun 2000,luas panen padi di seluruh madura sebesar 120.000
hektar, sedangkan luas panen jagung mencapai 377.800 hektar (<i>jawa timur dalam angka 2000,</i>2001:140,144).
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Akibatnya,meskipun mempunyai corak agraris,dalam
segi pemenuhan kebutuhan pangan, madura sangat tergantung pada impor beras dari
luar pulau. Kekurangan dalam persediaan kebutuhan bahan pangan,khususnya
beras,harus di tutup mendatangkan dari daerah lain, baik dari jawa maupun
bali,yang secara histories di kenal sebagai daerah lumbung padi,termasuk di
antaranya adalah keresidenan besuki. Tidak mengherangkan,inpor beras bagi
madura merupakan fenomena yang mencolok dan sudah berlangsung lama. Pada tahun
1866, dilaporkan bahwa pamekasan mendatangkan beras sebesar 41.119 pikul beras
dan 98.178 pikul padi ( kuntowijoyo, 1980:98) dapat di duga bahwa kegiatan
memasukan beras dan padi dari luar terus berlangsung sepanjang tahun karena
penduduk madura juga terus bertambah. Besarnya infor berfluktuasi dengan di
jadikanya bahan pengan non beras, utamanya jagung,sebagai salah satu bahan
makanan pokok. Bagi masyarakat madura,konsumsi jagung sebagai bahan pangan
pokok merupakan kebiasan yang mempunyai akar histories panjang dan sebagian
bentuk adaptasi cultural dengan kondisi limgkungan fisik yang mereka hadapi di
madura ( manggistan, 1986:99).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Bukti kualitatif juga banyak menggambarkan adanya
impor beras dari luar ke madura. Sumber-sumber arsip colonial, khususnya memori
residen madura, selalu menyebutkan adanya impor beras. Residen betten (dalam
kartodirdjo, <i>et al, ed.</i>, 1978:CXLI)
pada tahun 1923 menulis bahwa madura setiap tahun harus mendatangka beras dari
jawa. Demikian pula, kontrolir Sampang, Van Mourik (dalam Kartodirdjo, <i>et la, ed.</i>, 1978:CLXXVI), pada tahun
1924 menyebutkan bahwa setiap tahun harus didatangkan bahan pangan beras dalam
jumlah cukup besar. Residen madura pada era kemerdekaan, R. Soeharto
Hadiwidjojo, pada tahun 1951 menyatakan bahwa produksi bahan pangan di madura
hanya mencukupi untuk periode 7,8 bulan hingga kekurangannya harus
dipecahkan dengan mendatangkan dari
daerah lain (<i>madura membangu,</i>
1951:18).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Pada periode orde baru, ketergantungan terhadap
beras yang didatangkan dari luar pulau tampaknya semakin bertabah besar, karena
disamping jumlah penduduk terus meningkat, dikalangan masyarakat madura telah
terjadi peralihan bahan makanan pokok secara signifikan dari jagung ke beras,
bahkan di Bangkalan hal ini sangat dianjurkan (<i>Bangkalan Ceria,</i> 1993: 106). Kecenderungan yang sama juga
berlangsung didaerah-daerah lain di Indonesia, sebagaimana ditengarai oleh Van
Der Eng (Van der Eng, 1996:205; Subaharianto dan Nawiyanto, 2002:C). dengan
semakin merosotnya ketahanan pangan seperti ditunukkan dengan pentingnya katan
impor beras dewasa ini, serangkaian upaya ditepuh di madura untuk mendorong
msyarakat madura menguangi ketergantungan pada bahan pangan beras dan
menganjurkan mereka kembali mengkonsumsi bahan pangan jagung lebih banyak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Komoditas pertanian di madura yang mempunyai arti
paling penting secara komersial hanyalah tembakau. Posisi strategis tembakau
bagi perekonomian masyarakat madura baru mulai terjadi terutama sejak decade
pertama abad ke-20. perluasan budidaya tenaman tembakau tidak terpisahkan dari
sepak terjang kaum migrant madura yang bekerja di perkebunan tembakau di jawa,
khususnya di Besuki, sebagai salah satu dari tiga pusat perkeunan tembakau
terpenting pada era Indonesia colonial, selain Deli Sumatera Utara dan <i>Vortenlanden</i> (Yogyakarta dan Surakarta).
Pada saat kembali kemadura dari siklus migrant musiman, mereka mempraktikkan
pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam penanaman tembakau pada lahan
yang mereka miliki. Tanaman itu dibudidayakan pada lahan-lahan kering yang
sebelumnya tidak pernah ditanami pada saat musim kemarau (De Jogle, 1990:15).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Perluasan tanaman tembakau di madura semata-mata
merupakan bentuk usaha pertanian rakyat yang di9lakukan dalam skala kecil dan
meibatkan banyak keluarga petani, daripada merupakan usaha dalam skala besar
yang dikembangkan oleh para pengusaha swasta barat. Dari beberapa rintisan
usaha perkebunan, madura dianggap tidak memberikan keuntungan secara memadai
sehingga para pengusaha barat tidak tertarik melakukan investasi lebih lanjut. </span><span lang="FI">Rintisan usaha perkebunan yang dilakukan
pun pada akhirnya ditinggalkan (Kuntodirdjo, 1980:59-6).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="FI">Produksi tembakau hanya sebagian kecil digunakan
di madura, sebagian besar produksi tembakau di jual ke jawa sebagai tembakau
rajangan atau tembakau kerosok (<i>Memory
Residen F.B. Batten</i>, dalam Kartodirdjo, <i>et
la, </i>ed. 1978:CXLI). Produk tembakau y7ang dihasilkan di madura sebagian
dibeli oleh pabrik-pabrik rokok yang banyak berdiri diberbagai kota di jawa,
sebagian lagi diekspor ke laur negeri (<i>Memory
Residen J.G. van Heyst</i>, dalam Kartodirdjo, <i>et la, </i>ed. 1978:CXLVI). Meningkatnya persaingan dalam pasar
tembakau membuat sebagian pengusaha pabrik terpaksa membeli bahan baku tembakau
dari wilayah marginal yang harganya lebih murah. Factor inilah yang mempengaruhi
penerimaan tembakaumadura yang dari segi kualitas sebenarnya jauh dibawah
tembakau jawa (Vleming, 1925:167).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="FI">Sejak tahun 70-an, areal penanaman tembakau
mengalami peningkatan secara signifikan dengan jangkauan pasar yang semakin
luas dan melibatkan jaringan pedagang yang semakin banyak (De Jogle, 1990:21).
Kekacauan yang berlangsung di daerah produsen tembakau di jawa sesudah
proklamasi sebagai akibat kasus-kasus sengketa tanah antara perkebunan dan
petani memungkinkan tembakau madura masuk ke pasar tembakau secara lebih cepat.
Dalam decade berikutnya, areal penanaman terus menunjukkan kacenderungan kearah
perluasan. Tembakau madura merupakan salah satu baku penting bagi industri
rokok di Indonesia, khususnya rokok kretek (Hartodi, 1990:1). Meningkatnya
permintaan bahan baku, seiring dengan ekspansi industri rokok pada era
kemerdekaan memberikan rangsangan bagi petani madura untuk memperluas penanaman
tembakau. Seperti tampat dalam tabel 2.6, areal penanaman tembakau meluas
secara signifikan dari 19.400 hektar pada tahun 1975 menjadi 37.000 hektar pada
tahun 2000.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Tabel 2.6 luas penanaman tembakau di madura<o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: 135.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 480;">
<tbody>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="background: aqua; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Tahun</div>
</td>
<td style="background: aqua; border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Area (Ha)</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-irow: 1;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1900</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
2.593</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1920</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
3.551</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1935</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
5.507</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-irow: 4;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1965</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
13.241</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 9.05pt; mso-yfti-irow: 5;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 9.05pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1975</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 9.05pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
19.402</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-irow: 6;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1995</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
32.050</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 8.8pt; mso-yfti-irow: 7; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.35pt;" valign="top" width="104"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
2000</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 8.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 84.9pt;" valign="top" width="113"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
37.079</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">Sumber: <i>jawa
timur dalam angka 2000.</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">Berdasarkan data luas area penanaman seperti
tampak dalam tabel 1.6, daerah produksi tembakau yang terpenting dimadura
adalah kabupaten Pamekasan, diikuti oeh kabupaten Sumenep. Dalam area yang
lebih kecil, penanaman juga dilakukan di kabupaten Sampang, sedangkan dikabupaten
Bangkalan secara praktis dapat dikatakan tidak signifikan. Demikian juga,
secara umum, tembakau lebih penting bagi perekonomian masyarakat di madura
timur daripada di madura barat. Penjelasan itu menyangkut perbedaan kondisi
tanah dan kalim antara kedua bagian wilayah, karena tanaman tembakau tidak
dapat ditanam di sembarang tempat. Untuk mendapatkan tanaman tembakau yang
berkualitas diperlukan sejumlah persyarakat khusus menyangkut kondisi tanah dan
iklim karena tembakau termasuk tanaman yang sangat rentan dan beresiko tinggi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Abel 2.7 <i>areal
penanaman tembakaudi madura, 1995-2000 (dalamhektar)<o:p></o:p></i></span></div>
<div align="center">
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: 5.4pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 480;">
<tbody>
<tr style="height: 21.2pt; mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td rowspan="2" style="background: aqua; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Kabupaten</div>
</td>
<td colspan="2" style="background: aqua; border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 154.7pt;" valign="top" width="206"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Tahun</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 6.0pt; mso-yfti-irow: 1;">
<td style="background: aqua; border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 6.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
1995</div>
</td>
<td style="background: aqua; border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 6.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
2000</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 21.2pt; mso-yfti-irow: 2;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Bangkalan</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
-</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
20</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 21.2pt; mso-yfti-irow: 3;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Sampang</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
4.185</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
6.035</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 21.2pt; mso-yfti-irow: 4;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Pamekasan</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
18.032</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
18.347</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 21.2pt; mso-yfti-irow: 5;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Sumenep</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
9.833</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
12.617</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 21.2pt; mso-yfti-irow: 6;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Total Madura</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
32.050</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.2pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
37.019</div>
</td>
</tr>
<tr style="height: 21.8pt; mso-yfti-irow: 7; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; height: 21.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
Jawa Timur</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 78.8pt;" valign="top" width="105"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
93.603</div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; height: 21.8pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 75.9pt;" valign="top" width="101"><div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
98.380</div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">Sumber: <i>jawa
timur dalam angka 2000<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">Di laur aktivitas sector pertanian, sebagian
penduduk madura menyandarkan kehidupannya pada sktor perdagangan,peternakan,
dan maritime, khususnya perikanan, dan garam. Perkembangan sector non-pertanian
merupakan salah satu konsekuensi dari keterbatasan dan ketidakmampuan sector
pertanian di madura dalam menjamin kehidupan seluruh penduduk madura.
Perdagangan dari madura terutama terkait dengan berbagai hasil bumi yang
dihasilkan di wilayah itu. Di samping itu, selain terkait dengan produk-produk
pertanian, ternak khususnya lembu,juga merupakan barang daganganyang menonjol
dari daerah madura (<i>memory residen F.B.
Batten, </i>dalam Kartodirdjo, <i>et la, </i>ed.,
1978:CXLI).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV">Peternakan lembu memberikan konstribusi sangat signifikan
bagi perekonomian masyarakat madura, karena banyak ternak lembu dikirim ke luar
daerah terutama Jawa untuk diprdagangkan, baik aebagai sapi pemancek maupun
untuk pemenuhan kebutuhan pasar daging. Pada era colonial, diperkirakan madura
mengirim puluhan ribu lembu sebagai lembu potong. Pada tahun 1926, misalnya,
dikirim hamper 80.000 ekor lembu potong, sedangkan pata dahun 1927 sebanyak
70.000 ekor (<i>memory residen J.G. van
Heyst, </i>dalam Kartodirdjo, 1978:CLXIII). Begitu pentingnya sapi bagi orang
madura, bukan saja tercermin dari segi ekonomis melainkan juga dalam aspek
sosiologis. Bagi orang madura, sapi juga merupakan symbol status dan karapan
sapi melekat sebagai salah satu identitas masyarakat madura hingga sekarang
(Robnson, 1977: 22-23).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Sector perikanan juga telah lama dan secara
tradisional digeluti sorang madura. Laporan colonial menyebutkan bahwa madura
mengirim sejumlah besar ikan asin ke jawa dan bali. Disamping itu, produk ikan
asin, sector perikanan madura juga menghasilkan tripang dan <i>terasi</i>. <i>Terasi </i> terutama dikirim ke
bali, sedangkan tripang dikirim kesingaura. Sector ikan dan sector garam di
madura merupakan dua usaha yang saling melengkapi. Pasa saat musim penghujan,
tampak dan talangan terndam air sehingga yang mengring dipergunakan untuk areal
pembuatan garam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Industri garam di madura agaknya jauh lebih
menonjol daripada sector perikanan. Hal itu, setidak-tidaknya, tercermin dari
atribut yang telah lama dilekatkan pada madura sebagai pulau garam. Produksi
garam di madura tersebar diberbagai tempat, baik di Pamekasan, Sampang, maupun
Sumenep (<i>memory residen F.B. Batten, </i>dalam
Kartodirdjo, <i>et la, </i>ed,
1978:CXLII-CXLV). Garam di madura tidak hanya dihasilkan oleh pemerintah,
tetapi juga diproduksi oleh rakyat. Posisi garam akyat sangat penting seperti
diindikasikan oleh kualitas produksinya, sampai-sampai pemerintah colonial
merasa perlu untuk melakukan pembatasan terhadapgaram rakyat. Bahkan, kemudian,
pemerintah colonial melakukan monopoli garam (<i>memory kontrolir sampang, F. van Mourik,</i>dalam Kartidirdjo, <i>et al,</i> ed., 1978: CLXXXVI).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt; text-align: justify;">
<span lang="ES">Terlepas dari beberapa potensi ekonomi tersebut,
jumlah penduduk madura yang padat dan lahan pertanian yang terbatas serta
kurang suburmembuat beban kehidupan penduduk menjadi semakin berat.
Peluangmenjadikan sector pertanian sebagai andalan untuk menopang kesejahteraan
masyarakat madura dapat dikatakantertutup. Hal itu sjajar dengan kesimpulan
ahan (1996:147-28) bahwa kondisi tanah yang kering dan pemilikan lahan yang
semakin sempit tidak akan mampu memberikan penghidupan yang layak bagi rumah
tangga petani madura, sedangkan industrialisasi, khususnya yang mempunyai
kapasitas menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, merupakan satu-satunya
pilihan untuk membangun kehidupan masyarakat madura yang lebih baik. Diabaikannya
pilihan ini hanya akan melestarikan wajah muram adura sebagai asalah satu
daerah miskin dan terbelakang di Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<b><span lang="ES">4.4. MENGENAL BATAK KARO DI SUMATERA
UTARA </span></b><span lang="ES"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;">
<span lang="ES">Bahasan ini mengenai etnis Batak Karo yang
berdomisili di Kecamatan Namo Rambe, di luar tanah Karo yang masih memiliki
kete</span>rikatan dengan daerah Karo. Subyek penelitian adalah masyarakat
muslim Karo yang tinggal di Kecamatan Namo Rambe Kabupaten Deli Serdang. Secara
kuantitatif di kecamatan ini terdapat 12.460 jiwa penduduk Muslim (sekitar 40%
dari 29.726 jiwa), namun yang termasuk dalam kelompok muslim karo hanya
berjumlah 2.321 jiwa. Jumlah kira-kira 15% dari penduduk dari etnis Karo yang
ada di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place>.
Mereka ini tersebar pada 36 desa di seluruh kecamatan. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dahulu ada pendapat
umum di lingkungan masyarakat Karo: "bahwa masuk agama Islam atau menjadi
muslim berarti keluar dari suku Karo". <span lang="ES">Istilah senada berkembang pula di Namorambe, yang menyatakan bahwa
"masuk Islam berarti menjadi orang Jawa.</span><a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref13"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn13" title=""></a><span lang="ES"> </span><span lang="SV">Pernyataan ini
mengesankan Islam adalah suatu sistem yang sama sekali baru dan bertolak
belakang dengan budaya Karo. </span>Alasan yang digunakan yang mendukung
pendapat umum ini adalah dikarenakan materi ajaran Islam itu sendiri, misalnya
soal bahwa haram memakan daging babi atau ketika seseorang meninggal dunia
mestilah segera dikebumikan, dan lain sebagainya. Tetapi sikap sosial serupa
tidak hanya terhadap Islam. Sebab, seperti dikemukakan oleh Pdt. Dr. Ginting
Suka, bahwa sesungguhnya kasus konversi dalam masyarakat Karo, bukan hanya
Islam saja yang dianggap sebagai pemecah kekeluargaan dalam masyarakat Karo,
agama Kristen pun pada masa penjajahan dulu demikian, bahwa "masuk Kristen
berarti sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai orang Karo". <a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref14"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn14" title=""></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Belakangan,
terutama setelah banyak orang Karo yang menjadi ustaz atau pendeta, kasus
"pobia" terhadap Islam dan Kristen oleh masyarakat Karo pada umumnya,
sudah tidak terjadi lagi pada kurun waktu 15 tahun terakhir, karena mayoritas
orang Karo telah melakukan konversi dari kepercayaan <i>pemena </i>ke salah
satu agama besar, khususnya Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Hindu.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Suatu hal yang
menarik adalah sikap sosial dan pemahaman komunitas Muslim Karo yang cenderung
moderat. Dalam kasus Namorambe, sikap "moderat" ini diwakili oleh
gerakan dakwah organisasi muslim Karo (KAMKA). Salah satu implikasi sikap
moderat ini adalah sikap terhadap adat-budaya Karo. Mereka menyatakan dalam
sikap dan perilaku bahwa "agama Islam" bukanlah musuh
"adat" Karo. Menurut pengakuan salah seorang pengurus KAMKA, Erwin
Tarigan, bahwa kini agama Islam bagi masyarakat Karo bukanlah menjadi halangan
untuk melakukan adat-istiadat. Terkait dengan isu bahwa Islam menghalangi
masyarakat untuk "beradat", justru dibantah oleh Erwin Tarigan,
dengan mengutarakan satu contoh bahwa sesungguhnya kini Islam malah menjadi
agama alternatif bagi masyarakat yang secara adat dianggap menayalahi, seperti
kawin semarga.<span class="MsoFootnoteReference"> <a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref15"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn15" title=""></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Menurut pengakuan
salah seorang pengurus KAMKA,<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref16"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn16" title=""></a> bahwa faktor perkawinan, menjadi faktor
penting masuk Islamnya masyarakat Karo. Konversi dengan motif perkawinan
dianggap justru lebih kuat mentaati agama baru daripada konversi massal karena
otoritas. Mereka yang telah menjadi muslim karena latar belakang perkawinan
lebih serius pada agamanya yang baru itu. Cara seperti ini sangat berhasil
dilakukan dalam proses Islamisasi dengan damai dan tanpa paksaan. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Salah seorang
pemuka masyarakat yang dulu pernah menjabat sebagai Kepala desa Namo Pinang,
kecamatan Namorambe, menceritakan bahwa dirinya adalah salah seorang dari
banyak masyarakat Namorambe yang memeluk Islam pada masa Haji Baharoeddin
Siregar sebagai Bupati Deli Serdang. Bagaimana perhatian Bupati dan mesranya
kawan-kawan yang baru muslim ketika itu saat diundang makan bersama oleh
seorang Bupati diceritakan olehnya. Sungguh ia bukan menjadi muslim yang taat
karena tidak belajar Islam secara serius setelah "bersyahadat" namun
ia tidak memakan daging babi sedikitpun. Pantangan ini bukan karena syariat
Islam, atau pantangan "sila tengka", tetapi disebabkan adanya
larangan dari roh halus yang masuk kepada istri beliau, dan roh halus itu
mengaku sebagai Haji Halim. Anehnya justru beliau secara perlahan menjauh dan
keluar dari Islam karena takut kepada para leluhur, menurut beliau para leluhur
"marah" kepadanya. Banyak kisah yang diceritakan terkait dengan
kekuatan "magis" yang diartikan sebagai pencegahan agar beliau tidak
berada sebagai seorang muslim. Akan tetapi beliau tidak menceritakan bagaimana
kepercayaan kepada kekuatan magis itu ketika kini beliau menjadi muslim
kembali. Alasan mengapa menjadi muslim adalah karena sebahagian anak-anak
beliau yang telah merantau sudah menjadi muslim, "ada rasa malu"
kepada anak-anak, dan demi anak-anak, akhirnya beliau merasa enak berada
bersama gerakan organisasi KAMKA.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Gelombang kedua
masuk Islamnya masyarakat Namorambe, yang terkait dengan faktor
"penguasa" sungguhpun tidak ada bukti adanya unsur memobilisasi
kekuatan besar ditambah dengan intimidasi dan paksaan, terjadi pada masa
Tenteng Ginting, sebagai Bupati Deli Serdang yang ke VIII (3 Maret 1979 s/d 3
Maret 1984). Salah seorang tokoh masyarakat mengenang peristiwa bagaimana ia
memeluk Islam ketika itu, ia menceritakan betapa bangganya menjadi seorang
muslim karena salah seorang putra terbaik Deli Serdang adalah orang Karo dan
beragama Islam pula. Akan tetapi sangat disayangkan, karena ternyata dari
sekitar 50 orang yang ketika itu bersayahadat menjadi muslim, justru sampai
kini hanya satu orang saja yang bertahan dalam agama Islamnya, itupun mungkin
karena ianya tidak berada lagi di Namorambe karena merantau. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Terjadinya konversi
agama menjadi muslim di Namorambe lebih banyak disebabkan oleh faktor
psikologis dan sosiologis, misalnya disebabkan karena merasa terlindungi oleh
kuatnya solidaritas keislaman di masyarakat dalam bentuk organisasi dan LSM,
faktor malu sebagaimana kasus mantan kepala desa Namo Pinang, faktor
perkawinan semarga yang disahkan dalam Islam, faktor cinta/perkawinan dan lebih
banyak terjadi pada generasi belakangan disebabkan oleh faktor keturunan,
karena orangtuanya sudah menjadi muslim, maka merekapun mestilah muslim.
Sedangkan faktor teologis yakni masuk Islam karena "hidayah" sulit
untuk dibuktikan, terjadi di daerah Namorambe. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<b><i>Modus Konversi(pindah agama).</i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Hubungan masyarakat Karo dengan agama Islam, diduga sudah terjadi sejak lama,
yakni awal abad ketujuh belas, karena pada masa itu "datanglah gelombang
invasi dari berbagai marga dari arah Dairi dan Toba yaitu Barus, Lingga dan
Sitepu dan lain-lain yang menurut suku "Karo" itu bukan asli Karo
sehingga dinamakannya Karo-Karo. Mereka itu lalu menetap dan membuat
perkampungan (<i>kuta</i>) sampai di dataran rendah dekat Deli Tua dan Binjai.
Marga Tarigan datang dari Dolok dan Simalungun dan juga dari Lehe (Dairi)
berjalan menuju Nagasaribu dan Jupar. Satu cabang mereka pergi turun ke pesisir
(Ale-Deli dekat Pulau Brayan) dan bahkan sampai ke Siak. Masa itu juga Guru
Patimpus mendirikan perkampungan-perkampungan (Kuta-Kuta) sampai di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Medan</st1:city></st1:place>
sekarang". Sementara itu di wilayah "Dusun" (pedalaman/di
bawah kaki bukit Barisan) ada suatu suku yang menyebut dirinya Karo (atau Haro
di Asahan) yang kini sisanya masih tinggal di kampung Siberraya (dekat di atas
Deli Tua) dan disebut bahwa mereka marga Karo Sekali (asli) Mereka inilah
(yang Islam) yang bercampur baur dengan orang-orang Melayu pesisir yang
menjadikan penduduk kerajaan Haru (Deli).<span class="MsoFootnoteReference"> <a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref17"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn17" title=""></a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Kerajaan Haru yang Islam berpusat di Deli. Sejak akhir abad ke 16 nama Haru
telah berubah menjadi Ghuri dan kemudian diawal abad ke 17 menjadi Deli. Ketika
Raja Haru bernama Raja Pahlawan dihina oleh raja Pasai sehingga terbitlah
peperangan. Akibatnya Pasai diduduki Haru tetapi Pasai kemudian dibantu Malaka
sehingga Malaka yang amenjadi musuh Haru. Dalam suatu perundingan di Pangkalan
Dungun delegasi Haru dipimpin oleh Serbanyaman Raja Purba dan Raja Kembat.
Nama-nama ini berbau Karo. Bila Haru di Deli adalah Islam maka tidak mustahil
orang-orang Karo sudah sangat dekat atau menjadi muslim pada masa itu karena
memang penduduk Haru itu berasal dari penduduk Karo Sekali (asli).<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref18"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn18" title=""></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Kedekatan masyarakat Karo dengan penguasa di tanah Deli mungkin sudah
ditakdirkan Tuhan, sehingga konversi menjadi muslim dengan latar belakang
kekuasaan menjadi senaluri dengan masyarakat Karo. Sosialisasi bahwa agama
Islam itu mengajarkan kebersihan dan merasionalisi bahwa ajaran Islam itu
sesuai dengan kodrat kemanusiaan, tampak membuahkah hasil yang memadai. Lebih
dari itu tokoh-tokoh muda yang mempunyai wawasan "luas" dan tentunya
"moderat" dan "rasional" menjadi pendorong yang membuat
masyarakat "bergairah" melakukan konversi menjadi muslim.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Masyarakat Karo yang menjadi muslim karena "keturunan" tentu lebih
banyak dibandingkan kepada faktor penyebab yang lain. Menurut Massa Sembiring,
bahwa ketika ada pengabdian masyarakat dari mahasiswa, pernah didata sekitar
1500 keluarga masyarakat Karo muslim yang ada di Namorambe. Dari jumlah
tersebut terdapat sedikit yang muslim karena menyadari bahwa Islam adalah agama
yang "benar" dan diridhai Tuhan. Kebenaran agama Islam disadari setelah
lama mereka menjadi muslim, biasanya mereka yang muslim sejak kecil karena
orang tua mereka lebih dulu menjadi muslim, lalu mereka belajar agama Islam
melalui sekolah dan ada yang sampai ke perguruan tinggi; mereka inilah yang
keislamannya "dalam", keimanannya "kokoh" dan beberapa di
antara mereka inilah yang kemudian menjadi pengajar Islam dan pengembang Islam
di tengah-tengah masyarakat di Namorambe.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref19"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn19" title=""></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Konversi agama menjadi muslim karena menikah dengan wanita atau lelaki muslim
termasuk faktor terbanyak kedua setelah faktor keturunan. Menurut salah
serorang pengurus KAMKA bahwa konversi agama menjadi muslim akibat perkawinan
ini dapat terjadi mereka yang berasal dari pemeluk agama Kristen maupun mereka
yang berasal dari penganut kepercayaan nenek moyang yaitu "pamena".
Apabila mereka berasal dari pemeluk Kristen, maka tantangan dirasakan lebih
keras, dibanding mereka yang berasal dari "pamena".
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<b><i>Respon Sosial Terhadap
Konversi Agama.</i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Adalah pengalaman
seorang yang dulunya beragama Kristen, tapi belakangan jatuh cinta dan menikah
dengan seorang wanita yang sejak kecil sudah menjadi muslim karena orang tuanya
sudah lama muslim. Beliau mengaku mendapat teror dari pihak keluarganya, karena
ia adalah satu-satunya dalam keluarga yang keluar dari Kristen kemudian menjadi
muslim karena perkawinan. Bentuk teror dan ancaman itu bermacam modelnya,
pertama tentunya diboikot dan dianggap tidak lagi keluarga sehingga dalam kurun
waktu tertentu tidak diajak bicara dalam hal apapun yang terjadi dalam
keluarga. Tetapi belakangan teror itu berubah menjadi upaya untuk menarik
kembali ke dalam agama Kristen tentunya dengan berbagai cara pula, antara lain
dengan mengupayakan agar ianya datang dan akrab dengan keluarga, sehingga
ketika ada upacara pesta disuguhkan makanan yang dilarang oleh agama Islam,
"daging babi" misalnya. Kini pasangan itu hidup serasi dan sudah
mempunyai keturunan. Keluarga mereka terlihat taat beribadah dan mengakui bahwa
teror keluarga yang masih Kristen itu berhenti ketika mereka mempunyai anak
yang pertama, kini anak mereka sudah tiga orang. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Sepanjang sejarah
konversi masyarakat Karo, menjadi muslim, respon sosial hanya sebatas tekanan
psikologis. Hukuman dalam bentuk adat hampir dikatakan tidak terjadi terutama
pada masa belakangan ini, karena sungguhpun ia adalah seorang muslim, tetapi
pembagian harta warisan misalnya masih menggunakan adat dan istiadat Karo.
Ungkapan bahwa masuk Islam berarti menjadi orang Jawa, tidak berarti bahwa
mereka yang menjadi muslim lantas dilakukan adat Jawa kepadanya. Sikap sosial
masyarakat Karo yang non-muslim terhadap keluarganya atau masyarakat lainnya
yang menjadi muslim sangat interaktif. "Silatengka" atau larangan
memakan makanan tertentu semisal "daging babi" bagi masyarakat Karo,
telah membuat masyarakat Karo yang non-muslim tidak sakit hati atau tersinggung
kepada saudara mereka yang muslim ketika tidak mau ikut makan bersama dengan
mereka yang sedang memakan daging babi. Ternyata bukan hanya mereka yang muslim
berpantang makan daging babi tetapi yang beragama Kristen juga banyak yang
berpantang makan daging babi.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref20"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn20" title=""></a> Adanya larangan dan pantangan yang juga
terdapat dalam adat istiadat masyarakat Karo terutama dalam soal makanan itu,
tumbuh menjadi tenggang rasa dan saling menghargai terhadap kepercayaan dan
agama yang berbeda dalam masyarakat Karo. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Pesta adat setahun
sekali yang disebut "pesta tahun", salah satu upacara yang masih
dilakukan oleh masyarakat Karo, adalah menjadi salah satu perekat kekeluargaan
dan budaya masyarakat Karo, baik yang beragama Islam maupun yang non-muslim.
Karena persoalan makanan dan minuman, interaksi sosial sedikit terganggu, akan
tetapi tidak pernah menjadi persoalan yang mengarah kepada perpecahan dan
keterbelahan yang abadi dalam kekeluargaan masyarakat Karo. Sungguhpun sampai
kini ada beberapa kasus bahwa keluarga yang menjadi muslim tidak mau datang
berkunjung ke rumah saudaranya yang masih belum muslim dengan alasan "soal
makanan dan minuman", atau bahkan masih ada diantara mereka yang tidak mau
menghadiri pesta adat setahun sekali itu. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya di sebuah warung kecil kepunyaan orang Karo yang muslim,
banyak orang minum kopi dan teh manis sambil bercerita bersama, padahal di
antara pengunjung yang singgah di warung kopi itu beberapa di antaranya adalah
orang Karo yang non-muslim. Dalam hal kunjung mengunjungi ketika terjadi
kematian pun mereka interaktif. Untuk mengatasi ketegangan psikologis karena
isu bahwa Islam itu menolak adat dalam hal "kematian", maka
masyarakat Karo muslim mengupayakan untuk datang segera ke rumah duka bila yang
meninggal itu berasal dari keluarga atau masyarakat yang non-muslim. Sikap
seperti ini menghasilkan respon yang baik dan bahkan kini sudah dapat diterima
oleh masyarakat bila orang Islam punya aturan seperti itu, bukan karena tidak
lagi mau menjadi orang Karo.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Masyarakat Karo,
dikatakan mempunyai watak mudah tersinggung dan keras, namun dalam soal agama
dan konversi termasuk masyarakat yang paling mudah berpindah agama atau
keyakinan. Entah mengapa sebabnya akan tetapi sikap seperti itu menjadi modal
utama dalam persoalan bertoleransi, sehingga "agama" bukan menjadi
hambatan dalam berinteraksi antara keluarga dan masyarakat. Mereka tetap
melakukan interaksi baik dalam kekerabatan, adat budaya, ekonomi maupun dalam
bidang politik. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt;">
<b>Interaksi dalam Kekerabatan</b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Seperti etnis Batak
pada umumnya, suku Karo sangat menjunjung tinggi kekerabatan. <span style="color: #050d24;">Dalam kehidupan Orang Karo, kekerabatan menjadi unsur
terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan kekerabatan
ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari hubungan kekerabatan
ini merujuk pada hubungan darah dan perkawinan. Kelompok kekerabatan yang
paling kecil disebut <i>jabu</i> (keluarga). Istilah <i>jabu</i> dapat juga
menunjuk kepada kelompok <i>sada bapa</i> (satu ayah) yaitu kelompok
kekerabatan yang terdiri atas para pria sekandung yang telah menikah, dan
kelompok <i>sada nini</i> (satu kakek) yang masih dapat diketahui garis
silsilahnya. Kelompok kekerabatan yang terbesar adalah <i>merga</i> (marga,
klen).<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref21"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn21" title=""></a> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Satu hal paling
penting dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo adalah bahwa kekerabatan itu merupakan hubungan sosial terbatas yang
diikat oleh hubungan yang spesifik. Konsep kekerabatan pada suku ini
terbentuk atas dasar hubungan darah (garis keturunan; geneologis, agnata) dan
perkawinan (affina). Dengan hubungan darah orang Karo menjadi sangat dekat,
sedangkan dengan perkawinan, pihak pria dihubungkan
dengan pihak wanita, kedua belah pihak menjadi berkerabat. Bila selama ini
telah terjadi hubungan kekerabatan, maka dengan terjadinya perkawinan,
kekerabatan itu semakin dieratkan, dan bila selama ini belum terjadi hubungan
kekerabatan, maka dengan terjadinya perkawinan ini, menambah anggota kerabat.
Berdasarkan hubungan agnata dan affina yang terus berkembang di lingkungan suku
Karo tercipta pola hubungan atau sistem kekerabatan atau kekeluargaan yang
meluas. Dari konsep <i>merga</i> dan <i>bere-bere</i> terbentuk pola hubungan
kekeluargaan bertingkat (sifat kedekatannya). </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dari dua faktor
ini, orang Karo memiliki dua identitas sekaligus, yaitu <i>merga</i> dan <i>bere-bere</i>.
<i>Merga</i> merupakan warisan yang tetap yang diterima dari jalur keturunan
ayah (geneologis), sedangkan <i>bere-bere</i> diperoleh melalui jalur
perkawinan (garis keturunan ibu). <i>Merga </i> disebut untuk laki-laki,
sedangkan untuk perempuan disebut <i>beru</i>. <i>Merga</i> atau <i>beru</i>
disandang di belakang nama seseorang. Lain hal dengan <i>bere-bere</i>, sebutan
ini tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. <i>Bere-bere</i> akan
ditanya dalam kegiatan <i>ertutur</i>, untuk mengetahui hubungan kekeluargaan
seseorang. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dalam istilah Karo,
kekerabatan disebut <i>perkadekaden</i> dan kerabat disebut <i>kade-kade</i>.
Pengertian kekerabatan dalam sistem budaya Karo sangat luas, jika
diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan
yang menyangkut semua orang Karo. Ini bermakna bahwa -- jika dicari
silsilahnya, setiap orang Karo memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain.
Kekerabatan itu bersambung-sambung antara yang satu dengan yang satu lainnya,
bagaikan jaringan rantai jala. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: 45.0pt;">
Masyarakat Karo
dengan seluruh adat-istiadatnya tidak bisa dilepaskan dari peranan <i>sangkep
si telu/daliken si telu</i> dalam ikatan kekeluargaan. Hubungan kelompok sosial
dalam sistem kekerabatan ini membentuk pola-pola relasi sosial, baik tutur sapa
maupun struktur sosial dalam adat. Fungsi-fungsi ini lebih jelas terlihat dalam
kegiatan adat masyarakat Karo seperti upacara perkawinan, kemalangan, memasuki
rumah baru, <i>ndilo wari udan</i> (memanggil hari hujan), <i>perumah begu</i>
(memanggil arwah leluhur/nenek moyang), <i>ngaleng tendi</i> (memanggil roh
yang meninggalkan badan/jasad karena terkejut, sehingga orang itu sering
sakit), <i>erpangir kulau</i> (berlangir untuk membersihkan diri atau menolak
kemungkinan malapetaka karena mimpi buruk), <i>porpor sage</i> (upacara saling
memaafkan antara keluarga yang bertikai), <i>ngulihi tudung</i> (mengambil
pakaian perempuan yang baru kawin dari rumah orang tuanya), <i>mukul</i>
(upacara makan bersama pengantin), <i>ngembah manuk mbur</i> (upacara 7 bulanan
istri untuk anak yang pertama, <i>ngelandekkan galoh</i> (upacara mengingat dan
berterima kasih kepada arwah nenek moyang/leluhur), dan <i>mere buah huta-uta</i>
(memberi jamuan kepada penjaga tempat yang dianggap keramat). </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: 45.0pt;">
<i>Daliken Si
Telu </i>pada etnis Karo terbentuk berdasarkan hubungan perkawinan antara <i>merga-merga</i>.
<i>Merga</i> adalah identitas geneologis yang terbentuk menjadi <i>clan</i>
(klan) khusus dan dengan nama tertentu. Setiap orang Karo tahu garis
keturunannya sampai beberapa generasi ke atas sampai ke <i>merga induk </i>atau
klan besar. Ertutur itu penting untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di
dalam masyarakat Karo. <i>Ertutur</i> (bertutur) adalah salah satu ciri orang
Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Setiap orang
Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi
masing-masing dalam kekerabatan melakukan <i>ertutur</i> atau berkenalan. Dalam
proses <i>ertutur</i> inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang
lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref22"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn22" title=""></a> Biasanya proses menmukan tutur diawali
dengan menanyakan marga, kemudian <i>bere-bere</i> (marga ibu) seseorang yang
juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka kenal, bahkan
mungkin menanyakan <i>trombo</i> (silsilah) untuk mengetahui tingkat
kekerabatan tersebut<sup>25</sup>. Menurut Henry Guntur Tarigan<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref23"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn23" title=""></a>, <i>tutur</i> adalah sebuah pemeo Karo
yang berbunyi “<i>Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe</i>”, (kalau tidak
pandai bertutur, takkan ada tempat ke mana pun). Pemeo ini lebih terasa pada
masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Pola kekerabatan
yang diatur dalam adat Karo, seperti diutarakan di atas memiliki implikasi ke
dalam pola interaksi sosial. Implikasi dimaksud berkenaan dengan tanggung jawab
sosial dan budaya, serta pola-pola hubungan antarindividu. <i>Pertama</i>,
implikasi sosial-budaya dari pola kekerabatan itu berkaitan dengan posisi dan
fungsi seseorang terhadap yang lain. Dalam hal ini, terdapat dua aturan pokok;
(1) orang yang berposisi sebagai <i>anakberu</i> harus hormat, takzim, dan
patuh kepada <i>kalimbubu</i>, serta selalu siap melaksanakan tugas-tugas
pengabdian kepada <i>kalimbubu</i>;<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref24"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn24" title=""></a> dan (2) orang yang berposisi sebagai
junior, seperti kelas anak atau adik, harus menghormati dan mematuhi kelas
bapak atau abang<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref25"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn25" title=""></a>. <i>Kedua</i>, implikasi dalam interaksi
sosial dari pola kekerabatan itu adalah adanya pola hubungan-hubungan yang
bersifat khusus antara satu sama lain. Dalam konteks ini, terdapat beberapa
kategori pola hubungan, dua di antaranya yang bersifat ekstrim adalah; (1) pola
hubungan yang akrab, seperti antara <i>senina</i>, antara dua laki-laki dan
perempuan yang berimpal, antara <i>senina siparibanen </i>atau <i>sipemeren</i>,
dan antara seseorang dengan <i>mami; </i>dan (2) pola hubungan terbatas bahkan
sangat terbatas (<i>rebo; </i>hubungan yang ditabukan), seperti antara
pemuda-pemudi yang <i>erturang</i>, antara seorang laki-laki dengan isteri
iparnya, antara anak dengan mertua (lain jenis; antara<i> permen</i> dengan
mertua laki-laki, atau antara menantu laki-laki dengan mertua perempuan). Pola
hubungan yang bersifat <i>rebo </i>ini sangat ketat dalam budaya Karo, sehingga
interaksi di antara mereka boleh dikatakan tidak ada, walau dalam bentuk
komunikasi biasa. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<i>Interaksi Sosial Kekerabatan di
Namo Rambe</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> pendapat yang mengatakan, bahwa
masyarakat Karo sama dengan masyarakat Jawa; kedua masyarakat ini tidak
mengenal "pembelahan budaya". Bilamana, dalam masyarakat Aceh,
Mandailing, Minang, Bali, Melayu, dan Toba dikenal "pembelahan
budaya" berdasarkan agama --seperti Aceh, Mandailing, Melayu, Minang
identik dengan Islam, Bali identik dengan Hindu, sedangkan Toba identik dengan Kristen--
maka pada masyarakat Karo dan Jawa sama sekali tidak identik dengan salah satu
agama. Masyarakat Karo tidak identik dengan agama dan budaya Hindu, tidak
dengan agama dan budaya Kristen dan tidak pula dengan agama dan budaya Islam.
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Karo termasuk kelompok etnis yang plural
dari sisi agama, tetapi bersifat <i>genuin</i> dan homogen dalam aspek budaya.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Sebagai etnik yang
plural dalam agama dan homogen dalam adat-budaya, dalam sistem sosial suku Karo
tidak mempersoalkan perbedaan agama, pekerjaan, organisasi, dan afiliasi
politik tetapi sangat konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya. Prinsip yang
dipegang orang Karo adalah semua orang yang termasuk dalam jaringan <i>daliken
si telu</i> adalah saudara dekat yang harus diperlakukan sesuai dengan tata
aturan adat. Karena itu, jika orang-orang Karo melaksanakan upacara adat atau
terjadi perjumpaan antara dua orang atau lebih Karo, maka yang utama adalah
hubungan kekerabatan (<i>ertutur</i>). Setiap orang harus menjalankan fungsi
sosialnya dalam melaksanakan adat, tanpa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Di
dalam pergaulan juga, setiap pihak <i>anakberu </i>harus menunjukkan sikap dan
perilaku hormat kepada <i>kalimbubu</i>, demikian pula seterusnya setiap orang
dari generasi yang lebih muda (dilihat dari silsilah keturunan) harus hormat
kepada yang generasi yang lebih tua, sekalipun generasi yang lebih muda lebih
tua usianya dari generasi yang lebih tua. Semua itu dilakukan dengan penuh
kesadaran, tanpa dibebani oleh perbedaan keyakinan (agama). </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Jadi yang
mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat
keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat
dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup
yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam
masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki
pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref26"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn26" title=""></a> </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Berdasarkan
penegasan di atas, pada umumnya orang-orang Karo di Kecamatan Namo Rambe lebih
mengedepankan norma-norma adat dalam pergaulan sosial antara mereka yang
berkerabat. Hal ini memberi makna bahwa ikatan <i>daliken si telu </i>atau<i>
rakut si telu </i>merupakan dasar utama dalam interaksi sosial antara mereka
yang masuk ke dalam jaringan kekerabatan. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Bagaimanapun dalam
persintuhan budaya tidak dapat dihindari adanya pergeseran tradisi etnik,
termasuk di lingkungan masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe. Dengan semakin
meluasnya jaringan pergaulan ke luar batas-batas etnik, tentu dengan sendirinya
terjadi penetrasi kebudayaan secara gradual. Terlebih lagi di kalangan
masyarakat Karo Namo Rambe, yang dalam kategori budaya Karo disebut sebagai Karo
Jahe, yang sejak lama telah banyak mengadopsi budaya Melayu Deli. Mungkin pada
konteks inilah perlu dicermati lebih jauh pergeseran pola interaksi kekerabatan
di lingkungan masyarakat Karo. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Pada dasarnya jiwa
dan tujuan perlakuan orangtua sebagai anak laki-laki dan perempuan dalam
masalah pewarisan dapat disimpulkan sebgai berikut: anak laki-laki sebagai
pewaris keluarga (marga) mewarisi harta benda yang mewarisi marga yang menjadi
marga yang menjadi tanda (lambang) keluarga (marga) terutama tanah dan barang-barang
yang tidak bergerak lainnya. Anak perempuan mendapat pembagian harta benda yang
adil untuk kepentingannya sendiri dan rumah tangganya kemudian dan hal ini
harus dianggap sebagai haknya. Jadi, menurut adat Karo bahwa seorang anak
perempuan tetap memperoleh warisan yang ditinggalkan oleh orang tuannya yang
diambil dari harta lain yang tidak melambangkan kekuasaan marga. Adat istiadat
ini masih dipegang teguh sebagai jiwa suatu masyarakat yang mampu menciptakan
kesejahteraan, tidak perlu diubah secara radikal, jika ada yang kurang sesuai
dengan perkembangan zaman dapat dimodifikasi, tanpa mengurangi nilai-nilai
luhur yang terkandung didalamnya. Dalam masyarkat Karo hak dan kewajiban, tugas
dan kedudukan pria dengan wanita berbeda, tapi harus di ingat perbedaan
tersebut bukan berarti wanita lebih rendah dari seorang laki-laki. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Hukum waris semacam
ini telah berlaku sejak lama di Tanah Karo, tidak diketahui secara pasti kapan
dan bagaimana asal usulnya terjadi, kemungkinan sama tuanya dengan sejarah orang
Karo, masalah waris tersebut sendiri kenyataannya adat istiadat orang Karo
masih dipegang teguh komunitas Masyarakat yang mendiami dataran tinggi itu.
Adat istiadat ini pulalah salah satu pengikat yang terbukti mampu memelihara
keutuhan, kesejahteraan, kebudayaan, dan persaudaraan dikalangan masyarakat
Karo, kekuatan spirituil adat terbukti hasilnya tentang kemampuan menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan <a href="file:///E:/CETAK/bab-4.doc"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;"><img alt="info" border="0" height="1" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image018.gif" v:shapes="_x0000_i1026" width="1" /></span>besar</a> dalam lingkungan
kemasyarakatan sehari-hari. Hukum waris tersebut terjadi pada masa lampau
ketika masyarakat masih jauh berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt;">
<b>Interaksi dalam Adat-budaya</b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Secara sosiologis
upacara adat dalam peresmian perkawinan merupakan dasar dan titik tolak untuk
memperoleh pengakuan dari kerabat dan masyarakat sekitar sebagai anggota dalam
sistem adat-budaya. Orang-orang muda, belum
dibenarkan ikut campur dalam soal-soal adat. Kaum muda dikerahkan sebagai
pekerja. Menurut adat Karo, orang dari luar suku Karo pun dapat
dimasukkan ke dalam komunitas adat, jika yang bersangkutan telah diberi marga
Karo melalui pesta adat. Jika diberikan marga dengan upacara adat, maka secara
adat dia telah diakui dalam setiap kegiatan adat, tetapi jika tidak pernah
diadati maka ia tidak memiliki tempat duduk di acara adat. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Berkenaan dengan
interaksi sosial antara penganut agama Islam dengan penganut agama lainnya
dalam adat-budaya di lingkungan masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe, perlu
terlebih dahulu diberi pembatasan domain interaksi yang menjadi perhatian
penelitian ini. Domain dimaksud adalah interaksi sosial dalam upacara adat,
baik yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban maupun dalam keterlibatan
kelompok-kelompok sosial dalam mempersiapkan dan melaksanakan upacara adat. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Mungkin orang akan
menduga-duga bahwa hidangan (makanan) menjadi persoalan kritis yang dapat
menjadi faktor pemisah antara kelompok Muslim dan non-muslim dalam upacara
pesta. Tetapi ternyata dugaan tersebut tidak menjadi persoalan penting bagi
masyarakat Karo, sebab sudah sejak lama orang-orang Karo memiliki tatacara yang
elegan untuk mengatasinya. Tatacara dimaksud adalah tradisi <i>silatengka; </i>yaitu
model hidangan khusus (<i>special foods</i>) yang sengaja disiapkan untuk
orang-orang yang tidak bisa memakan hidangan utama dalam pesta. Hidangan khusus
itu biasanya dipersiapkan secara tersendiri oleh orang-orang Muslim, baik bahan
maupun proses pemasakannya. Hidangan khusus ini tidak hanya dinikmati oleh
orang-orang Muslim saja, tetapi juga non-muslim yang berpantang pada makanan
tertentu yang biasa dihidangkan dalam upacara pesta. Dengan demikian, faktor
makanan bukanlah faktor pemisah bagi orang Muslim dengan non-muslim dalam
interaksi antar komunitas dalam kegiatan pesta di lingkungan masyarakat Karo.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Sekalipun pada
masyarakat Karo ada tradisi hidangan <i>silatengka</i>, namun dalam
pelaksanaannya sebagian orang-orang Islam masih merasa ada ganjalan psikologis.
Ganjalan dimaksud timbul dari perasaan ragu atas peralatan yang digunakan untuk
memasak, sebab dalam proses penyediaan hidangan khusus tersebut belum tersedia
peralatan khusus yang higenis dari kemungkinan bercampurnya dengan makanan yang
tidak halal. Ini tentu akan dapat diatasi jika orang-orang Islam di <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">sana</st1:city></st1:place> telah mempersiapkan
peralatan khusus (milik khusus umat Islam) yang terbebas dari kemungkinan
percampuran dengan peralatan lain yang kurang higenis.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt;">
<b>Interaksi dalam Bidang Ekonomi </b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Interaksi sosial masyarakat beda agama pada etnis Karo di Kecamatan Namorambe
dapat dilihat pada tiga aspek, yakni <i>Aron</i>, Koperasi, <i>pekan</i>, dan <i>pajak
pagi</i>. Sejalan dengan profesi pertanian yang menjadi pekerjaan utama
masyarakat Karo, <i>aron</i>, koperasi, <i>pekan</i>, dan <i>pajak pagi</i>
memiliki nilai strategis dan penting dalam konteks interaksi sosial masyarakat.
</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b>1.</b>
<i>Aron</i>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<i>Aron</i>
merupakan salah satu aktivitas tradisi kegiatan ekonomi pertanian yang ada di
lingkunan etnis Karo, yakni aktivitas mengerjakan lahan pertanian yang
dilakukan secara` bersama-sama dan dilakukan secara bergiliran antar anggota
masyarakat dalam suatu desa. Aktivitas ini dimulai sejak dimulainya penyiapan
lahan pertanian, proses penanaman, perawatan hingga pemanenan. Dalam istilah
lain, tradisi ekonomi pertanian seperti ini dapat disamakan dengan apa yang di
daerah lain disebut dengan gotong royong khususnya pada etnis Jawa. Tidak jelas
kapan kegiatan <i>aron</i> ini dimulai. Akan tetapi, diperkirakan sejarah
timbulnya <i>aron</i> ini sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat etnis Karo. Seperti diketahui bahwa masyarakat etnis Karo sebagian
besar tinggal di daerah dataran tinggi (bukit barisan) yang sumber mata
pencaharian pokoknya adalah bertani dan berternak.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Kegiatan pertanian merupakan profesi yang memerlukan banyak tenaga kerja,
apalagi lahan yang akan ditanamai sangat luas. Oleh sebab itu diperlukan
anggota keluarga lain untuk mengerjakannya. Dalam konteks inilah <i>aron</i>
diperlukan, yakni untuk menyahauti keterbatasan tenaga kerja. <i>Aron</i>
biasanya melibatkan lebih kurang 10 orang, laki-laki dan perempuan. Meskipun
dalam kenyataannya kaum perempuan lebih banyak terlibat daripada kaum
laki-laki. Karena dalam masyarakat Karo tumpuan pekerjaan pertanian lebih
banyak dikerjakan kaum wanita daripada kaum laki-laki. Hingga saat ini, tradisi
<i>aron,</i> meskipun variasi jenis industry alat-alat pertanian semakin
berkembang dan mempermudah pengerjaan pertanian, tradisi aron masih terus hidup
di kalangan masyarakat Karo, khsusnya di kecamatan Namorambe. Meskipun
harus diakui bahwa ada sedikit perubahan dalam tingkat kuantitas maupun
kualitasnya. Hal ini sejalan dengan dinamika perubahan masyarakat yang mengarah
kepada penggunaan teknologi canggih semakin dominan, termasuk dalam kegiatan
ekonomi yang berbasis pertanian dan peternakan seperti yang ada di
kecamatan.Namorambe.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Selain itu, tradisi
<i>aron</i> berkembang didasarkan juga atas pertimbangan-pertimbangan masa
tanam, masa panen yang jika terlewatkan akan mengganggu seluruh proses
produksi. Misalnya tanaman jagung dan padi harus dikerjakan pada waktu-waktu
tertentu. Biasa dikaitkan dengan musim penghujan. Dalam hal inilah penting
dikerjakan bersama-sama secara massal secara bergiliran untuk mengejar masa
tanam dan panen tersebut. Bersamaan hal itu pula cara pertanian dengan
menggunakan tradisi <i>aron</i> ini juga dapat mengurangi onkos produksi. Biaya
pengeluaran pertanian yang banyak dapat ditekan ke dalam tingkat yang paling
rendah, dengan cara mengerjakan lahan secara bersama-sama.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Di atas hal itu semua, sebenarnya ada dimensi lain yang lebih tinggi dari
tradisi <i>aron</i>, yakni memperkuat ukuhuwah atau tali kekeluargaan antar
anggota masyarakat. Kebersamaan mengerjakan lahan pertanian secara
bersama-sama, kemudian juga diikuti dengan acara makan bersama ketika
istrirahat untuk makan siang, pulang dan pergi ke lahan pertanian secara
bersama-sama, ini secara langsung maupun tidak langsung dipandang semakin
memperteguh ikatan persauadaraan warga desa.bahkan secara lebih luas tradisi <i>aron</i>
ini dipandang turut member andil yang besar bagi upaya-upaya mempertahankan
ikatan persaudaran warga di tengah ancaman konflik antar suku, ras, dan agama.
Karena tradisi <i>aron</i> sebagaimana juga yang ada di lokasi penelitian
dilakukan oleh masyarakat tanpa memertimbangkan agama dan etnis. Hal inilah
yang membuat tradisi <i>aron </i>memiliki nilai penting dikaitkan atau
dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas lain sebagai salah satu bentuk
interaksi sosial masyarakat. Dengan ungkapan lebih tegas dapat dikatakan bahwa
tradisi <i>aron</i> di lingkungan masyarakat Karo Kecamatan Namorambe merupakan
suatu bentuk system ekonomi tradisional yang memiliki nilai-nilia modern
sekaligus. Disebut tradisional karena tradisi ini sebagai wahana
melestarikannilai-nilai local. Disebut modern karena tradisi ini dapat menekan
tingkat cost/biaya produksi yang juga menjadi pertimbangan system ekonomi
modern. </div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b>2.</b>
Koperasi</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Bidang lainnya
sebagai penunjang kegiatan ekonomi di Kecamatan Namorambe adalah koperasi.
Meskipun baru didirikan sejak 2006 yang lalu, akan tetapi pertumbuhan dan
perkembangan koperasi di Kecamatan namorambe memperlihatkan perkembangan
ke arah yang sangat positif. Hal ini dapat diukur dari beberapa hal. Pertama,
dilihat dari sisi modal awal. Sejak didirikannya koperasi ini hanya memiliki
modal awal 17, 4 juta, akan tetapi dalam perjalanannya yang masih <i>beru</i>sia
lebih kurang setahun, modalnya telah berkembang menjadi 50 juta rupiah.
Kedua dilihat dari sisi bidang usaha, berawal dari system simpan pinjam, kini
koperasi telah merambah ke bidang usaha yang lebih luas yang meliputi bidang
jasa, seperti: biro jasa (pengurusan SIM, STNK, passport, dan lain-lain).
Ketiga, sejalan dengan bidang garapan koperasi, maka kini, jumlah pengurus
koperasipun semakin ditingkatkan. Awalnya jumlah pengurus koperasi 20 orang,
kini jumlah tersebut meningkat menjadi 59 orang. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Sejalan dengan
dinamika koperasi tersebut, masyarakat Islam Namorambe memperlihatkan
intensitas komunikasi dan interaksi sosial yang semakin berkualitas lewat
koperasi ini. Apalagi sebagian pengurus koperasi ini juga warga non-muslim.
Dalam arti kata koperasi di Namorambe menjadi instrument atau mediator proses
sosial melalui kegiatan ekonomi. Karena latar belakang primordial seperti agama
tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kegiatan ekonomi, khususnya
koperasi.</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b>3.</b>
<i>Tiga</i> (Pekan)</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Aspek perekonomian
lain yang juga tidak kalah pentingnya di Namorambe adalah apa yang disebut
dengan <i>Tiga</i> atau <i>ertiga</i> yang berarti jualan atau berjualan.
Dalam kosa kata <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>
istilah<i> tiga</i> ini lebih dekat dengan pekan. Jadi <i>tiga</i> atau <i>ertiga
</i>dalam istilah Karo adalah kegiatan jual-beli yang dilaksanakan dalam waktu
tertentu. Biasanya kegiatan <i>tiga</i> atau pekan adalah seminggu sekali,
yakni hari Senin. Pada hari inilah masyarakat Namorambe dan sekitarnya
melakukan aktivitas ekonomi secara lebih khusus. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Sebagian masyarakat
menjual hasil ladang dan ternak mereka, seperti coklat, ayam, kembiri, gula
aren dan lain sebagainya. Sementara sebagian besar yang lain menjadikan hari
pekan ini sebagai hari libur atau menghentikan aktivitas ke ladang untuk
belanja ke pekan memenuhi segala kebutuhan mereka yang berkaitan dengan
sembilan bahan pokok. Sebaliknya dalam hari pekan ini pula masyarakat luar
membawa barang dagangan seperti sayuran dan buah-buahan yang tidak ditemui di
Namorambe. Demikian juga Pedagang luar membawa kebutuhan-kebutuhan masyarakat
yang menyangkut sandang, sepatu dan peralatan rumah tangga lainnya. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dengan demikian
kegiatan <i>tiga </i>atau pekan bagi masyarakat Namorambe merupakan alemen
penting bagi wahana interaksi sosial secara lebih luas. Karena di hari tiga
atau pekan inilah berbagai latar belakang masyarakat melakukan kegiatan ekonomi
tanpa memandang latar belakang primordial, seperti agama, etnis dan sebagainya.
</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b>4.</b>
Pajak pagi </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Kegiatan
perekonomian yang lain yang juga tetap eksis di masyarakat Namorambe adalah
Pajak pagi. Pajak pagi adalah kegiatan ekonomi sebagaian masyarakat Namorambe
dengan cara mengumpulkan barang dagangan local untuk dibawa ke luar
Namorambe,termasuk ke pajak-pajak pagi yang ada di <st1:city w:st="on">kota</st1:city>
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Medan</st1:city></st1:place>. Cara
yang biasa ditempuh dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut. Pada waktu siang
hari hingga sore masyarakat Namorambe yang menggeluti profesi sebagai orang
pajak ini pergi ke berbagai pelosok daerah Namorambe untuk mencari dan
mengumpulkan barang dagangan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Kemudian
pada malam harinya, barang-barang dagangan tersebut dibawa ke pajak-pajak untuk
didistribusikan atau dijual ke berbagai pajak di luar Namorambe. Mereka ini
umumnya adalah kaum ibu. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Demikianlah
kegiatan sebagian masyarakat Namorambe yang berprofesi sebagai orang pajak pagi
sebagai sebutan bagi kegiatan ekonomi seperti itu. Pelaku-pelaku ekonomi
seperti ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang beragama non-Islam, tetapi
juga mereka yang beragama Islam. Dalam proses ekonomi seperti ini mereka juga
tidak melihat latar belakang primordial seperti suku dan agama sebagai landasan
bekerja. Hal-hal sepertri ini mereka lupakan. Bagi mereka yang terpenting
adalah bagaimana roda ekonomi dapat berjalan. Sekali lagi bahwa profesi ekonomi
sebagai orang pajak yang dilakukan oleh sebagian masyarakat membuktikan bahwa
proses interaksi sosial melalui kegiatan ekonomi seperti ini berjalan secara
alamiah sejak dahulu hingga sekarang, tanpa hambatan-hambatan yang berarti. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<b>Interaksi dalam Aspek Politik</b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Interaksi sosial
masyarakat beda agama pada etnis Karo di Namorambe dapat dilihat dari aspek
sejarah berdirinya kuta-kuta (kampung). Karena dari pendirian kampung inilah
kemudian melahirkan system kepemimpinan di dalam masyarakat Karo. Oleh sebab
itu untuk menyoroti aspek politik atau kepemimpinan masyarakat Karo di
namorambe harus dimulai dari sejarah pembentukan suatu kampung. Untuk memulai
kajian ini sejarah awal munculnya masyarakat Karo secara singkat akan
disinggung terlebih dahulu.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dalam suatu sumber
disebutkan bahwa masyarakat karo berasal dari suatu daerah yang cukup jauh yang
datangnya secara bergelombang. Kemudian di antara mereka ada yang membangun
suatu pemukiman (<i>manteki kuta</i>). Pemukiman yang dibangun tersebut awalnya
sangat sederhana, yakni <i>beru</i>pa rumah gubuk yang kecil (<i>sopo</i>) agar
dapat dihuni. Orang atau sosok yang pertamakali membuka/membuat kampung melalui
pendirian sebuah <i>sopo</i> inilah yang kemudian disebut sebagai pendiri
kampung (<i>si manteki kuta</i>). </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Setelah bangunan tempat tinggal didirikan, pendiri kampung ini kemudian
mendorong keluarganya untuk pindah ke tempat itu. Hal ini untuk menjaga
kemungkinan adanya ketakutan dari ancaman-ancaman yang bakal muncul. Oleh sebab
itulah rumah-rumah yang dibangun seiring dengan ramainya orang yang datang,
system perumahan karo dibangun secara berkelompok (<i>rembak</i>) dan memanjang
(<i>ergedang</i>). Seiring dengan perjalanan waktu, pemukiman-pemukian yang
berkelompok itupun semakin banyak. Setiap jenis kelompok pemukiman inilah
kemudian yang disebut dengan <i>kesain, </i>dan masing-masing kelompok ini
dikepalai oleh seorang kepala kelompok yang disebut dengan <i>pengulu. </i>Yang
berhak menjadi kepala kelompok (<i>kesain</i>) ini adalah orang pertama kali
membangun rumah di suatu pemukiman. Demikianlah seterusnya, sehingga banyaknya
kelompok-kelompok pemukiman inilah yang kemudian menjadi wilayah yang disebut
dengan <i>kuta. </i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Jadi, <i>kuta </i>dengan
demikian dapat terdiri dari beberapa kelompok pemukiman (<i>kesain),</i>tetapi
juga dapat terdiri dari satu kelompok perumahan. <i>Kuta</i> atau kampung yang
kecil mungkin bisa terdiri dari satu kelompok pemukiman (<i>kesain</i>), dan
yang menjadi <i>pengulu-</i>nya adalah orang pertama kali membangun kampung
itu. Bisa jadi kalau yang mendirikan suatu kelompok pemukiman (<i>kesain</i>)
itu <i>merga</i> Ginting, maka pengulunya harus <i>merga</i> Ginting dan
seterusnya. Demikianlah system kepemimpinan yang ada di masyarakat Karo yang
dimulai dari pendirian sebuah pemukiman (<i>kuta</i>).</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
Sejalan dengan perkembangan masyarakat Karo, system kepemimpinannyapun juga
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam pada itu, terdapat empat
jenis kepemimpinan di dalam masyarakat Karo:</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
1.
<i>Pengulu</i>, yakni sosok yang mengepalai seluruh warga kampung.</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
2.
<i>Guru Sibaso</i>, yakni sosok yang mampu meramal hari yang tiga puluh berikut
gerakan-gerakannya. Jadi ia merupakan tokoh yang mampu sebagai perantara
hubungan antara manusia dengan sosok kuasa-kuasa super natural, demikian juga
sosok yang dapat meramu obat. (pen.dukun).</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
3.
<i>Pande</i>, yakni sosok yang mampu bertukang, seperti ahli teknik.</div>
<div class="msolistparagraph0" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
4.
<i>Si erjabaten</i>, yakni orang yang ahli dalam hal alat music Karo.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="_ftnref27"></a><a href="http://www.litagama.org/Jurnal/edisi8/Interaksi.htm#_ftn27" title=""></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Demikianlah sejarah
terbentuknya suatu kampung (<i>kuta</i>) di dalam masyarakat Karo yang kemudian
melahirkan suatu kepemimpinan dalam adat-istiadat Karo. Jika dikaitkan dengan
konteks sekarang, khususnya di Kecamatan Namorambe, system kepemimpinan seperti
ini murni tentu tidak ada. Karena masyarakat karo Namorambe seperti halnya juga
masyarakat lain sudah hidup dalam kesatuan yang lebih besar, yakni Negara. Oleh
sebab itu kepemimpinan di suatu desa atau wilayah didasarkan pada ketentuan
Negara, yakni apa yang dikenal sekarang dengan kepala desa. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Meskipun demikian,
dalam hal yang berkaitan dengan adat-istiadat Karo, masyarakat karo Namorambe
tetap menjadikan kepemimpinan adat sebagai sumber rujukan, sumber penyelesaian
masalah. Apa bila terjadi perselisihan antar warga dalam suatu persoalan,
biasanya terlebih dahulu diselesaikan secara`adat. Kemudian apabila secara adat
sulit untuk diselesaikan baru diselesaikan secara hokum kenegaraan, yakni
pengadilan. Berdasakan pengamatan yang dilakukan, kepemimpinan adat ini masih
berjalan efektif di tengah-tengah masyarakat Karo, baik yang beragama Islam
maupun yang beragama non-Islam. Bahkan hingga sekarang masyarakat Karo
Namorambe tetap memberi apresiasi atau penghargaan kepada keturunan/anak cucu
yang dianggap sebagai pendiri kampung (<i>Si manteki Kuta</i>) dengan berbagai
cara. Artinya anak-anak keturunannya tetap dihargai atas jasa-jasa orang tua
atau opungnya sebagai pendiri kampung. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Jika dikaitkan
dengan perhelatan politik atau pemilihan kepala desa, dan seterusnya. Sekarang
ini telah terjadi perubahan-perubahan. Akan tetapi perubahan-perubahan tersebut
tidak begitu signifikan. Artinya masyarakat Karo tetap saja menjadikan hubungan
adat sebagai salah satu dasar dalam meilih pimpinan. Sementara faktor agama
tidak begitu menjadi bahan pertimbangan utama. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dalam hal lain,
khususnya dalam kepemimpinan, masyarakat Karo termasuk suku yang menganut
system kepemimpinan Patrilineal, yakni system yang menjadikan Bapak sebagai
asal garis keturunan. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify;">
<b>Penutup </b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
1.
Kesimpulan</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Masyarakat etnis
Karo di Kecamatan Namo Rambe masih kuat mempertahankan adat-istiadat lokal. Hal
ini menjadi indikasi bahwa adat-istiadat menjadi parameter utama untuk mengukur
loyalitas seseorang terhadap kekaroan. Ini menandakan bahwa identitas lain yang
datang kemudian, seperti agama, profesi, tempat tinggal—bukanlah faktor pemisah
antara orang-orang Karo, sepanjang identitas baru itu tidak mengurangi
kesetiaan pada adat Karo. Atas dasar itu lah makanya orang-orang Karo, termasuk
dari komunitas Muslim, tetap setia menerima dan melaksanakan adat-budayanya
melebihi kesetiaan pada yang lainnya. Dengan demikian, perbedaan agama bukan
menjadi faktor pemisah bagi etnis Karo yang sama-sama setia mempertahankan
tradisi kekaron.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Sekalipun
adat-istiadat menjadi faktor penentu dalam mempererat interaksi sosial di
kalangan etnis Karo, namun konversi agama tidaklah begitu saja diterima
masyarakat. Masalahnya, dalam budaya Karo juga ada “agama” warisan nenek-moyang
mereka. Karena itu, pada awalnya, perpindahan (konversi) agama menjadi Kristen
atau Muslim, dipandang sebagai bagian dari “pembangkangan” terhadap
adat-istiadat itu. Tetapi kemudian, pandangan ini menjadi berubah karena
berbagai faktor, seperti semakin meningkatnya persintuhan antara sebagian
orang-orang Karo dengan masyarakat luar yang sudah beragama Kristen atau Islam.
Berdasarkan realitas ini kemudian orang-orang Karo semakin mempersempit
definisi adat-istiadat sebagai sistem sosial dan sistem budaya dalam arti
upacara (srimonial) tanpa dibebani oleh unsur kepercayaan. Dengan demikian,
penerimaan terhadap perbedaan kepercayaan bagi orang Karo muncul belakangan
setelah menyadari pentingnya pergaulan sosial yang lebih luas dengan masyarakat
di luar etnis. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Hal yang paling
menarik dari pola interaksi yang tercipta pada masyarakat Karo di Kecamatan
Namo Rambe adalah mengkristalnya kesadaran pluralitas agama, tetapi tetap dalam
bingkai adat lokal Karo. Kesadaran ini tidak hanya dimiliki oleh komunitas
penganut agama tertentu, melainkan semua komunitas dari berbagai penganut
agama, termasuk komunitas Muslim. Dalam pandangan dan praktek keseharian yang
ditunjukkan orang-orang Karo, hal-hal yang berkaitan dengan pergaualan sosial,
hubungan kekerabatan, kerjasama ekonomi, dan afiliasi politik tidak boleh
dibatasi oleh sekat-sekat agama. Sepertinya terdapat pendapat yang kuat dalam
diri orang-orang Karo, bahwa agama itu adalah urusan pribadi kepada Tuhan,
sementara interaksi sosial harus dijalankan secara normal tanpa membeda-bedakan
identitas keagamaan.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Orang-orang Muslim
sendiri, tentunya setelah melewati sejarah yang panjang, berusaha untuk menjadi
Muslim yang taat dengan tetap setia pada adat-istiadat Karo. Dalam banyak hal,
orang-orang Karo Muslim berusaha menjalankan inti pokok budaya Karo dengan
beberapa modifikasi yang tidak menyolok. Hasilnya, komunitas Muslim tetap
diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Karo. Jadi,
berdasarkan proses sosial yang pajang tersebut, konversi agama ke Islam tidak
lagi menjadi “peristiwa sosial” yang harus dipersoalkan dalam lembaga adat
-- sekalipun masih sering menjadi persoalan dalam keluarga, sebab
kesadaran pluralitas sudah menjadi milik bersama masyarakat Karo.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: 0in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt;">
<b>Pustaka Acuan</b></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
Drs. Soelaiman
Joesoe dan Drs. Noer Abijono, <i>Pengantar Psychologi Sosial, </i>(Surabaya:
Usaha Nasional, 1981), h. 25. </div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
Gintings, Pdt.
E.P. <i>Adat Istiadat Karo: Kinata Berita Si Meriah I Bas Masyarakat Karo, </i>Toko
Buku & Percetakan GBKP Abdi Karya, Kabanjahe, 1995.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
http://van-odin.net/blog/2007/07/11/sistem-kekerabatan-masyarakat-karo/</div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
Jalaluddin
Ramayulis, <i>Pengantar Ilmu Jiwa Agama, </i>(Jakarta: Bulan Bintang, 1982).</div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
Manula, Ismail. <i>Mengenal
Batak</i>, (Medan: CV. Kiara, 1985).</div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
Pasaribu, Rudolf <i>Agama
Suku dan Batakologi</i>,(Medan: Pieter, 1988).</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 1.75pt; margin-left: .5in; margin-right: 0in; margin-top: 1.75pt; text-align: justify; text-indent: -.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l5 level2 lfo8; mso-outline-level: 1; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b>4.5.</b><b> Suku Jawa<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-outline-level: 1; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-outline-level: 1; text-align: justify; text-indent: .5in;">
Transmigrasi di Indonesia dilaksanakan sejak tahun 1905. Kala itu masih
dalam pemerintahan kolonial Belanda. Program transmigra<span lang="FI">si itu dinamakan kolonisasi. Tujuannya adalah
untuk memecahkan masalah kemiskinan dan kekurangan lahan usaha pertanian di
Jawa, Bali, Madura dan Lombok, yang sekaligus mengurangi kepadatan penduduk di
pedesaan daerah tersebut. Menurut Rukmadi Warsito dan beberapa peneliti
transmigrasi lainnya, pemindahan penduduk di Indonesia itu merupakan usaha yang
besar dan berat bahkan merupakan usaha pemindahan penduduk terencana yang
paling besar di dunia dengan melibatkan tenaga dan dana sangat banyak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-outline-level: 1; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="FI">Di Kalbar program transmigrasi
gencar digalakkan sejak tahun 1970/1980/1990 -an. Di daerah Kalbar yang paling
sering disoroti oleh para peneliti adalah lokasi Rasau Jaya, Sungai Kakap Kab.
Pontianak dan Parindu Kab. Sanggau (PIR Tran Sawit). Berikut ini jumlah
transmigran di Kalbar sejak tahun 1980-an<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="FI"> </span></b><span lang="FI">Kesan
adanya pembedaan antara orang Jawa Blora dan orang Jawa Kebumen, bahwa yang
pertama lebih agamis dari yang kini tidak lagi setajam di masa sebelum dekade
1970-an. Dimaklumi, kelompok warga Jawa Blora, sesuai dengan letak geografis
asal migrasi, secara kultural relatif lebih Islamis (Islam puritan) dari
kelompok lainnya yang sisi kehidupan keagamaan amat sinkretis. Daerah Blora
dalam pengelompokan kebudayaan Jawa tergolong ke dalam kebudayaan pesisir,
sedang daerah Kebumen masuk dalam kebudayaan Jawa Bagelen (Koentjaraningrat,
1984: 25-26). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Tingginya semangat kerja
orang Jawa, di sisi lain, juga dapat di amati
pada lahan-lahan perkarangan mereka tanam di lahan-lahan itu. Namun,
yang cukup mencolok adalah buah rambutan. Jenis buah ini ditanam nyaris di
setiap rumah orang Jawa. Sedemikian meratanya tanaman itu di pemukiman orang
Jawa, sehingga ada kesan orang Jawa kaya karena buah rambutan. Kesan tentang
kondisi ekonomi rata-rata orang Jawa yang relatif baik tampak bukan sekedar
basa-basi. Dalam komentarnya, Rasyid, sekretaris daerah, mengatakan, ”Kali
pertama datang, rumah orang Jawa persis seperti kandang sapi. Namun, kini,
mereka rata-rata memiliki TV berwarna.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Pada dasarnya pandangan
ideal orang Jawa menghendaki agar seseorang mampu mengendalikan diri, hati-hati
namun tetapbersikap anggun yang flegmatis, sesuai dengan peribahasa ”<i>aja ngaya</i>” atau ”<i>aja ngangsa</i>” yang bermakna sama ”jangan bersusah payah”. Namun,
pada saat-saat tertentu untuk menggugah semangat kerja sama dan gotong royong,
orang Jawa pun memiliki ungkapan ”<i>rawe-rawe
rantas malang-malang putung</i>” yang artinya, ”segala yang merintangi harus
disibakkan, dan segala yang merintangi harus di patahkan” (Koentjaraningrat,
1984:438). Sangat mungkin, karena suasana ”keterjepitan” kehidupan orang-orang
Jawa selaku migran yang penuh tantangan, sehingga ungkapan semboyan tadi amat
berpengaruh dalam mendorong semangat kerja sekaligus pemacu untuk meraih
kehidupan masa depan yang mereka cita-citakan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Sejumlah aparat daerah
menilai, orang-orang Jawa dikenal taat menjalankan program-program pemerintah.
Indikasi itu terlihat mulai dari kegiatan ibu-ibu PKK, program KB,
proyek-proyek peremajaan karet hingga pembayaran pajak tanah PBB. Pada masa
orde baru lalu, orang-orang Jawa adalah anggota GOLKAR yang setia. Perilaku
orang Jawa sedemikian itu sama sekali tidak mengherankan. Dengan orientasi
nilai budaya yang vertikal, orang Jawa merasa sangat tergantung pada bantuan
dan restu pada orang-orang penting dan berpangkat, tidak terkecuali, dalam hal
ini, para pejabat pemerintah. Di sisi lain, orang Jawa juga memiliki orientasi
nilai budaya kolateral (Koentjaraningrat, 1984:441). Dalam hal ini, mereka
merasa berkewajiban menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga dekat,
dengan berbagai rasa baik dalam keadaan senang atau susah. Dalam pandangan
orang Jawa, tetanggalah orang terdekat yang paling mungkin untuk dimiliki
budaya lentur yang menjadikan mereka banyak dihargai. Dengan budaya itu, mereka
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, namun tanpa kehilangan
identitas kejawaannya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Dari sisi mata
pencaharian, sebagian besar orang Jawa adalah petani dan pedagang, lainnya
menekuni beragam jenis profesi, mulai dari tukang kayu, tenaga buruh, karyawan
hingga pegawai negeri. Dibandingkan dengan warga-warga suku bangsa lain, nyaris
tidak ada orang Jawa yang ambil bagian di kegiatan-kegiatan usaha dan industri
kecil di Kalimantan Barat, baik sebagai tenaga buruh atau karyawan, kecuali
hanya beberapa orang, maupun sebagai pengusahanya sendiri. Namun, di profesi
pegawai negeri, terutama guru, prosentase orang Jawa amat tinggi melampaui
kalangan suku-suku bangsa lain. Ini terjadi, oleh karena kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia di kalangan orang Jawa relatif unggul. Pada mulanya, secara
ekonomis orang Jawa tidak berarti apa-apa. Namun, mereka dengan cepat mengalami
perubahan-perubahan dalam kualitas kehidupan berkat semangat pendidikan yang
sudah tertanam kuat dalam tata budaya mereka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Tidak berlebihan di sini
untuk menilai, suku Jawa, lebih-lebih generasi tuannya, amat menyadari posisi
mereka sebagai pendatang dan sebagai perantau yang membawa kenangan tentang
kesempitan hidup di daerah yang mereka tinggalkan. Kesadaran itulah yang memacu
semangat untuk meretas hidup di negeri yang mereka diami kini. Mereka juga
ulet, sabar, memiliki rasa kebersamaan, keterbukaan dan berfikir ke depan.
Penampilan lembut yang tidak jarang ”dimanfaatkan”, misalnya sebagai sasaran
pencurian dan perampokan, meski bercitra kurang positif, namun hal itu,
sekurang-kurangnya tidak mengurangi posisi ”tengah” mereka di antara suku-suku
yang ada, terutama antara suku-suku Dayak dan Madura serta Melayu dan Madura.
Sebagaimana diketahui, warga suku-suku bangsa tadi dalam beberapa tahun terakhir
terlibat dalam sejumlah pertikaian di beberapa tempat di Kalimantan Barat
(lihat daftar peristiwa tentang hal ini di daftar lampiran). Pada umumnya suku
Dayak memandang suku Jawa sebagai saudara tua, sementara orang Jawa sendiri
tidak memiliki masalah, baik dengan orang Melayu ataupun orang Madura. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; mso-list: l6 level2 lfo7; mso-outline-level: 1; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="FI">4.6.</span></b><b><span lang="FI"> Suku-suku Bugis, Banjar <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; mso-outline-level: 1; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Tidak mudah untuk
menbedakan identitas anggota kedua suku bangsa ini di Kalimantan Barat. Dari
segi bahasa di kalangan generasi </span><span lang="ES">muda, pakaian, model rumah dan bahkan warna kulit pun tidak berbeda; begitu
juga dengan jenis pekerjaan dan lokasi pemukiman. </span><span lang="SV">Seorang pendatang, oleh karena itu, tidak segera
dapat membedakan jenis suku bangsa orang-orang tersebut. Kecuali dari pengakuan
yang bersangkutan, maka untuk mengetahuinya diperlukan keterlibatan diri dalam
kehidupan keseharian mereka. Memang terdapat keluarga-keluarga Bugis yang
menggunakan bahasa suku bangsanya di lingkungan anggota serumah. Namun, jumlah
mereka tidak banyak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Secara umum terlihat bahwa
sebagai hasil dari proses interaksi sosial antara warga Bugis dan warga
suku-suku bangsa lain di daerah ini, selama lebih dari seabad, telah terjadi
proses akulturasi budaya. Banyak nilai budaya Bugis yang terserap ke dalam
budaya setempat, terutama budaya Melayu. Dalam rangka penyesuaian itu, tidak
sedikit nilai-nilai budaya Bugis, seperti <i>siri
ma siri</i>, yang hilang. Tidak sedikit pula anak Bugis yang dilahirkan di
Kalimantan Barat, dalam beberapa dekade terakhir, dipandang atau pada saat
tertentu malah memandang diri sebagai orang Melayu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Identitas yang masih
tersisa yang menjadi warisan budaya ketiga suku ini terdapat pada kegiatan
ritual yang berkaitan dengan peringatan daur hidup seseorang. Di kalangan suku
Bugis, lazim terselenggara ”Naik Tojang” untuk merayakan kelahiran bayi berumur
7-40 hari. Sementara, untuk peringatan yang sama di kalangan suku Banjar di
sebut ”Naik Ayun”, dan ”Gunting Rambut” di lingkungan suku Melayu.
Upacara-upacara yang menggunakan bermacam peralatan, perlengkapan, berjenis
makanan dan bahkan jenis hewan tertentu, sebagai lambang, pada intinya memiliki
makna dan tujuan yang tidak jauh beda. Yakni, terselipnya harapan akan
kesehatan dan kesejahteraan sang bayi dalam mengarungi kehidupan kedepan.
Berbeda dengan yang lain, acara gunting rambut lebih bernuansa ke-Islaman. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Upacara prosesi pernikahan
dengan warna dan ciri budaya masing-masing dari ketiga suku bangsa tersebut
juga masih tetap bertahan di Kalimantan Barat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Khusus di kalangan
sementara suku Bugis, terdapat upacara ritual magis yang berlkaitan dengan roh
leluhur yang disebut <i>Lasuji</i>. Sedang
di lingkungan orang Melayu lazim di selenggarakan upacara <i>robo-robo</i>. Upacara ini tampaknya telah memasyarakat, karena pada
kenyataannya telah pula diikuti oleh sekalian warga suku bangsa lain yang
muslim. Tentang kedua upacara ini telah dijelaskan di bab II. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Meski tidak setinggi
prosentase penduduk Dayak, namun jumlah ketiga suku ini, lebih-lebih suku
Banjar, yang berdiam di dan dekat sungai cukup besar. Maka tidak jauh berbeda
dengan suku Dayak, warga suku Bugis dan suku Banjar dalam hal mata pencaharian
lebih banyak bergulat di sekitar sungai. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan usaha pengangkutan air, barang ataupun penumpang, dan usaha
penggergajian serta perdagangan kayu merupakan lahan mata pencaharian mereka.
Sedang warga Melayu terbagi secara
seimbang dalam mata pencaharian, antara pertanian, wira usaha dan
perburuhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Diantara ketiga suku
bangsa tersebut, suku Bugis tetap terdepan dalam penguasaan terhadap
sumber-sumber daya di daerah, terutama lahan perkarangan dan kebun. Betapapun,
banyak di antara pemilik lahan itu tidak lagi tinggal di , dan sudah tidak
menjadi penduduk, Kalimantan Barat. Kecenderungan suku ini untuk pindah ke
Pontianak di masa lalu dan yang tetap berlangsung hingga kini, menimbulkan
dugaan tentang kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Yakni,
sekurang-kurangnya, makin menciutnya kuantitas mereka secara berarti.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Uraian diatas memberikan
gambaran yang jelas bahwa suku Bugis memiliki ikatan amat longgar dengan dengan
tanah kelahiran. Orientasi mereka yang kuat pada keuntungan material,
menjadikan kebun bukan sebagai lahan pertanian melainkan sebagai ajang untuk
mewujudkan orientasinya itu. Oleh karena itu, meski tinggal di daerah, memiliki
kebun luas, namun tidak banyak di antara orang Bugis itu yang menjadi petani
penggarap; mereka sebenarnya adalah pedagang. Banyak kalangan muda suku Bugis
dan suku Banjar, yang makin kemelayu-melayuan, kini tampak kehilangan
orientasi, tidak ingin menjadi petani namun belum siap dengan pekerjaan lain. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Kenyataan-kenyataan yang
dikemukakan tadi agaknya tidak dapat menolak begitu saja penilaian sebagai
pengamat, bahkan suku Melayu sebagai kurang disiplin dalam pemenuhan janji dan
penghargaan terhadap waktu erta rendah semangat kerjanya. Kelompok suku ini
juga dikatakan, tidak hemat alias suka menghambur-hamburkan uang (Alatas,
1991:141). Suku Melayu dalam konteks ini termasuk suku-suku Bugis dan Banjar
yang tinggal di Kalimantan Barat. Sudah tentu, keluarga sederhana seperti
Hasyim, suku Melayu asli tinggal di RT. 02/I, dan Kasim, suku Bugis tinggal di
RT. 02/II, merupakan pengecualian. Kedua nama tadi berserta anak-anaknya
tergolong orang-orang ulet, hemat dan pekerja keras. Dua orang putera dari yang
tersebut pertama dan tiga orang putera-puteri dari keluarga kedua saat ini
sedang menempuh kuliah diperguruan tinggi negeri dan swasta di Pontianak.
Banyak warga yang tinggal dekat dengan kedua keluarga tadi sama mengetahui
bahwa beberapa orang putera dari salah seorang keluarga tadi, di samping kuliah
juga berkebun sayur dan menjualnya sendiri ke Pontianak. Beberapa orang putera
dari keluarga lainnya, dalam menunjang biaya kuliah, juga bekerja sebagai
tukang parkir dan pekerjaan-pekerjaan serabutan lain. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Penilaian lebih jauh
terhadap suku-suku Banjar dan Melayu, lebih-lebih yang terakhir, tidak mudah
diberikan, mengingat jumlah mereka yang tidak banyak dan tinggal terpencar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-outline-level: 1; text-align: justify;">
<b><span lang="SV">4.7. Suku Cina (Tionghoa)<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12.0pt;">
<span lang="SV">Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan
perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui
Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.<br />
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan
Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian
masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial
politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor
dalam Kerajaan Mempawah.<br />
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi
dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di
kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena
kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari
Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan
menetap di Kalimantan Barat.<br />
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi -
Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas
perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama
tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada
yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat.
Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.<br />
<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="cina"></a> Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke
Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan
Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan
besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan
Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi
dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk
kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).<br />
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di
Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku
Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina
di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap
bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan
mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu
timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke
daerah yang aman dari orang Cina.<br />
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772
datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu,
Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya
di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo
Fong sebagai orang penting. </span><span lang="ES">Mandor
dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. </span><span lang="FI">Daerah Mimbong didiami pekerja dari
Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih
dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San
Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada
di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.<br />
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah
untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh
Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang
didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung
Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan
Tai-Ko Kong Mew Pak. </span><span lang="SV">Mao Yien
juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu
dengan nama Lo-Man. <br />
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat
rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah
dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo
Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang)
sampai ke San King (Air Mati). <br />
</span><span lang="ES">Lo Fong
kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak
Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah,
Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan
Fong.<br />
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik
yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh
orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang
. <br />
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di
Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam
Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan
Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu
berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku
Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. </span><span lang="SV">Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga
Perang Tengku Sambo.<br />
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas.
Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya
mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November
diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di
Sambas.<br />
Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan
tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi
Belanda di Pontianak. Pada 22 September
1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan
Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.<br />
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu
Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena
merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan
orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke
Monterado.<br />
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari
1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan
kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan
kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.<br />
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar
Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu
dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851,
kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan
benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di
bukit Penibungan, Pemangkat<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="cina3"></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV">
Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di
luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang
dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah
berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda
mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh
perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.<br />
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi
pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di
Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan
pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka
juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut.
Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda
kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang
gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916).
Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.<br />
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang
saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan
Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span lang="SV">Larangan Pedagang Cina di Pedesaan</span></b><span lang="SV"><br />
<br />
Pada tahun 1959 adalah saat yang sangat menyedihkan bagi warga Cina di
Indonesia, khususnya di Kalbar. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No
10 tahun 1959 tentang larangan orang-orng melakukan usaha perdagangan di
pedesaan. Jelas PP tersebut ditujukan bagi warga Cina yang nota bene kegiatan
hari-hari mereka adalah berdagang. Karena merasa tidak bebas, maka mereka
melakukan pemberontak dengan tidak mentaati PP tersebut. Sementara jumlah orang
Cina semakin bertambah dan merambah sampai ke berbagai pedalaman di Kalbar.<br />
<br />
Karena begitu uletnya warga Cina menguasai daerah pedalaman dengan membuka
lahan hutan yang kemudian dijadikan tempat pertanian dan perkebunan serta
pemukiman, maka tidak heran banyak tempat dimana bekas mereka berada diberi
nama seperti di Mandor yang dikendalikan oleh suku Thiau Cu yang melakukan
pekerjaan pertambangan emas. Nama-nama daerah tersebut adalah; Pat Khu Chin,
Lohabang, Taynam, Sinam, Pat Meong Thio, Fa Jin Tan, Sya Kok, Lo Nam Kok, Chap
Kha La, Ta Kong dan sebagainya.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="mso-outline-level: 1; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Meski telah menjalin
hubungan dekat dengan suku-suku bangsa lain dan bahkan secara ras sudah banyak
tercampur akibat perkawinan, khususnya, dengan suku Dayak, namun sebagian besar
orang Tionghoa di Kalimantan Barat masih menggunakan bahasa Tionghoa sebagai
alat komunikasi dalam keluarga dan dengan sesamanya. Sesuai dengan golongan
bahasa sub suku-bangsanya, maka terdapat mereka yang berbahasa Tiociu, jumlah
mayoritas, sebagian lainnya berbahasa Khek dan lainnya Kanton. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Pengelompokan orang-orang Tionghoa ke dalam tiga
sub suku bangsa ini, dalam keseharian, kenyataannya bukan saja dapat
diidenfikasi dari segi bahasa melainkan juga
dari sisi mata pencaharian. Sebagian besar golongan Tiociu di daerah ini
bermatapencaharian sebagai pedagang dan pengusaha, sebagaimana juga golongan
Kanton, sedangkan golongan Khek lebih banyak menjadi petani.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Terdapat kelaziman di kalangan warga Tionghoa,
yang di Kalimantan Barat tinggal mengelompok di pinggir sungai dan nyaris
terisolasi ini, untuk melakukan pemujaan kepada leluhur, baik dari garis ayah
maupun ibu. Hubungan sosial kekerabatan dari kedua garis orang tua tadi mereka
jalin secara akrap. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sejauh pengamatan langsung di lokasi-lokasi
pemukimannya, orang-orang Tionghoa di daerah ini menggunakan bahasa setempat
dan menjalin hubungan baik dengan warga sekitar, lebih-lebih dengan aparat
daerah, terutama kepala daerah. Hanya saja, sarana hubungan itu lebih banyak
terbatas pada kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya soal bisnis dan
soal-soal menyangkut pengurusan formalitas. Berbeda dengan warga sekitar,
banyak di antara mereka amat menaruh curiga terhadap pendatang baru atau orang
yang belum mereka kenal.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Terdapat indikasi kuat bahwa kalangan muda ”suku”
ini yang keluar dari daerah untuk tinggal dan bekerja atau, bahkan menetap, di
Pontianak. Oleh karena itu, bukan hal aneh bahwa yang tinggal di daerah ini
banyak terdiri dari orang dewasa, orang tua dan anak-anak. <o:p></o:p></span></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoPlainText" style="text-align: justify;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-4.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a> <span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">Bandingkan dengan
cerita ini, masuknya Islam membuat corak baru yang membedakan antara Kaharingan
dan Banjar di Kalimantan Selatan. Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri
mereka sebagai orang Banjar dan menggunakan bahasa Banjar sementara Dayak yang
masih menganut Kaharingan tetap menyebut diri mereka sebagai Dayak dan
menggunakan bahasa asli mereka (Akh. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">Fauzi Aseri, 1990:7).</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-4.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></a> .
Merujuk kepada Pabali Musa (2003:1)Informasi yang agak jelas tentang keberadaan
Islam di kawasan pantai barat <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place> barat
ketika berdiri kerajaan Islam sambas. Kerajaan ini didirikan oleh Raden
Sulaiman (1009-1081 H/ 1601-1670). Kerajaan inilah antara lain yang memainkan
peranan penting dalam penyebaran Islam di Kalimantan Barat, khususnya di
Sambas.</div>
</div>
</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-80883416533896855672012-03-05T20:02:00.000-08:002012-03-05T23:43:02.186-08:00BAB V MENGENAL POLITIK IDENTITAS<br />
<div class="Section1">
<div class="MsoNormal">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikcA9ZcSLQvKvDo3eaE7qqw6NroPgfYTb_CFAqpSjwQpmH0b18aj0VKfLsmmY8Wj2xkDkAIwFB-46Y8wXcm7zl2dOQmvlKz-_iplixogQ5YmyFxTWGeMMphDus6OMan0NOHhxNjMoQX4Q/s1600/S2020065.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikcA9ZcSLQvKvDo3eaE7qqw6NroPgfYTb_CFAqpSjwQpmH0b18aj0VKfLsmmY8Wj2xkDkAIwFB-46Y8wXcm7zl2dOQmvlKz-_iplixogQ5YmyFxTWGeMMphDus6OMan0NOHhxNjMoQX4Q/s320/S2020065.JPG" width="320" /></a></div>
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p> </o:p></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%; text-align: justify;"><o:p> </o:p></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>A.
PENDAHULUAN</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pada beberapa tahun
belakangan ini bukan hanya terjadi gelombang demokratisasi secara global,
melainkan juga kebangkitan nasionalisme dan munculnya kembali konflik etnik.<sup><span style="position: relative; top: -2pt;">1</span></sup> Setidaknya hal tersebut diwartakan secara terang
benderang oleh Samuel P Huntington ketika menulis sebuah buku yang diberi judul <i>The Clash of Civilizations and The
Remaking of World Order</i> pada tahun 1996. Secara gamblang buku tersebut
mengkisahkah transformasi pola konflik yang terjadi di politik domestik maupun
global setelah perang dingin usai, dari konflik yang bersumber pada ideologi
menjadi konflik politik yang berbasiskan identitas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9VYnm1HEz7UwNK3WYy0rPkMc3TW4rGGXJbBjAK09KitOUbJIxt7eHOm_PTrwNIURk6HMXqchyphenhypheneN4KRae7NZAFBi4A-kg_tBtbfIJA6ELqTqeOPZAp-S2v3GlTgHeHtmX11a-C3l3mrbI/s1600/BAB+V-1.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="133" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9VYnm1HEz7UwNK3WYy0rPkMc3TW4rGGXJbBjAK09KitOUbJIxt7eHOm_PTrwNIURk6HMXqchyphenhypheneN4KRae7NZAFBi4A-kg_tBtbfIJA6ELqTqeOPZAp-S2v3GlTgHeHtmX11a-C3l3mrbI/s320/BAB+V-1.jpg" width="320" /></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Lebih
jauh Samuel P Huntington membaca bahwasanya politik global akan ditandai oleh <i>politics of civilitation</i> sedangkan
politik domestic oleh apa yang disebutnya <i>politics
of etnicity</i>.<sup><span style="position: relative; top: -2pt;">2</span></sup> Dalam politik
identitas, pertanyaan yang paling penting adalah <i>who are we </i>Sehingga, berbagai komunitas dalam
masyarakat akan merumuskan diri mereka sendiri dalam tema-tema kultural seperti
kesamaan agama, bahasa, sejarah, nilai, kebiasaan dan lembaga. Dalam penguatan
kembali politik identitas itu, nasionalisme dan konflik etnik seringkali lebih
dipandang sebagai fenomena milik dunia ketiga. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Asia dan terutama Afrika mengalami kekerasan etnik
berkadar tinggi selama masa perang dingin. Menurut perkiraan kasar, paling
tidak setengah dari negara-negara Sub Sahara Afrika- termasuk Angola, Mozambiq,
Rawanda, Burundi, Zaire, Uganda, Ethiopia, Somalia, Suda, Chad, Nigeria,
Liberia, Zimbabwe dan Afrika Selatan- semenjak kemerdekaannya telah mengalami
perang audara maupun matinya ribuan orang karena kekejaman yang dilandasi yang
dilandasi pengelompokan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam buku yang berjudul “Ehnic Group in
Conflict” (1985), Donald Horowitz menggunakan istilah etnik untuk menunjukan pada identitas
kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif berskala besar) yang didasarkan atas
ide kesamaan asal-usul, keanggotaan yang berdasarkan atas kekerabatan dan
secara khusus menunjukan kadar kekhasan budaya. Dengan pemahaman semacam itu,
maka etnik dengan mudah mencakup kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna
kulit, bahasa, dan agama. Etnik juga mencakup suku bangsa, ras, kebangsaan, dan
kasta. Lebih jauh Horowitz mengatkan bahwa meskipun sifatnya diperoleh secara askriptif (keturunan), etnik
tidak sepenuhnya bersifat abadi (walaupun nampaknya demikian pada situasi konflik tertentu) karena
batas-batas kelompok dapat berubah jika kelompok- kelompok itu terpecah-belah;
bergabung dengan kelompok lain, mengalami erosi, bersatu, dan mendifinisikan dirinya kembali dari waktu ke
waktu (sebagaian dilakukan dengan jalan manata atau menciptakan kembali mitos
kesamaan asal-usul). Biasanya, jika batas-batas etnik tidak dipelihara melalui ciri-ciri
fisik yang tegas, bisa ada sejumlah orang yang menyebrangi garis-garis batas
etnik tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Samuel
P Huntington, dalam bukunya <i>The Clash of Civilizations and The Remaking of
World Order</i>, 1996.</span><span style="height: 3px; left: 0px; margin-left: 119px; margin-top: 875px; position: absolute; width: 194px; z-index: -1;"><img height="3" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif" v:shapes="_x0000_s1027" width="194" /></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> mengatakan bahwa korban jiwa akibat kegagalan
mengelola politik etnsitas sungguh sangat mengerikan; setengah juta orang mati
dan sebelas juta orang mengungsi di India pada tahun 1947; diperkirakan satu
juta orang mati selama perang saudara di Negeria (1967-1970); ratusan ribu
orang tewas selama teror etnik dan teror politik Idi Amin di Uganda
(1971-1979); puluhan ribu orang tewas dan 600.000 orang terlantar selam satu
dasawarsa perang saudara yangs ampai sekarang masih berlangsung di Srilangka
dan diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi akibat peperangan di negara bekas
Yugoslavia, lebih dari seratus ribu orang tewas dan setengah juta orang
mengungsi akibat meletusnya peperangan
di Rwanda pada tahun 1994. Di situ terjadi perang antara kelompok mayoritas Hutu
dan kelompok minoritas Tutsi yang pernah menguasai kaum feodal. Bahkan berakhirnya perang dingin, era
mundurnya ideologi seperti ditulis oleh Daniel Bell bukan berarti meredanya
representasi kekerasan etnik dalam politik domestik.
<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Serangan
tanggal 11 September oleh fundamentalis Islam terhadap lambang dominasi dunia
Amerika di <st1:state w:st="on">New York</st1:state> dan <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Washington</st1:state></st1:place> telah secara masif menghidupkan
kembali debat mengenai tantangan perbenturan peradaban di dunia. Argumentasi
yang disampaikan oleh Samuel Huntington, bahwa kita sedang menghadapi sebuah
perbenturan dapat dihindari antara peradaban-peradaban dunia, khususnya antara
Islam dan Barat. Sebagai alasan krusial yang mendukung prospek yang tidak
menyenangkan ini adalah adanya hipotesa bahwa dengan adanya peradaban dunia
yang berbeda-beda saat ini, tidak dapat melewati batasan yang terbentuk dari
semakin luasnya beberapa interpretasi tentang nilai-nilai politik mendasar
untuk dapat hidup bersama. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Skenario
peradaban yang saling berbenturan semakin mendapat kekuatan, hal mana dapat
diterima bila melihat kejahatan yang dilakukan oleh satu kelompok etnik
terhadap lainya di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Yugoslavia</st1:country-region></st1:place>
yang runtuh atau kegiatan jaringan teror Bin Laden. Skenario ini telah menjadi
sebuah paradigma untuk pandangan dunia baru, yang mengakibatkan goncangan di
seluruh dunia, di kantor-kantor editorial, dalam berbagai seminar, sidang
perencanaan dan rapat konsultasi politik, serta juga dalam pemikiran
kekuatan-kekuatan yang ingin muncul yang mengharapkan mendapatkan keuntungan
politik darinya. Sebetulnya tidak mengherankan, banyak yang sudah mulai berperilaku
seolah-olah model tersebut berlaku. Setiap pihak menganggap dirinya paling
mengerti dalam menghadapi realitas yang disebutkan tadi, juga karena
pihak-pihak lain melakukan hal yang sama sesuai dengan perkiraan yang
ditentukan oleh model tersebut. <span lang="SV">Dengan demikian paradigma fundamentalisme dapat
melebarkan sayapnya di luar penganut setianya. </span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sangat jelas bahwa pengalaman sosial dan situasi
kehidupanlah, beserta kedekatan pada modernisasi budaya yang ditentukan
olehnya, berada pada posisi utama untuk menentukan pendefinisikan cara
hidup berbudaya kelompok-kelompok, dalam hal afiliasi pada tradisi
agama-budaya. Termasuk dalam pengalaman-pengalaman yang membentuk ini adalah
krisis, gejolak dan penyisihan, seperti yang telah diperlihatkan dalam hal fundamentalisme.
<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Akan tetapi, nilai-nilai sosial yang menyangkut cara
hidup bersama yang dianut oleh semua budaya yang ada akan membuka tempat bagi
ko-eksistensi identitas budaya yang berbeda-beda sebagai cara untuk percaya dan
hidup. Namun demikian, saat ini bertentangan dengan kesempatan nyata yang
telah diberikan untuk saling mengerti, risiko berubahnya politisasi budaya
menjadi sebuah proses mempertahankan diri sangatlah dekat. Mereka yang berusaha
dari dalam dan mereka yang melakukannya dari luar akan bertemu dan saling
mendukung, penjelasan dan ramalan mereka bekerjasama secara menyesatkan, dan
tenaga mereka saling memberikan kekuatan.Seperti masyarakat dimanapun,
munculnya tata global memerlukan nilai-nilai dan norma norma untuk hidup
bersama yang umum. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Kesamaan mendasar terdapat dalam inti semua budaya, walaupun diucapkan
dalam bahasa, simbol dan gambar yang berbeda-beda. Seringkali hal ini sulit
terlihat, tetapi perlu ditemukan dan di taruh di tempat yang jelas. Diperlukan
usaha keras untuk mengenal, mengembangkan dan membawa elemen-elemen dalam
berbagai budaya tersebut menjadi dekat satu dengan yang lain, sehingga
memudahkan terjadinya saling pengertian dan tindakan bersama, khususnya karena
selalu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ini adalah tantangan yang sesungguhnya
setelah 11 September.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">B.
POLITIK DALAM KONTEKS ILMU PENGETAHUAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Secara keilmuan
, mengutip Max Weber</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> politik
adalah usaha untuk ikut ambil bagian
dalam kekuasaan atau usaha untuk
mempengaruhi pembagian kekuasaan, baik diantara negara-negara atau diantara
kelompok-kelompok dalam suatu negara. Kata Politik mengacu kepada segala
sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan yang dipegang oleh para pegawai
pemerintah. Pegawai pemerintah adalah sekelompok orang yang memegang kekuasaan
untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> dan, dalam
usaha mengatur masyarakat, berhak menggunakan kekerasan fisik yang memaksa</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">. Kekuasaan yang
memiliki kedua sifat tadi yaitu mengatur masyarakat secara keseluruhan dan
menggunakan kekerasan fisik secara sah disebut kekuasaan politik, sedangkan
orang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan politik disebut penguasa
politik, sementara keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh penguasa politik
dalam usaha untuk mengatur masyarakat disebut kebijakan politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">C. POLITIK IDENTITAS<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">C.1. Pengertian<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hal pertama yang mesti dipahami bahwa
politik identitas bukanlah politik dalam makna tradisional saja. Politik identitas fokus perhatiannya
ialah perbedaan identitas yang meliputi
etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk menghimpun orang atas dasar
kesamaan yang dimiliki. Politik identitas merupakan subdisiplin ilmu politik yang bersifat empiris dan mulai
dibicarakan pada tahun 1960-an. Pada tahun 1967, dalam suatu pertemuan pertama
yang diadakan oleh asosiasi ilmu politik internasional dibicarakan tentang
biologi dan politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Merujuk Eriksen timbulnya
perasaan untuk berkumpul pada identitas yang sama seperti etnisitas misalnya
berdasarkan pada kecenderungan di dalam setiap kumpulan manusia untuk membedakan
antara orang dalam dan orang luar, untuk menarik garis batas sosial, dan
kecenderungan untuk membangun stereotip-stereotip tentang “kumpulan lain.”
Kecenderungan membangun stereotip-stereotip tentang kumpulan lain ini juga
sebenarnya merupakan cara untuk mendukung dan membenarkan garis batas sosial
ini. Eriksen menekankan bahwa etnisitas
muncul ketika “perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan akan berakibat pada perbedaan sosial” (<i>ethnicity
occurs when perceived cultural differences make a sosial difference. </i>Etnisitas
muncul karena adanya interaksi dari kumpulan-kumpulan yang merasa “berbeda”,
ketika pembedaan “kita” dan “mereka” menjadi penting. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Lukmantoro
(2008:2) Politik identitas adalah
tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu
kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan
pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan
lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik identitas merupakan respon
terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara
tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas
sengaja dijalankan kumpulan- kumpulan masyarakat yang mengalami marginalisasi.
Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini
mendapatkan hambatan yang sangat signifikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekedar penyaluran
aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai
yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, iaitu
penentuan nasib sendiri atas asas keprimordialan. Dalam format keetnisan,
politik identitas tercermin mula pada upaya memasukan nilai-nilai kedalam
peraturan daerah, memisahkan wilayah pentadbiran, keinginan menerapkan otonomi
khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks
keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan
nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya
peraturan daerah tentang syariah, mahupun upaya menjadikan sebuah kota identik
dengan agama tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang
disebabkan oleh banyaknya faktor seperti :
aspek struktural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih
berlanjutnya kesulitan ekonomi sehingga hari
ini yang telah memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah
kumpulan primordial yang bertautan dengan aspek keterwakilan politik dan
institusional.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">C.2. Politisasi identitas Etnik<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam konteks
keterwakilan politik belum meluas dan menginstitusinya partisipasi dan
keterwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya
kebijakan yang diskriminatif dan eksklusif yang pada akhirnya memperkuat alasan
kebangkitan politik identitas etnik .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Barker (2005:217), Karena terdorong perjuangan politik serta
minat terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tajuk utama
kajian budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisiti, dan orientasi seks,
juga tajuk-tajuk lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan rapat dengan
politik identitas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Politik Identitas diasaskan pada esensialisme strategis,
dimana kita bertindak seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi
tujuan politis dan praktikal tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap
gagasan mengenai diri, identitas, komuniti identifikasi (bangsa,etnisiti,
seksualitas, kelas, dan lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah
fiksi yang menandai pembakuan makna secara temporer, parsial, dan
arbitrer. Politik tanpa penyisipan kuasa
secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian, persilangan
arah, retidakan adalah mustahil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penanda-penanda identitas ’budaya’ boleh berasal dari
sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa dan adat resam pada
masyarakat yang bersangkutan (Mauneti,2004:30). Namun tidak sesederhana itu
pula, karena King juga mengatakan bahwa konstruksi identitas budaya bersifat
kompleks sebahagian karena konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Merujuk kepada Eriksen</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, (2001: 10) bahwa apabila ditinjau dari sudut pandang antropologi, pada
semua masyarakat sedang terjadi perubahan identitas sosial dan budaya. Kata
dia, sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir menjelang abad ke 20, kita
dapat melihat secara dramatis rekonseptualisasi konsep kebudayaan dan
masyarakat dalam studi-studi ilmu sosial. Seterusnya sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sampai tahun 1960-an terjadi tumpang tindih antara
kebudayaan dan etnitas (diasumsikan bahwa identitas ditentukan oleh etnisitas,
sejauh etnik memelihara kekhasan kulturalnya) dengan masalah kewarganegaraan
(status kebangsaan seseorang). Namun, kurang lebih tiga puluh tahun berlalu
atau sekitar tahun 1990-an, mulai terlihat sebuah perubahan yang sangat cepat
di mana kita tak bisa lagi menunjukan hubungan langsung antara kebudayaan dan
etnisitas. Artinya, identitas etnik belum tentu ditunjukan lagi oleh kebudayaan
dari etnik itu (bdk. Barth 1969). Menurut Thomas, yang sedang terjadi kini
adalah meningkatnya perbedaan budaya kini berubah menjadi identitas etnik
sebagai identitas budaya kini berubah menjadi identitas budaya “baru” atau
sekedar sebagai identitas sosial semata-mata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Seterusnya Eriksen menjelaskan bahwa apa yang digambarkan
itu menunjukan sekurang-kurangnya dua isu yang selalu terus diperdebatkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<i><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pertama</span></i><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, bahwa selalu ada kontroversi tentang primordialisme
dan instrumentalisme. Ini dikarenakan, identitas etnik pada galibnya merupakan
sesuatu yang bersifat “primordial”, yang semula berakar pada kebudayaan yang
dihayati bersama secara kolektif baru” akibat asimilasi dua atau lebih budaya
yang didukung oleh perkawinan (amalgamasi) maupun komunikasi antarbudaya
ditempat kerja, sekolah, dan lain-lain (baca juga Abner Cohen mengenai
etnisitas keturunan Afrika di AS). Kolektiva komunitas baru itu dihasilkan oleh
keberhasilan mereka memanipulasi simbol-simbol komunikasi bersama yang baru
atau menafikan simbol-simbol budaya yang asli dan asal (lihat kasus Sunita Puri
diatas, mempertahankan <i>bindi</i> sebagai
simbol etnik orang indian atau kita dapat membuat <i>bindi</i> sendiri dengan membeli cat ditoko). Jadi, perdebatan ini
berkaitan dengan dikotomi antara mempertahankan karakteristik kebudayaan
tertentu secara primordial atau menerima suatu karakteristik kebudayaan
tertentu secara primordial atau menerima suatu karakteritik kebudayaan yang
baru sebagai sesuatu yang sekedar instrumental.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<i><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kedua</span></i><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, perdebatan antara konstruktivisme dan esensialisme;
bahwa yang namanya etnik dan identitas dapat dibentuk dan hasil bentukan etnik
baru itu secara esensial menghilangkan atau mengurangi simbol-simbol kultural
dari etnik sebelumnya, atau secara esensial pula membentuk karakteristik etnik
baru dengan simbol-simbol etnik baru. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Isu inilah yang coba didiskusikan oleh Ernest Gellnar
(1983, 1997) dan Anthony D.Smith (1986, 1991). Keduanya mencoba “duduk” pada
posisi “antara”, di mana di satu pihak kita tetap mengakui keberadaan
etnik-etnik, entah dalam rangka etnik itu sendiri atau dalam rangka sebuah
bangsa (artinya ada hubungan antara etnisitas dan nasionalisne), dan dipihak
lain kita harus berhadapan dengan bentuk etnik baru karena arus modernisasi.
Gellner kemudian mengatakan bahwa : bagaimanapun juga yang namanya “bangsa”
adalah sebuah bentukan atau kreasi modern, sekurang-kurangnya kreasi pemikiran
tentang negara. Kalau begitu, perkembangan negara memang harus dibicarakan
tanpa mengabaikan bahwa dalam kenyataannya memang ada negara dan bangsa yang
terbentuk karena etnisitas dari etnik. Buktinya, kata Gellner, bangsa memang
merupakan bentukan dari kelompok etnik yang sekurang-kurangnya ditunjukan oleh
pemimpin (dari etnik mana) yang memerintah. Sebaliknya, Anderson (1983) melihat
bahwa bangsa adalah suatu komunitas abstrak atau <i>imagined community</i> dari sebuah bangsa, khususnya kelompok etnik.
Contoh <i>imagined community </i> adalah Filipina dan Indonesia yang merupakan
negara multietnik, sehingga kita harus membedakan antara etnik dan bangsa
(Smith 1991).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Apa yang diuraikan di atas merupakan gejala dari
transformasi identitas etnik karena perubahan tertentu dari arah sejarah,
keadaan sosial ekonomi, kondisi sosial dan politik. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tindakan dan kelompok etnik merespons kemajuan dan modernisasi sebagai
suatu perubahan yang selalu harus dan akan terjadi. Suka atau tidak, kini
sedang terjadi transformasi identitas etnik. Konsep kemajuan dan modernisasi
telah meningkatkan pandangan tentang kebebasan, termasuk kebebasan ekspresi
etnik-etnik.Modernisasi dalam bidang pemerintahan yang demogratis turut
membentuk otonomi individual, termasuk otonomi etnik terhadap perubahan
struktur dalam masyarakat kita. Kemajuan yang bersifat fundamental tersebut
melahirkan masyarakat sipil (<i>civil
society</i>), yang kini mulai menuntut kembali hak-haknya yang hilang dalam
sejarah peradapan etnik-etnik tersebut. Oleh karena itu, definisi sosial
terhadap individu kini berubah seiring dengan perubahan struktur kekuasaan,
dominasi gender, kekuasaan politik, seperti hak-hak minoritas, termasuk
perkembangan agama yang tak membatasi kesukubangsaan sebagai sesuatu yang
membatasi peran. Dengan demikian, dalam batas-batas dan konteks tertentu, kita
masih membutuhkan pemaknaan etnik secara kontekstual, terutama dalam suasana
masyarakat yang multietnik dan multikultur.<em><span style="font-style: normal;"><o:p></o:p></span></em></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<em><b><span lang="SV">C.3. Politisasi Identitas
budaya </span></b></em><em><span lang="SV"> </span></em><span lang="SV"><o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Fundamentalisme adalah salah satu dari berbagai pilihan
untuk dapat mengerti dan mempraktekan tradisi budaya. Sebagai bentuk ekstrem
dari politisasi perbedaan budaya, fundamentalisme tidak terbatas pada budaya
barat (yang menciptakan terminologi tersebut), atau pada peradaban tertentu
seperti Islam, walaupun banyak sekali pandangan yang menentangnya.
Fundamentalisme juga bukan merupakan sebuah instrumen analisa barat, seperti
contoh dapat ditemukan dalam budaya lainnya, tetapi mungkin cara penerapannya
di budaya lain melalui perspektif barat.Sebaliknya, semua budaya dunia terbukti
berupa sekat-sekat diskusi dan wacana sosial yang pada hakekatnya sangat
beranekaragam dan dinamis. Dalam budaya tersebut, dengan ukuran berbeda-beda,
fundamentalisme muncul; dan dalam semua budaya itu pula, fundamentalisme
merupakan ekspresi yang mendapat tentangan dalam keseluruhan identitas budaya. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Perbandingan empiris yang menjangkau semua budaya
menunjukan bahwa dalam kondisi tertentu setiap budaya menghasilkan aliran
fundamentalisme berbarengan dengan modernisasi dan tradisionalisasi yang
mengitarinya. Walaupun terdapat perbedaan yang luas dalam lingkungan-lingkungan
budaya, aliran fundamentalisme dalam struktur dan fungsinya menunjukan karakteristik
yang sama dimanapun dan memberi bahan untuk kebutuhan politis dan psikologis
dalam semua budaya, yaitu kebutuhan akan kepastian, identitas dan pengakuan
bagi mereka yang terisolasi atau terancam oleh kekuatan yang lebih tinggi atau
oleh perkembangan pembangunan. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dalam masing-masing budaya ini, fundamentalisme
menyatakan perang terhadap kedua aliran bersaing, yaitu modernisme dan
tradisionalisme, dan dengan tak tergoyahkan mengupayakan dikembalikannya
identitas yang sesungguhnya dari budaya tradisional yang saat itu berada dalam
keterpurukan, dengan membangkitkannya kembali dengan cara mengambil alih
kendali kekuasaan politik dan mencapai supremasi absolut. Dengan demikian
masyarakat dibebaskan secara menyeluruh terhadap penderitaan kontradiksi modernisasi.
<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dengan berakhirnya konflik Timur-Barat, maka pola-pola
budaya yang berbeda-beda malah menjadi lebih jelas sebagai nilai-nilai dasar
dan bentuk-bentuk hidup, sebagai merek dan harapan kolektif. Fakta yang
kurang menonjol ini tidak begitu berhasil meninggalkan kesan di benak
masyarakat luas dalam beberapa tahun setelah era ideologi, sama gagalnya dengan
usahanya untuk menjadi pusat publisitas dan eksploitasi politik. Dibentuk
sebagian untuk tujuan politik, dibuat berlebihan sebagian untuk mempertahankan
pengakuan, ditelan oleh publik yang tak terorientasi dengan sebuah perasaan
kelegaan dengan jarak aman terhadap kejadian tidak menyenangkan, perasaan
kesadaran budaya dan bersamanya juga kesadaran perbedaan budaya kelihatannya
telah mengambil alih keadaan konfrontasi terbesar yang mendominasikan abad
ke-20.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Politisasi perbedaan budaya terjadi baik di dalam maupun dari luar. Dari
dalam mewakili strategi fundamentalisme yang berupaya meyakinkan kita bahwa
kejahatan yang timbul di dunia hanya dapat disembuhkan, jika tuntutan kepastian
yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin fundamental dalam masing-masing kasus,
dapat berlangsung tanpa ketakutan akan kontradiksi. Dari luar mewakili strategi
dari pihak luar seperti Huntington yang tanpa menjadi fundamentalis sendiri,
membuka jalan untuk tindakan fundamentalisme dengan mengungkapkan pernyataan
bahwa peradaban yang sudah menyebar di dunia pada hakekat bersifat
fundamental. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Bahkan orang non-fundamentalis juga harus membayar dengan
uang yang sama, jika mereka tidak mau membahayakan kekuasaan untuk menuntut
yang mereka miliki dalam perbenturan peradaban global yang
diasumsikan. Fundamentalisme adalah sebuah ideologi abad ke-20 yang
merekrut anggotanya atas dasar kesamaan karakteristik ethnis dan agama. Pengalaman
penghinaan, penderitaan, keputusasaan, atau kurangnya pengakuan memberikan
kontribusi besar pada kesuksesan politisnya. Dengan menggabungan elemen zaman
moderen secara pragmatis dualis dengan aspek-aspek dogma yang berasal dari
tradisi zaman pra-moderen, fundamentalisme berupaya untuk menyerang struktur
dasar dan konsekuensi budaya yang tidak toleran dalam era moderen -yang tidak
mendapat dukungan- dengan menggunakan perangkat modern dan dengan cara modern. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV">C.4. Politisasi identitas
Agama<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebagai bagian dari fenomen global, di Indonesia, politik
identitas berdasarkan agama terasa semakin terang benderang terutama sejak kejatuhan
rejim Soeharto pada bulan Mei 1998. Setidaknya, bangkitnya kembali <i>politics of identity</i> ini terlihat dari munculnya dua gejala
politik utama, <b>pertama</b>, terjadinya kerusuhan antar etnis di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat,
Maluku, Papua dan Kupang. <b>Kedua</b>, terjadinya tindak kekerasan dengan
menggunakan sentimen-sentimen agama, seperti
yang terjadi pada peristiwa Mataram, Kupang, serta Maluku. Ada beberapa bentuk
kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia. Pertama, kekerasan fisik
seperti pengruskan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan Mesjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang
menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma maupun
terbunuh. Bentuk kekerasan yang kedua adalah kekerasan
simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa
kekerasan simiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan yang bernada melecehkan
sesuatu agama. Pelaku tindakan kekerasan politik agama secara potensial bisa
berasal dari setiap kelompok agama di Indonesia. Namun, belajar dari
kasus-kasus yang muncul di Maluku, Poso, Mataram serta Kupang maka bisa
ditemukan sebuah kecenderungan bahwasanya sebagian besar kekerasan politik
agama yang timbul akibat konflik yang terjadi antara komunitas Islam dan
komunitas Kristen. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Di Maluku, misalnya, komunitas Islam dan
Kristen teridentifikasi melalui ikat kepala dan identitas nama kelompok yang
bertikai anatara kelompok merah (obet)
dan kelompok putih (acang). Dari data
statistik, Kabupaten/ Kota yang menjadi ajang pengrusakan Mesjid dan gereja,
dapat dilihat bahwa pengrusakan gereja terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase penganut agama Islamnya mayoritas,
sedangkan laju pertumbuhan umat Kristennya melebihi laju pertumbuhan umat Islam
di daerah tersebut. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebaliknya pengruskan Mesjid terjadi di Kabupaten/ <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Kota</st1:city></st1:place> yang prosentase penganut agama Kristennya mayoritas, sedangkan
laju pertumbuhan umat Islamnya melebihi laju pertumbuhan umat Kristen di daerah
tersebut. Misalnya di Kupang, prosentase umat Islam : Katolik: Protestan ialah
6,7 : 11,47 : 80,79. Laju pertumbuhan umat Islam : Katolik: Protestan ialah
9,18 : 6,53: -0,89. Laju pertumbuhan penduduk Kupang adalah 0,58. Namun ada juga kecenderungan konflik antar
komunitas agama yang akhirnya bermuara pada kekerasan terjadi di daerah-daerah
yang mempunyai komposisi agama secara demografis berimbang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam perspektif historis terlihat bahwa
kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru. Ini terlihat dari
data Thomas Santoso (2000:4) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama
hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan
gereja. Pada kurun waktu 1945- 1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak,
itupun terjadi di daerah-daerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan
bertalian dengan gerakan Darul Islam.<sup><span style="position: relative; top: -2pt;">5</span></sup> Sedangkan pada masa Orde Baru (1966-1998)
tercatat tidak kurang dari 456 gereja
dirusak, ditutup maupun diresolusi. Perusakan gereja yang terjadi
setelah 21 Mei 1998 dapatlah dikatakan sebagai epilog atau warisan Orde Baru.
Dalam kurun waktu 1996 sampai dengan
akhir April 2000 tercatat 473 gereja dirusak, ditutup atau diresolusi. Dari 473 gereja (100%) tersebut dapat dipilah
atas tahun dan tempat kejadian, denominasi gereja dan bentuk kekerasan fisik
serta simbolik. Pada tahun 1996 tercatat 71 gereja (15,01 %) dirusak, dibakar
dan diresolusi, selanjutnya tahun 1997 tercatat 92 gereja (19,45 %), tahun 1998
tercatat 134 gereja (28,33%), tahun 1999 tercatat 123 gereja (26 %) dan tahun
2000 tercatat 53 gereja (11,2%). </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Berdasarkan
tempat kejadian, perusakan gereja terjadi di berbagai pelosok Indonesia
meliputi 76 Kabupaten/ Kota. Dari 473 gereja, perusakan lebih banyak terjadi di Jawa (273 gereja/ 57,72 %)
dibandingkan dengan di luar Jawa (200 gereja/ 42,28 %). Pengrusakan gereja
lebih banyak terjadi di kota pesisir (291 gereja/ 61,52 %) dibandingkan kota
pedalaman (182 gereja/ 38,48 %) Denominasi gereja dibedakan atas Protestan,
Pantekosta dan Katolik. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dari
473 gereja tersebut terdiri atas Protestan (240 gereja/ 50,74 %), Pantekosta
(179 gereja/ 37,84 %) dan Katolik ( 54 gereja/ 11,42 %). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Apabila dibedakan menjadi Jawa dan luar Jawa
maka komposisi pengrusakan di Jawa ialah Protestan (235 Karena pertimbangan akses data, tulisan ini hanya
menampilkan data-hanya tindak kekerasan terhadap komunitas Kristen. %),
Pantekosta (28,75 %) dan Katolik (27 %). Sedangkan di luar Jawa, Protestan (27,48
%), Pantekosta (9,09 %) dan Katolik (5,71 %). Berdasarkan jenis kekerasan yang
dilakukan dari 473 gereja tercatat 446 gereja (94,29 %) mengalami kekerasan
fisik dan 27 gereja yang mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik lebih
banyak terjadi di Jawa (25 gereja) dibandingkan dengan di luar Jawa (2
gereja). <o:p></o:p></span></div>
</div>
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><br clear="all" style="mso-break-type: section-break; page-break-before: always;" />
</span>
<br />
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Semua label fundamentalisme agama, apakah itu Kristen,
Yahudi, Islam, Hindu atau Buddha, senantiasa bertendensi untuk membentuk sebuah
sistem berpikir tertutup yang dengan demikian secara sintetis mengisolasikan
perbedaan pendapat, keraguan, alternatif, dan keterbukaan. Oleh karena itu,
tujuannya adalah untuk memberikan keamanan, keyakinan orientasi, identitas yang
mantap dan kebenaran yang menyeluruh. Mereka akan tiba pada sebuah kepastian
sistem kepercayaan yang dihasilkan sendiri dan disterilkan terhadap keraguan.
Fundamentalisme modern memberikan pelayanan dalam bentuk militannya sebagai
legitimasi tuntutan intelektual, agama dan supremasi terhadap mereka yang
berbeda pendapat. Sistem iman yang tertutup dan penerapan peraturan dalam
format fundamentalisme mewakili suatu paham <em>kembali secara absolut</em>
dalam politik sampai pada batas bahwa mereka berasumsi memiliki peran dalam
lingkungan publik dan mematikan kritik, semua alternatif, keraguan, serta
dialog terbuka mengenai tuntutan kognitif diantara mereka yang setara. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Apa yang terjadi selanjutnya adalah pengabaian penuh
(atau kadang-kadang dalam masyarakat demokratis yang telah berkembang hanya
secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan
prinsip mayoritas demokrasi atas nama kebenaran yang absolut yang dipercayai
oleh kaum fundamentalis. Dalam budaya barat akhir-akhir ini kita telah menjadi
saksi beraneka ragam gerakan fundamentalisme: Fundemantalisme Protestan di
Amerika Serikat, fundamentalisme etnis di Balkan atau Jerman, dan
Marxisme-Leninisme dalam berbagai bentuknya. Pada akhir abad ke-20
fundamentalisme moderen telah menjadi formula tanpa banding untuk mendapatkan
keberhasilan dalam politisasi perbedaan budaya dalam semua peradaban, walaupun
ia juga memperlihatkan unsur-unsur yang sama beranekaragamnya seperti
modernisasi yang ingin dilawannya di berbagai pusat di mana ia timbul sebagai
kekuatan dominan .<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dalam isi ajaran-ajarannya, kebiasaan hidup masyarakat
yang tergabung dalam lingkungannya dan bentuk/struktur tujuan politik
sosial yang dituju, terdapat perbedaan yang besar antara fundamentalisme
Protestan di Amerika Serikat, fundamentalisme Hindu di India, fundamentalisme
Evangelis di Guatemala, fundamentalisme Yahudi di Israel, funda-mentalisme Buddha
di Sri Langka, fundamentalisme Islam di Iran atau Aljazair, fundamentalisme
Khong Hu Cu di Asia Timur, fundamentalisme Katolik Roma di Eropa dan Amerika
Serikat. Perbedaan-perbedaan tersebut terungkap dalam kasus-kasus yang terjadi
dengan jelas dan dalam ungkapan-ungkapan lumrah yang berakar pada masing-masing
budaya yang berbeda. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Namun, di antara semua perbedaan itu, ada satu elemen
bersama yang mengikat mereka, yaitu suatu gaya yang ditandai oleh sebuah
pendekatan permusuhan terhadap perbedaan budaya, sebuah strategi yang
berorientasi untuk mencapai supremasi dengan cara mempolitisasikan budayanya
sendiri melawan budaya pihak lainya, baik dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri maupun dengan masyarakat di luarnya.</span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Hampir tanpa pengecualian, kepemimpinan fundamentalis
diilhami dengan kemauan untuk menggunakan energi pengikut setia yang
dimobilisasikan untuk meraih atau mengkonsolidasikan kepentingan politik atau
membenarkan perlakuan kekerasan terhadap pihak yang dinyatakan sebagai
musuh. Penelitian sosiologi terperinci terhadap fundamentalis-me Islam di
Iran dan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat dengan jelas menunjukan
bahwa terutama lingkup tradisional memberikan reaksi terhadap bahaya
disintegrasi diri yang diakibatkan oleh modernisasi kota dengan cara mundur ke
dalam isolasi fundamentalis. Fundamentalis dalam kedua negara ini memiliki
tendensi untuk mencari suaka kepada rekan-rekan yang berpikiran sama dengan
tiga alasan. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Ada ketakutan dalam diri mereka bahwa pengakuan sosial
terhadap kebiasaan hidupnya akan sedikit demi sedikit berkurang; mereka menolak
identitas sosial yang telah mereka raih di devaluasikan; atau ada kekuatiran
bahwa anak-anak mereka akan memeluk gaya hidup modern dan terbuka. Pilihan
terhadap gaya hidup terbuka akan memberikan ancaman terhadap existensi
keseluruhan mereka sebagai komunitas yang terpisah.Impuls fundementalis dapat
tumbuh dengan baik di mana terjadi penurunan harkat sosio-kultural secara tak
terduga yang dikombinasikan dengan pengalaman atau ancaman penurunan mobilitas
dan ketidakpastian ekonomi. Krisis ganda budaya-ekonomi jenis seperti ini akan
memberikan lahan yang subur bagi pertumbuhan cepat fundamentalisme. Contoh yang
paling baik adalah nasional-sosialisme Jerman dengan semangat luar biasa yang
dipegangnya dengan latar belakang keruntuhan budaya, perpecahan dengan krisis
tradisi dan ekonomi. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Contoh lainnya adalah fundamentalisme Islam di Iran yang
muncul dari modernisasi yang dipaksakan dari atas digabung dengan sikap resmi
yang melecehkan identitas tradisional sosial-budaya. Aljazair saat ini
menunjukkan adanya peningkatan dramatis dalam perasaan bahwa masa depan tidak
memberikan prospek, jika elit kepemimpinan politik membuktikan dirinya korupsi
dan tidak mampu bereformasi.Fundamentalisme dengan daya tarik bagi massa
bekerja melalui organisasi yang berpengaruh, pemimpin yang karismatik, teknik
komunikasi yang efektif dan slogan-slogan populer yang digabungkan dengan
penjelasan superfisial mengenai keadaan saat ini dengan janji-janji politik
akan mengatasinya. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Kredibilitas tawaran yang diberikan dalam banyak kasus
didukung oleh fakta bahwa organisasi-organisasi fundamental memberikan bantuan
praktis pada lingkungan kelompok yang diminati.Semua contoh ini menunjukan
bahwa pemimpin-pemimpin fundamentalis beserta organisasi-organisasi mereka
seringkali bersikap santai dalam waktu jangka panjang tanpa ada respons besar
hingga saatnya datang sebuah krisis. Seperti yang diamati oleh Gilles Keppel,
bukanlah sebuah kebetulan bahwa fundamentalisme telah mendapatkan pengaruh dan
daya tarik di seluruh dunia sejak pertengahan tahun tujuh puluhan. Masa ini
menentukan titik dimana krisis dalam model budaya pada zaman modern, khususnya
dalam alternatif Marxisme, bertepatan dengan manifes stagnasi sosio-ekonomi dan
pengalaman pertumbuhan ketidaksamaan sebagai akibat globalisasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">C.5. Politik Identitas di
Dunia<o:p></o:p></span></b></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="NO-BOK">Proses modernisasi mengakibatkan
sistem-sistem budaya, sosial dan politik dalam masyarakat terbuka terhadap
interprestasi, tata susun, gaya hidup dan perjalanan pembangunan alternatif. </span><span lang="SV">Dalam masyarakat barat proses
ini digerakan oleh dinamika internal sendiri; dalam banyak masyarakat
berkembang proses dirangsang oleh pengaruh luar, walaupun hampir tidak pernah
tanpa unsur modernisasi yang berasal dari dinamika masyarakat itu sendiri.
Modernisasi membutuhkan kepastian tradisi yang perlu dipertanyakan melalui
kritik dan pertimbangan alternatif; sesungguhnya kemampuan meresap alternatif
menjadi sangat fundamental terhadap semua bagian pemikiran dan tindakan. Tata
aturan publik harus melalui sebuah perubahan fundamental agar dapat mencapai
kapasitas untuk dapat mengatur komunikasi dan kebebasan sistem bersaing dalam
orientasi, dengan demikian memungkinkan integrasi sosial secara menyeluruh.
Tata aturan harus belajar untuk dapat mengatur produktivitas dengan perbedaan
dan mengatur interaksi-interaksi secara
permanen. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Dengan berpegang pada prasyarat kebebasan dan hak
menentukan diri sendiri, pembukaaan dalam masyarakat pada saat yang sama dengan
tidak sengaja menciptakan kejadian sejarah yang tidak pernah terjadi yaitu
resiko kehilangan orientasi dan erosi arti kepada individu dan kelompok. Baik
kepada individu maupun masyarakat kini tersedia kesempatan besar untuk
pengembangan hak penentuan sendiri, tetapi tanpa jaminan keberhasilan dalam
membentuk sebuah identitas imdividu dan kollektif secara memuaskan. Dengan
alasan ini tradisi dengan orientasinya, kemungkinan identifikasi dan keyakinan
status senantiasa berada di bawah pertimbangan kondisi-kondisi moderen, tidak
pernah sekaligus keseluruhan eksistensi tradisi, tetapi secara esensial satu
per satu, dan tidak lebih dahulu dari tantangan perkembangan sosial. Tradisi
tidak lagi berlaku per se, tetapi hanya dalam proporsi kekuasaan untuk
meyakinkan para lawanya pada setiap saat. Di bawah prasyarat ini, perkembangan
dan upaya mempertahankan identitas individu dan kolektif menjadi tantangan yang
tiada henti-hentinya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Sebagai sebuah ideologi politik dan gerakan,
fundamentalisme merupakan sebuah upaya untuk membalikkan proses modernisasi
keterbukaan dan ketidakpastian, Apakah fundamentalisme, menumbangkan modernitas
secara menyeluruh atau hanya yakin pada keyakinan utamanya, sikap mendasar
fundamentalisme adalah senantiasa memaksakan pandangan dunianya, etikanya, gaya
hidupnya dan bentuk bentuk organisasi sosialnya kepada orang lain, dan untuk
menyisihkan orientasi-orientasi lainnya. Sebagai produk zaman modern,
fundamentalisme mencari upaya untuk mengatasi ketidakpastian dan keterbukaan
dengan cara memilih satu alternatif diantara tradisi-tradisi yang sempit atau
kebiasaan yang diterima tanpa kritik menjadi hal yang absolut. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Orang-orang fundamentalis dengan demikian bermaksud untuk
melanjutkan sistem berpikir dan tindakan yang tertutup berdasarkan hal
absolut tersebut – sistem yang secara sintetis menyisihkan perbedaan,
keraguan dan alternatif – untuk menggantikan keterbukaan moderen. Dengan
demikian, mereka memperbaharui dukungan dan jaminan keamanan, keyakinan
akan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran, dengan cara membuat
keyakinan ini bersifat mengikat bagi setiap orang dengan cara yang sama dan
meletakkan mereka di luar lingkup perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di
masa mendatang. Terakar dalam tawaran ini untuk individu dan kelompok yang
belum yakin adalah prasyarat dan motivasi psiko-sosial yang memungkinkan
dilakukannya instrumentalisasi politis perbedaan budaya agar dapat berhasil
dalam skala besar. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Jadi selalu terdapat dua sisi instrumentalisasi perbedaan
budaya untuk kepentingan politik: perhitungan pelaku instrumentalisasi dan
motivasi-motivasi mereka yang diinstrumentalisasikan, dimana keduanya harus
sesuai satu dengan yang lainnya.Pengimunisasian fondasi dari keraguan dilakukan
fundamentalisme moderen dalam bentuk-bentuk militannya sebagai legitimasi
intelektual, agama dan tuntutan politik terhadap kekuasaan, serta supremasi
terhadap mereka yang berbeda. Sistem iman tertutup dan tata aturan bentuk
seorang fundamentalis mencerminkan kembalinya absolut dalam politik hingga pada
keadaan dimana mereka merampas peranan publik dan mematikan kritik, semua
alternatif, keraguan dan dialog terbuka mengenai tuntutan diantara mereka yang
setara. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Apa yang umumnya terjadi selanjutnya adalah pengabaian
total (atau kadang-kadang dalam peradaban demokrasi yang telah berkembang hanya
secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan
prinsip mayoritas demokratis atas nama kebenaran absolut, kepada siapa para
fundamentalis percaya mereka memiliki komitmen penuh.Sebagai fenomena,
fundamentalisme telah ada sejak dimulainya modernisasi budaya sebagai impuls
penentangnya. Istilah itu sendiri muncul untuk pertama kali dalam kaitannya
dengan rangkaian publikasi dengan judul <em>“The Fundamentals” </em>antara 1910
dan 1915 di Amerika Serikat. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Rangkaian
ini juga memegang judul terpandang <em>“A Testimony to Truth”. </em>Pada tahun
1919 kaum Kristen Protestan yang mempublikasikan rangkaian ini mendirikan
sebuah organisasi sedunia yang bernama <em>“World’s Christian Fundamentals
Association”.</em> Dengan demikin, istilah “Fundamentalisme” menjadi semacam
keyakinan Kristen dengan dapat menempatkan diri untuk keperluan umum dan
akademik. Selanjutnya, istilah ini juga digunakan untuk merujuk kepada ideologi
dan gerakan lainya, awalnya dalam Katholikisme dan berikutnya dalam lingkungan
budaya lainya yang memiliki karakteristik yang sama.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ada</st1:city></st1:place> empat dasar yang memberikan karakter gerakan fundamentalis
awal yang memberikan nama pada fenomena ini: (1) Penggunaan tidak tepat atas
keseluruhan isi Alkitab. (2) Pernyataan bahwa semua teologi, agama, dan ilmu
pengetahuan adalah tidak berlaku, jika bertentangan dengan kata-kata dalam
alkitab. (3) Keyakinan bahwa siapa saja yang keluar dari teks Alkitab (sesuai
dengan interpretasi kaum fundamentalis) tidak dapat menjadi seorang Kristen
yang benar, walaupun dengan yakin menyatakan dirinya demikian, (4) Kemauan yang
pasti untuk membatalkan pemisahan moderen atas gereja dan negara, serta agama
dan politik demi kepentingan politik, dengan cara menginterpretasikan agama
sebagai jalan masing-masing, jika terdapat ketentuan hukum/politik dalam
masalah-masalah krusial yang bertentangan dengan etika masing-masing.Sebuah
perbandingan berbagai gerakan fundamentalis dan kerangka berpikir dalam
beberapa budaya yang sangat berbeda telah memperlihatkan bahwa walaupun
terdapat perbedaan isi dalam bentuk dan pendekatan, fundamentalisme dipimpin
oleh <em>“impuls ideal-typical”</em> yang sama di mana-mana. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Keanekaragaman
budaya dalam perwujudan impuls ideal-typical ini, variasi dalam kesamaan dalam
kelompok keluarga ini, menyebar ke semua peradaban di dunia dan dicontohkan
dengan baik oleh dua buah gerakan agama dan politik yang berbeda, masing-masing
fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat dan fundamentalisme Hindu di India.
Yang di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">India</st1:country-region></st1:place>
tertanam terutama dalam organisasi-organisasi budaya dari Vishwa Hindu Parishad
(VHP) dan Rashtriya Sewak Singh (RSS) maupun dalam partai politik Shiv Sena dan
Bharatiya Janata (BJP). <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Diantara
mereka berdua, varian fundamentalisme mencakup perbedaan yang cukup besar dalam
kerangka referensi agama, pada tingkat negara berkembang, tempat munculnya hal
ini, dan dalam budaya politiknya.Baik pengikut fundamentalis Hindu dan rekannya
Protestan menyatakan bahwa mereka adalah satu-satunya juru bicara yang paling
sah dari agama mereka masing-masing. Kedua-duanya membenarkan intervensi mereka
dalam politik dengan cara mengutuk hak-hak khusus dan konsensus budaya
mayoritas yang menurut mereka telah melenceng dari fondasi agama sebenarnya di
dalam budaya yang didasarkan pada agama, di mana agama dianggap berlaku abadi
pada masing-masing negara. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Gerakan
fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat menuntut haknya untuk menentang
keputusan mayoritas demokrasi dan keputusan pengadilan dalam hal legalisasi
aborsi dan larangan doa dalam sekolah. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Fundamentalis
Hindu menyatakan perlawanan yang serupa untuk pertama kalinya ketika terjadi
pembangunan kembali pura Hindu tua Ayodhya pada lokasi Mesjid abad ke-17 yang
harus dibongkar untuk tujuan tersebut. Pada saat yang sama mereka juga
mengumumkan maksud mereka untuk memulai gerakan-gerakan lebih lanjut dengan
tujuan yang sama.Dengan mengungkapkan sebuah hak istimewa yang lebih tinggi
yang didasarkan pada kebenaran agama, mereka membenarkan tuntutan agar etika
yang berlaku dalam kelompok mereka ditingkatkan menjadi suatu moralitas yang
mengikat dalam masalah-masalah utama dalam kehidupan normal. Mereka juga
menuntut agar dogma mereka dipaksakan dengan cara apapun, termasuk pelanggaran
hak-hak dasar orang lain dan pengecualian terhadap ketentuan pengambilan keputusan
demokratis, jika diperlukan. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Kedua
kelompok tersebut sama-sama berkeyakinan penuh bahwa mereka dapat menjaga
identitas mereka yang superior dan mengikat dalam masyarakat dengan cara
memastikan bahwa kebenaran agama yang tunggal diturunkan dengan cara yang tidak
bisa dipertanyakan. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Dalam
konteks ini, interpretasi lain dalam agama yang sama <em>atau weltanschauung
(Idiologi)</em> dalam negara masing-masing dianggap oleh kedua kelompok sebagai
hal yang menyesatkan.Jika tulisan Alkitab dianggap sakral oleh fundamentalis
Protestan di Amerika Serikat, sebaliknya kaum Hindu tidak memiliki teks
tertulis yang mengikat bagi semua, bahkan dogma yang dengan jelas disebutkan
bagi pengikutnya juga tidak ada. Dengan keadaan ini, fundamentalis Hindu tidak
berupaya untuk mensucikan teks atau mengeluarkan sebuah hukum Hindu untuk
keperluan itu. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Untuk
memilah antara kawan dengan lawan, pemeluk orthodoks dan yang bukan, mereka
kembali kepada kejadian-kejadian simbolik yang direkam oleh tradisi,
menginterpretasikannya secara dogmatis untuk melihat kejadian mana yang
melambangkan tindakan-tindakan masa sekarang.Fundamentalis protestan di Amerika
Serikat menggunakan produk-produk tercanggih teknologi komunikasi moderen,
mulai dari televisi swasta sampai pada <em>direct mailing</em> untuk dapat
menyebarkan pesan mereka. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
Fundamentalis
Hindu, di sisi lain, hingga kini tetap bertahan dengan cara komunikasi
pra-moderen seperti prosesi simbolik dari kampung ke kampung atau pertemuan
masa di desa dan <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">kota</st1:city></st1:place>,
semua cara ini adalah sangat efektif dalam konteks budaya kegiatan mereka.
Fundamentalis Protestan di Amerika Serikat dengan pendapat bersatu mempengaruhi
program-program dan seleksi kandidat-kandidat berbagai partai yang ada dengan
skala yang demikian besar, agar dapat mengambil bagian dalam kekuasaan politik,
tanpa berupaya sendiri untuk mendirikan sebuah partai. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Fundamentalis Hindu di India, disisi lain, memiliki dua
buah partai, masing masing Shiv Sena dan BJP. Kedua partai tersebut mendapatkan
kemenangan dalam masing-masing negara bagian, bahkan BJP di pusat melalui
kemenangan elektoral.Di kedua negara tersebut, kaum fundamentalis
mempertahan-kan klaimnya akan kepastian pendapatnya dan berhadapan dengan
kelompok-kelompok yang jumlahnya jauh lebih besar yang juga menginterpretasikan
agama dan tradisi budaya yang sama dengan cara liberal atau orthodoks dan
memiliki pandangan lain mengenai kehidupan bersama. Selain itu, klaim ini juga
harus dipertahankan terhadap kelompok-kelompok perwakilan agama lain. Di India,
upaya-upaya kaum fundamentalis terutama ditujukan kepada agama-agama lain; di
Amerika Serikat agama lain sebagian ditentang, sebagian diabaikan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Oleh karena itu fundamentalisme selalu merupakan bentuk
komunikasi yang <em>terdistorsi secara sistematis</em>. Komunikasi simetris,
yaitu dialog terbuka antara mitra yang sejajar dengan asumsi bahwa orang-orang
yang dianggap oleh peserta sebagai orang yang sama-sama bertanggung jawab
berupaya melakukan pertemuan antar pikiran dengan pandangan, kepentingan,
konsep, interpretasi tradisi, signifikansi teks, dan elemen dalam tradisi yang
berbeda-beda. Dalam hal demikian semua pihak menyetujui bahwa tidak ada
diantara mereka yang memiliki akses atas pengetahuan yang tidak dapat dibantah
karena mereka yang memiliki akses tersebut mempunyai kewenangan apriori untuk berbicara
atas nama yang lainya.Prinsip-prinsip dialog, hak azasi manusia dan demokrasi
di satu sisi sangat sesuai dengan berbagai tuntutan kebenaran yang berperilaku
dalam sebuah cara yang saling menunjang, tetapi di lain sisi tidak sesuai
dengan tuntutan kepastian yang disahkan oleh satu pihak atas nama pihak-pihak
lainya.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Fundamentalisme dapat berkembang menjadi <em>“totalitarisme”,
</em>tetapi hal ini tidak selalu terjadi pada setiap kasus. Fundamentalisme
lebih bersifat sebuah ideologi politik baru dalam zaman moderen yang menerima
dorongan saat terjadinya krisis. Seperti yang telah diperlihatkan dalam analisa
empiris komparatif, fundamentalisme tidak terdiri atas esensi aktual dari
peradaban dunia manapun melainkan sebuah gaya peradaban khusus, yang menginterpretasikan
tradisi khusus dari masing-masing peradaban yang bersaing dengan gaya lainya
dalam peradaban yang sama dan menjadikan ini semua dalam sebuah praktek khusus.
<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Berbicara mengenai penampilan manusia dan lingkungan
sosial yang ingin dibentuk, fundamentalisme adalah sebuah mania identitas
moderen yang harus merendahkan derajat, menundukkan atau mengusir
identitas-identitas lain yang ada di dalam diri manusia itu sendiri dan dalam
lingkungan hidupnya agar tercapai keyakinan akan identitas dirinya.</span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">C.6. Politik Identitas di
Indonesia<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pada masa pemerintahan Orde Baru dijalankan politik penyeragaman. Rakyat
tabu membicarakan suku, agama dan ras (SARA). </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pemerintahan Orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat
melalui bahasa dan etinisitas. Sepanjang masa berkuasanya pemerintahan Orde
baru, Negara berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi kepentingan
‘pembangunan nasonal’ (misalnya, demi mempromosikan pariwisata). Ruang bagi
perbedaan-perbedaan etnis dibolehkan asal tidak membahayakan ‘kepentingan
nasional’. Memang, ideology Negara Indonesia “ Bhinneka Tunggal Ika” secara
eksplisit mengakui perbedaan budaya dan peran perbedaan budaya ini menentukan
karakter bangsa Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang plural dan toleran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tetapi pada masa sekarang tampaknya Negara telah
kehilangan kendali atas proses-proses identitas budaya yang dulu pernah dicoba
untuk diseragamkan guna kepentingan-kepentingan pembangunan Negara. Sekarang
sejak jatuhnya pemerintahan Suharto, tampaknya diberbagai daerah urutan
prioritasnya sudah secara efektif dibalik. Sekarang, pemikiran-pemikiran
tentang pembangunan nasional dan modernisasi nasional telah digantikan dengan
konflik-konflik berbasis-etnis yang berkaitan dengan isu pembangunan yang tidak
merata dan marginalisasi masyarakat asli(adat).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Dampak terbesar dari
penyeragaman pada masa ORBA adalah hilangnya khasanah budaya dari suku-suku
yang minoritas. Sekarang semua suku akhirnya terjebak dalam konflik identitas.
Ini semua karena pemerintah dengan kebijakannya tadi akhirnya mempengaruhi
identitas dari setiap warga negaranya. Picard menjelaskan panjang lebar
cara-cara yang digunakan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mendomestikasi
identitas-identitas etnis demi mengakomodasikannya kedalam kerangka proses-proses pembangunan bangsa (1997:197). Pentadbiran
Indonesia sebenarnya melanjutkan cara-cara dari Kolonial Belanda dalam
membentuk identitas ini (Mauneti, 2004:27</span><span lang="SV">)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Keadaan politik di Indonesia secara umum saat ini masih sangat primordial.
</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Isu Politik masih berputar-putar sekitar etnik dan agama.
Bahkan partai politik pun didirikan atas dasar hal itu. Trend politik
berorientasikan demikian ini sangat mengkhawatirkan, terutamanya bagi
daerah yang terdiri dari pelbagai agama dan sukubangsa seperti Kalimantan Barat.
Sejarah membuktikan bahwa di banyak negara kekejaman demi kekejaman dilakukan
atas nama agama dan nasionalisme etnik. Irlandia Utara misalnya masih
berkecamuk dengan perang saudara antara Protestan dengan Katolik. Di India,
kelompok minoritas Islam yang berada ditengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu
terus-menerus mengalami ancaman jiwa harta benda. Begitu halnya yang saat ini
terjadi di Timur Tengah di tanah Palestina.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penggunaan symbol agama atau yang diistilahkan sebagai
political religion (Apter 1965:267) sangat berbahaya dan bisa menimbulkan
konflik yang serius dalam sistem politik sebuah Negara. Perpecahan yang terjadi
akibat konflik politik yang berdasarkan agama adalah lebih parah daripada
dengan perpecahan akibat factor lain. Hal ini dibuktikan oleh Richard Rose
dalam kajiannya pada pemilih-pemilih Kristen di Belgia (Rose dan Urwin
1969:26).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Indonesia adalah negeri dengan penduduk Islam terbesar di
dunia. Akan tetapi, sepanjang sejarah pemilihan umum di Indonesia – sejak tahun
1955, sampai di era Orde Baru sebanyak 6
kali, dan di era reformasi sebanyak 2
kali, tahun 1999 dan 2004, belum pernah partai-partai politik Islam sukses
memenangkannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Masyarakat Indonesia walaupun mayoritas muslim, tetapi ia
sangat majmuk daripada aspek suku, bangsa, agama, taraf hidup sosial dan
ekonomi, sikap politik, tingkat pendidikan, cara hidup desa-kota, dan
sebagainya. Selain itu, forganisasii sosial, serta aliran politik yang
berkembang masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme, dan mistik dari agama Hindu-Buddha
yang dianut oleh masyarakat sebelum datangnya Islam ke Indonesia. Berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2000 bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 30 Juni
2000 adalah 206.264.595 orang</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">. Daripada jumlah tersebut sebanyak 88 % beragama Islam –
yang berarti jumlah orang Islam di Indonesia pada 30 Juni 2000 sebanyak
181.512.843 orang. Selain itu, sekitar 59,19 % dari keseluruhan jumlah penduduk
Indonesia tersebut, tinggal di pulau Jawa atau 122.088.013 orang, selebihnya
tinggal di luar pulau jawa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Islam di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh corak Islam Jawa seperti yang dikatakan oleh
W. F. Wertheim<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></a> : “… the Islam as practiced in Indonesia
could in its early stages associate itself closely with the religious tradition
of the Hindu period, for the from in which it was introduced had already been
largely adapted to the mystical religious atmosphere of India”. Oleh karena
itu, kepercayaan Hindu-Buddha yang dianut oleh masyarakat sebelum datangnya
Islam, sulit dihapuskan terutama di kalangan masyarakat Jawa, walaupun mereka
sudah menganut Islam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Robert
Jay<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></a>,
proses Islamisasi di Jawa melalui dua pola. Pertama, di wilayah-wilayah di mana
pengaruh nilai-nilai agama Hindu-Buddha minimum, mempunyai kecenderungan untuk
merubah masyarakat Jawa menjadi kaum Muslim yang santri (ortodoks) seperti di
wilayah-wilayah perkotaan pesisir utara pulau Jawa, misalnya di Ngampel
(Surabaya), Bonang, Gresik, Demak, Tuban, Jepara dan Cirebon. Di
wilayah-wilayah itu, proses Islamisasi mengambil bentuk penetrasi secara damai
(<i>penetration pacifique</i>). Kedua, di
wilayah-wilayah di mana pengaruh peradaban Hindu-Buddha kuat, proses islamisasi
untuk sebagian besar dicirikan oleh perebutan pengikut di antara kedua tradisi
keagamaan yaitu Islam dengan ajaran <i>Tauhid-</i>nya
yang bersifat monoteistik berhadapan dengan kepercayaan Jawa yang masih
diwarnai oleh pengaruh nilai-nilai agama Hindu-Buddha yang bersifat animisme
dan mistik. Maka walaupun Islam berjaya melakukan perembesan (penetrasi)
melalui aktivitas dakwah, tetapi keutuhan idiologi dan cara hidup Jawa
tradisional tetap berhasil dipertahankan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Clifford Geertz
yang menyelidiki masyarakat Jawa di Mojokuto Jawa Timur, mendapati terbelahnya
masyarakat Islam- Jawa ke dalam 3 (tiga) golongan kebudayaan iaitu abangan,
santri dan priyayi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Geertz<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></a>
bahwa: Abangan mewakili satu penekanan kepada aspek-aspek animisme dari seluruh
sinkritisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan
penduduk; Santri mewakili satu penekanan kepada aspek-aspek Islam dari sinkritisme
di atas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang (juga unsur-unsur
tertentu dalam kelompok petani); Priyayi menekankan aspek-aspek Hindiusme yang
berkaitan dengan unsur birokrasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Akan tetapi,
beberapa penganalisis Indonesia, seperti Taufik Abdullah<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></a>,
Harsya W. Bachtiar<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[10]</span></span></span></a>,
Zamakhsyari Dhofier<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn11" name="_ftnref11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[11]</span></span></span></a>,
Bahtiar Effendy<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn12" name="_ftnref12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[12]</span></span></span></a>,
serta peneliti luar seperti Robert W. Hefner<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn13" name="_ftnref13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[13]</span></span></span></a>,
; dan Marshall Hudgson<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn14" name="_ftnref14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[14]</span></span></span></a>,
memberi kritik terhadap hasil penyelidikan Geertz. Mereka umumnya tidak setuju
varian yang dirumuskannya yang membelah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan.
Kendatipun begitu, hampir tidak ada yang membantah bahwa dalam masyarakat Jawa
terdapat golongan abangan dan santi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ketiga golongan
tersebut (santri, abangan dan priyayi), mulai mendapat perhatian pada saat
pilihan raya tahun 1955 untuk memilih anggota parlemen, dan anggota
konstituante. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ia menjadi rebutan pengaruh partai-partai politik yang
bersaing dalam kempen pilihan raya. Hasilnya memperlihatkan bahwa golongan
santri mengarahkan pilihan politiknya kepada partai-partai sekuler (nasionalis)
dan komunis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) atau Partai Komunis
Indonesia (PKI).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hasil pemilihan umum tahun 1955 memberi gambaran nyata
tentang peta politik di Indonesia. Partai-partai
Islam yang disokong golongan santri hanya memperoleh dukungan suara sebesar
43,5 %. Sedangkan partai-partai sekuler yang nasionalis dan partai komunis yang
didukung golongan abangan dan priyayi, memperoleh dukungan suara lebih besar
yaitu sekitar 52 %. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Adapun Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) memperoleh dukungan suara 2.5 %, sedangkan Partai Katolik 2.0 %.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam pemilihan umum tahun 1955, satu-satunya partai
Islam yang mendapat dukungan suara yang signifikan dari kalangan masyarakat
Jawa ialah partai NU terutama di Jawa Timur. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sedangkan partai Masyumi, mendapat dukungan suara yang besar daripada luar
Jawa. Oleh sebab, mayoritas masyarakat tidak menyokong partai-partai Islam,
maka jumlah perolehan suara mereka, baik di palemen ataupun di majelis
konstituante lebih kecil dibanding dengan kelompok nasionalis sekuler dan
komunis, sehingga partai-partai Islam gagal memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Setelah Indonesia memasuki era reformasi, dan
melaksanakan pilihan raya tahun 1999 secara demokratis, hasilnya tidak banyak
berbeza daripada hasil pilihan raya tahun 1955. Partai-partai Islam tetap
mengalami kekalahan dalam memperoleh dukungan suara dari pengsuara, bahkan
lebih teruk daripada sebelumnya. Pada pilihan raya tahun 1999, Partai-partai
Islam termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Abdurrahman
Wahid, dan mendapat sokongan daripada Nahdhatul Ulama, serta Partai Amanat
Nasional (PAN) yang dipimpin M. Amien Rais (Muhammadiyah) yang tidak secara
terbuka menyatakan sebagai partai Islam, keseluruhannya hanya memperoleh dukungan
suara sebesar 37,19 %, yang berarti dukungan yang diperoleh partai-partai Islam
turun sebesar 6,31 % dibandingkan dengan hasil pilihan raya tahun 1955.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Begitu juga dalam pilihan raya untuk memilih anggota
parlemen tahun 2004, partai-partai Islam
yang ikut bertarung hanya memperoleh suara
untuk DPR RI yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 8.15 %, Partai Bulan
Bintang (PBB) 2.62 %, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7.34 %, Partai Bintang
Reformasi (PBR) 2.44 %, dan Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PNUI) 0.79 %.
Dengan demikian, jumlah keseluruhan perolehan suara partai-partai politik Islam
dalam pilihan raya tahun 2004 adalah sebesar 21.4 %. Jika jumlah itu
ditambahkan dengan perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) 6.44 %, yang
tidak menyatakan diri sebagai partai Islam, tetapi basis dukungannya adalah
kaum muslim yaitu kaum Nahdiyin untuk PKB, dan Muhammadiyah untuk PAN, maka
jumlah perolehan suara hanya sebesar 38.41 %. Ini berarti terdapat peningkatan
jumlah perolehan suara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik
yang berbasis Islam sebesar 1.22 % daripada
hasil pilihan raya tahu 1999.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kendatipun begitu, perolehan partai-partai politik Islam
pada pilihan raya tahun 2004 dan partai-partai yang berbasis massa Islam, masih
di bawah perolehan suara partai-partai politik Islam pada pilihan raya tahun
1955 sebesar 5.09 %, karena pada tahun 1955, partai-partai politik Islam meraih
dukungan suara dari pengsuara 43.5 %. Dengan jumlah perolehan suara partai-partai
politik Islam dan dua partai politik yang berbasis massa Islam tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa mereka harus berkerja lebih keras lagi pada masa-masa
mendatang untuk meyakinkan pengsuara muslim bahwa mereka boleh membawa
perbaikan dan boleh menyelamatkan Indonesia, jika mereka diberi kepercayaan
oleh rakyat dalam pilihan raya berikutnya dan memerintah Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Keadaan semacam itu terjadi, antara lain karena
masyarakat Jawa yang merupakan mayoritas dari suku bangsa lainnya yang mencapai
47 % dari total penduduk Indonesia, terutama kaum abangan yang umumnya ”wong
cilik” yang hidup di akar rumput (<i>grassroot</i>),
dan sangat banyak jumlahnya tidak memberi sokongan pada partai-partai politik
Islam. Mereka lebih suka menyokong partai-partai politik sekuler seperti Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Sukarno Putri
(Presiden RI), atau Partai Golongan Karya (Golkar), yang dipimpin Akbar
Tandjung (Ketua DPR RI).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Entah sedar atau tidak, kebanyakan sarjana Erofah yang
membicara atau membahas tentang peranan agama dan hubungannya dengan politik
selalu menganggap dua bidang ini sebagai “dua daerah” yang terpisah secara
total (Roesenthal</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn15" name="_ftnref15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="FI" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[15]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">). Begitu juga halnya bila berbicara tentang kewujudan
nasionalisme di sebuah Negara. Mereka lebih cenderung mengatakan berbentuk
etnik atau kesukuan, tidak bersifat keagamaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebenarnya pendapat ini tidak tepat, karena di kebanyakan
negara Islam, agama adalah tenaga
pembangkit dan pengembang semangat kebangsaan. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Perkara ini
jelas di lihat di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>......”
In Indonesia Islam was force that promoted the rise and growth of Indonesian
nationalism” (Nasution<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn16" name="_ftnref16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[16]</span></span></span></a>
). Mengikutnya lagi di <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,
Islamlah :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">…..that created
in them consciousness of belonging to the same group. Islam was their rallying
point of identity. It was throught Islam that different etnich groups were
united into a large comprehensive community. Islam was able to break the power
of local nationalism (Nasution 1965:18).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tegasnya, nasionalisme di Indonesia dan Negara Islam lainnya bermula dengan
fenomena kebangkitan Islam. Begitu juga halnya dengan kemerdekaan. Bagi
pergerakan Islam, kemerdekaan bukan hanya bererti ”kemerdekaan negeri” tetapi
juga ”kemerdekaan kaum Muslimin” dan ”kemerdekaan Islam” (Noer<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn17" name="_ftnref17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[17]</span></span></span></a>
).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam pilihan raya tahun 1999 partai politik beridentitas
agama dan etnis memperolehi suara yang kecil. Perolehan suara itu memberi tanda
penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di peringkat kebangsaan,
kurang mendapat sokongan daripada masyarakat luas. Keadaan serupa juga
ditunjukan pada saat Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2000,
yang antaranya membahas tentang Amandemen UUD 1945. Pada masa itu, partai
politik berbasis agama (Islam), memperjuangkan formalisasi syariat Islam di
aras kebangsaan melalui pencantuman piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945.
Melalui tarik ulur dengan kumpulan nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berjaya
diwujudkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Meski menemui kegagalan di peringkat kebangsaan ,
keinginan untuk memperjuangkan syariat Islam yang di formalkan tidak sepenuhnya pudar. Mereka seakan
menemukan ruangnya lagi seiring dengan hadirnya politik desentralisasi dibawah
payung hukum akta No 20/1999. Situasi
ini memberi peluang baru bagi kalangan Islam fundamentalis untuk boleh
menunjukan ekspresi identitas (keagamaan dan etnisiti) melalui perebutan
ruang-ruang di tingkat lokal. Di Kabupaten Sambas issu ini cukup kuat.
Perjuangannya adalah berupa Peraturan
daerah (peraturan daerah) syariah.
Sampai sekarang peraturan daerah yang demikian sudah ada di 6 propinsi, 38
kabupaten dan 12 kota di seluruh Indonesia<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn18" name="_ftnref18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[18]</span></span></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Daripada pembincangan dengan politisi lokal (khususnya di
Sambas), ada sebilangan alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain
ialah (a) untuk mengembalikan identitas (”otensitas”) lokal yang
dihilangkan pada masa rezim Orde Baru,
(b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan
(dekadensi moral privat), (c) desakan anggota parlemen dan partai politik Islam
seperti PPP dan PBB, serta dari tokoh agama Islam, (d) memperolehi dukungan
dari khalayak publik tempatan dengan basis keagamaan .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bila di tarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi
akhir-akhir ini bukanlah hal yang baru, tetapi terkait dengan dinamika
kesejarahan Indonesia sejak awal berdiri sampai sekarang. Khususnya terkait
dengan perdebatan dalam perumusan konsep
kenegaraan Indonesia iaitu relasi antara
agama dengan negara yang belum selesai. Keinginan sebahagian pihak untuk mendirikan negara Islam pada masa
lampau (baik masa pasca kemerdekaan- BPUPKI tahun 1945, Sidang Istimewa MPRS
1968, dan Sidang Umum MPR 2000).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam bagian lain, kemunculan politik identitas juga
tidak boleh dilepaskan dari adanya intervensi globalisasi. Faktor ini tidak
boleh nisbikan perananya, terutama karena globalisasi menyediakan ruang
keterbukaan untuk saling berkomunikasi bagi tiga pihak iaitu komuniti global,
nation state, dan penduduk lokal. Dalam situasi sekarang dimana sedang terjadi
arena persaingan antar ideoologi dengan pelbagai warna, juga soalan ekonomi
dipelbagai aras, maka konstruksi identitas tidak kosong dari pengaruh satu sama
lain. Terkait dengan soal ini, maka politik identitas berbasis identitas agama
di komuniti lokal, juga boleh dipahami sebagai konsekuensi daripada persaingan
di aras global. Kehadirannya juga banyak di dukung oleh posisi negara yang
sedang lemah, baik dalam erti politik mahupun ekonomi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mengutip pernyataan Hanneman Samuel seterusnya, tentang
terjadinya penguatan Politik Identitas di Indonesia :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 81pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam<b> </b>satu
dekade terakhir ini, telah terlihat kemajuan dalam perlindungan identitas di
Indonesia. Indonesia kini telah memiliki UU Kependudukan. Status Khonghucu </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">juga sudah jelas. Imlek tidak perlu lagi dirayakan
sembunyi-sembunyi. Justeru yang kurang menggembirakan adalah adanya Kristalisasi politisasi identitas yang mengambil bentuk
pendirian partai politik. Selain itu
Juga melalui tekanan-tekanan dalam penyusunan rancangan peraturan nasional.
Bahkan banyak kabupaten kini telah memiliki Peraturan daerah Syari’ah. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Satu kota di Papua berusaha dijadikan sebagai
“Kota Injil”.</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kita tidak tahu apakah politisasi identitas merupakan tujuan atau cara.
Kehebohan pada pengesahan Rancangan akta ( RUU) Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) memberi kesan penajaman politisasi identitas. Namun, yang terjadi
justru legalisasi masuknya prinsip neoliberalisme dalam dunia pendidikan. UU
SISDIKNAS bukan politisasi identitas. Soal campur tangan negara dalam
pengajaran agama di sekolah lebih merupakan isu sesaat. Masih banyak kes yang
boleh kita catat. Perayaan Imlek diperebutkan. Keberadaan tempat ibadah
dipermasalahkan. Bahkan ada yang sampai dirosak. Secara sosiologis, semua itu
merupakan hal yang menarik. Kita telah menyaksikan muncul dan berkembangnya
gerakan-gerakan radikalisme pada masa Perang Dingin. Kini, tampaknya kita
tengah menyaksikan munculnya neo radikalisme. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Isue yang diangkat bukan lagi persoalan ketimpangan buruh
dan majikan. Tetapi, perjuangan atas nama identitas kultural. Khususnya yang
berhubung kait dengan S-A-R-A (Etnik, Agama, Ras, Antar kumpulan).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Walaupun kebanyakan tokoh-tokoh sains sosial meletakkan
factor perbezaan ekonomi dan etnik sebagai punca utama berlakunya konflik
politik, namun faktor lain seperti perbezaan agama juga tidak boleh
diketepikan. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam
hal ini, penulis bersetuju dengan pendapat Alan R Ball<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn19" name="_ftnref19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[19]</span></span></span></a>
bahwa : “ Religious diversity may replace race and social class as the chief
basis for political conflict .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Gerakan lain yang juga menguat di era globaliasi ini ádalah
fundamentalisme. Pelbagai kumpulan muncul untuk memperjuangkan apa yang disebut
pendukungnya– sebagai “pemurnian budaya”. Mereka memandang orang-orang di luar
kumpulan mereka sebagai pihak yang keliru. Merekalah yang menganggap diri
paling benar dalam menafsirkan ajaran. Dalam kaitan dengan Muslim, hal ini
berujung pada pembezaan di antara “Islam textual” dan “Islam Kontekstual”. </span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Yang</span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">satu mempoisisikan diri vis-à-vis yang lain.
Yang mengalami</span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">kerugian,
bukan hanya Muslim. </span><span lang="PT-BR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tetapi juga
orang Indonesia</span><span lang="PT-BR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="PT-BR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">pada amnya.</span><span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tidak ada satu orang pun yang mengharap tahun 2009 dan</span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">seterusnya
merupakan tahun yang buruk. Namun, sulit</span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">rasanya untuk menolak kenyataan bahwa tahun
2009 – 2010</span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FR" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">boleh
jadi merupakan masa-masa kritis bagi orang Indonesia.</span><span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Dan penulis tidak akan terkejut bila penajaman
politisasi identitas akan terjadi. Pilkada tengah terjadi di pelbagai belahan
Nusantara. Isue Putra Daerah menguat di pelbagai kawasan. Hal ini sungguh
menyedihkan. Di era globalisasi ini kita justru mengembangkannya. Tidak ada
jaminan pula bahwa pilihan raya yang akan kita laksanakan pasti terbebas dari
pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. Hal ini tentunya merupakan
tantangan bagi orang Indonesia . Bukan untuk menjadikan kita ketakutan atau
paranoid. Yang diperlukan, kelenturan dalam kehidupan sehari-hari. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kecenderungan politik berorientasikan agama ini amat
membimbangkan, terutamanya bagi negeri yang terdiri daripada pelbagai agama
seperti Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa di banyak negara kekejaman demi
kekejaman dilakukan atas nama agama. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ireland
Utara misalnya masih berkecamuk dengan perang saudara antara Protestan dengan
Katolik. Di India, kelompok minoriti Islam yang berada ditengah-tengah
masyarakat mayoritas Hindu terus-menerus mengalami ancaman jiwa harta benda.
Begitu halnya yang hari ini terjadi di Timur Tengah di tanah Palestin.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sampai hari ini,
konflik politik akibat daripada perbezan agama tidak banyak ditulis oleh
anggota sosiologi mahupun anggota sains politik. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Antara anggota sosiologi yang
menyentuh permasalahan ini ialah Talcot Parsons dalam eseinya, “ Racial and
Religious Differences as Factors in Group Tension (Parson<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn20" name="_ftnref20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[20]</span></span></span></a>
). Parson memandang konflik sebagai “ disfunction and disruptive and to
disregard its positive fungtions. Conflict appears as partly social”. Baginya,
konflik ini adalah “endemic” seperti “penyakit” dan “a sick society” ini harus
dirawat oleh pakar propaganda (Parson<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftn21" name="_ftnref21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[21]</span></span></span></a>
).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: list .5in; text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">C.7.
Politik </span></b><b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">I</span></b><b><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dentitas di Kalimantan Barat<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalimantan Barat
merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan Melayu. Tragedi pembunuhan
massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya
manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa
awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk
menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil
memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka
mendirikan partai politik (Partai Persatuan Dayak) dan menang dalam pemilu 1955
dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai
kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya
menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya.
Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang
dulu mereka anggap sebagai penjajahnya. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa
Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai
ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik.
Sedangkan Madura dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan
usaha sendiri dalam bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan.
Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar</span><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">-</span><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">negeri
Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan
pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari
Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal. Peralihan Orde Lama ke
Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya
kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus
kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang relatif beruntung adalah
Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil
kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara
politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga
pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya
dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer
Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Orde Baru adalah masa “kuliah Politik Identitas” bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka
berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan
antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen,
penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai
Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi
sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa
belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan
berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan,
dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk
mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara
tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan
adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya
memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini.
Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang
kemudian membuat Dayak semakin asertif dan percaya dalam memperjuangkan
kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural.
Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat.
Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini
memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk
asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah
saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya.
Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan
hukum adat Melayu. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi
inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan
Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran
Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka
seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah
kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil
menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka
relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai
jabatan gubernur pada akhir 2002. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi
Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang
lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan
lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsai dan liong.
Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke
bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai
politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota
DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining
tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan
memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan
konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina
juga berhasil menjadi bupati di Sanggau. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan
dalam politik. Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih
sebagai anggota DPRD tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai
Golkar yang berkuasa atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam,
dan/atau NU atau PKB pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik
secara berurutan dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha
mendekatkan diri secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada
hukum adat, sedangkan secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai
nasional dan Islam yang umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja
tidak sepenuhnya dapat menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang
harus terpaksa menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu. <o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Oooo00000oooooo<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Analisis dan Refleksi Realitas Sosial <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 14pt;">Politik Identitas dalam Perang Libanon- Israel<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konsep multikulturalisme yang lebih mementingkan
identitas kelompok di atas identitas bersama menjadi ancaman serius bagi masa
depan demokrasi. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bukan hanya di Libanon tapi juga
kemungkinan ini akan dihadapi oleh setiap negara yang menerapkan sistem
demokrasi, tidak terkecuali <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">“Konflik
Libanon-Israel yang terjadi sejak 2006
bukan hanya persoalan perang antara milisi Hizbullah dengan Israel,
tetapi juga ada persoalan politik identitas kelompok pada masyarakat Libanon.
Inilah yang menyebabkan terjadinya <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">baku</st1:city></st1:place>
hantam di negeri seribu bidadari ini.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Demikian
pernyataan kritis M. Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal, saat menjadi
pembicara pada Seminar Nasional dengan tema “Membincang Kekerasan Sosial dan
Politik Identitas di Indonesia,” yang diselenggarakan Jaringan Islam Liberal
(JIL) bekerja sama dengan Yayasan Tifa, dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci),
Minggu, (30/7) di Aula Formaci Lt. 1, Ciputat Tangerang. Hadir pula sebagai
pembicara Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Andi Faisal Bakti, PhD. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Persoalan
politik identitas yang dimaksud, lanjut <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Guntur</st1:city></st1:place>,
dapat disaksikan dari munculnya berbagai kelompok sosial yang berbasis
kultural, agama atau partai di Libanon. “Komunitas Kristen, misalnya,
terpolarisasi pada kelompok Maranit, Ortodoks dan Katolik. Sementara di
komunitas Islam atau Arab muncul kelompok Sunni, Syiah, Duruz, dan <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Armenia</st1:country-region></st1:place>.”
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sepanjang
sejarah, sebelum kemerdekaan Libanon pada 1963, telah terjadi pula pertikaian
antara kelompok Maranit dengan Duruz. Konflik tersebut telah memancing campur
tangan asing. Maranit yang Kristen didukung oleh negara-negara Eropa, terutama
Prancis. Sementara Durus, kendati bukan Islam, tapi memiliki hubungan dekat
dengan kebudayaan dengan Arab, mendapat dukungan dari Dinasti Ottoman di Turki.
“Pada kasus tersebut, identitas kelompok saling berhadapan. Keduanya
mementingkan identitas kelompoknya masing-masing, selain ada campur tangan
kekuatan asing. Itulah yang terjadi hingga tahun-tahun selanjutnya,” ungkap <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Guntur</st1:city></st1:place>. Bahkan konflik
yang terjadi sekarang, menurut <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Guntur</st1:city></st1:place>,
juga tidak lebih dari sebuah pengulangan sejarah perang Libanon beberapa tahun
silam. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<st1:city w:st="on"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Guntur</span></st1:city><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">
menilai, konflik di Libanon semakin diperparah dengan terjadinya konflik negara
afiliasi Syiah Amal, yaitu Syuriah dengan negara <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Iran</st1:country-region></st1:place> yang telah membentuk Hizbullah.
Hingga akhirnya pada tahun 1989 pertikaian itu bisa diredam dengan bantuan Arab
Saudi melalui kesepakatan Thaif yang berisi keharusan ada perimbangan
kekuasaan. Di Libanon di kenal ada tiga presiden atau tiga pemimpin, yakni
presiden dari Kristen Maranit, yang sekarang dipegang Emile Lahud, ketua DPR
dari Syiah Amal, yang dipegang Nabih Berri, dan Perdana Mentri dari Sunni, Fuad
Sainora, orang dekat Rafiq al-Hariri yang telah mati terbunuh. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">“Sekalipun ada perimbangan kekuasaan, tapi tetap saja
masih mencerminkan identitas kelompoknya masing-masing. Itulah yang dapat
membahayakan Libanon dari perpecahan. “Karenanya Libanon tidak bisa menjadi
negara yang kuat dan berdaulat,” tegas Guntur. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut mahasiswa yang pernah menempuh studinya di
Universitas Al Azhar Cairo ini, konflik yang terjadi di Libanon saat ini kurang
lebih juga karena pertarungan identitas-identitas kelompok yang diperparah
dengan campur tangan kekuatan asing. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ancaman Demokrasi</span></b><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Fakta menguatnya sejumlah identitas kelompok di Libanon dan
diusungnya gagasan multikulturalisme di sisi lain juga menarik perhatian
aktivis Jaringan Islam Liberal ini. “Multikulturalisme yang kerapkali dianggap
lahir sebagai sebuah jawaban atas keragaman sebuah identitas kultural kelompok,
ternyata dalam kenyataan masih menyisakan permasalahan”, ucapnya. “Betapa
tidak!” “Pendekatan multikultural terhadap keragaman identitas kelompok, etnis,
budaya dan adat pada saat ini memicu lahirnya sentimen identitas kelompok
tertentu”, tandas Guntur seraya mengutip tesisnya Francis Fukuyama. Karena
tidak jarang sentimen-sentimen kelompok tertentu itu harus berbenturan dengan
sentimen kelompok lainnya yang ada di masyarakat. Kendati dalam bingkai
demokrasi, benturan identitas kelompok yang berpotensi satu mengancaman lainnya
tidak dapat dihindarkan, seperti yang terjadi di Libanon. Padahal sistem
demokrasi sudah dilaksanakan, yaitu melalui pelaksanaan pemilu dalam suksesi
kepemimpinan (demokrasi prosedural). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">“Konsep multikulturalisme yang lebih mementingkan
identitas kelompok di atas identitas bersama menjadi ancaman serius bagi masa
depan demokrasi. Bukan hanya di Libanon tapi juga kemungkinan ini akan dihadapi
oleh setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali
Indonesia”, tegasnya. Masa depan demokrasi Indonesia dewasa ini tengah
menghadapi ujian serius. Sejumlah kelompok masyarakat yang memiliki sentiment
etnis, budaya, partai ataupun agama belakangan ini ramai bermunculan, seperti
FBR, FPI, PKS dan HTI. Dalam diskursus demokrasi kerap kali mereka terlibat
benturan identitas dengan komunitas lainnya, bahkan tidak jarang terjadi
ancaman dan kekerasan. Hal itu telah dibuktikan oleh kasus RUU APP yang terjadi
di DPR beberapa bulan lalu. Proses pembahasan RUU ini menurut Guntur telah
didominasi oleh tafsir kelompok dengan identitas tertentu. “Bagaimana identitas
kelompok tertentu bisa mengangkangi pemahaman tentang moralitas, definisi
pornografi, dan erotisme di atas pemahaman kelompok lain?”, tanyanya gemas.
“Jelas, ini mengganggu masa depan demokrasi dan sistem politik di Indonesia.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Demokrasi di Indonesia, jelas Guntur dengan kembali
mengutip tesis Fukuyama, masih mementingkan kebebasan kelompok dari pada
kebebasan individu. Demokrasi memang mengakui keragaman identitas kelompok.
Hanya saja, ternyata tidak jarang orang-orang itu terjebak pada sikap
mengedepankan kepentingan kelompok mayoritas dan mengabaikan kepentingan serta
kebebasan individu. FPI, misalnya, dengan sejumlah identitas kelompoknya
kerapkali menyuarakan kekerasan sekaligus melakukan kekerasan atas individu
atau kelompok lain. Dalam tindakannya mereka bisa saja mengatakan bahwa apa
yang dilakukannya dijamin oleh klaim kebebasan berserikat dan berkumpul dalam
sistem demokrasi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Demokrasi yang menjamin prinsip kebebasan dan
multikulturalisme pada konteks ini mengandung cacat sejarah. Alih-alih
demokrasi memberikan kebebasan yang luas bagi masyarakat, justru semakin
mempersubur tumbuhnya fanatisme berdasarkan kelompok. Tumbuh suburnya identitas
sejumlah kelompok itu berujung pada semakin menguatnya sentimen komunal yang
mengancam keberadaan komunitas lain. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sementara itu, Andi Faisal Bakti menambahkan bahwa
menguatnya sentimen kelompok itu tidak jarang juga menimbulkan aksi kekerasan
yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Doktor Ilmu
Komunikasi itu, dalam penjelasnnya, berusaha memetakan kekerasan kelompok yang
terjadi di Indonesia sebelum merdeka. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Andi, modal keragaman identitas, baik suku
bangsa, budaya, dan agama yang dimiliki masyarakat Indonesia dalam sejarahnya
senantiasa mengalami bermacam respon dari pemerintah. Mulai dari masa
pemerintahan Soekarno hingga Soharto keragaman itu dipersatukan dalam satu
kesatuan bangsa Indonesia. Berbagai tingkat sosio-kultural bercampur menjadi
satu dalam identitas Bhineka Tunggal Ika. “Hanya saja, dalam perjalanan
sejarahnya kita seringkali lebih mementingkan ke-Ikaannya, sentimen kepentingan
individu atau kelompok, daripada kebhinekaanya,” tuturnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Karena lebih mementingkan individu itu, lanjut Andi, di
antara masyarakat sendiri sering terlibat aksi kekerasan. Hingga sekarang,
meningkatnya kekerasan yang dilakukan baik oleh organisasi sosial berbasis
kultural, seperti FBR maupun agama, seperti FPI semakin memperjelas terjadinya
kristalisasi sentimen identitas kelompok. Untuk mengatasinya, Andi menyarankan
agar setiap kelompok yang ada di masyarakat melakukan langkah strategis melalui
negosiasi antara kedua belah pihak.[] <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><a href="http://islamlib.com/id/c/diskusi/"><span lang="FI">Diskusi</span></a></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> <u><span lang="FI" style="color: blue;"><o:p></o:p></span></u></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menyoal konflik Libanon-Israel yang terjadi di negeri
seribu bidadari itu, membuat kita mengerutkan dahi bila kita mencari asal
muasalnya terjadi peperangan. Bila dulu perseteruan kedua kelompok bermula dari
pesan suci dari Tuhan guna menyebarkan luaskan risalahnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kini, tesis ini dibantah oleh M Guntur Romli, Ia
menjelaskan “Konflik Libanon-Israel yang terjadi sejak satu bulan terakhir ini
bukan hanya persoalan perang antara milisi Hizbullah dengan Israel, tetapi juga
ada persoalan politik identitas kelompok pada masyarakat Libanon. Inilah yang
menyebabkan terjadinya baku hantam di negeri seribu bidadari ini.” <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Demikian demikian, permasalahan politik identitas menjadi
pemicu akut dan pelik dalam menentukan eksistensi kelompoknya. Apalagi dengan
adanya pendekatan mutakhir multikultarlisme. Sunguh lengkap sudah bentrokan
antar golongan tersebut. Seolah-olah metode itu, memberikan peluang sekaligus
melegalkan masyarakat guna terjadinya peperangan antar golongan. Bahkan
terkesan melanggengkan budaya barbar. Artinya, bila segala sesuatu sudah
terhinggapi penyakit ekslusif, maka kemudian akan melahirkan sikap dan sifat
superior. Ujung-ujungnya mereka akan mempunyai anggapan bahwa klannya saja yang
paling benar. Sedangkan di luar kelompoknya tidak. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Meskipun, pada mulanya cara pandang tersebut, diharapkan
bisa menghormati keragaman dan mengarifi segala permaslahan. Namun, pada
kenyataanya berkata lain. Justru dengan munculnya kaca mata itu, malah
memperkeruh susana yang sedang gaduh. Hingga, pertikaian antar kedua kelompok
pun tak terelakan lagi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pendek kata, buah simalakama dalam pertikaian saudara di
Libanon-Israel itu bernama politik identitas. <o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">(Sumber</span><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">Mustafa, </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> <a href="http://islamlib.com/id/artikel/politik-identitas-dalam-perang-libanon-israel/">http://islamlib.com/id/artikel/politik-identitas-dalam-perang-libanon-israel/</a>)</span><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<b>BACAAN LANJUT<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Anyang</span></st1:city></st1:place><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, Thambun YC. 1998, Kebudayaan dan
Perubahan Daya Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Gramedia, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Barker, Chris. 1999. <i>Cultural
Studies</i>, Teori dan Praktek, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jogjakarta</st1:place></st1:city>:
PT Bentang Pustaka.<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Budiardjo, Miriam. 2000. <i>Dasar-Dasar Ilmu Politik<b>,</b></i> <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Burhanuddin. 1988<i>.
Streotipe Enik Asimilasi,integrasi Sosial</i>,Yayasan Ilmu-Ilmu sosial, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: Pustaka Grafika.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="SV">Coomans,
Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoEndnoteText" style="margin-left: 42.0pt; tab-stops: 0in; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="IN">Davidson, Jamie S. 2003. politik primitif : pasang
surut partai persatuan dayak di
Kalimantan Barat, Indonesia, Diterjemahkan dari “Primitive” Politics:
The Rise and Fall of Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia, Asia
Research Institute Working Paper Series No. 9. </span>August 2003. <a href="http://www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm"><span style="font-size: 12pt;">www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm</span></a>.
<span style="font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005. <i>Pendidikan Multikultur</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: CV Karya Agung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="SV">Duman, J.1975. Dalam
J.U.Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Kebiasaan di Kalimantan Barat,
Jakarta: Bumi Restu.</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Duverger, Maurice. 2002. <i>Sosiologi Politik</i>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>:
PT. RajaGrafindo <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Fukuyama, Francis. 2006. <i>Guncangan Besar- Kodrat manusia dan Tata
Sosial Baru</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
PT Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Giring. 2004. <i>Madura
di Mata Dayak</i>, Jogyakarta: Galang
Press<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Greif, Stuart W. 1991. <i>WNI Problematik Orang <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region>
Asal Cina</i>,Penerjemah Dahana A, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>:
Grafiti.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hasanudin, dkk , 2000.
Pontianak 1771-1900, Statu Tinjauan Sejarah Social Ekonomi, Romeo Grafika,
Pontianak.</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hidayat, ZM. 1984. <i>Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Bandung</st1:place></st1:city>: Tarsito.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Husodo, Soswono Judo. 1985. Warga Baru (<i>Kasus Cina di Indonesia</i>), <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Yayasan Padamu
Negeri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Imron, D Zamawi. 2005. <i>Kearifan dari sastra lisan Madura, Bunga rampai buku berpikir positif
suku-suku bangsa</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Kleden, Ignas. 2004. <i>Masyarakat
dan Negara sebuah persoalan</i>,
Magelang, Indonesiatera<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Koentjaranigrat. 2000. <i>Kebudayaan mentalitas dan pembangunan</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Koentjaranigrat. 2002. <i>Manusia dan Kebudayaan di Indonesia</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>: djambatan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Liliweri, Alo. 2001. <i>Gatra Gatra Komunikasi Antarbudaya</i>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jogjakarta</st1:city></st1:place>:
Pustaka Pelajar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Liliweri, Alo. 2003. <i>Dasar-dasar
komunikasi antar budaya</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jogjakarta</st1:place></st1:city>:
Pustaka pelajar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mulyana, Dedy dan Jalaludin
Rakhmat (pnyt.). </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">2001. <i>Komunikasi
Antar Budaya</i>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Bandung</st1:city></st1:place>: PT Remaja Rosdakarya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Maunati, Yekti, 2004, Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan, LkiS, <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ning, Hasyim. 1991. <i>Masalah Rasionalisme Yang Sebenarnya</i>: Dalam Nonpri di Mata Pribumi, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: Yayasan Tunas Bangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Nieuwenhuis, Anton (terjemahan Bernard Sellato).
1994. <i>Di Pedalaman Borneo, perjalanan
dari <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Pontianak</st1:place></st1:city>
ke Samarinda. </i>1894, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
PT Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Purwana, Bambang Hendarta Suta. 2003. <i>Konflik Antarkomunitas Etnis Di Sambas
1999: Suatu Tinjauan Sosial Budaya<b>,</b></i>
<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Pontianak</st1:place></st1:city>:
Romeo Grafika.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Poerwanto, Hari. 2005. <i>Orang Cina Khek dari Singkawang</i>,
Komunitas Bambu, Depok.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z Rubin.
2004. <i>Teori Konflik Sosial</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jogjakarta</st1:place></st1:city>: Pustaka
Pelajar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Saifuddin,
Achmad Fediyani, 2005. Antropologi Kontemporer, Suatu pengantar Kritis Mengenai
Paradigma, Prenada Media, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Siahaan, Herlem. 1989. <i>Pembauran di Kalimantan Barat prospek dan
perspektif sejarahny</i>a, Dalam buku Interaksi antar suku bangsa dalam
masyarakat majemuk, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
Depdikbud.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sulhan, Muhamad, 2006, Dayak yang Menang <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region> yang <st1:city w:st="on">Malang</st1:city>,
Fisipol UGM, <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Suni, Bakran, et
all, 2007, Sejarah Melayu Sambas,
Universitas Tanjungpura, Pontianak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Suseno, Franz Magnis. 1988. <i>Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern<b>,</b></i> <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
Gramedia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Surata, Agus,
Tuhana Taufig Andrianto. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">2001. <i>Atasi Konflik Etnis<b>,</b></i> <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jogjakarta</st1:place></st1:city>:
Global Pustaka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Suparlan, Parsudi. 1984. <i>Interaksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi Di Indonesia</i>, Dirjen<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Sudagung, Hendro Suroyo. 2001. <i>Mengurai pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan
Barat</i>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>, ISAI<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Warnaen, Suwarsih. 2002. <i>Stereotip Etnis Dalam Masayarakat Multietnis</i>,
<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jogjakarta</st1:place></st1:city>:
Matabangsa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Wiyata, A latief. 2002. <i>Eksplorasi Unsur-Unsur Primordial Madura
sebagai modal Budaya Untuk Rekonsiliasi Pasca Konflik Etnik di <st1:place w:st="on">Kalimantan</st1:place> Barat,</i> makalah, Bengkulu, Forum Rektor.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Yusriadi, Hermansyah, Dedy Ari Asfar
(Editor), 2005. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN Press, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Pontianak</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Yusriadi & Fahmi Ichwan (editor),
2007. Dayak Islam di Kalimantan Barat, STAIN Press, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Pontianak</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></span></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></a>
Dikutip dari Alan C Isaak, Scope and methods of political inquiry (1975, 18).</div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></a><span lang="SV"> Istilah yang digunakan oleh pakar politik
David Easton dalam penjelasannya tentang sistem politik. Lihat David Easton, A
Framework for political Analysis (1965), bab 4 : 47-57.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></a><span lang="SV"> Adanya hak penguasa politik untuk
menggunakan kekerasan fisik dikemukakan oleh Max Weber yang kemudian banyak
digunakan oleh ilmuan sosial. </span>Lihat aplikasinya untuk sain politik dalam
Gabriel Almon, “ introduction” dalam The Politic of the Developing Areas,
Gabriel A Almond dan James S. Coleman, editor ( 1975: 6-7).</div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></a>
dalam artikelnya “ethnic Identity, National Identity and Intergroup Conflict:
The Significance of Personal Experiences” (Ashmore, Jussim, Wilder (eds.), <i>Sicial Identity Intergroup Conflict, and
Conflict Reduction</i>, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Oxford</st1:city></st1:place>:
Oxford University Press,</div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></a> <span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Biro Pusat Statistik, Hasil Banci tahun 2000, BPS,
Jakarta, halaman 7. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Lihat
juga Leo Suryadinata dalam bukunya “ Elections and Politics in <st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region>”, ISEAS, <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Singapore</st1:country-region></st1:place>, 2002, halaman 2. Ia
menyebutkan bahawa : <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>
is a multi-religious state. There are six major religions, Muslims form the
largest group (87,5 %), followed by Christians/Catholics (7,4%), Hindu-Bali
(2,0 %), Buddhists (0,9 %) and Confucians (0,8 %).</span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> W.F. Wertheim, Indonesian
Society in Transition a Study of Social Change, Greenwoods Press, <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">Connecticut</st1:state></st1:place>, 1980:199.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Robert Jay, Religion and
Politicts in Rural <st1:place w:st="on">Central Java</st1:place>, 1963: 101-102<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Clifford Geertz, The Religion of
Java, The Free Press of <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Gleneoe</st1:city>,
<st1:state w:st="on">Illinois</st1:state></st1:place>, 1960:5<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Lihat Taufik Abdullah, Abangan,
Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, 1981:550<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn10">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[10]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Lihat Harsya W. Bachtiar, The
Religion of Java : A Comentary, Majalah lmu sastera <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, Vol. 5, 1973:65-115.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn11">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[11]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Lihat Zamakhasyari Dhofier,
Santri abangan dalam kehidupan orang
Jawa, Prisma No.5, 1978:48-63.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn12">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[12]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 1998:39<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn13">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[13]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Robert W. Hefner, Islamizing
Java? : Religion and Politics in Rural <st1:place w:st="on">East Java</st1:place>,
Journal of Asian Studies, Vol 46, No.3 August 1987 : 533-554.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn14">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[14]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Lihat Marshall Hudgson, The Venture of Islam : Conscience and History
in a World Civilization, Vol II, The <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype> of <st1:placename w:st="on">Chicago</st1:placename>
Press, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Chicago</st1:city></st1:place>,
1974: 551.</span></div>
</div>
<div id="ftn15">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[15]</span></span></span></a>
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Rosenthal. E.I.J. 1965:26.
Islam in the modern national state. The <st1:place w:st="on"><st1:placename w:st="on">Cambridge</st1:placename> <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype></st1:place>
Press. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">London</st1:city></st1:place></span></div>
</div>
<div id="ftn16">
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[16]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"> Nasution, H.
1965:180. The Islamic States In <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,
Tesis MA. Mc Gill University<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn17">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[17]</span></span></span></span></a>
Noer, Deliar. 1973:260. The modernist Muslim movement in <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> 1900-1942. <st1:place w:st="on"><st1:placename w:st="on">Oxpord</st1:placename> <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype></st1:place>
Press. Oxpord.<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn18">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[18]</span></span></span></span></a><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">
Lihat Hanneman Samuel, Dosen Sosiolgi
Universitas Indonesia,2008, Majalah Online Suara Baru.
</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">(Januari-Pebruari
2008, halaman 26)</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn19">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[19]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Alan R, Ball, 1983:23. Modern politics and government. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">London</st1:city></st1:place> : English Language Society<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn20">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[20]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Parsons, Talcott. 1949. Essays
in sociological theory pure and applied. The Free Press. Glencoe.</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn21">
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12pt; text-align: justify;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-5...doc#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[21]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;"> Parsons, Talcott dan Shi’ls, Edward. 1952.
Toward a general theory of action. <st1:place w:st="on"><st1:placename w:st="on">Haword</st1:placename>
<st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype></st1:place> Press. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Cambridge</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-50671399726484423182012-03-05T20:01:00.000-08:002012-03-05T23:26:19.723-08:00BAB VI MEMAHAMI KONFLIK<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhadJJj1nK5uivtwUvvBX60XfwkpOrBgdcnPexU_aHFwOu7rFlvexzyVMQZMTrWSBs1FSMSEUNjrPxMGN_wUlPmEtH4BQSzxBLsh7h78hZuEHapl-jjoliScouotgC-XCr_9L43rbl1ZFU/s1600/kerusuhan_sampit.gif.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="244" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhadJJj1nK5uivtwUvvBX60XfwkpOrBgdcnPexU_aHFwOu7rFlvexzyVMQZMTrWSBs1FSMSEUNjrPxMGN_wUlPmEtH4BQSzxBLsh7h78hZuEHapl-jjoliScouotgC-XCr_9L43rbl1ZFU/s320/kerusuhan_sampit.gif.png" width="320" /></a></div>
<br />
<div align="center" class="MsoNormalCxSpFirst" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="line-height: 17px;"><b><br /></b></span></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-collapse: collapse; border: none; margin-left: -.05in; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 480;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 81.0pt;" valign="top" width="108"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tujuan :<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 365.4pt;" valign="top" width="487"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Mengajak mahasiswa untuk memahami konflik dalam masyarakat melalui
kegiatan pemahaman konsep, mengasah kompetensi, analisis dan refleksi
realitas sosial, praktik belajar sosial, serta bacaan lanjut.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 81.0pt;" valign="top" width="108"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kata Kunci :<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 365.4pt;" valign="top" width="487"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konflik; Etnis; Perspektif; Resolusi; Transformasi<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">A. PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kalimantan Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia
dalam perkembangan sejarah tata kehidupan masyarakatnya yang majemuk <i>(plural)</i>
telah mengalami beberapa kasus konflik antar kelompok masyarakat. Namun
ironisnya bahwa kasus konflik tersebut selalu mengarah pada bentuk-bentuk
konflik terbuka bernuansa etnis. Tidak ditemukan data pasti tentang sejarah
konflik di Kalimantan Barat, mengingat banyaknya perbedaan cara pandang dan
perspektif terhadap konflik itu sendiri.. Selanjutnya secara terus menerus
kasus-kasus konflik selalu terindentifikasi dalam kategori kasus-kasus konflik
antar kelompok etnis yang disertai dengan kasus-kasus kekerasan sosial secara
kolektif.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Dalam perjalanannya, Kalimantan Barat setidaknya
pernah mencatat 3 (tiga) kali kasus konflik terbuka (<i>manifest conflict</i>)
yang cukup memberikan dampak besar pada munculnya trauma-trauma sosial dalam
kehidupan masyarakat, baik dilihat dari segi kualitas dan lamanya pertikaian
serta dilihat dalam kuantitas jumlah korban jiwa, rusaknya bangunan fisik dan
harta benda lainnya serta turut menyisakan hancurnya sistem relasi sosial antar
kelompok masyarakat etnis di Kalimantan Barat yang sudah tercipta dan terbangun
sebelumnya. Kasus konflik yang dimaksud adalah kasus konflik antara kelompok
masyarakat etnis Dayak dengan etnis Tionghoa di wilayah Kabupaten Sambas dan
sekitarnya pada tahun 1967, kasus konflik antara kelompok etnis Dayak dengan etnis
Madura di Kabupaten Sambas dan sekitarnya pada tahun 1996/1997 dan kasus konflik
antara kelompok etnis Melayu dan etnis Madura di Kabupaten Sambas pada tahun
1999.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">B. KONFLIK DAN KEKERASAN<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<b><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">1.
Pengertian dan Bentuknya<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Istilah ’konflik’
berasal dari kata <i>confligere</i>, ’saling mengejutkan’.</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Konflik dapat diartikan sebagai pertentangan kepentingan
oleh pihak yang berbeda. Konflik yang terjadi dalam masyarakat sesung</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">guhnya hal yang wajar dan lumrah. Konflik bisa diolah
menjadi sesuatu yang konstruktif (membangun) dan bisa pula destruktif
(menghancurkan).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dapat
dikatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik sosial seiring dengan
perubahan yang mengelilinginya. Oleh karena itu tidak sepatutnya kita terlalu
takut dengan konflik. Hidup tanpa konflik merupakan sesuatu yang utopis. Hanya
manusia yang tidak realistislah yang ingin melarikan dirinya dari hakekat hidup
manusia yang penuh dengan konflik sosial (Francis, 2006; Fisher dkk, 2001;
Soetrisno, 2003)<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Teori Konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></a> mengatakan bahwa dalam suatu perubahan, pada
hakikatnya masyarakat memiliki dua sisi: konflik di satu pihak; dan stabilitas,
harmoni, serta consensus di pihak lain. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam upaya
menjelaskan pandangannya, Dahrendorf mengusulkan sebuah model konflik yang
dikaitkan dengan kekuasaan. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Model ini terutama berguna
untuk kepentingan analisis dan menjelaskan hasil yang diperoleh di lapangan.
Pada bagian lain tulisannya, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik sosial tidak
kalah kompleks disbanding integrasi sosial (1973:101-102). </span><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Oleh itu,
pemahaman mengenai konflik sepatutnya dikaitkan dengan proses-proses sosial
yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, konflik yang terjadi dapat disebabkan
oleh sistem dalam stuktur sosial tertentu. Dengan kata lain, konflik yang
timbul terkait erat dengan sejumlah kedudukan sosial didalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dengan demikian, teori
fungsional tentang perubahan yang dikemukakan Talcol Parson</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> , dapat dipakai juga untuk melihat keterkaitan
konflik dengan fungsi kedudukan sosial yang berlaku dalam masyarakat . </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Talcott Parsons
seterusnya menginginkan agar
keseimbangan selalu terjaga, antara lain dengan jalan mengeliminasikan berbagai
sumber konflik. Parsons mendasarkan pandangannya pada konsep stabiliti atau
ekuilibrium yang dianggap sebagai ciri utama suatu struktur. Pengertian stuktur
perlu dibezakan dengan ciri suatu sistem. Istilah stuktur mengandung pengertian
keseimbangan yang stabil dalam erti kata statis (static) tetapi bergerak
(moving). Pada hakikatnya sistem berada dalam keadaan stabil atau relatif
seimbang ketika berlangsung hubungan antar stuktur dan berbagai proses
didalamnya. Pada masa berlangsung hubungan antar sistem dengan lingkungannya,
biasanya sistem cenderung menjaga sifat-sifat yang menyeimbangkan. Keadaan
(hubungan) inilah yang disebut stuktur,
karena secara relatif tidak berubah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran
yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan
Schelling, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling
berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai
kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi,
walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (Schelling 1960).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">
Tentu saja, hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah
berbagai contoh konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar
komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas.</span><span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span><span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Tidak
diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara
kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah
(illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan, sebaliknya, bahwa
sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan.
Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak)
yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya
peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo ke
penolakannya (1981:320). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya
pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan)
merupakan konsep yang penting bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik
karena mereka memandang negara tidak sah. Seperti pengamatan Tajfel:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES">Pandangan
ketidakabsahan (<i>perceived illlegitimacy</i>) hubungan antar kelompok secara
sosiologis dan psikologis adalah diterima dan dapat diterimanya pengungkit (<i>lever</i>)
untuk tindakan dan perubahan social dalam perilaku antar kelompok (<i>intergroup
behavior</i>)…Dalam hal keelompok yang “inferior”, fungsi pengungkit/pengaruh (<i>leverage</i>)
terpenuhi dengan pandangan ketidaksahan hasil-hasil perbandingan antar
kelompok; dalam hal kelompok-kelompok “inferior” yang sedang menuju perubahan,
‘leverage’nya adalah keabsahan (legitimasi) citra perbandingannya yang baru (<i>new
comparative image</i>); dalam hal kelompok-kelompok yang “superior”
‘leverage’nya adalah keabsahan usaha-usaha untuk memelihara status quo
perbedaan nilai manakala perbedaan nilai ini dipandang terancam (1978:76).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="ES">Teori mikro telah
menambah dimensi penting pada pemahaman kita mengenai konflik. Teori ini
menempatkan situasi yang kompleks ke dalam model-model yang bisa dikerjakan
yang tegar (‘stand up’) terhadap analisis empiris. Teori-teori ini merupakan
modal yang berguna dalam usaha kita menekankan objektifitas pada
situasi-situasi tertentu. Alih-alih menunggu terselesaikannya debat nature
versus nurture, jika memang dapat diselesaikan, lebih baik menggabungkan kedua
pendekatan itu ke dalam pengembangan model penjelasan yang canggih. Sosialisasi
merupakan konsep yang penting, begitu juga perbandingan-perbandingan kelompok,
identitas diri dan kelompok yang positif dan pandangan ketidakabsahan oleh
kelompok-kelompok minoritas. Setelah hal-hal ini difahami, perilaku agresif
mungkin bisa dijelaskan. Betapapun mendalamnya analisa empiris terhadap tataran
mikro penelitian kita, masih tetap tidak bisa memperhitungkan semua variabel
dan sifat konflik, terutama pada tataran sadar. Disinilah teori makro berperan
dalam analisis konflik manusia. Untuk meliput dunia sadar kita sekarang beralih
pada teori-teori konflik makro.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<b><span lang="FI">Teori-Teori
Konflik Makro</span></b><span lang="FI"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="ES">Teori makro
memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada tataran
sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tsu sampai
Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat
perhatian: kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama
teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu
dating dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi
umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan
kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini
beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan yang berorientasi
material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan fenomena kelompok pada
suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara mendalam, dan menentukan
pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel ketimbang hanya menggunakan
segelintir variabel untuk banyak kasus. Metodologi utama yang digunakan adalah
pendekatan historis atau studi kasus.</span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="ES">Pada abad
kesembilan , Eropa paska Napoleon umumnya konsern dengan perimbangan kekuasaan
(<i>balance of power</i>). Konsep ini dipergunakan oleh Matternich pada Konser
Eropa. Pada saat meletusnya Perand Dunia I umunya menghancurkan teori ini,
asumsi-asumsinya digunakan dalam teori pencegahan (deterrence theory) Perang
Dingin. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa <i>perimbangan terror
(balance of terror)</i> karena arsenal nuklir negara-negara adikuasa akan
mencegah konflik. Teori pencegahan membuka jalan bagi teori-teori yang
lebih canggih seperti teori <i>pengambilan keputusan (decision making theory) </i>dan<i>
teori permainan (game theory).</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="ES">Teori pengambilan
keputusan dan teori permainan berasal dari model aktor/pelaku rasional abad
keduapuluh. Model aktor/pelaku rasional dikembangkan oleh para ahli
ekonomi untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia. Teori ini beranggapan bahwa
masyarakat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan secara rasional
berdasarkan informasi tentang pilihan-pilihan itu dan petimbangan
kesempatan-kesempatan (Downs 1957). Teori permainan berdasar pada model
aktor/pelaku rasional dalam hal mengandalkan pada asumsi proses pengambilan
keputusan yang rasional yang mendasar bagi keikutsertaan dalam konflik manusia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="ES">Thomas Schelling
mengembangkan model ini lebih jauh dengan menciptakan teori permainan yang
canggih. Model permainan Schelling meliputi komunikasi, negosiasi, informasi,
dan memperkenalkan pentingnya irasionalitas ke dalam pemikiran strategis. Salah
satu sumbangsih Schelling yang paling penting adalah hipotesanya mengenai
saling ketergantungan (<i>interdependency</i>) konflik, kompetisi (persaingan)
dan kooperasi (kerjasama) di antara para pelakuknya (Schelling 1960). Dalam
setiap peristiwa konflik ada unsure-unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan
kerjasama (<i>cooperative engagements</i>) seringkali melahirikan unsure
konflik. Pandangan ini menjadi unsure penting dalam pemahaman kita terhadap
konflik. Schelling menggunakan teori permainan sebagai usaha untuk
memecah (menyederhanakan) kompleksitas hubungan antar kelompok dengan
menggunakan permainan untuk menggambarkan situasi-situasi yang serupa. Dia
menggunakan tiga jenis permaionan: kesempatan (<i>chance</i>), kecakapan (skill),
dan strategi (<i>strategic</i>), untuk menggambarkan akibat-akibat wajar dari
hubungan antar bangsa (internasional)—baik bersifat kerjasama (<i>cooperative</i>)
maupun konflik (<i>conflictual</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konflik bernuansa etnik dan
agama<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Dalam teori makro
terdapat seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi konflik etnis. Di
sinilah letak pentingnya memahami konflik etnonasional karena konsep yang sama
dapat diterapkan pada konflik sectarian. Apakah konflik itu didefiniskan dalam
istilah-istilah etnis atau sectarian, tidak banyak bedanya secara teoretis
karena konsepsi-konsepsi untuk konflik etnis dan sectarian beroperasi dengan
cara yang sama. Yang penting adalah kelompok-kelompok orang-orang ini telah
menggolongkan diri sebagai kelompok-kelompok yang berbeda dan mereka memandang
satu sama lain sebagai <i>luar kelompok</i> atau <i>musuh</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Kita mulai dengan
tinjauan mengenai teori konflik etnis dari Donald Horowitz. Dalam karya
semifinalnya mengenai konflik etnis di negara-negara sedang berkembang, dia
menguraikan kerangka di mana konflik etnis itu terjadi:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Akhirnya, sistem
negara yang mulanya muncul dari feodalisme Eropa dan sekarang, dalam periode
paska kolonial, benar-benar meliputi seluruh dunia memberikan kerangka di mana
konflik etnis itu terjadi. Penguasaan negara itu, penguasaan suatu negara, dan
pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok lain merupakan di antara
tujuan konflik etnis (1985:5).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Akibatnya, salah
satu tujuan utama konflik etnis adalah berusaha menguasai negara itu sendiri.
Kelompok-kelompok itu berusaha menguasai negara agar dapt menjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan merugikan/merusak kelompok-kelompok
pesaingnya. Konflik atas penguasaan negara ini seringkali dipandang sebagai ‘<i>zero
sum conflict</i>’ (konflik habis-habisan). Maksudnya, kemenangan satu kelompok
berarti kekalahan kelompok yang lain: konflik ini bukan “sama-sama menang”
(win-win) untuk kedua kelompok itu. Meskipun ini tak pelak lagi masalah konflik
inti dalam kebanyakan kasus di negara-negara yang terpolarisasi, ada juga
masalah-malasah sampingan lainnya yang menambah kompleksitas situasi yang ada.
Sebagaimana yang dijelaskan Horowitz:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Dalam masyarakat
yang sangat terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke dalam banyak sekali
masalah: rencana pembangunan, kontroversi pendidikan, masalah perdagangan,
kebijakan pertanahan, kebijaksanaan ekonomi, perpajakan. Secara khusus, hal-hal
yang di tempat lain akan ditempatkan ke dalam kategori administrasi rutin
menduduki tempat utama dalam agenda politik masyarakat yang terpecah secara
etnis (1985:8).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Horowitz membedakan
sistem yang beranking dan sistem yang tidak beranking. Sistem yang berangking
adalah masyarakat di mana satu kelompok etnis berkuasa penuh terhadap kelompok
lain. Sistem yang tidak beranking terdiri dari dua kelompok etnis dengan
stratifikasi internalnya sendiri yakni elit dan massa. Horowitz lebih lanjut
mencatat:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Perpindahan
(migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete conquest) juga
menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak
kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan
masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah belakangan mungkin
menganggap keberadaannya sebagai (illegitimate) <i>ab initio </i>yang
tidak sah<i> (1985:30).</i><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Horowitz menguraikan
akibat-akibat konflik seperti itu:</span><span lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 1.5in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0in;">
<span lang="DE">Ketika kekerasan
etnis terjadi, kelompok-kelompok yang tidak beranking biasanya tidak bertujuan
terjadinya transformasi social, tetapi bertujuan sesuatu yang mendekati otonomi
kekuasaan, dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis yang sejajar/serupa dari
pembagian kekuasaan (a share of power), dan seringkali pengembalian dengan
pengusiran atau pembasmian pada status quo ante (sebelum status quo) yang
iperlakuan, homogen secara etnis (1985:31).</span><span lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">PENELITIAN KONFLIK DI KALBAR<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kalimantan Barat merupakan daerah yang dikenali sebagai
daerah yang kerap berlaku konflik-kekerasan etnis. Di provinsi ini hidup orang daripada etnik-etnik Dayak dan
etnik Melayu sebagai penduduk tempatan dan pelbagai suku pendatang dari pulau
lain di Indonesia. Kerana berbeza latar belakang, tentunya adat resam, budaya
dan bahasa juga berbeza. Di provinsi ini sejak tahun 1963 telah berlaku 12 kali
pertikaian antar kelompok etnik .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pengkajian mengenai konflik etnik di Kalimantan Barat telah
ditulis oleh Alqadrie (2000), karya ini menghuraikan perbandingan proses
interaksi sosial antara etnik Bugis
lebih berhasil di bidang sosial dan ekonomi berbanding etnik Madura dan mampu
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, sehingga keberadaannya
diterima dengan baik oleh penduduk tempatan. Sedangkan etnik Madura dalam
proses interaksi sosial seringkali berbenturan dengan budaya tempatan, sehingga
menimbulkan pertikaian (konflik).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sudagung (2001) berasaskan penelitiannya tentang Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan
Barat mengungkapkan bahwa konflik
etnik Madura dengan Dayak berpunca pada tidak baiknya adaptasi antara kelompok
etnis Madura dengan Etnik Dayak. Adaptasi yang tidak baik ini disebabkan,
antara lain: (1) sifat kelompok etnis Madura maupun Dayak secara umum tidak
begitu berbeza iaitu rasa kesukuan dan solidaritas kelompok yang kuat; (2)
orang Madura juga memiliki sifat cepat curiga dan pendendam, walaupun mereka
memiliki sifat yang baik, yakni hemat dan suka menabung; (3) perbezaan adat
resam dan agama; (4) tingkat ekonomi yang hampir sejajar, menyebabkan hubungan
kedua-dua kelompok ini bersaing di bidang ekonomi sehingga kurang harmonis; (5)
pengamalan bahasa Indonesia dalam pergaulan antar suku masih belum mapan, intonasi
pengucapan ataupun dialek yang meledak-ledak sebagai pencerminan daripada sifat
mereka yang keras, mudah menimbulkan salah faham.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Giring (2004), dalam penelitiannya</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> tentang Madura dalam pandangan orang Dayak di Desa
Salatiga, Kabupaten Pontianak, menemukan bahawa interaksi antara orang Madura
dengan orang Dayak di desa ini dilandasi oleh pencitraan yang tidak terlepas
daripada sistem makna dan sistem nilai yang dipegang oleh orang Dayak Kanayatn</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> dalam menanggapi orang Madura di Desa tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penelitian lain yang dilakukan oleh Shonhadji (2001) di
Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak tentang Interaksi sosial antar warga
pelbagai suku bangsa di desa tersebut menemukan
pula bahawa interaksi sosial antar warga pelbagai suku bangsa di desa ini
berlangsung baik, kerana berlakunya pranata sosial lokal dalam mengatur
interaksi sosial dan proses perjalanan sejarah yang ditopang oleh faktor
kepemimpinan lokal. Begitupun Yulianus
dalam peneltiannya tentang Relasi Dayak dan Madura di Desa Retok ( dalam
Atok,2005: 20) menemukan bahawa
kehidupan bersama antara orang Dayak dan Madura berlangsung baik di Desa Retok, Kecamatan Kuala mandor B,
Kabupaten Pontianak, ditentukan oleh
kuatnya kharisma pemimpin lokal orang Dayak di desa tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Seterusnya penulis bersama tim pengkaji Yayasan
Pemberdayaan Pefor Nusantara menjalankan pengkajian dengan tajuk Konflik
Masyarakat Pada Aras Lokal di 3 Kecamatan (2005). Kajian tersebut berjaya
menjelaskan bahawa konflik-kekerasan pada aras komuniti boleh dijelaskan
sebagai berikut: ditemukan 79 jenis kasus konflik sepanjang tahun 1999 s/d Juli
2004 (5 tahun) di tiga kecamatan tersebut.
Dari total 79 kasus konflik, tercatat setidaknya 44,30% daripada total kes konflik atau setara
dengan 35 kes, adalah kes konflik yang
bersifat kolektive dengan proporsi distribusi pada masing-masing kecamatan
sebagai berikut, Kecamatan Mempawah Hulu 33 kes, Kecamatan Sebangki 21 kes dan
Kecamatan Menjalin 25 kes. Dari 35 kes
konflik kolektive 8 kes di antaranya adalah kes konflik dengan karakteristik
konflik kolektive antar anggota komuniti etnik, 13 kes konflik kolektive inter
anggota komuniti etnik dan sisanya
bersifat campuran. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Pada bahagian terakhir
analisis ini, ditemukan bahawa intensitas berlakunya kes dari tahun ke tahun,
cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Grafik yang terus meningkat memberikan “early
warning”, kepada kita bahawa perlu
adanya penanganan yang cukup serius, khususnya dalam membantu masyarakat untuk
mengelola konflik di tataran komunitinya masing-masing, agar kes-kes konflik
tersebut tidak terus menerus meningkat dan kemudian terakumulasi menjadi konflik kekerasan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Seterusnya kajian yang dijalankan oleh Hardi Suja’i
dengan tajuk Pengkajian Program Perdamaian di Sambas (2006). Dalam kegiatan
pengkajian ini yang menjadi fokusnya adalah aspek-aspek yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan konflik etnis yang berlaku pada tahun 1999 di
Kabupaten Sambas (<i>Konflik etnis berbasis Komunal</i>). Sedangkan aspek-aspek
yang diinvestigasi lebih jauh terhad pada beberapa aspek yang diasumsikan
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan usaha membina <i>perdamaiannya<b>.</b></i> Adapun aspek
tersebut adalah masalah-masalah ekonomi, sosial, hukum dan politik dalam hubung
kaitnya dengan anatomi konflik sosial sering dipandang sebagai faktor penyebab
utama <i>(root of the problem)</i>. Masalah
demografi dipandang sebagai faktor yang memperlancar <i>(facilitating factor)</i>, sedangkan masalah budaya dipandang sebagai
faktor yang memicu <i>(triggering factor)</i>
terjadinya konflik sosial di Kabupaten Sambas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 45pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Usaha membina <i>peacebuilding</i>
di Sambas harus memperhitungkan kewujudan sebuah lembaga etnisiti namanya FKPM
atau Forum Komunikasi Pemuda Melayu sebagai salah satu representasi daripada
pelaku-pelaku konflik pihak orang Melayu Sambas meskipun ada sementara penboleh
yang negatif tentang FKPM. <i>Gerry van
Klinken,</i></span><a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></span></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> menyatakan bahawa; FKPM merupakan organisasi atau
jaringan preman remaja dan jagoan-jagoan lapangan yang dikenali secara luas dan
FKPM berperanan sebagai kendaraan politik untuk menggapai pemenuhan pelbagai
kepentingan politik dan ekonomi bagi elit pemimpinnya. Pernyataan ini juga
disokong daripada hasil wawancara bahawa memang ada pengerusi FKPM yang duduk
dalam jajaran struktural birokrasi pentadbiran Kabupaten Sambas, anggota badan
legistatif atau pemimpin organisasi yang memiliki basis massa serta kalangan
birokrat pemda Sambas. Amnya mereka memiliki pandangan dan sikap yang seragam
tentang akar konflik, transformasi konflik dan resolusi konflik. Misalnya;
Tentang <i>akar konflik</i>, mereka
berpendapat bahawa akar konflik Sambas 1999 adalah masalah kultural yang
berkaitan dengan prilaku dan karakter orang Madura Sambas yang dianggap selalu
negatif. Pandangan yang bersifat
“standar umum” ini menggambarkan bahawa sebahagian pengerusi FKPM secara
implisit ingin mempertahankan <i>status quo</i>
“ketidak-amanan” dalam masyarakat Sambas sehingga basis legitimasi kewujudan
FKPM yang muncul untuk mengatasi “masalah keamanan” tetap tidak tergoyahkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Adapula pengkajian oleh Muhamad Sulhan, yang melakukan
kajian dengan tajuk Representasi Identiti Dayak di Media Massa (2007).
Pengkajian ini telah dibukukan dengan judul ”Dayak yang Menang Indonesia yang
malang” yang diterbitkan pada Desember 2006. Pengkajian ini dilakukannya untuk
mendapatkan gelar Magister dari Universiti Gajahmada Yogyakarta. Metode yang
dilakukannya adalah dengan menganalisis berita-berita yang ada di media
massa terutama Harian Kompas dan Kalteng
Post yang melaporkan tentang peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kesimpulannya adalah media massa melalui rangkaian
headline-nya berfungsi sebagai salah
satu elemen daripada sosial <i>early warning</i>,
yakni sebuah sistem pemberitahuan dini akan berlakunya sesuatu dalam masyarakat
yang mungkin tidak dapat diamati dengan proses pengamatan biasa melalui
interaksi sosial sehari-hari. Representasi identiti etnik Dayak dan
penggambaran fenomena kerusuhan yang ditonjolkan oleh media massa terteliti
menunjukan bahawa adanya sentimen ideologis wartawan atas stereotaip etnik
sebagai indikasi adanya pelbagai kepentingan dan keterlibatan diri wartawan
dalam membingkai sebuah pemberitaan. Kecendrungan keberpihakan mahupun
netralitas reportase kedua media terteliti nampaknya dipengaruhi tiga hal
utama, yakni rentang waktu peliputan, kemampuan memilih perspektif, dan lingkup
area distribusi media.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Jammie Seith Davidson<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></a>
pula menyelidiki tumbuhnya kesedaran politik Dayak, penubuhan daripada Parti Persatuan Dayak,
birokrasi dan politik lokal pada masa awal kemerdekaan. Secara khusus, kajian
ini merupakan kritik terhadap politik kekerasan dan peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang berlaku di Kalimantan Barat setakat ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Manakala Muhammad Iqbal Jayadi<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="SV" style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></a>,
mengkaji tentang tindakan jenayah yang boleh menimbulkan konflik etnik di
Kalimantan Barat selama ini. Kajian beliau boleh dijelaskan seperti berikut:</span><span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> bahawa didapati ada tiga insiden kekerasan etnik di
Kalimantan Barat. Pertama, beberapa
sub-etnik Dayak melakukan <i>ethnic cleansing</i> terhadap sekumpulan Etnik
Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di
wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Insiden itu terjadi Oktober hingga
November 1967, satu titik masa ketika rezim Orde Lama beralih kepada Orde
Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak
melakukan <i>ethnic cleansing</i> terhadap
sekumpulan Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu
berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik masa
ketika rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu
melakukan <i>etnic cleansing</i> terhadap
sekumpulan Etnik Madura yang tinggal di Sambas terjadi dari Februari sehingga
Mac 1999, satu titik masa ketika Orde Reformasi baru mula ditubuhkan.</span><span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Pengkajian ini juga menemukan bahawa ada pelbagai situasi,
wacana publik, dan mekanisme sosial yang menyebabkan propinsi Kalimantan Barat
di satu ketika mengalami kekerasan etnik, namun di waktu lain justru perdamaian
etnik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="ES" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Jayadi juga menemukan bahawa dampak daripada perubahan
peranan tentera. Di masa lalu, kekerasan etnik terjadi ketika tentera dalam
posisi yang dominan, tidak profesional dan polis merupakan bahagian yang
integral dalam tentera. Dalam kapasitasnya yang semacam itu, mereka cenderung
menyelesaikan permasalahan dengan mengadu domba satu kumpulan etnik dengan
kumpulan etnik lainnya. Hal itu terlihat
paling jelas dalam Insiden 1967. Kendati peranannya sudah banyak berkurang pada
1990-an, namun kerana polis masih merupakan bahagian daripada tentera, menyebabkan
penanganan mereka terhadap penjenayah inter-etnik tidak berjalan secara
efektif. Sebagai akibatnya, masalah jenayah individual telah berkembang menjadi
jenayah kumpulan etnik. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hal inilah yang
menyebabkan meluasnya rusuhan etnik tahun 1997 dan 1999.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent3" style="margin-left: 0in; text-indent: 0in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">2. Bentuk dan Karekteristik Konflik<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dari segi bentuk dan karekteristiknya, konflik antaragama
dan antaretnis dapat dibedakan menjadi:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konflik laten,</span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> yaitu koflik yang cenderung tertutup dan sifatnya
mengakar dalam masyarakat. Konflik jenis ini belum mewujud dalam bentuk
tindakan kekerasan sehingga dapat lebih cepat di selesaikan. Konflik laten
biasanya berupa anggapan-anggapan negatif, kecurigaan-kecurigaan, dan
isu-isu tertentu tentang agama atau isu lain. Misalnya, anggapan bahwa
Islam itu teroris, Kristen itu agama penjajah, orang Minang itu licik,
orang Madura itu dungu-dungu, orang Batak itu keras-keras wataknya, dan
sebagainya. Stereotif yang sudah tertanam dalam kesadaran masyarakat itu
(Seringkali diwariskan secara turun temurun), kemudian memunculkan
kecurigaan-kecurigaan dan isu-isu tertentu.<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Di antara isu-isu yang sering muncul berkaitan dengan
konflik antaragama dan antaretnis adalah isu tentang:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1">
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kristenisasi
atau Islamisasi<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penduduk
asli dengan pendatang<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sekte-sekte
agama tertentu<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Simbol-simbol
agama (Kitab suci, tempat ibadah, dan sebagainya)<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pribumi
dengan non pribumi<o:p></o:p></span></li>
</ol>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .75in; text-align: justify;">
<br /></div>
<ol start="2" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konflik terbuka,</span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> yaitu
konflik yang sudah muncul kepermukaan, baik berupa prilaku, sikap, maupun
tindakan-tindakan tertentu. Konflik jenis ini biasanya melibatkan dua
belah pihak atau lebih yang kadang-kadang berhadapan secara langsung dan
memunculkan tindakan kekerasan (Baik fisik maupun non fisik). Sehingga,
konflik ini tidak mudah untuk di selesaikan.<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konflik terbuka yang berkaitan dengan antaragama dan
antaretnis dapat muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="2" style="margin-top: 0in;" type="1">
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Khotbah-khotbah atau ceramah-ceramah yang menghujat
dan anti terhadap agama/etnis lain (Perang mimbar) seperti khotbah minggu
atau khotbah jum’at yang menyudutkan dan menyalahkan agama lain.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Selebaran-selebaran, brosur-brosur,
spanduk-spanduk, dan berita-berita di media cetak maupun elektronik yang
bernuansa provokatif.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tindakan-tindakan yang merusak simbol-simbol
agama/budaya tertentu seperti pelemparan dan perusakan gereja dan masjid,
perusakan kitab suci, pencemaran hostia, perusakan rumah-rumah adapt,
tempat-tempat pemujaan, dan sebagainya.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tindakan-tindakan kekerasan lainnya berupa
intimidasi, perkelahian, penganiayaan, sampai pembunuhan yang melibatkan
penganut agama atau etnis yang berbeda.<o:p></o:p></span></li>
</ol>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Perlu disadari bahwa setiap bentuk konflik mempunyai ciri
dan karakteristik tertentu (Khas/unik) yang sesuai konteks sosial, politik, dan
budayanya. Sehingga pendekatan dan cara penyelesaiannya pun sejatinya akan
berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<ol start="3" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aktor yang terlibat dalam konflik<o:p></o:p></span></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dilihat dari sisi aktor yang terlibat dalam konflik,
dapat dibedakan menjadi:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aktor Intelektual,</span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> yaitu
pihak-pihak yang tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi dipahami
sebagai orang yang bertanggung jawab secara signifikan terhadap munculnya
konflik, bahkan mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut. Dari
beberapa kasus konflik antaragama dan antaretnis yang pernah terjadi di
Indonesia, actor intelektualnya yang biasanya terlibat adalah:<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tokoh-tokoh
agama<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tokoh-tokoh
adapt<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tokoh-tokoh
masyarakat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Orang-orang partai,
baik di tingkat local maupun tingkat pusat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Para birokrat, baik
di tingkat local maupun tingkat pusat<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">f.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kalangan
militer(Polisi dan tentara)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">g.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Usahawan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">h.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Organisasi
non pemerintah (Ornop)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aktor Lapangan,</span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> yaitu
pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam konflik. Aktor-aktor lapangan
yang biasanya terlibat langsung dalam konflik antaragama dan antaretnis adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Umat
(Beragama)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Remaja<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ibu-ibu<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Milisia<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Preman<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">f.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pemuda<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Aktor lapangan ini juga yang biasanya sekaligus menjadi
korban dalam setiap konflik antaragama/antaretnis. Dari sekian banyak korban,
yang menjadi korban utama biasanya adalah kelompok perempuan, anak-anak dan
remaja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .75in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penyebab Konflik<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Penyebab konflik dipahami sebagai faktor-faktor yang
mendasari dan menjadi akar munculnya konflik antaragama/etnis. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Di
antara penyebab konflik yang muncul adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Faktor identitas,
khususnya identitas agama dan etnis<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Faktor penguasaan
sumber daya alam dan sumber daya manusia<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Faktor
dominasi kekuasaan politik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Faktor
ketidakadilan struktural dalam berbagai aspek (Sosial, politik, ekonomi,
budaya)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Catatan: Setiap konflik biasanya tidak hanya disebabkan
oleh satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan
satu sama lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pemicu Konflik <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pemicu konflik dalam hal ini dapat kita defenisikan sebagai
hal-hal yang membuat konflik potensial diwujudkan menjadi konflik terbuka.
Ibarat senapan, pemicu konflik adalah pelatuknya, sedangkan penyebab konflik
adalah alasan ditembakkannya seapan tersebut. Pemicu konflik dapat berupa
peristiwa tertentu yang dapat dipakai untuk mewujudkan tujuan aktor pembuat
konflik. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Fungsi pemicu konflik dalam hal ini memanifeskan
konflik laten.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 1in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">5.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Akibat Konflik<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 1.0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Setiap konflik antaragama/etnis (Baik laten maupun
terbuka) pasti menimbulkan dampak-dampak. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dampak tersebut dapat
dibedakan menjadi:<o:p></o:p></span></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-collapse: collapse; border: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-insideh: .5pt solid windowtext; mso-border-insidev: .5pt solid windowtext; mso-padding-alt: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-yfti-tbllook: 480;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 221.4pt;" valign="top" width="295"><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dampak Fisik<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 221.4pt;" valign="top" width="295"><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dampak Non Fisik<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 221.4pt;" valign="top" width="295"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dampak-dampak yang
bersifat fisik yakni dampak-dampak yang dapat dilihat dan dirasakan serta
menimbulkan kerugian secara fisik. Misalnya:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="a">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Rusaknya
sarana fisik seperti rusaknya rumah-rumah penduduk, tempat-tempat
ibadah, pasar-pasar, took-toko dan lain-lain.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kegiatan ekonomi normal
(Transaksi kebutuhan sehari-hari) menurun, sedangkan kegiatan ekonomi
berbasis konflik (Seperti perdagangan senjata, amunisi, jasa keamanan,
dan lain-lain) meningkat.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Fragmentasi sosial yaitu
terjadinya proses komunalisme sehingga memperlebar jarak antara kelompok
satu dengan yang lainnya.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Terhambatnya
(Terhenti) proses pendidikan, baik formal maupun non-formal.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tingkat kesehatan
menurun, terutama ibu-ibu dan anak-anak.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penderitaan fisik, dari
mulai luka-luka sampai pada kematian, terutama pada perempuan dan
anak-anak.<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kerusakan
lingkungan sekitarnya.<o:p></o:p></span></li>
</ol>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 221.4pt;" valign="top" width="295"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dampak-dampak yang
bersifat non fisik yakni dampak-dampak yang tidak dapat dilihat, tetapi
dirasakan dan tertanam dalam pikiran serta seringkali menimbulkan
trauma-trauma berkepanjangan. Misalnya:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menguatnya
stereotip terhadap agama/etnis tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Terputusnya
komunikasi dan hilangnya kepercayaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Polarisasi antar
kelompok agama/etnis semakin menajam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Runtuhnya
(hilangnya) kepercayaan masyarakat terhadap institusi agama dan Negara (baik
birokrasi pemerintahan maupun militer).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Rusaknya tatanan
sosial-budaya yakni rusaknya nilai-nilai dan tradisi-tradisi, khususnya
nilai-nilai toleransi dan pluralisme serta mekanisme penyelesaian konflik
berdasarkan tradisi local, yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">f.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Radikalisasi sosial dan agama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">g.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Timbulnya
trauma-trauma yang sangat mendalam, khususnya anak-anak dan perempuan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 30.6pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -19.5pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">h.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hilangnya rasa
aman dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Konsep
Resolusi Konflik dan Transformasi Konflik<o:p></o:p></span></b></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableGrid" style="border-bottom-style: none; border-collapse: collapse; border-color: initial; border-image: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial; width: 547px;">
<tbody>
<tr>
<td style="border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 27.0pt;" valign="top" width="36"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">No.<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 127.8pt;" valign="top" width="170"><div class="MsoNormal" style="margin-right: -108.6pt; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Resolusi Konflik<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
<td style="border-left: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 3.55in;" valign="top" width="341"><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Transformasi Konflik<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 27.0pt;" valign="top" width="36"><div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">1<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 127.8pt;" valign="top" width="170"><div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menyelesaikan persoalan<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 3.55in;" valign="top" width="341"><div class="MsoNormal">
<span lang="IT" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Mencari penyebab munculnya persoalan itu<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
<tr>
<td style="border-top: none; border: solid windowtext 1.0pt; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 27.0pt;" valign="top" width="36"><div class="MsoNormal">
<span lang="IT" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">2<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 127.8pt;" valign="top" width="170"><div class="MsoNormal">
<span lang="IT" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Orientasi jangka pendek<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border-bottom: solid windowtext 1.0pt; border-left: none; border-right: solid windowtext 1.0pt; border-top: none; mso-border-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-left-alt: solid windowtext .5pt; mso-border-top-alt: solid windowtext .5pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 3.55in;" valign="top" width="341"><div class="MsoNormal">
<span lang="IT" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Orientasi jangka panjang<o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Johan Galtung, 2005 “Mencari
solusi yang ampuh bagi konflik; Beberapa tema yang hilang” dalam Konflik
Kekerasan Internal, Dewi Fortuna Anwar dkk (editor); 396<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Ardhie Raditya & A. Sihabul
Millah, 2009 “Tafsir Konflik Kekerasan; Mengurai Ketegangan Sosial, Menuju
Negeri Yang Damai” ; 15<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Dahrendorf, Ralf, 1958 “ Toward
a Theory of Social Conflict” Journal of Conflict Resolution 2 (Juni) : 170-183.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: .25in; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></span></a><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">
Parsons, Talcott. 1949. Essays in sociological theory pure and applied. The
Free Press. Glencoe.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: .5in;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> </span><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;">Penelitian tentang
Orang Madura di mata orang Dayak pada Pasca konflik berdarah tahun 1999.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 9pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 9pt;"> Orang Dayak yang
mendiami Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang dan Sambas. Sebutan sub suku
ini belum kelar, karena sejumlah pakar antropologi Dayak seperti Simon Takdir
menyebutnya Dayak Selako, sedang Timanggong Miden Maniamas menyebutnya Dayak
Bukit. Penulis sendiri cenderung sependapat dengan Simon Takdir, Karena
referensi pakar masa kolonial banyak menulis tentang ini. (lihat Bernard
Sellato, 1994, Di pedalaman Borneo perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894
oleh Anton Nieuwenhuis). Sebutan Dayak Kanayatn, muncul pada masa Orde baru
oleh sejumlah orang yang duduk di lembaga legislative di kabupaten Pontianak
seperti Bahaudin Kay, dan dipromosikan melalui sejumlah event budaya seperti
gawe naik dango di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten landak. Orang orang di
level grass root menyebut dirinya berdasarkan Daerah Aliran Sungai seperti
misalnya Dayak mampawah bagi orang yang mendiami aliran sungai mempawah, Dayak
manyuke bagi orang yang mendiami alirasn sungai Banyuke dan seterusnya (lihat peta
suku-suku Dayak yang dibuat oleh Institute Dayaklogi).<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">
Gerry van Klinken, 2005, <i>“New actors, new
identities: Post Suharto ethnic violence in Indonesia”,</i> dalam Dewi Fortuna
Anwar; Helene Bouvier; Glenn Smith; dan Roger Tol (Editors), <b><i>Violent
Internal Conflict In Asia Pasific.</i></b> Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;
LIPI; LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta, hlm 95.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">
Jammie Seith Davidson, PhD yang melakukan kajian dengan tajuk Violence and Politics in West Kalimantan (2002).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-6..doc#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></span></a><span lang="IN" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">
Muhammad Iqbal Jayadi, PhD. Beliau melakukan kajian yang bertajuk Studi
Kekerasan Etnik dan Perdamaian Etnik di Kalimantan Barat (2003).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3226593680537524019.post-49798168289056923742012-03-05T20:00:00.000-08:002012-03-06T00:10:59.167-08:00BAB VII DAMAI DAN TOLERANSI<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitZwePPXUB7fuZMwzobc5of-uhfc6QBLKyJ91XFhZI4qEu75yao-X9uTqqKO_bhBOjd5u8-MJZBTUV1PC8HpycZW1vMKKfArudcxuZYtYHlfE3_5Sfxea2LwNJNeB6d1XHo8zJVhyysdc/s1600/anak+merdeka.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="170" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitZwePPXUB7fuZMwzobc5of-uhfc6QBLKyJ91XFhZI4qEu75yao-X9uTqqKO_bhBOjd5u8-MJZBTUV1PC8HpycZW1vMKKfArudcxuZYtYHlfE3_5Sfxea2LwNJNeB6d1XHo8zJVhyysdc/s320/anak+merdeka.jpg" width="320" /></a></div>
<b style="font-family: 'Times New Roman', serif; line-height: 15px;">A. Pendahuluan</b><br />
<div class="Section1">
<div>
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="line-height: 15px;"><b><br /></b></span></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p> </o:p></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; text-align: justify;">Sebagai pendahuluan, diajukan sebuah pertanyaan penting
berkaitan topik ini; ” Mengapa sulit membangun perdamaian dan toleransi beragama
?. Jawabannya adalah karena telah terjadi politik agama. Salah satu penjelasan yang dapat
diterima bahwa semua fenomena sosial dan politik, termasuk tindakan politik
agama, bermula dari pikiran manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, maka upaya
untuk menemukan penyebab dasar politik
agama dipusatkan pada faktor kepentingan individu dan kelompok yang memobilisir
psikologis orang atas dasar agama. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; text-align: justify;">Biasanya
perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan menjadi pintu masuknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Secara ringkas, argumennya adalah bahwa
politik pada aras komunitas itu terjadi karena perasaan yang mendalam dan
meluas di kalangan masyarakat. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Terutama
dalam wujud <i>relative deprivatio</i>n,
yaitu ketidaksesuaian antara <i>value</i>
<i>expectation</i> masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi
hidup yang diyakini sebagai hak) dengan <i>value capability</i> mereka ( yaitu
barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan
sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang
mereka inginkan). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhydzfXRMM2JaEqi7sXeUWL2J0oVyQ8b7L6-TGr7Ffb0CL1DU4-vNRp7AOAFT03ENG0DtEfB_G-Joc5n264BXC9rtNTfHkd0BDGGu9iMY5owrbuyZ-vBYyLvzTjk8VhZNhMagh0v7IqpFk/s1600/BAB+VII-01.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="137" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhydzfXRMM2JaEqi7sXeUWL2J0oVyQ8b7L6-TGr7Ffb0CL1DU4-vNRp7AOAFT03ENG0DtEfB_G-Joc5n264BXC9rtNTfHkd0BDGGu9iMY5owrbuyZ-vBYyLvzTjk8VhZNhMagh0v7IqpFk/s320/BAB+VII-01.jpg" width="320" /></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan <b>frustasi</b>
(Gurr:1970). Jika intensitas kekecewaan semakin tinggi dan menyentuh berbagai
lapisan, termasuk kaum elite, maka kekerasan politik yang muncul akan semakin
meluas dan dalam bentuk yang canggih. Dengan kata lain kekecewaan masyarakat terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak
adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan
berdasarkan agama. Namun, timbul pertanyaan ketika membaca Gurr. Apakah
kerusuhan yang timbul di Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan
material? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non
material ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teori tentang <b>“Religious-
nationalism”</b> yang para pendukungnya terbagi dua aliran. Para teorisasi
Religious nationalism yang beraliran <i>Primordialist</i>
mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik
berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang
berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisi
teoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara
identitas kultural itu, seperti ungkapan
kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan
sebagainya. Sebaliknya, para teorisi religious – nationalism yang beraliran <i>situasionalist-instrumentalist</i>
menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta
ancaman terhadap eksistensinya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum
instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh
kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik
dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik negara maupun
kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu di dasarkan pada alasan praktis, yaitu sarana efektif
untuk menimbulkan dukungan emosional.
Pemikiran kalangan instrumentalist mirip dengan pendapat Charles Tilly
(1978), yang melihat gerakan politik sebagai hasil dari kalkulasi para elite
yang memobilisasi sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik
yang berubah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dengan kata lain, kekerasan politik terjadi bukan karena
ekspresi emosional masyarakat, tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan
instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya, kekerasan
politik merupakan hasil kalkulasi politik. Berdasarkan alur pemikiran di atas
dapat dikatakan terdapat dua kubu tentang penyebab kekerasan. Kubu <b>pertama</b>, kelompok teoritisi yang
berpendapat bahwa tindakan kekerasan
merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kubu <b>kedua</b>, para
pendukung argumen instrumentalist yang menyatakan bahwa tindak kekerasan
merupakan hasil dari kalkulasi strategi
dan keputusan taktis. Untuk memberi jembatan teoritik terhadap dua kubu
tersebut, kita bisa kembali pada pendapat <b>Theda
Scokpol</b>, ketika Scokpol melakukan penelitian tentang revolusi yang bisa
gunakan untuk analisis tentang kelompok
etnik dan komunal yang aktif dalam
politik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Scokpol, mobilisasi politik akan ditentukan
oleh dua faktor yakni Faktor pertama, adalah faktor yang memberi landasan dasar
bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan para elite gerakan yakni
berupa perasaan kecewa/ frustasi akibat perlakuan yang tidak adil serta
perasaan identitas kelompok. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan
identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para elite gerakan komunal tidak punya bahan/ sarana untuk menangapi ancaman
atau peluang yang datang dari luar kelompoknya. Sebaliknya kalau kekecewaan mendalam
dan meluas, diimbangi dengan penguatan identitas dan kepentingan kelompok, tersedialah kondisi
bagi munculnya kekerasan kolektif.
Faktor kedua, adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi politik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Perasaan
frustasi akan berhenti hanya pada tingkat perlawanan tersembunyi dan
tidak akan menimbulkan tindak kekerasan
politik pada aras komunitas kalau tidak ada kemampuan komunitas untuk melakukan
mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu berujud proses mendorong
anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorbankan tenaga dan
sumberdayanya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan
komunitasnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: .25in; mso-add-space: auto; text-align: center; text-indent: 27.35pt;">
<br /></div>
<div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: .25in; mso-add-space: auto; text-align: center; text-indent: 27.35pt;">
<br /></div>
<ol start="2" style="margin-top: 0in;" type="A">
<li class="MsoNormal" style="mso-list: l3 level1 lfo9; tab-stops: list .5in; text-align: justify;"><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Apa
itu Damai<o:p></o:p></span></b></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menurut Wikipedia, sebuah ensiklopedia
berbahasa <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>,
k</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">onsep <b>damai</b> membawa konotasi
yang positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian. Perdamaian
merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Tiap orang memiliki pandangan berbeda
tentang apakah damai itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan mungkinkah
perdamaian benar-benar terjadi.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Definisi"></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Definisi Umum <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Burung merpati dan daun zaitun
sering digunakan sebagai lambang perdamaian. Damai memiliki banyak arti dan
seringkali kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat.
Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan
perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak
memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang
umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi.
Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga
dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konsepsi damai setiap orang berbeda
sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang
tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya
tertentu.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Ketiadaan_perang"></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebuah definisi
yang sederhana dan sempit dari damai adalah ketiadaan perang. (bahasa untuk
damai adalah <i>Pax</i> yang didefinisikan sebagai <i>Absentia Belli</i>, <i>ketiadaan
perang</i>). Dan lagi, dengan definisi ini, kita sekarang tinggal di zaman <i>dunia
damai</i>, tanpa perang aktif antara negara-negara. Perawatan perdamaian yang
lama antar negara merupakan kesuksesan besar dari PBB. Damai dapat terjadi
secara sukarela, dimana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam
keributan, atau dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang menyebabkan gangguan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kenetralan yang
kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan
perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini memiliki sejarah perdamaian yang berkelanjutan
terlama. Sejak invasi 1814 Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan kekerasan
gaya-militer.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Ketidadaan_kekerasan_atau_Setan.3B_Keber"></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Keberadaan
keadilan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Membatasi konsep perdamaian hanya
kepada ketiadaan perang internasional hanya menutupi genocide, terorisme, dan
kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Hanya sedikit yang menggambarkan
genocide yang terjadi di Kongo pada 1890-an sebagai sebuah contoh damai.
Beberapa, oleh karena itu, mendefinisikan 'damai' sebagai ketiadaan kekerasan:
tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan(evil).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dan banyak juga yang percaya bahwa
perdamaian tidak hanya ketiadaan dari kejadian sosial yang tragis. Dari sudut
pandan ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran
keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King,Jr. Dalam konsepsi
ini, sebuah masyarakat di mana suatu grup ditekan oleh grup lainnya juga
merupakan ketiadaan kedamaian, karena penekanan ini juga merupakan bagian dari
setan.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Perdamaian_jamak"></a><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Beberapa pemikir perdamaian memilih
membuat ide damai tunggal; dan mendorong ide banyak arti dari damai. Mereka
berpiki tidak ada definisi tunggal yang benar tentang damai; damai, harus
dilihat sebagai sesuat yang jamak. Contohnya, di Wilayah Danau Besar Afrika,
kata damai adalah <i>kindoki</i>, yang menunjuk kepada keseimbangan yang
harmonis antara manusia, dan dunia alam lainnya, dan juga kosmos. Pandangan ini
lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang" atau bahkan
"kehadiran keadilan". <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Banyak pemikir yang sama juga
mengkritik ide damai sebagai harapan dan yang akan terjadi pada suatu hari.
Mereka mengenal damai tidak harus sesuatu yang manusia harus capai "suatu
hari". Mereka menganggap bahwa damai hadir, bila kita menciptakan dan
mengembangkannya dalam cara yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan damai
akan berubah secara terus menerus.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Damai_dan_tenang"></a> Dalam
beberapa hubungan, damai dapat menunjuk secara umum ke keadaan tenang -
ketiadaan gangguan atau godaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bagi orang yang sering bepergian ke
daerah terpencil seringkali memperhatikan perbedaan antara tingkat kebisingan
antara <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">kota</st1:city></st1:place> dan
desa; oleh karena itu muncul istilah 'damai dan tenang'.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Damai_dalam_diri"></a><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Damai
dalam diri<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Satu arti dari damai menunjuk ke
damai dalam diri; sebuah keadaan pikiran, badan, dan jiwa, yang dikatakan
terjadi di dalam diri kita. Orang yang melakukan eksperimen dengan damai dalam
diri mengatakan bahwa rasa ini tidak tergantung oleh waktu, orang, atau tempat,
menekankan bahwa setiap individu dapat mengalami ketenangan dalam diri di dalam
suatu peperangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Apakah_kekerasan_diperlukan.3F"></a><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Apakah
kekerasan diperlukan?<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ada banyak
pandangan yang menganggap apakah kekerasan dan perang dibutuhkan. Pengikut
jainisme, berusaha untuk tidak melakukan penderitaan bahkan kepada hewan dan
pacifist seperti Kristen anarkis melihat segala kekerasan sebagai
penahanan-diri. Kelompok lainnya memiliki pendirian mereka sendiri yang
bermacam-macam.<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=3226593680537524019" name="Kutipan"></a> Dari Rev. Martin Luther King.Jr, Surat dari penjara Birmingham
menuliskan:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">"<i>True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of
Justice</i>."<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dari Henry Timrod, dikenal dengan puisinya <i>The Poet
Laureate of the Confederacy</i>, </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">yang menulis puisi penuh
kasih, isinya menceritakan banyak orang meninggal disebabkan Confederate Army
dari perang saudara di wilayah Amerika itu. Tetapi setelah menyaksikan sendirinya
kengerian dari peperangan, ia menulis doa tajam ini untuk kedamaian:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">"Not all the darkness of the land, can hide the lifted
eye and hand; Nor need the clanging conflict cease, to make Thee hear our cries
for peace."<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: .25in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: .25in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-left: .25in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 27.0pt; mso-list: l6 level1 lfo10; tab-stops: list 27.0pt; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<b><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">D.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><b><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Konsep
Damai dan Toleransi Dalam Konteks Modal Sosial<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .75in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Modal sosial adalah sesuatu yang sangat penting dalam
hidup bermasyarakat. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kita bisa
membangun perdamaian dan toleransi salah satunya karena modal sosial. Menurut
Fukuyama (2005;20) modal sosial berhubungan dengan “radius kepercayaan” antara
kita dengan orang lain, atau dalam skala yang lebih luas antara orang dari
suatu suku bangsa dengan orang dari suku bangsa lain. Semakin banyak dan
semakin tinggi kadar modal sosial yang dimiliki dalam berinteraksi dengan pihak
lain diyakini bahwa interaksi tersebut akan menciptakan sosial harmoni yaitu
berupa damai dan toleransi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .75in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menurut Fukuyama
(2005:19-20) Modal sosial (sosial capital) dapat diartikan sebagai seperangkat
nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok
yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Substansinya terletak pada radius
kepercayaan yang ada pada masyarakat. Pada tataran operasionalnya berhubungan dengan: tradisi masyarakat,
jaringan sosial, dan pranata sosial yang
berlaku di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: .75in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Istilah modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda
Judson Hanifan pada 1916-an untuk menggambarkan pusat masyarakat sekolah di
pedesaan. Selanjutnya Jane Jacobs menggunakan istilah ini untuk menjelaskan
bahwa jaringan sosial yang sangat padat yang terdapat di pemukiman urban yang
lebih tua dan yang penggunaan lahannya beragam sebagai bentuk modal sosial yang
mendorong ketertiban umum. James Coleman tahun 1980-an menghidupkan kembali
istilah modal sosial dan mengatakan bahwa modal sosial adalah milik masyarakat
dan bermanfaat bagi bagi masyarakat secara keseluruhan. (Fukuyama, 2005:
23-24).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify; text-indent: 45.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Proses pembentukan modal sosial oleh masyarakat berjalan rumit dan
sering sulit. Pada umumnya, proses itu memakan waktu beberapa generasi. Modal
sosial dapat dibuat melalui investasi langsung dalam pendidikan dan
pelatihan-pelatihan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 1.0in; margin-right: -.25pt; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Shils (dalam Sztompka, 2000:74-76) menegaskan bahwa manusia tak mampu hidup
tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka.
Lebih lanjut Sztompka mengatakan bahwa tradisi adalah (1) kebijakan turun-temurun, tempatnya di dalam
kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai-nilai yang kita anut kini serta di dalam
benda-benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi menyediakan fragment warisan
historis yang kita pandang bermanfaat.(2) tradisi memberikan legitimasi
terhadap pandangan hidup , keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada; (3)
tradisi menyediakan symbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat
loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok; (4) tradisi
membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan
kekecewaan terhadap kehidupan modern (2004:74-76).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 9.0pt; margin-right: -.25pt; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 63.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Menurut Fukuyama (2005:270), tradisi penting sekali untuk
memahami norma-norma karena orang sering bertindak bersadarkan kebiasaan, bukan
atas dasar pilihan rasional.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 9.0pt; text-align: justify; text-indent: -27.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Jaringan sosial berkenaan dengan hubungan antar
manusia melalui norma-norma dan nilai bersama (Fukuyama, 2005:273). Kunjungan
silaturahmi antar penduduk dapat dipakai sebagai contohnya. Selain itu jaringan
sosial dapat diamati pula pada terbentuknya institusi-institusi local yang
dibentuk masyarakat dan kepemimpinan yang mengurusinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 9.0pt; margin-right: -.25pt; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 63.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kepemimpinan local yang umum adalah yang merujuk
pada kepemimpinan tradisional yang
informal. Menurut Slamet dan Velsink (dalam Antlov, 2001;46), tipe-tipenya
adalah orang kuat setempat, dan Kyai.
Menurut Weber (dalam Kleden 2003;112) kepemimpinan ditentukan oleh
legitimasinya. Ada tiga legitimasi tersebut yaitu: legitimasi tradisional,
kharismatis dan rasional. Legitimasi tradisional adalah seorang pemimpin
diterima karena kewibawaan dan rasa hormat kepada asal-usulnya. Legitimasi
kharismatis adalah seorang menjadi pemimpin karena pembawaan, bakat, dan
keunggulan-keunggulan istimewa pribadinya sedangkan legitimasi rasional adalah
seseorang diakui sebagai pemimpin berkat kecakapannya dalam bekerja dan
mengatasi persoalan dan juga berkat hasil kerjanya yang didukung oleh cara,
metode, system, dan prosedur yang rapi dan baku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 9.0pt; margin-right: -.25pt; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: 63.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Institusi lokal
merupakan bagian dari kesejarahan dan organisasi rakyat yang masih
hidup. Adat menurut Koentjaraningrat
(2000:10-11) adalah wujud ideel dari kebudayaan. Adat dapat dibagi lebih khusus
dalam empat tingkat, yaitu (1) nilai budaya, (2) norma-norma, (3) hukum, (4)
aturan khusus. Institusi <i>adat</i> merujuk kepada norma karena berkait
dengan peranan dalam masyarakat. Institusi adat menjadi penting karena
didalamnya terkandung model kepemimpinan lokal dengan sistem kekuasaan yang
melekat padanya. Alat kekuasaan ini lebih bersifat moral spiritual yaitu pada
keyakinan pada hubungan-hubungan yang seimbang antara manusia dengan manusia
dan manusia dengan alam dan hubungan yang seimbang antara manusia dengan
penciptanya. Institusi <i>adat</i> yang
menempatkan dirinya pada ranah moral spiritual menyebabkan institusi ini masih
hidup di komunitas . Kepemimpinan dalam institusi ini tidak hanya
mempertahankan kepercayaan orang banyak, tetapi juga memperkuat rasa percaya
diri institusi ini. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 9.0pt; text-align: justify; text-indent: 9.0pt;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Pranata (institution)
adalah suatu sistem norma khusus yang
menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan
khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat (Koentajaraningrat, 2000:14).
Lebih lanjut di jelaskannya bahwa komponen-komponen pranata sosial dapat
digambarkan sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="height: 78px; margin-left: 23px; margin-top: 215px; position: absolute; width: 102px; z-index: 5;"></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfdiXKRMjRNDuh9BaCBhY3_RXeKx_40CQqoN0kosn4cB4xXjp1cQYrqC8-dwpo8prEeILXMRLarISNE878j-J762luyWhvC82icMXqyF5TYEVFqY9adskh0CgQyhOeORScRBYY5EyzGJM/s1600/BAB+VII-1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfdiXKRMjRNDuh9BaCBhY3_RXeKx_40CQqoN0kosn4cB4xXjp1cQYrqC8-dwpo8prEeILXMRLarISNE878j-J762luyWhvC82icMXqyF5TYEVFqY9adskh0CgQyhOeORScRBYY5EyzGJM/s1600/BAB+VII-1.jpg" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="line-height: 16px;"><b><br /></b></span></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Diagram
1: Bagan Komponen-komponen dari Pranata
Sosial<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 45.0pt; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Di
dalam kehidupan masyarakat, pranata sosial yang merupakan alat untuk mengatur
perilaku kehidupan anggota masyarakatnya adalah Hukum adat. Pospisil (dalam
Koentjaraningrat, 2000:22-23) mengatakan bahwa hukum adat adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 1.0in; margin-right: -.25pt; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">suatu aktivitas
pengawasan sosial, yang harus memenuhi empat attributes of law yaitu: (1)
attribute of authority yang merujuk kepada adanya suatu mekanisme yang diberi
kuasa dan pengaruh dalam masyarakat untuk membuat keputusan-keputusan terhadap
ketegangan sosial; (2) attribute of intention of universal application.
Attribute ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa
harus dimaksudkan sebagai keputusan yang berjangka panjang dan harus dianggap
berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan
datang; (3) attribute of obligation, attribute ini menjelaskan bahwa keputusan
dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban dan hak-hak para pihak yang bersengketa; (4)
attribute of sanction, attribute ini berkenaan dengan keputusan-keputusan dari pihak berkuasa harus
dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Toleransi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> Menyikapi kecenderungan munculnya konflik di tengah-tengah
masyarakat Kalimantan Barat yang majemuk ini, maka perlu beberapa hal penting
yang harus dilakukan secara baik dan praktis. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Hal-hal yang perlu dilakukan tersebut selanjutnya disebut
strategi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Strategi-strategi ini diawali dengan sikap toleransi dan gagasan membangun relasi
yang baik antar tokoh agama dan masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan
menghadapi konflik laten serta konflik terbuka. Berikut ini beberapa strategi
praktis yang mungkin dilakukan sebagai upaya membangun perdamaian pada semua
lapisan masyarakat, khususnya membangun toleransi antaragama dan antaretnis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Toleransi
berarti membiarkan, menerima adanya perbedaan, baik untuk sementara maupun
dalam waktu lama. </span></b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Toleransi
menjadi<b> </b>hak tiap warga nagara untuk
diperlakukan setara tanpa memperhitungkan lagi latar belakang agama, etnisitas
atau pun sifat-sifat spesifik yang dimiliki seseorang. Yang memberi jaminan
terwujudnya toleransi tidak lagi orang per orang atau kelompok tertentu
terhadap yang lain, melainkan institusi Negara. Di bawah payung konstitusi
setiap orang atau kelompok mempunyai hak sama untuk mewujudkan diri tetapi
sekaligus mempunyai kewajiban yang sama pula.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Strategi-strategi yang bisa
menumbuhkan toleransi di beberapa situasi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: .25in; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">1.
Membangun kepercayaan antara tokoh agama<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Banyak kegiatan antariman yang terprogram dan bersifat
publik tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, terutama di daerah yang
komunikasi antara para tokoh agama tidak berlangsung dengan baik.
program-program antariman banyak yang tidak mungkin dilaksanakan karena tidak
adanya dukungan dari para tokoh tersebut. Maka sangat diperlukan tumbuhnya
relasi pribadi dan saling percaya di antara tokoh-tokoh tersebut. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Proses
membangun kepercayaan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah
berikut ini:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Adanya
kelompok inti antar iman yang bertindak sebagai inisiator, pelobi, dan penghubung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menentukan sejumlah
tokoh agama yang:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mewakili semua dari
agama yang ada<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mempunyai pengaruh
kuat baik di dalam komunitasnya dan/atau dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Melakukan
pendekatan ke pribadi masing-masing tokoh oleh anggota kelompok antariman dari
agama yang sama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mendengarkan
keinginan/harapan maupun keberatan dari masing-masing tokoh mengenai
kemungkinan kontak dengan tokoh dari agama yang lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">5.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mencari titik temu
dari harapan-harapan tersebut dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang
ada.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">6.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">menyerahkan
keputusan mengenai tema pembicaraan, waktu dan kegiatan kepada para tokoh
sesudah mengkomunikasikan penyatuan harapan dan keberata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">7.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mendorong
perjumpaan yang bersifat pribadi antara tokoh dalam jumlah terbatas (Dua sampai
empat orang).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">8.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mengusahakan agar
perjumpaan semacam ini berlangsung secara teratur, kalau perlu dua sampai tiga
bulan sekali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">9.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">kesempatan yang
terkait dengan acara-acara kekeluargaan dapat dimanfaatkan sebagai alasan
pertemuan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">10.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;"> </span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hindarkan publikasi yang dapat menyudutkan posisi para
tokoh dalam komunitasnya sendiri maupun masyarakat luas kalau situasi belum
memungkinkan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; tab-stops: list .5in; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: .25in; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">2.
Promosi toleransi di daerah rawan konflik<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .25in; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Untuk mempromosikan toleransi di daerah yang rawan
konflik atau dalam konteks konflik laten
disarankan sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div>
<ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Membangun hubungan baik antara tokoh
agama/masyarakat<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mensosialisasikan
wawasan pluralisme dan toleransi, dalam bentuk kegiatan, misalnya:<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Seminar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
kelompok<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bedah
buku<o:p></o:p></span></div>
<ol start="3" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pengembangan kepekaan pluralisme dalam tindakan
toleransi, misalnya:<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Lokakarya
“Aksi tanpa kekerasan”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pelatihan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Perkemahan pemuda
lintas iman dan etnis<o:p></o:p></span></div>
<ol start="4" style="margin-top: 0in;" type="1">
<li class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Membudayakan toleransi dalam tindakan dan aksi
sosial yang dilaksanakan secara bersama, misalnya:<o:p></o:p></span></li>
</ol>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aksi
sosial<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Donor
darah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pemberian
gizi balita<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Menangani dan
merespon persoalan secara bersama<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .75in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: .25in; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">3.
Promosi toleransi dalam konteks konflik terbuka<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 13.5pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dalam situasi konflik terbuka seperti di Kalimantan
Barat, program-program yang sebaiknya dilakukan secara garis besar terbagi dua
yaitu: Program tanggapan darurat dan program pendidikan dan penyadaran. Program
tanggapan darurat semestinya dilakukan sebagai tahap awal karena kita tidak
mungkin mendiskusikan akar konflik dan usaha-usaha pengelolaannya tanpa melalui
program ini. Sedangkan program pendidikan dan penyadaran dilakukan sebagai
upaya untuk meminimalisir laju konflik yang terjadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="tab-stops: .25in; text-align: justify;">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Program
Tanggap Darurat<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Dimensi dan cakupan kegiatan tanggap darurat sangatlah
luas dan akan sangat tergantung kebutuhan situasi dan korban. Namun, dalam
konteks upaya antaragama dan antaretnis program tanggap darurat dapat menjadi
pintu masuk bagi mempromosikan kembali pentingnya bekerja dan hidup bersama,
meski efektivitasnya sulit di ukur karena situasi yang sangat rentan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Untuk melakukan program ini, mulai dari proses assessment
hingga evaluasi, kelompok merujuk dan menunjuk organisasi-organisasi seperti
instansi-instansi PBB (Organisasi yang bernaung di bawah PBB seperti UNICEF,
WFP, OCHA), Church World Service (CWS) yang telah megembangkan pedoman bahasa
Indonesia, Catholic Relief Services (CRS) (Manual dan Pedoman untuk Tanggap
Darurat, termasuk <i>assessment)</i>, serta
beberapa Ornop lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.25in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">A.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Program
Pendidikan dan Penyadaran<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">1.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pelatihan trauma
konseling<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langkah-langkah</span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">
yang dapat dilakukan adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Rekruitmen
peserta sebanyak 25 orang. Terdiri dari 20 orang dari dua komunitas yang
berkonflik dan <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">lima</st1:city></st1:place>
orang staf lapangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dilaksanakan
selama enam hari<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Materinya
seputar hal-hal tentang pemahaman dasar dan ciri-ciri korban trauma dan metode
penyembuhannya, media/alat untuk penyembuhan trauma, pelayanan psikososial dan
sebagainya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Prasyarat:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pesertanya
melibatkan korban dari kalangan pemuda, tokoh agama, ibu-ibu, tim medis lokal
dan staf lapangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dilaksanakan
di luar wilayah konflik<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Fasilitator
harus melibatkan orang yang menguasai lapangan, psikiater, dan psikolog.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sudah
ada program sebelumnya sebagai <i>entry
point</i> (Biasanya tanggap darurat).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">2.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Rehabilitas
mental<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langkah-langkah</span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">
yang dapat dilakukan adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
informal antar kampung untuk dewasa yang difasilitasi oleh fasilitator yang
telah mengikuti pelatihan trauma konseling.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Untuk
anak-anak dilakukan dengan metode bermain seperti melukis, lomba-lomba, dan
sebagainya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Prasyarat:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Peserta
harus melibatkan semua level yakni dari anak-anak sampai dewasa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">3.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
non-formal interkomunitas agama dalam <i>satu
wilayah</i> tentang pengelolaan konflik<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langkah-langkah </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
dalam komunitas agama di satu wilayah<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
dengan tokoh-tokoh lokal, dilakukan dua kali dalam seminggu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Perlu
adanya fasilitator<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Prasyarat:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Diskusi
harus melibatkan korban<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">4.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
non-formal <i>antar komunitas agama dalam
wilayah-wilayah yang berbeda</i> tentang pengelolaan konflik.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langkah-langkah </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
dari wilayah satu ke wilayah lain dalam satu komunitas agama<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dilakukan
dua kali sebulan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Perlu
adanya fasilitator<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">5.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diskusi
non-formal <i>antar komunitas agama yang
berbeda dari wilayah-wilayah yang berbeda</i> tentang pengelolaan konflik.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langkah-langkah </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Memilih
perwakilan dari tiap komunitas agama<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Peserta
terdiri dua pihak yang bertikai<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tempat diskusi
ditentukan sesuai dengan kesepakatan dua komunitas<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tema
disepakati terlebih dahuku<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dilakukan
secara fleksibel, tergantung situasi<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Prasyarat:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Situasi
dan kondisi sudah memungkinkan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.5in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">6.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-weight: normal;">
</span></span></b><b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penerbitan media
informasi dan komunikasi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Langkah-langkah </span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bentuknya dapat
berupa <i>koran,</i> brosur, poster atau
stiker.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Data-data berasal
dari hasil diskusi yang dilakukan dalam semua jenis diskusi diatas.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">c.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dilakukan analisis
dan dielaborasi labih jauh dengan berbagai referensi tambahan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">d.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diterbitkan dan
disebarluaskan ke semua komunitas agama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">e.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penerbitan satu
kali dalam sebulan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: .5in; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">Prasyarat:<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">a.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Brosur,
poster, dan stiker berisi pesan-pesan perdamaian, pluralisme, toleransi, dan
seterusnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 0.75in; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">b.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt;">
</span></span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Isi
tulisan dalam <i>koran</i> tidak menyinggung
salah satu komunitas agama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 56.65pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<b><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Analisis dan Refleksi Realitas
Sosial <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ketika argumen teoritis bahwa suasana damai
dan toleransi tidak tercapai karena telah terjadi politik agama. Maka
pertanyaan berikutnya adalah apa yang mendorong hal tersebut? Apa yang
menimbulkan adanya perasaan kecewa serta menguatnya identitas kelompok ? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sangat
panjang dan variatif. Namun, setidaknya ada beberapa ekplanasi untuk itu. <b>Pertama</b>, seberapa parah
tingkat perbedaan ekonomi, keterbelakangan sosial dan penderitaan kolektif kelompok
komunal tersebut dibandingkan kelompok-kelompok yang lain. Semakin besar
perbedaan kondisi antar kelompok semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin
kokoh persepsi bahwa mereka mempunyai kepentingan bersama untuk tindakan
kolektif. </span><b><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kedua</span></b><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, ketegasan identitas dan kohesi kelompok.
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kekuatan untuk mengartikulasi kekecewaan akan
tergantung pada kekuatan identitas dan mobilisasi kelompok. Dengan demikian,
perumusan simbol-simbol bersama dan
upaya untuk merumuskan perbedaan yang tegas antara kita dan mereka
menjadi faktor yang kondusif bagi gerakan politik. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Semakin besar perbedaan dalam hal-hal yang simbolik maka
semakin besar potensi untuk terjadinya konflik. Salah satu pemicu penguatan
frustasi dan identitas kelompok adalah terbentuknya struktur sosial yang
terkonsolidasi. Konfigurasi sosial disebut terkonsolidasi apabila pemilihan
sosial yang berdasarkan parameter nominal (suku-agama) jumbuh dengan pemilihan
sosial berdasarkan ekonomi dan struktur okupasi. Misalnya, suku A, umumnya
memeluk agama A, dan sebagain besar menguasai struktur ekonomi A. Sebaliknya, ada suku B, yang beragama B dan
menguasai sektor ekonomi B. Bahkan di beberapa
daerah di Indonesia, seperti NTT, Kalimantan Barat dan Maluku, struktur okupasi (pekerjaan) melekat pada agama dan etnis tertentu. Dengan demikian struktur ekonomi dan peta
demografi menjadi suatu penjelasan yang penting dalam menyelesaikan
kondisi-konsisi yang melatarbelakangi perasaan frustasi dan penguatan
identitas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kasus tragedi Maluku merupakan contoh yang gambang tentang hal
ini. Maluku, khsususnya Ambon, sejak jaman kolonial terbangun dalam pemilahan sosial yang terbangun atas dasar agama. Perbedaan
agama muncul tidak hanya sebagai perbedaan identitas akan tetapi menjadi sebuah
perbedaan ruang. Ada kampung yang disebut kampung muslim, sebaliknya ada
kampung Kristen. Pemilihan sosial ini juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, birokrasi dikuasai oleh
Kristen sedangkan Perdagangan dikuasai oleh Muslim. Sejak Orde Baru, terjadi perubahan
konfigurasi sosial secara demografis akibat proyek modernisasi sosial-ekonomi.
Keseimbangan yang sbelumnya terbangun menjadi tergoyahkan terutama sebagai akibat
arus migrasi. Migrasi ke Ambon semakin meningkat tiga puluh tahun belakang ini
dan menyebabkan hadirnya etnis Bugis Makasar dan Buton mengisi kekosongan
struktur ekonomi Ambon. Mobilitas vertikal juga terjadi di kalangan komunitas
Muslim sehingga banyak kalangan Muslim yang mengisi jabatan-jabatan publik
serta menguasai sektor ekonomi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Perubahan komposisi sosial-ekonomi inilah
yang kemudian menimbulkan kelompok yang menjadi “ the winner “ dan the looser”
dan mengkondisikan frustasi sosial dan penegasan identitas kelompok. Seperti
yang disampaika</span><span style="height: 3px; left: 0px; margin-left: 119px; margin-top: 937px; position: absolute; width: 194px; z-index: -3;"><img height="3" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif" v:shapes="_x0000_s1044" width="194" /></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">n dalam
data tentang karakteristik kekerasan maka pengruskan Mesjid atau gereja akan
terjadi di daerah dimana laju pertumbuhan antara minoritas dan mayoritas tidak
seimbang. Penguatan identitas juga dipicu oleh modernisai yang justru
melahirkan anak haram berupa militansi dan fundamentalisme yang melawan sekularisme modernisme. Identitas
teraktualisasi dalam istilah Obet dan Acang. Fondasi konflik yang sudah
terbentuk kemudian menjadi konflik yang manifest ketika elite kedua kelompok
komunal memobilisasi komunitasnya untuk
melakukan tindakan kolektif melalui sejumlah strategi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konflik agama bukan konflik identitas <i>an sich</i>, dengan memperhatikan
perubahan demografik dan ekonomi, mobilisasi politik elite dan lain-lainnya, tetapi ada beberapa hal yang
turut menjadi perhatian teruatama dari
argumen kaum Substantifis maupun Schumpeterian. Bahwa, konflik tidak akan menjadi sebuah kekerasan
politik apabila demokrasi secara prosedural dan substantif bisa bekerja. Elemen
apakah yang membuat demokrasi bisa
bekerja ? Belajar dari pengalaman Putnam dalam mengkaji bekerjanya demokrasi di
Italia maka modal sosial (<i>social capital</i>) justru menjadi elemen yang
penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan
kemampuan organisasi, jaringan dan kelembagaan sosial dan warga dari institusi
tersebut di dalam mengontrol dan membentuk pertukaran sosial yaitu distribusi
kekuasaan politik dan sumberdaya ekonomi antar individu atau kelompok dalam
masyarakat. Dalam konsepsi Putnam, modal
sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian asosiasi-asosiasi
horisontal antar warga yang di dalamnya
terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma- norma terkait yang mempunyai
pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator
terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi komunitas dalam mewujudkan kehidupan
sosial. Semakin banyak asosiasi horsontal dan bakan interaksi antar asosiasi
dan warga dalam komunitas maka semakin
tinggi warga mempunyai kemampuan dalam
menerapkan demokrasi. Modal
sosial merupakan suatu kekuatan untuk mewujudkan komunitas humanistik yang
dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (<i>civic</i> <i>community</i>).
Menurut Putnam, kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis
karena dalam komunitas seperti itu selalu terlembaga; kesepakatan-kesepkatan,
keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta
struktur sosial yang kooperatif antar warga. Dengan demikian demokrasi
substansi muncul apabila adanya perasaan tolerasi, saling menghargai dan
mempercayai (<i>mutual trust</i>) satu sama lainnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tentusaja ada pertanyaan lanjutan yang cukup
sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan <i>mutual
trust</i> yang sempat goyah akibat pertikaian antar </span><span style="height: 3px; left: 0px; margin-left: 119px; margin-top: 875px; position: absolute; width: 194px; z-index: -2;"><img height="3" src="file:///C:/Users/123/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif" v:shapes="_x0000_s1045" width="194" /></span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">komunitas
Agama? Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa
usaha yang bisa dibangun untuk menrintis kembali <i>mutual</i> <i>trust</i>
antar komunitas Agama; <b>pertama</b>,
mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita untuk meretas
rekonsiliasi. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya
dengan proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Sehingga, untuk membangun
saling kepercayaan antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’
hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masalalu dan bahkan bersedia untuk
meminta maaf atas kesalahan-kesalahan
yang telah diperbuat dalam sejarah.<sup><span style="position: relative; top: -2pt;">7</span></sup> Proses ‘melupakan’ itu juga harus diikuti
dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari
kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. <b>Kedua</b>, <i>mutual trust</i> akan bisa terbangun
apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang
berbagai isu yang dianggap sensistif. Dalam dialog emansipatoris, lebih
didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh
apa yang sering disebut dengan prasangka
dan stereotype.<b>Ketiga</b>, <i>mutual
trust</i> akan bisa terbangun apabila ada ‘proyek bersama’ di masa depan yang
ingin diwujudkan. Di jaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa
bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme maka
pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi
masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sedangkan demokrasi prosedural berupa kesepakatan
kelompok yang bertikaian untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam
menyelesaikan persoalan. Kesepakatan ini bisa benbentuk pelembagaan konflik
melalui institusi tradisional seperti adat
(Pella Gandong) maupun pembentukan zone-zone netral, seperti pasar dan
kepentingan publik lainnya. Pelembagaan konflik melalui institusi – institusi
sekarang ini dipertanyaan ketika kredibilitas institusi tersebut merosot di
depan publik. Birokrasi, Militer, Pengadilan dan bahkan institusi mengalami
krisis legitimasi dan kredibilitasnya. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dengan pula dengan Zone-zone netral semakin berkuarang dengan adanya pasar
yang dibentuk berdasarkan agama. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dari
mana resolusi konflik harus di mulai ?</span><span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="FI">INTISARI<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konsep <b>damai</b> membawa konotasi yang positif; hampir
tidak ada orang yang menentang perdamaian. Perdamaian merupakan tujuan utama
dari kemanusiaan. Tiap orang memiliki pandangan berbeda tentang apakah damai
itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan mungkinkah perdamaian benar-benar
terjadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya
dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan
arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;">Ketiadaan
perang<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebuah definisi yang sederhana dan sempit dari damai
adalah ketiadaan perang. (bahasa untuk damai adalah <i>Pax</i> yang
didefinisikan sebagai <i>Absentia Belli</i>, <i>ketiadaan perang</i>). Dan
lagi, dengan definisi ini, kita sekarang tinggal di zaman <i>dunia damai</i>,
tanpa perang aktif antara negara-negara. Perawatan perdamaian yang lama antar
negara merupakan kesuksesan besar dari PBB. Damai dapat terjadi secara
sukarela, dimana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam keributan, atau
dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang menyebabkan gangguan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kenetralan yang kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai
sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini
memiliki sejarah perdamaian yang berkelanjutan terlama. Sejak invasi 1814
Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan kekerasan gaya-militer.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;">Keberadaan
keadilan<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Membatasi konsep perdamaian hanya kepada ketiadaan perang
internasional hanya menutupi genocide, terorisme, dan kekerasan lainnya yang
terjadi dalam negara. Hanya sedikit yang menggambarkan genocide yang terjadi di
Kongo pada 1890-an sebagai sebuah contoh damai. Beberapa, oleh karena itu,
mendefinisikan 'damai' sebagai ketiadaan kekerasan: tidak hanya ketiadaan
perang, tapi juga ketiadaan setan(evil).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dan banyak juga yang percaya bahwa perdamaian tidak hanya
ketiadaan dari kejadian sosial yang tragis. Dari sudut pandan ini, perdamaian
tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang
digambarkan oleh Martin Luther King,Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat
di mana suatu grup ditekan oleh grup lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian,
karena penekanan ini juga merupakan bagian dari setan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;">Perdamaian
jamak<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Beberapa pemikir perdamaian memilih membuat ide damai
tunggal; dan mendorong ide banyak arti dari damai. Mereka berpiki tidak ada
definisi tunggal yang benar tentang damai; damai, harus dilihat sebagai sesuat
yang jamak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Contohnya, di Wilayah Danau Besar Afrika, kata damai
adalah <i>kindoki</i>, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara
manusia, dan dunia alam lainnya, dan juga kosmos. Pandangan ini lebih luas dari
damai yang berarti "ketiadaan perang" atau bahkan "kehadiran
keadilan".<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Banyak pemikir yang sama juga mengkritik ide damai
sebagai harapan dan yang akan terjadi pada suatu hari. Mereka mengenal damai
tidak harus sesuatu yang manusia harus capai "suatu hari". Mereka
menganggap bahwa damai hadir, bila kita menciptakan dan mengembangkannya dalam
cara yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan damai akan berubah secara
terus menerus.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<b><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;">Damai dan
tenang<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam beberapa hubungan, damai dapat menunjuk secara umum
ke keadaan tenang - ketiadaan gangguan atau godaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bagi
orang yang sering bepergian ke daerah terpencil seringkali memperhatikan
perbedaan antara tingkat kebisingan antara <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">kota</st1:city></st1:place> dan desa; oleh karena itu muncul istilah
'damai dan tenang'.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 13.5pt;">Damai dalam diri<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Satu
arti dari damai menunjuk ke damai dalam diri; sebuah keadaan pikiran, badan,
dan jiwa, yang dikatakan terjadi di dalam diri kita. Orang yang melakukan
eksperimen dengan damai dalam diri mengatakan bahwa rasa ini tidak tergantung
oleh waktu, orang, atau tempat, menekankan bahwa setiap individu dapat
mengalami ketenangan dalam diri di dalam suatu peperangan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormalCxSpMiddle">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b>BACAAN LANJUT<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Anyang</span></st1:city></st1:place><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, Thambun YC. 1998, Kebudayaan dan
Perubahan Daya Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Gramedia, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Barker, Chris. 1999. <i>Cultural
Studies</i>, Teori dan Praktek, <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jogjakarta</st1:city></st1:place>:
PT Bentang Pustaka.<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Budiardjo, Miriam. 2000. <i>Dasar-Dasar Ilmu Politik<b>,</b></i> <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Jakarta</st1:city></st1:place>: Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Burhanuddin. 1988<i>. Streotipe Enik Asimilasi,integrasi Sosial</i>,Yayasan
Ilmu-Ilmu sosial, Jakarta: Pustaka Grafika.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="SV">Coomans,
Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoEndnoteText" style="margin-left: 42.0pt; tab-stops: 0in; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<span lang="IN">Davidson, Jamie S. 2003. politik primitif : pasang
surut partai persatuan dayak di
Kalimantan Barat, Indonesia, Diterjemahkan dari “Primitive” Politics:
The Rise and Fall of Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia, Asia
Research Institute Working Paper Series No. 9. </span><span lang="NO-BOK">August 2003. </span><a href="http://www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm"><span lang="NO-BOK" style="font-size: 12pt;">www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm</span></a><span lang="NO-BOK">. </span><span lang="NO-BOK" style="font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">2005. <i>Pendidikan Multikultur</i>, Jakarta: CV Karya Agung.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span lang="SV" style="font-family: Helvetica, sans-serif;">Thomas Santoso, </span><i><span lang="SV">Potret Kekerasan Politik-
Agama dalam Era Reformasi</span></i><span lang="SV" style="font-family: Helvetica, sans-serif;">,Lokakarya Flienders-FISIPOL UGM, 2000.</span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<span style="font-family: Helvetica, sans-serif;">Theda
Scokpol, </span><i>Negara dan Revolusi Sosial</i><span style="font-family: Helvetica, sans-serif;">, Penerbit Erlangga,
1991.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">BAHAN BACAAN<o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">HUBUNGAN ETNIK
MELALUI TRADISI LISAN <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">PENDAHULUAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sebagai dampak
dari modernisasi utamanya banyaknya stasiun televisi di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> yang
menayangkan sinetron, tradisi lisan dalam budaya Dayak mengalami kemunduran
serius. Budaya pantun dan singara (bercerita) sudah sangat jarang terjadi. Pada
20 tahun yang lalu ketika penulis masih remaja, pantun menjadi model komunikasi
ketika seorang pemuda Dayak akan melamar perempuan Dayak. Utusan kedua mempelai
akan saling berbalas pantun dalam menyampaikan maksud pertemuan mereka. Pada
masa itu seluruh tahapan acara perkahwinan diwarnai tradisi lisan yang sangat
kental. Pada masa ini tidak lagi dijumpai hal demikian dalam perkahwinan Dayak.
Pada masa kini, tradisi lisan yang masih terus bertahan adalah pada acara
perdukunan/bomoh dan dunia roh/dunia magic.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tidak boleh
ditolak kenyataan bahawa sampai hari ini dukun atau bomoh masih memiliki tempat
yang penting dalam kehidupan masyarakat. Aktiviti bomoh ini tidak ekslusif yang
bermakna bahawa semua orang dari pelbagai etnik dan agama boleh pergi ke
tempatnya untuk berubat, dengan demikian bomoh berperan penting merapatkan
hubungan etnik. Modenisasi walaupun telah menjejaskan praktik bomoh ini tetapi
masyarakat pada kawasan pedalaman masih percaya bahawa bomoh memiliki kemampuan
penyembuhan penyakit yang puncanya alam
roh. Penulis menemukan data bahawa pada setiap kampung di daerah ini memiliki
bomoh sekurang-kurangnya 4 orang. Di Selakau justeru lebih banyak lagi iaitu 14
orang. Kemampuan mereka yang patut dikangumi bahkan oleh dokter moden sekalipun ialah
pengobatan patah tulang. Kemampuan lainnya amnya berhubung kait dengan alam
roh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Tradisi lisan yang dijalankan oleh
para bomoh Dayak ketika menjalankan
pengubatan bomoh dan dunia roh secara am dipengaruhi oleh budaya Melayu.
Perkataan Bismillah….. selalu merupakan kata-kata awal yang diucapkan oleh
bomoh Dayak ketika acara pengubatan dimulai. Sementara itu untuk keperluan
dunia roh dan Magic, orang Dayak selain menghapal ayat-ayat bernuansa Melayu
juga menyimpan manuskrip-manuskrip yang ditulis dalam bahasa Arab. Keadaan
demikian cukup unik mengingat mereka
menganuti agama Kristian.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Pertikaian dan rusuhan bernuansa etnik yang kerap
berlaku di Kalimantan Barat juga memiliki andil yang besar pada orang Dayak untuk
menguasai kembali ilmu-ilmu magic, yang dengan demikian meningkatkan peran
tradisi lisan itu sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Selain itu peran agama Kristian juga cukup penting, kecuali kristian
Protestan. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Agama Kristian Katolik memberikan tempat bagi
berkembangnya tradisi lisan ini. Semua budaya Dayak berikutan tradisi lisannya
dapat terus dijalankan walaupun orang Dayak menganuti agama katolik. Oleh itu
adalah biasa seseorang yang menganuti agama Katolik juga menjalankan dan
mengekalkan budaya dayak. Pada masa kini sering terdengar kata-kata inkulturasi
iaitu sebuah kata yang bermakna memasukan unsur-unsur budaya lokal dalam
upacara doa dalam kalangan agama katolik.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<strong><span lang="IN" style="font-weight: normal;">Tradisi
lisan</span></strong><span lang="IN"> adalah cerita
dan non cerita yang dituturkan secara langsung oleh nenek moyang suku <strong><span style="font-weight: normal;">Dayak</span></strong>
secara turun temurun. <strong><span style="font-weight: normal;">Tradisi lisan</span></strong></span> ini sangat penting bagi kehidupan
masyarakat <strong><span lang="IN" style="font-weight: normal;">Dayak</span></strong><b>,</b> sebab dari <strong><span lang="IN" style="font-weight: normal;">tradisi lisan</span></strong>
inilah dapat diketahui pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat <strong><span lang="IN" style="font-weight: normal;">Dayak</span></strong><b>.</b> Selain
itu dalam tradisi lisan ini mengandung filsafat, etika, moral, estetika,
sejarah, seperangkat aturan adat, ajaran-ajaran agama asli <strong><span lang="IN" style="font-weight: normal;">Dayak</span></strong><b>,</b> ilmu
pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta hiburan rakyat. <span lang="SV">Bagi suku <strong><span style="font-weight: normal;">Dayak tradisi lisan</span></strong> menghubungkan
generasi masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">KERANGKA
KONSEPTUAL<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Apabila
membincangkan tentang tradisi lisan ,
persoalan pokok yang dibincangkan adalah sosio budaya sesuatu
masyarakat. Dalam perkara ini yang dibincangkan meliputi cara hidup dan sikap
sesebuah masyarakat itu terhadap sesuatu perkara seperti pendidikan, ekonomi,
politik, seni dan adat istiadat. Budaya yang masih terpelihara adalah warisan
tradisi yang sudah menjadi darah daging seperti kenduri kendara, majlis
perkahwinan dan sebagainya yang memerlukan penglibatan saudara mara serta
amalan tolong-menolong. Kamus Dewan Edisi Keempat 2005 mendefinisikan
sosiobudaya sebagai hubungan masyarakat dengan budaya. Hubungan ini adalah
seperti cara hidup, adat istiadat dan lain lain. Seterusnya Anwar Din (2008:33)
menyatakan budaya itu tercakup di dalamnya tentang cara hidup sesuatu
masyarakat, tamadun, peradabannya dan kemajuan akal budinya. Dan pengertian
cara hidup itu pula, mencakup hal-hal tentang cara berfikir, adat istiadatnya,
kesenian dan hal-hal mengenai kehidupan mereka seperti cara berekonomi, cara berpolitik,
cara belajar dan lain-lain. Budaya adalah sesuatu nilai dan pegangan hidup,
gabungan dua unsur budi (sesuatu yang luhur, murni dan suci) dan daya
(keupayaan, kemampuan dan kekuatan yang terangkum di dalam akal, jasmani dan
rohani). Kekuatan akal semata-mata tanpa kekuatan jasmani tidak boleh
melahirkan bangsa yang maju, positif dan boleh memenuhi perubahan dalam semua
aspek kehidupan. Kebudayaan adalah tanda bahawa manusia boleh berfikir,
mempunyai perasaan dan daya cipta. Daya cipta dalam hal ini termasuklah tradisi
lisan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Teori fungsional
yang dikemukakan oleh O’dea (1987:3) adalah sebagai kerangka acuan penelitian
empiris, yang memandang masyarakat sebagai suatu institusi social yang berada
dalam keseimbangan, yang mempolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma
yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu
sendiri. Institusi social yang konfleks secara keseluruhan merupakan system
social sedemikian rupa yang pada setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan
itu) saling tergantung dengan semua bagian lain, sehingga perubahan pada salah
satu bagian akan mempengaruhi bagian lain, yang pada akhirnya mempengaruhi
kondisi sistem keseluruhan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Adapun “sistem nilai
budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap
mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap
remeh dan tidak berharga dalam hidup” (Koentjaraningrat, 1969: 18). Dalam kehidupan
bermasyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap, di mana keduanya menentukan pola-pola tingkah laku
manusia. Sistem nilai adalah bagian
terpadu dalam etika-moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam
norma-norma sosial, sistem hukum dan adat sopan-santun yang berfungsi sebagai
tata kelakuan untuk mengatur tata-tertib kehidupan bermasyarakat. Adat-istiadat
menetapkan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertindak secara tertib. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Nilai
budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa
tertentu. Sejak kecil “individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya
masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam
mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam
waktu yang singkat” (Koentjaraningrat, 1969: 18). ). Sehubungan dengan itu, di
dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya itu mencerminkan stereotaip
tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang
santun, bertindak pelan-pelan <i>lembah
manah (low profile)</i> , halus tutur katanya dan sebagainya. Kekhasan nilai
budaya daerah dan perilaku praktisnya itu tentu saja secara relatif berbeda
dengan kekhasan nilai budaya suku bangsa lain, hal demikian tergambar dalam
tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tradisi
lisan</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">
merujuk kepada segala bentuk warisan dan tradisi yang lahir dalam sesuatu
kelompok masyarakat. Penyampaian tradisi ini berbentuk perantaraan <a href="http://ms.wikipedia.org/w/index.php?title=Pertuturan&action=edit&redlink=1" title="Pertuturan (tidak wujud)">lisan</a>. Ia merupakan satu cara masyarakat
menyampaikan sejarah lisan, kesusteraan, perundangan dan pengetahuan lain
menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan. Tradisi lisan menurut Muji Sutrisno
(2008:1) merupakan salah satu cara seseorang mengembangkan dirinya dalam
kebudayaan. Seterusnya beliau mengatakan ketika tuturan dan wacana serta yang
umumnya disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun
pengetahuan dan menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika.
Tradisi adalah ruang budaya dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup,
bersikap dan memaknai realitas dari warisan yang diterima dalam pepatah,
gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan ajaran hidup baik dan hidup
bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan wacana sebelum
ditulis dalam tradisi tulisan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><br clear="all" style="mso-break-type: section-break; page-break-before: always;" />
</span>
<br />
<div class="Section2">
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">TRADISI
LISAN DAYAK KONTEMPORER<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Secara umum,
kebudayaan Dayak dan tradisi lisannya
dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha. Orang Dayak Selako misalnya percaya kepada
Tuhan yang mereka sebut sebagai Jubata , ada juga yang menyebutnya Dervata
(Roth, 1968:7). Gould (1909:38) mengatakan , ‘ Dewata is the Land Dayak name of
a God from Sanskrit word dewata divinity, deity, gods. Seterusnya Roth
(1968:216) menulis, ‘ we may recall the fact that Land Dayaks have a kind of
Hindu Trimurti, viz-Tapa or Yang, the Preserver (Vishnu or Dewa-dewa of
Hindus), Jirong-Brama, the creator (Brahma of the Hindus), Triyuh-Kamang, the
destroyer (Shiva of the Hindus)’. Berikut adalah aktviti kulural Dayak pengaruh Hindu
tersebut, yang pada setiap majlisnya mengamalkan tradisi lisan..<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="IN">1.Lala’
<br />
Lala’ adalah aktiviti dalam wujud pantangan untuk menjalankan sesuatu baik itu pantang makan, melakukan
sesuatu, dan mengucapkan kata - kata. </span><span lang="SV">Masa pantang bisa tiga hari, tujuh hari, 44 hari, dan seumur hidup diatur
dalam tradisi masyarakat setempat. Tujuan lala’ adalah agar setiap anggota
masyarakat terhindar dari bahaya, kekuatan meningkat, atau terkabulnya niat
dalam pekerjaan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="SV">2.Nyangahatn<br />
Doa dalam adat dayak dikumandangkan dalam bentuk nyangahatn. Upacara adat ini banyak digunakan
dalam peristiwa adat seperti liatn, lala’remah, gawe, sampore’, dan mato’.
Nyangahatn juga dilakukan saat bercerita sejarah kejadian asal usul. Tujuannya
mengucap syukur mohon bimbingan dan perlindungan atau pemberitahuan kepada
Jubata, Ne’ Panampa, Ne’ Daniang, terhadap kegiatan dalam bekerja. Nyangahatn
dilengkapi dengan palantar (persembahan). Lihat lampiran.<o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span lang="SV">3.Liatn<br />
Liatn adalah upacara adat Dayak Kanayatn dalam bentuk magis dan sakral. </span>Ditampailkan
dalam bentuk tarian, doa, dan prosa berirama. Tujuan liatn adalah untuk
pengobatan, membayar niat, dan lain-lain. Liatn dipimpin langsung oleh seorang
bomoh liatn dan dibantu oleh seorang panyampakng serta beberapa panyangahatn.
Jenis liatn berdasarkan pemampilannya adalah liatn daniang, liatn nyande, liatn
bantal, dan liatn kanayatn. <span lang="FI">Perbedaan
jenis liatn itu didasarkan pada irama serta kata-kata yang digunakan. Tiap
jenis mempunyai tokoh tersendiri, misalnya liatan danian adengan tokoh Ne’
Sinede, dan Ne’ Lampede. Sedangkan pembagian jenis lian menurut tujuannya
adalah liatn batama bohol, liatn ngaladak buntikng, liatn badingin, dan liatn
ngangkat paridup. Misalnya liatn batama bohol bertujuan untuk memberi anak,
sedaangkan liatn ngangkat paridup untuk memperbaiki patahunan yang gagal.
Kegiatan upacara dalam liatn antara lain adalah nyangahatn dalam rumah, ngantar
roba, ka’ ayutn, baramauan ngamok jalu, ka’ bawakng, bajampi, ka’ Jubata
masaka, nyangahatn ngago’ sumangat, notor (memberi makan iblis jahat), ka’
dango bonto, ngalainse, ngungke, ka’ paramainan, dan baripakng. Waktu
pelaksanaan antara lain sehari semalam, tiga hari tiga malam.Nilai seni tari
dan lagu dalam liatn ini sangat menonjol yang diiringi alat-alat musik agukng,
dau, dan tuma’ (gendang)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Ketiga macam budaya di atas merupakan
bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang berkolerasi dalam
sistem kehidupan itu sendiri. Nyangahatn merupakan bentuk komunikasi tradisi
lisan dengan Tuhan dan dunia alam roh. Adapun baliatn merupakan wujud
komunikasi orang Dayak dengan roh nenek moyang yang sudah meninggal. Orang Dayak
menganggap “kematian” sebagai
peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (talino)
serta semangat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan
dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara
dari sejenis mahluk alam yang disebut <i>Tirantokng</i>.
Suara itu <i>menyerupai bunyi sebuah parang
besar beradu dengan alas kayu</i> terjadi pada malam hari antara pukul 10.00
hingga 12.00.<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></a>
tanda Ini diartikan bahawa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga
meninggal. Orang segera tahu bahawa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal
dunia di desanya atau desa sekitarnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -17.85pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -17.85pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Rangkaian peristiwa kematian
yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak Salako berkesimpulan
bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan alam karena dia
sesungguhnya berasal dari alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang
sudah <i><u>momo’</u></i> (meninggal dunia)
itu sesungguhnya telah kembali ke <i><u>binuo</u></i>
(tempat) asalnya. Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia
secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (<st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Darwin</st1:place></st1:city> : 2002).<o:p></o:p></span></div>
<span lang="IN">4</span><span lang="NO-BOK">. Mura’atn<br />
<br />
<o:p></o:p></span><br />
<div style="text-align: justify;">
<span lang="NO-BOK">Muraa’atn
adalah berdoa agar sesorang tidak ditimpa mala petaka. Tradisi ini sifatnya
pribadi perorangan. Manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari
marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak
biasa. </span>Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: <i>palangkahan</i>) bagi manusia agar memilih
waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan diluar rumah.
Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus <i>Kulikng
Langit</i>, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan <i>pelangkahan</i> dari para rasi akan nek Baruang kulup.<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></a>
kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos maniamas (yang hidup dalam tradisi
lisan) yang melanggar suara rasi dari <i>kijokng</i>
(kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.<span lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></div>
<span lang="IN">“Ketika maniamas hendak menebang
pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar
rumahnya. </span><span lang="FI">Walaupun dia tahu
rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan
pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah
menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung
melemparkan <i><u>boekng</u></i>
(tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas <i><u>Nyingkubokn</u></i>g
(melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah,
Leo Baja langsung menyerangnya dengan <i><u>tangkit</u></i>n
(sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus
tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama
kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga
tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala
terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana
cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat
melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”</span><span lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span><br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">ESENSI TRADISI LISAN DAYAK<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Masyarakat Dayak
dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius
tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dalam interaksinya
dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983). mereka percaya bahwa dalam usaha
mendapatkan rejeki, kesihatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya
bertumpu pada usaha kerja keras sahaja, tetapi juga pada harapan adanya campur
tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka –
baik dan jahat – selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Religi – berasal dari bahasa Inggris
relogion dengan akar kata bahasa latin yaitu Religare – berarti menyatukan (to
bind together) tanpa memiliki pengertian Wahyu dan Kitab Suci (Johnstones :
1975) karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur
secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya
disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak Selako disebut adat. Hal ini
dapat dilihat dari doa dalam tradisi lisan
dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">“Bukotnnyo unang
i-mantabok i-marompokng <b><u>ada</u>t</b>
aturan anyian, io inurunan ampet i ne’ Unte’ i kaimantotn, ne’ ancino i
Tanyukng Bungo, ne’ Sarukng i sampuro, ne’ Rapek i sampero’, ne’ Sai i sabako’,
ne’ ramotn i saa’u, ne’ ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak
parucu’e make io dah tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">(terjeahan
bebas: bukanlah <b><u>adat</u></b> dan
aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh mereka (para
leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino
(leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek
Rapek di sungai Sapero’, Nek Sai di
bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya
yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></a><sup><o:p></o:p></sup></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Dalam adat (religi tradisional) ini
terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan
manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini. Religi
tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat
hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan
tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap
perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak
Selako: <i>buis bantotn</i>) – misalnya
posisi ayam kurban, jenis daun ritual – dan tempat-tempat mitis dari setiap
desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat <i>non proselytizing</i>, artinya tidak mencari
penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">
</span></b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">World-view
(pandangan dunia) masyarakat horticultural Dayak Salako memahami alam semesta
(kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang
non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur)
yang berada di <i>Subayotn.</i><a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></a>
Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari
unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang
saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup
manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang
dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang
harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia
melalui praktik-praktik religi mereka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Alam roh atau dunia roh merupakan kepercayaan yang
melekat dengan orang Dayak Selako dan Melayu, Merujuk kepada pendapat mereka
hal ini bersumber daripada asal-usul manusia semula jadi lagi. Alam roh dihuni
oleh para roh iaitu sesuatu yang bukan manusia tetapi diyakini ada di sekitar
kehidupan Dayak Selako. Roh ini biasa dikenali juga sebagai makhluk halus yang
bertempat tinggal di langit, di bumi, di air, dan sebagainya yang mempunyai
tugas masing-masing. Mereka hidup di alam yang tidak boleh dilihat, namun
mereka mempunyai keperluan yang sama dengan manusia. Hubung kait kehidupan
manusia dengan roh dalam konteks kepercayaan tradisional terjalin rapat.
Jalinan yang rapat inilah yang oleh Etnik Dayak Selako diyakini sebagai dunia
Ilmu Magis.(bandingkan, Madrah, 1997:2-4). Hal ini juga selaras dengan yang
dikatakan oleh </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Clark Chilson
and Peter Knecht (2002:1) bahawa... as
repressive, ideologies and political sistems started to dissolve, many ethnic
groups in <st1:place w:st="on">Asia</st1:place> and elsewhere began to reflect
on their distinctive cultural proparties in order to reconnect themselves with
their tradition and their cultural roots. This led to a new appretiation and revival of folklore in various fields
such us oral traditions, music, and religion .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Masyarakat etnik Dayak Selako dan Melayu percaya
bahawa kepatuhan dan kesetiaan manusia terhadap roh akan mendatangkan berkah
dan mendapatkan imbalan dalam pelbagai bentuk daripada para roh. Sebaliknya
akan terjadi kemurkaan roh yang boleh menimbulkan kemalangan atau mara bahaya.
Oleh sebab itu, manusia berusaha untuk boleh berkomunikasi dengan roh-roh
tersebut melalui suatu ilmu yang dikenali sebagai ilmu magis, yang sering kali
tidak boleh diterima oleh akal manusia. Tetapi memang terjadi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="NO-BOK" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ilmu magis ini boleh diperolehi dengan beberapa cara
seperti betapa (bertapa), mimpi, rajaki (keberuntungan), baguru (belajar)
secara tradisi lisan dan ilmu magis warisan sejak lahir. Ilmu Magis ini boleh
dibahagi kedalam dua jenis iaitu : ilmu magis panas dan ilmu magis dingin. Ilmu
magis panas bermakna bahawa ilmu ini boleh digunakan untuk mencelakakan orang
lain (membunuh orang), Racun , dawak dan
polong termasuk dalam kumpulan ini. sedangkan ilmu magis dingin bermakna
ilmu magis untuk antsisipasi, menangkal ataupun untuk mengubati akibat dari
ilmu magis panas. Misalnya azimat dan mantra-mantra.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pemahaman
masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam diasaskan
atas adanya korelasi tersebut. Korelasi
ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos tradisi
lisan yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987).<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></a>
Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang
diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis
(tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Selanjutnya, kesuburan semua
mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung <u>Tingkakok</u>
dan burung <u>Bungkikik</u>. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas <u>menimang</u>
agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan
berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat
timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah, <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hewan disungai
dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan
mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di
beri sesajian dalam bentuk Patek. Doanya
dengan tradisi lisan sebagai berikut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">(patek diambil
dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">“Au’ unang nyian
patek tampi paribaso si ane’ (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi’ kito’am
badamo Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito’ an dingaso’an
dingarap, ingampioh am batimang. Ame kito’ batimang jawi’, batimang jaji ka
manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn, jaji ka banir buoh.
Kurrra’ patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di
atas kurban)”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">(Terjemahan
bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu
(sebut nama si pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung
jawa. Bungkikik burung matan. Kalian yang diharapkan untuk menimang segala
mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan.
Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia beranak
pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon
buah-buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi
ini).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tradisi
lisan Masyarakat Dayak yang bercorak
Melayu <o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: -17.85pt;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> Selain
dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, tradisi lisan Dayak juga dipengaruhi
interaksi mereka dengan masyarakat Melayu. Diantaranya adalah Sampore.’ <br />
Sampore’ dijalankan dalam kehidupan sesorang yang berhubungan dengan
rehablitasi hubungan yang pernah cacat. Sampore dilakukan dalam acara lenggang,
liatn, dendo, bapipis, batampukng tawar, dan babuis (karena badi atau jukat).
Bentuk upacara ini bukan berasal dari asli Kanayatn. Upacara ini dilakukan pada
saat membayar niat. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kegiatan ini mirip dengan liatn
tetapi dengan variasi dari luar yaitu melayu</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Etnik Dayak dan Melayu memiliki asal
kultur yang sama, hal demikian boleh tampak dalam catatan Kühr (1995 : 78),
beliau mencatat bahawa pada tahun 1892, di Serawai, Kabupaten Melawi ,
ditemukan monumen Hindu dari zaman dahulu, yang dianggap sebagai tempat suci
untuk meletakkan sesajen oleh orang Melayu dan Dayak agar panennya dikabulkan.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mengikut kepercayaan orang Dayak
tersebut, manusia merupakan gabungan daripada empat unsur : badan, roh (soul),
perasaan dan nyawa. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Untuk membolehkan seorang itu
hidup dan sihat, keempat-empat unsure hendaklah bersatu tanpa gangguan. Manusia
tidak terlepas daripada mengalami kemalangan dan penyakit. Mereka percaya
bahawa satu-satu kejadian kemalangan atau mengidap sesuatu penyakit itu
berpunca daripada tindakan mereka yang melanggar adat, diserang oleh hantu
ataupun dibuat oleh ahli sihir. Kalau seseorang itu diserang penyakit,
mula-mula perasaannya terganggu dan rohnya tidak lagi tenteram, Roh tadi akan
meninggalkan badan dan berjalan menuju ke alam baka.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Semua orang
Dayak mempercayai wujudnya kuasa halus(spirits). Klasifikasi umum makhluk halus
dibuat berasaskan tempat tinggal mereka. Mereka boleh dibahagikan kepada tiga
iaitu Hantu Air, Hantu Hutan, dan Hantu yang tinggal di udara. Orang Dayak juga
mempercayai bahawa makhluk halus itu ada yang jantan dan ada yang betina.
Mereka mempercayai bahawa hantu-hantu itu tidak mengganggui manusia sekiranya
mereka boleh hidup dengan selesa dan tenteram. Tetapi, kalau makhluk halus itu
hidup susah dan tidak cukup makan mereka menjadi bahaya dan mengganggu manusia.
Makhluk-makhluk itu boleh mendatangkan penyakit kepada manusia .<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Dalam
hubungan mereka dengan kuasa luar biasa, orang Dayak cuba berbaik-baik
disamping mencuba menguasai kuasa luar biasa. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Tujuan menguasai kuasa luar biasa ialah untuk kegunaan dan kepentingan
komuniti. Mereka mempercayai bahawa kuasa luar biasa boleh mendatangkan
penyakit dan kuasa luar biasa juga membantu mengubati penyakit. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Pada masa bomoh orang Dayak berkomunikasi dengan penguasa
luar tersebut, mereka mengamalkan tradisi lisan bercorak Melayu. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Seorang bomoh Dayak di Kampung Sasak
yang mengubati pasiennya, memberikan salam kepada nabi Khaidir ketika
menggunakan air sebagai salah satu sarananya. </span><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kepercayaan itu terlihat pada mantra berikut: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="border-bottom-style: none; border-collapse: collapse; border-color: initial; border-image: initial; border-left-style: none; border-right-style: none; border-top-style: none; border-width: initial; width: 595px;">
<tbody>
<tr style="height: 77.85pt; mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="border: none; height: 77.85pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 203.4pt;" valign="top" width="271"><div class="MsoNormal">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Assalamu’alaikum
sahibul bahar sahibul basar <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Assalamu’alaikum
nabi Hedir <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aku
mengambil air untuk tepung tawar <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Si
(sebutkan nama pasien) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">( Andi Lala, 2007) <o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="border: none; height: 77.85pt; padding: 0in 5.4pt 0in 5.4pt; width: 243.0pt;" valign="top" width="324"><div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Salam
sejahtera atas pemilik laut dan pemilik darat <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Salam
sejahtera atas Nabi Khaidir <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aku
mengambil air untuk tepung tawar<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Si (sebut nama pasien) <o:p></o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kepercayaan kepada nabi Khaidir
merupakan kepercayaan yang khas di kalangan masyarakat Melayu Nusantara.
Kepercayaan ini sangat kuat di kalangan masyarakat Melayu yang berada di
pesisir pantai. Skeat (1967: 99), Endicott (1991: 107) menyebutkan bahawa nabi
Khaidir merupakan salah satu Nabi yang utama di kalangan masyarakat Melayu.
Merujuk kepercayaan masyarakat Melayu, Nabi Khaidir adalah nabi yang menguasai
air (lord of water). Di daerah Kendawangan, kabupaten Ketapang, bagian selatan
Kalimantan Barat, juga ditemukan kepercayaan sejenis.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bagi sebahagian
nelayan, ketika mereka memulai aktiviti mencari rezeki di laut harus meminta
izin lebih dahulu kepada Nabi Khaidir dengan ucapan: Bismillah Assalamu’alaikum
nabi Hidir. Merujuk salah seorang informan, jika seseorang tidak meminta izin
kepada nabi Khaidir ketika mengambil hasil laut, maka di akhirat nanti hasil
laut yang diambilnya akan dituntut sebagai hasil curian. Untuk maksud tersebut
maka dibuatlah sesajian untuk tepung tawar<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><sup><sup><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[6]</span></sup></sup></a>.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Selain nabi
Khaidir, yang dipercayai sebagai penguasa laut, didapati pula penguasa laut
yang lain. Penguasa laut ini amnya merupakan kuasa negatif yang boleh
mendatangkan kemalangan bagi para nelayan. Penguasa laut yang terkenal adalah
hantu laut. Hantu laut boleh membantu sekaligus boleh memusnahkan. Hantu laut
boleh menunjukkan tempat menangkap ikan, udang, cumi dan hasil laut lainnya
yang baik. </span><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hantu laut juga boleh menolong pemeliharanya terhindar
dari ancaman ombak laut. Namun, hantu laut yang kadang-kadang disebut juga
sebagai penunggu laut, boleh mendatangkan angin besar yang mengundang ombak
yang ditidakuti nelayan atau kadang-kadang menampilkan diri dalam bentuk atau
suara yang menakutkan. Untuk menaklukkan kekuatan ini beberapa nelayan berusaha
bersahabat dengan hantu laut. Ada beberapa orang nelayan yang memelihara hantu
laut. Untuk memelihara hantu laut ini, mereka terikat perjanjian dalam bentuk
memberikan sesaji pada waktu-waktu tertentu</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><sup><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><sup><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[7]</span></sup></span></sup></a><span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">. Secara kolektif, masyarakat desa Sepuk Laut mengadakan upacara kasi’ makan laut (memberi
makan laut). Upacara ini utamanya bertujuan untuk membujuk penguasa laut agar
tidak marah dan supaya laut memberikan kemurahan dengan memberikan hasil
tangkapan yang banyak. Jika upacara ini tidak dilakukan dikhawatirkan akan
memakan korban di laut yang biasanya berupa orang hilang, angin ribut dan hasil
tangkapannya sedikit. Upacara ini biasanya dilakukan pada saat angin utara
bertiup kencang, sekitar bulan Juni, setiap tahunnya. Upacara ini dipimpin oleh
seorang dukun kampung. Selain itu, ada juga kepercayaan bahawa bersiul di laut
boleh mengundang angin kencang. Perkataan yang tidak senonoh atau tidakabur pun
harus dihindari, sebab kalau tidak, boleh menyebabkan nelayan pulang dengan
tangan hampa dari laut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Selain itu, ada juga kepercayaan kepada “orang air”, nama lain dari buaya.
Buaya tidak hanya merupakan binatang yang paling ditidakuti di air, tetapi juga
dipercayai memiliki hubungan tertentu dengan manusia; sebagai saudara kembar.
Oleh kerana itu, kadang-kadang mereka menyebut makhluk ini dengan orang ai’
(orang air) atau ‘orang bawah’. Mereka percaya bahawa hubungan yang tidak
dipelihara dengan buaya boleh menyebabkan bahaya bagi manusia. Kepercayaan
terhadap penguasa air, terutama buaya ini sangat biasa di kalangan masyarakat
Kalimantan Barat atau bahkan di Nusantara (lihat misalnya Skeat 1967; Moh.
Haitami et.al 2000; Hermansyah 2006). <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kepercayaan lain di kalangan sebahagian masyarakat diwujudkan dalam bentuk
pantang larang. Ketika seseorang sedang hamil muda, misalnya di larang
menyeberang laut atau parit kecil yang boleh menyebabkan keguguran. Suami dari
wanita yang hamil dilarang menake’ (memotong) kepala ikan Tilan yang masih
hidup kerana boleh menyebabkan bayi yang dilahirkan kelak menjadi sumbing.
Dilarang juga ncelur (merebus sebentar) ikan Tilan untuk membuang lendirnya. Jika
dilakukan juga, boleh mengakibatkan anak yang dilahirkan mengalami badi kulit
melepuh seperti ikan Tilan yang direbus. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kepercayaan mengenai badi sebenarnya juga biasa di kalangan masyarakat
Nusantara sebagaimana dilaporkan Skeat (1967), meskipun ada variasinya.
Hermansyah dan Zahry (2005) menyebutkan bahawa di kalangan masyarakat Embau
didapati pantang larang yang jika dilanggar boleh menyebabkan badi. Misalnya
seorang calon ayah dilarang memotong kayu pendek-pendek. Larangan ini
dimaksudkan agar anak yang dilahirkan kelak tidak terkena badi, iaitu mengalami
pendek tangan atau kakinya seperti kayu yang dipotong pendek-pendek. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kepercayaan tentang penyakit ini tidak lepas dari sistem religi dan
kepercayaan, serta teknologi dan pengetahuan moden. Meskipun mereka mengetahui
bahawa penyakit disebabkan oleh sebab yang boleh dijelaskan oleh ilmu
pengubatan moden, mereka juga percaya bahawa penyakit yang disebabkan gangguan
oleh syaitan, jin dan makhluk gaib lainnya. Oleh sebab itu, jika sakit, mereka
tidak hanya mengkonsumsi obat atau mendatangi ahli kesihatan moden, tetapi juga
mendatangi para dukun yang dipercayai memiliki kemampuan untuk mengubati.
Sebab-sebab gaib yang memungkinkan seseorang sakit terutama terjadi kerana
perlakuan yang tidak semestinya terhadap makhluk gaib. Makhluk gaib yang
diyakini itu menghuni tempat-tempat tertentu, yang biasanya disebut sebagai
‘penunggu’. Melewati tempat-tempat yang dipercayai dihuni oleh makhluk gaib
tanpa permisi apalagi mengganggunya, boleh menyebabkan sakit. Selain itu,
penyakit juga boleh disebabkan oleh kiriman secara gaib dari orang yang tidak
senang. Sebagai contoh seorang informan menceritidakan penyakit yang dialami
oleh seorang penduduk kampung yang suka mencuri. Penyakit yang dialami oleh
orang tersebut adalah perutnya membesar. Diyakini bahawa penyakit itu kerana
“dibuat”oleh orang yang tidak senang kepada kelakukan orang yang bersangkutan.
Akhirnya, orang tersebut meminta maaf kepada orang-orang yang pernah diambil
hartanya dan disertai dengan pengobatan pengubatan, orang tersebut pun sembuh. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Diyakini bahawa ada penyakit tertentu yang berhubung kait dengan
sebab-sebab yang bersifat spiritual, yang penyembuhannya memerlukan cara-cara
yang melibatkan unsur spiritual. Di sinilah peran para dukun. Para bomoh
mendapatkan kemampuan untuk mendiagnosis dan mengubati suatu penyakit
diperolehi melalui dua cara iaitu: belajar dan melalui wereh. Belajar dilakukan
kepada pelbagai pihak yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengubati. Namun
cikgu utama para dukun tersebut adalah dukun senior di kampung itu. Seorang
dukun beranak di kampung ini juga mendapatkan pendidikan moden berupa kursus
membantu ibu beranak dari Pusat kesihatan masyarakat di Sambas. Sedangkan wereh
adalah memperolehi kemampuan mengubati melalui cara-cara gaib seperti mimpi.
Ilmu yang diperolehi melalui wereh tidak boleh diajarkan kepada orang lain
sebab jika diajarkan akan mengakibatkan tidak berfungsinya ilmu tersebut. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Mantra-mantra yang dilafalkan para bomoh Dayak menunjukkan adanya warisan
tradisi lisan yang bercorak Melayu yang diamalkan dalam sosiobudaya Dayak. Sebagai contoh,
untuk menghindari pelbagai malapetaka dan penyakit di kampung</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><sup><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><sup><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[8]</span></sup></span></sup></a><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">, masyarakat
setiap tahun mengadakan upacara “beri’ makan kampung” yang kadang-kadang
juga disebut “tolak bala kampung.” Upacara ini dilakukan setiap selepas musim panen padi. Pada upacara itu, selain
dibacakan doa tolak bala yang semuanya berbahasa Arab dan merupakan doa yang
berasal dari ajaran Islam juga dibacakan mantra berikut: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Asslamu’alaikum
datu’ Abdul ‘Ain</span><a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><sup><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><sup><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">[9]</span></sup></span></sup></a><span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Nang bekuase
tujuh lapis langit tujuh lapis bumi <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Inilah siade
pengasihan anak buah aku <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Aku minta’
jagekan anak buah aku sekelian nang bahaye minta’ tulung selisihkan (SA, dukun
Kampung) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Terjemahan
bebasnya: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Assalamu’alaikum
Datok Abdul “Ain <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Yang
menguasai tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Hanya ini
yang boleh kami berikan <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Penulis
minta engkau menjaga kami semua dari segala malapetidaka dan bahaya <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Adanya pertautan antara tradisi lisan pada pengobatan penyakit dengan sosio
budaya masyarakat tempatan boleh ditelusuri jauh ke belakang, iaitu ketika
agama-agama langit pertama kali disebarkan di Asia Tenggara. Merujuk Azyumardi
(1999:64), pada mula agama-agama baru—dalam hal ini Kristian dan Islam—tidak
boleh berkembang kecuali jika mempunyai jawaban terhadap penyakit. Masyarakat
Asia Tenggara percaya bahawa kekuatan-kekutan spiritual yang tangguh
mempengaruhi kesihatan dan penyakit. Raja Patani menjadi seorang Muslim setelah
disembuhkan seorang syekh asal Pasai. Hermansyah (2001: 23-28) juga melaporkan
peranan ilmu penyembuhan dalam proses Islamisasi masyarakat pedalaman
Kalimantan Barat. Seterusnya, kepercayaan lama kepada penyakit yang disebabkan
oleh arwah disesuaikan dengan pandangan Islam tentang jin dan setan. Pelbagai
formula dalam bahasa Arab dan sebahagiannya di gabungkan dengan formula
tempatan digunakan untuk menangkal dan mengubati penyakit. Dalam masyarakat
tertentu di Nusantara, pelbagai formula itu masih terus diamalkan oleh
masyarakat. Menariknya formula—baik secara keseluruhan berasal dari bahasa Arab
dan ajaran Islam mahupun sebahagian terdiri dari unsur tempatan—tersebut tidak
hanya dipercayai dan diamalkan oleh masyarakat Islam tetapi juga oleh
masyarakat bukan Muslim (Bernstein 1997; Hermansyah 2006, 2007) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kepercayaan lain yang populer di kalangan masyarakat Dayak adalah mengenai
Semangat. Seseorang yang ditinggalkan semangatnya tidak menyebabkan kematian.
Kehilangan semangat boleh menyebabkan sesorang sakit. Seseorang yang hidup
tanpa ‘semangat’ boleh diibaratkan dengan mayat hidup. Ia seperti orang yang
kehilangan kekuatan dan tenaga untuk melanjutkan hidup. Orang tersebut akan
kelihatan seperti orang yang tidak bergairah. Jika seseorang kehilangan
semangat, ia akan tetap hidup. Merujuk
Hemansyah (2006), semangat adalah sesuatu yang ada pada manusia dan
memungkinkan manusia memiliki kekuatan untuk menghadapi dunia. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Sementara itu,
Merujuk Wilkinson (1959:1053), semangat ialah ‘spirit of life, vitality; soul.
It leaves the body in sleep, and when absent from the body may be seduced or
captured by other person; magic is used sometimes to attract and so win a
girl’s semangat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Semangat ini boleh dipanggil, diambil dan meninggalkan seseorang. Jika
sesorang mengalami sesuatu, seperti penyakit yang diduga kerana kehilangan
semangat, maka semangatnya harus dipanggil. Seorang informan menceritidakan
bahawa ketika dia diliputi rasa tidakut yang berlebihan sehingga tidak boleh
melakukan sesuatu, oleh dukun kampung dilakukan upacara memanggil semangat
dengan cara memandikan yang bersangkutan. Ketika memanggil semangat dibacalah
mantra “teriak semangat” berikut: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Bismillahirrahmanirrahim
<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kerasnya
batu kerasnya semangat si (sebut nama) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Kerasnya
besi kerasnya semangat si(sebut nama) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="FI" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Ku...semangat
(12 kali) (R, pengerusi masjid) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Konsepsi semangat memang merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang
Melayu Nusantara. Namun agak berlebihan kalau Skeat (1900), Cuisiner (1951),
Endicott (1970), Gimlette (1971), dan Shaw (1975) menyimpulkan bahawa semangat
sebagai inti dari keseluruhan pandangan hidup orang Melayu, khususnya dalam
magic, kerana semangat hanya merupakan salah satu bagian dari unsur manusia
yang harus dipelihara. </span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Shaw
(1975: 6), misalnya menyatakan bahawa, undoubtedly the most important single
element in Malay magic, and the most difficult to difine because there are so
many different opinions as to what it actually is, is semangat, the vital
cosmic force or energy which animates all creation. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;"> <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">KESIMPULAN<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="Default" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="IN">Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat Dayak
memiliki hubungan dengan budaya dan agama-agama yang hidup dalam masyarakat
ini. Dalam tradisi lisan tersebut </span><span lang="SV">Kita dapat melihat pengaruh Hindu , Budha dan Islam. Orang Arab dengan
latar belakang Islam dan orang Eropa dengan latar belakang Kristen ikut
mengubah institusi sosial di Kalimantan. Perubahan institusi ini juga
berpengaruh terhadap tradisi lisan dalam masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="Default" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span lang="SV">Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat etnik
Dayak Selako dan Melayu di Sambas , khasnya yang berhubung kait dengan Alam Roh
dan pengobatan bomoh boleh dikatakan telah ikut memiliki andil dalam merapatkan
hubungan kedua-dua etnik ini.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt;">Nilai
Tradisi lisan pada suatu daerah memang bersifat khas<b>,</b> memiliki cakupan
berlaku terutama bagi pendukung kebudayaan tertentu. Sifat khas pada umumnya
terletak pada tataran praktis yang konkret yang berwujud tindak-tanduk nyata.
Dibalik yang kongkrit itu terkandung nilai-nilai etika moral dan filosofi yang
universal. Dalam konteks ini, setiap orang, setiap kelompok seyogyanya
berikhtiar untuk mengekalkan tradisi lisannya.
<o:p></o:p></span></div>
</div>
<span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;"><br clear="all" style="mso-break-type: section-break; page-break-before: always;" />
</span>
<br />
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="line-height: 150%; tab-stops: .5in;">
RUJUKAN <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10.0pt; margin-left: 42.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 12.0pt; text-align: justify; text-indent: -42.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Abdul Aziz, Rahimah &
Mohamed Yusoff Ismail, 2000. Masyarakat, Budaya dan Perubahan, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Aman, Rahim. 2008. Linguistik Bandingan Bahasa Bidayuhik, Universiti
Kebangsaan Malaysia. Bangi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Anwar Din, 2008. Asas Kebudayaan dan Kesenian Melayu, Universiti
Kebangsaan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Malaysia</st1:place></st1:country-region>,
Bangi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Bakran Suni, et all, 2007. Sejarah Melayu Sambas, Lembaga penelitian
Universitas Tanjungpura Pontianak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Barth, Frederick. 1969. <i>Ethnic Group and Boundaries, Boston</i>:The
Little Brown and Company.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Barker, Chris. 1999. <i>Cultural Studies</i>, Teori dan Praktek, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jogjakarta</st1:place></st1:city>: PT Bentang
Pustaka.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Collins, J.T. & Awang Sariyan, 2006. Borneo and
the Homeland of The Malays, Dewan Bahasa dan Pustaka, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Kuala Lumpur</st1:place></st1:city>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Collins, J.T. ,2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia,
Sejarah Singkat.Obor, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Coomans, Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu,
Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Dove, Michael R, 1988. The Real
and Imagined Role of Culture in Development, case studies from Indonesia,
University of Hawaii Press, Honolulu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Duman, J.1975. Dalam
J.U.Lontaan, <i>Sejarah Hukum Adat dan Adat
Kebiasaan di Kalimantan Barat</i>, Jakarta: Bumi Restu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester
afdeeling. Supplement to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap, 1901-03.
Leiden : Brill, 1903.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Eriksen, Thomas Hylland, 1995. Small Places, Large Issues An Introduction
to Social and Culture Anthropology, Pluto Press, London-Sterling-Virginia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Geertz, Clifford, 1973. The Interpretation Of Cultures, Basic Books,
Inc., Publishers, New York.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Hulten, Herman Josef,
1992, Hidupku di antara suku Daya,
Gramedia, Jakarta<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Ishak bin Saat, 2006. Sejarah
Sosiobudaya Melayu, Karisma Publication, Shah Alam.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo, Blackwell, Oxport &
Cambridge.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
King, Victor T & Michael Hitchook, 1997. Images of Malay-Indonesian Identity, <st1:placename w:st="on">Oxport</st1:placename> <st1:placetype w:st="on">University</st1:placetype>
Press, Oxport-<st1:country-region w:st="on">Singapore</st1:country-region>-<st1:state w:st="on"><st1:place w:st="on">New York</st1:place></st1:state>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Kuhr, E.L.M, 1995. Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV
Uitgeverij, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Leiden</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Koentjaranigrat. 2000. <i>Kebudayaan mentalitas dan pembangunan</i>,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Koentjaranigrat. 2002. <i>Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia</i>, <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
djambatan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Leahy, Louis. 1985.<b><i> </i></b><i>Manusia
Sebuah Misteri: Suatu Kajian Tentang
Filsafat Manusia<b> ,</b></i> <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>:
PT. Gramedia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Madrah, Dalmasius, 1997. LEMU Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq &
Tunjung, Puspa Swara & Yayasan Rio
Tinto, Jakarta.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Maunati, Yekti, 2004, Identitas
Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
Shamsul Amri Baharudin, 2007. <span lang="SV">Modul Hubungan Etnik, Universiti Teknologi Mara,
Shah Alam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
<span lang="SV">Suni, Bakran, et all, 2007, Sejarah Melayu
Sambas, Universitas Tanjungpura,
Pontianak.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent2" style="margin-left: 42pt; text-indent: -42pt;">
Takdir, Simon. 2003. Suku Dayak Selako, Belum Publikasi<o:p></o:p></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;">Veth, P.J. Veth. Borneo’s Wester-afdeeling, geographisch, statistisch,
historisch, <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;"> voorafgegaan door eene
algemeene schets des gansch eilands (Zaltbommel: <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt;"> Joh. Nomanen Zoon,
1854)<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 10pt; margin-left: 42pt; margin-right: 0in; margin-top: 12pt; text-align: justify; text-indent: -42pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div>
<br />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span></span></a> <span lang="IN" style="font-size: 9pt;">Tanda ini muncul pada malam hari. Malam adalah kegelapan,
kesedihan yang identik dengan kematian</span><span lang="IN"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[2]</span></span></span></a> <span style="font-size: 9pt; line-height: 115%;">Kulikng Langit adalah anak Nek Kulub
dengan manusia di Taino. Dia meninggal karena jatuh dari pohon Sibo (sejenis
rambutan hutan) akibat melanggar siara rasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn3">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">[3]</span></span></span></a> <span lang="IN" style="font-size: 9pt;">Kaimantotn, Tanyukng Bungo, Sampuro, Saper’, saako’,
Saba’u, dan gantekng Siokng (sebanyak tujuh tempat) merupakan tempat mitis
dalam religi suku Dayak Selako Kaimontotn diartikan kalimantan, tempat yang
pertama kali dihuni oleh manusia Dayak yang bernama Nek Unte’. Sedangkan
tanyukng Bungo adalah daerah bagian pantai yang berbukit di sepanjang pasir panjang
hingga sungai raya. Bukit Sampuro berada di daerah Semangkak (samalantan),
sapero’ nama sungai di pasuk kayu, sabako’ nama bukit dekat kalumpe, saba’u
nama bukit di samalantan desa, gantekng siokng nama pertemuan (celah) antara
dua buah bukit di ranto. Enam tempat mitis tersebut berada di wilayah kabupaten
sambas yang dulu (sebelum terjadi pemekaran daerah jaman reformasi).</span><span lang="IN"><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4">
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[4]</span></span></span></a> <span style="font-size: 9pt; line-height: 115%;">Subayotn adalah tempat bermukim khusus
arwah yang baik setelah kematian. Jubato nampaknya memiliki tempat tinggal
tersendiri di luar Subayotn yang biasanya disebut Kayangan. Beberapa diantara
para Jubato itu memiliki wilayah kekuasaan di dunia (bhs. Dayak Salako: Taino),
misalnya, Jubato Bukit Bawokng (gunung bawang) adalah Nek Opo, Jubato bukit
Rayo (gunung Raya) adalah Buuk Baso’ bukit poteng adalah si Rijab, dan
sebagainya. Orang yang semasa hidupnya di Taino hidup tidak sesuai dengan adat
(bersikap jahat) ketika meninggal dunia arwahnya tidak masuk Subayotn. Arwah
itu menjadi hama, penyakit, hantu (pujut) dan gentayangan di Taino menggangu
kehidupan manusia. Manusa akan terhindar dari gangguan mereka kalau dibangun
relasi yang baik (sikap hormat dan bersahabt) melalui ritual (doa dan kurban).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn5">
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[5]</span></span></span></a> <span style="font-size: 9pt; line-height: 115%;">Menurut J. Van Baal mitos merupakan
kebenaran religius dalam bentuk cerita. Atau cerita di dalam kerangka sistem
suatu religi yang dimasa lalu atau dimasa kini telah atau sedang berlaku
sebagai kebenaran keagamaan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn6">
<div class="MsoNormal" style="mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[6]</span></span></span></a>
Di Kalimantan Barat terdapat variasi peralatan yang
digunakan dalam tepung tawar. <span lang="SV">Di Embau, peralatan yang digunakan untuk tepung tawar
adalah beras kuning, pucuk daun sabang dan <i>juaran </i>(lenjuang) (<i>Cordyline
fruticosa)</i>—dengan batangnya, bertih<i>, </i>air beras<i>, </i>gunting atau <i>sikin
</i>(pisau dapur). Semua daun diikat menjadi satu; <i>lotit</i>, air tepung
beras, dan beras kuning masing-masing dimasukkan ke dalam mangkuk kecil yang berbeza.
Kemudian mangkuk-mangkuk tersebut diletakkan ke atas talam kecil (Hermansyah,
2006) . Di Kendawangan, Ketapang, peralatan tepung tawar terdiri dari air beras
yang ditumbuk halus, paku sebatang, daun <i>andong-andong, </i>daun <i>reribu, </i>keminting
sebutir dan uang logam Rp. 100. (Andi Lala 2007) <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn7">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 11pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[7]</span></span></span></span></a><span style="font-size: 11pt;"> <sup><span style="position: relative; top: -4pt;"> </span></sup><span lang="SV">Sesajian
itu berupa lalat dan panggang masing-masing 7 ekor, sesisir pisang Berangan,
nasing kuning, ayam, ketupat, dan air minum. terlihat dari luar rumah, terutama
dari pintu, maka pintunya harus selalu tertutup. Selain itu, di atas ayunan
ditaruh sebuah surah Yasin</span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn8">
<div class="MsoNormal" style="mso-layout-grid-align: none; text-align: justify; text-autospace: none;">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[8]</span></span></span></a> <sup><span style="position: relative; top: -4pt;"> </span></sup><span lang="SV">Biasanya dilakukan pada bulan Oktober-November
setiap tahun. Upacara ini terdiri dari pembacaan doa dan pemberian makanan
kepada penunggu gaib kampung. Upacara tersebut dilakukan di hulu kampung.
Makanan yang disiapkan terdiri dari nasi empat jenis (putih, hitam, merah, dan
kuning), 7 butir ayam kampung yang direbus, 3 sisir pisang Berangan, sirih
lengkap dan sebatang rokok nipah, kemenyan, minyak bau, bertih. Seluruh barang
tersebut diletakkan di <i>ancak </i>berupa daun pisang yang diletakkan di
tanah. Makanan ini dimaksudkan sebagai pemberian kepada penunggu kampung agar
menjaga keselamatan penghuninya. Selain itu, masyarakat peserta upacara membawa
makanan lain seperti ketupat dan pat lau lengkap dengan lauk pauknya. Setelah
dibacakan doa tolak bala semua peserta upacara memakan makanan yang dibawa dari
rumah-masing masing. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoFootnoteText">
<br /></div>
</div>
<div id="ftn9">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///E:/CETAK/bab-7.doc#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 11pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 11pt; line-height: 115%;">[9]</span></span></span></span></a><span style="font-size: 11pt;"> <span lang="SV">Dipercayai
sebagai nama Malaikat</span><span lang="SV"><o:p></o:p></span></span></div>
</div>
</div>kristianus atokhttp://www.blogger.com/profile/00822587175808278451noreply@blogger.com0