A. Pendahuluan
Samuel P.
Huntington (1993)[1]
“meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan
tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi
justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi
ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya
struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah
didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya
perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz
Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik
menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Ramalan Huntington tersebut diperkuat dengan alasannya
mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara
lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak
hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin
menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang
ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam,
diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat,
timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu
sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari
posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban
Non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya
kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding
karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam
regionalisme ekonomi semakin meningkat.2
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab
utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang
Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam
entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju
entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini
jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru
disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan
perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena
persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi sebuah
pemersatu yang kokoh. Beberapa hal ini yang kemjudian dibeberapa negara menjadi
dasar dikembangkannya pendidikan multikulturalisme.
·
Pendidikan Multikulturalsme
Pendidikan
multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari
kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai
golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat
ini sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.
Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki identitas ras
atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan watak kultural yang
sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk menyelenggarakan pendidikan
multikultural. Sebagai contoh adalah adalah seprti negara jepang atau Norwegia,
tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di Australia,
Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa ketiadaan pendidikan
multikultural menimbulkan berbagai ketegangan dalam kehidupan sosial.
Ungkapan
tersebut mengandung makna bahwa setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka(prejudice)
yang memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk. Misalnya,
setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang perangkat
prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi, misalnya, hidup
dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China, dan sebaliknya. Kelompok
etnis tertentu menyimpan sejumlah prasangka terhadap kelompok etnis lainnya,
atau pemeluk agama tertentu mempunyai prasangka terhadap pemeluk laiinya.
Berbagai
prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat langgeng. Dari waktu
ke waktu, berbagai prasangka itu berubah. Perubahan dalam prasangka ini dapat
menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu
tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai,
saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling
menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk dalam suatu
masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri
masing-masing.
B.
Apa Itu Pluralisme dan Multikulturalisme.
Pluralisme
berhubungan erat dengan dan menjadi dasar dari multikulturalisme. Idealnya,
suatu masyarakat multikultural merupakan kelanjutan dari pluralisme. Masyarakat
multikultural biasanya terjadi pada masyarakat plural. Sebaliknya, pluralisme
bukan apa-apa tanpa menjadi multikulturalisme. Pengakuan terhadap pluralisme
seharusnya meningkat menjadi multikulturalisme. Namun, kenyataannya,
kesenjangan selalu ada antara pengakuan pluralisme dengan pelaksanaan
multikulturalisme.
1.
Pluralisme
Apa yang dimaksud dengan pluralisme? Kita dapat mengikuti beberapa kategori makna pluralisme.
Pertama, makna pluralisme jika
dihubungkan dengan konsep lain:
1)
Pluralisme (ethnic)-pluralisme
etnik-adalah koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan sosial dan budaya
antara beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat;
2)
Pluralisme (political)-pluralisme
politik-merupakan koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam
distribusi kekuasaan kepada berbagai kelompok interest, kelompok penekan,
kelompok etnik dan ras, organisasi dan lembaga politik dalam masyarakat;
3)
Struktur kekuasaan
yang pluralistik-(pluralistic power structure)- merupakan sebuah system yang
mengatur pembagian hak kepada semua kelompok yang beragam dalam suatu
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan;
4)
Model pluralis (pluralistmodel)-adalah
analisis sistem politik yang memandang bahwa kekuasaan merupakan perluasan dari
persaingan antara berbagai kelompok interest;
5)
Dual pluralist
theory-teori yang mengatakan bahwa kekuasaan dalam sistem sosial
didistribusikan di antara beragam kelompok dan individu;
6)
Pluralisme media.
Dalam studi media (media studies), (1) pluralisme merupakan pandangan
bahwa media massa mempunyai kebebasan dan kemerdekaan yang sangat besar dan
diakui oleh negara, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan dalam
masyarakat; (2) media massa harus dipandang sebagai media untuk melakukan
kontrol sosial. Karena itu, media harus dikelola oleh sebuah manajemen yang
profesional sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi yang ideal bagi
kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyat; (3) dalam pandangan pluralisme
media, audensi tidak boleh dilihat sebagai sasaran yang dapat dimanipulasi
media. Audensi harus dipertimbangkan dalam relaksi yang setara dengan media
karena audensi merupakan sumber pemberitaan dan sasaran bisnis; dan (4)
pluralisme juga memandang bahwa media masa merupakan agen terciptanya kebebasan
berpendapat dari suatu masyarakat demogratis. Karana itu institusi media harus
dibiarkan bebas untuk mengontrol pemerintah dan berhubungan dengan audiens, di
mana audens bebas memilih informasi yang bermanfaat bagi mereka (Liliweri,
2003)
Kedua, maka pluralisme sebagai doktrin:
1)
Pluralisme adalah
dokrin yan mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak ada satupun ”sebab”
yang bersifat tunggal (monism) atau ganda (dualism) bagi
terjadinya perubahan suatu masyarakat. Pluralisme yakin, ada banyak sebab yang dapat
mengakibatkan timbulnya gejala sosial atau perubahan dalam masyarakat.
2)
Pluralisme merupakan
dokrin yang pada awalnya timbul sekitar tahun 1980-an. Pemunculan kembali
ideologi itu dikarenakan tidak ada satupun ”gaya simbolik budaya” yang mampu
menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.
3)
Konsep pluralisme
dimaknai oleh pemerintah sebagai proses melakukan bargaining atau kompromi
terhadap para pemimpin dari beragam kelompok (etnik dan ras atau kelompok
lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dan
lain-lain. Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau
sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat
yang semakin modern dan kompleks, agar setiap individu atau kelompok dapat
berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme
adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan
perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances.
Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa tak ada satu kelompok pun yang
menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti;
sekurang-kurangnya pergantian itu dilakukan melalui pengaruh individu atau
kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga, makna pluralisme dalam konsep
ilmu pengetahuan (ilmu sosial):
1)
Pluralisme merupakan
sebuah model ”politik” yang memungkinkan terjadinya perluasan peran individu
atau kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses politik
bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika ini tercapai, akan hadir sebuah spektrum
sosial atas kekuasaan yang lebih demokratis, karena kekuasaan berada ditangan
beberapa individu dari beragam kelompok yang berbeda-beda.
2)
Pluralisme
menggambarkan suatu keadaan masyarakat di mana setiap individu atau kelompok
yang berbeda-beda dapat memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai social
fabric.
3)
Pluralisme merupakan
salah satu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa sosial, misalnya sebab
dari sebuah perubahan sosial, harus dapat di uji melalui interaksi beragam
faktor dan bukan dianalisis hanya dari satu faktor semata-mata, dan beragam
faktor itu adalah faktor kebudayaan. Inilah yang membedakan pandangan Weber
bahwa kebudayaan imatetiil mendorong perubahan sosial, dari pandangan Marx
bahwa perubahan sosial bersumber dari kebudayaan materiil.
4)
Pluralisme merupakan
pandangan posmodern yang mengatakan bahwa semua kebudayaan manusia harus
dihargai dan diperhatikan. Tak ada satu kebudayaan (atau masyarakat) pun yang
superior terhadap kebudayaan atau masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan
mempunyai kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang lain.
Pandangan ini wajar, karena pada kenyataannya betapa sering kita menemukan ada
kebudayaan atau seperangkat kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu
yang tidak kita ketahui secara pasti. Oleh karena itu, pluralisme menglaim
bahwa dalam masyarakat dimana kita hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang
tidak setara. Karenanya, setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara sosial
oleh penduduk yang beragam. Tesis utama pluralisme sering digunakan dalam ilmu
politik secara konservatif, bahwa kekuasaan sosial ekonomi harus disebarkan secara
berimbang di antara semua kelompok dalam masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa secara teoritis, pluralisme (budaya) merupakan sebuah konsep
yang menerangkan ideal (ideologi) kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat
multikultur, di mana kekuasaan ”terbagi secara merata” di antara
kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mendorong pengaruh timbal
balik di antara mereka. Dan dalam masyarakat multikultur tersebut,
kelompok-kelompok etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan
seimbang, dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka
menjalankan tradisi kebudayaannya (Suzuki, 1984).
Rumusan istilah yang dapat ditarik dari rumusan-rumusan makna
pluralisme di atas adalah: pertama, pluralisme (budaya) menggambarkan
kenyataan bahwa dalam masyarakat, ada kelompok-kelompok etnik yang tidak
terakulturasi ke dalam identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok
seperti ini menampilkan perilaku budaya yang berbeda, misalnya berbicara dengan
bahasa yang lain dari bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dengan
mayoritas agama yang dipeluk etniknya, dan lain-lain, yang berarti mereka
menampilkan sistem nilai yang berbeda dari nilai etniknya. Kedua, bahwa
terbentuk pula pluralisme struktural dalam masyarakat, yang menggambarkan
perbedaan budaya di antara, kelompok-kelompok etnik, tetapi perbedaan tersebut
hanya terletak pada wilayah struktur sosial semata-mata. Berarti, meskipun
kelompok-kelompok etnik itu mempunyai beberapa unsur budaya yang sama dengan
budaya dominan, mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) yang
terpisah dari kelompok dominan.
Menurut Suzuki, bagaimanapun juga, dalam pluralisme
terkandung konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik tertentu dan tetap
mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi
mereka dengan orang lain dari kebudayaan dominan. Akhirnya, pluralisme sebagai
sebuah ideologi berasumsi bahwa semua ”isme” (rasisme, reksisme, kelasisme)
merepkan pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain. Bagaimanapun
juga, konsep pluralisme budaya memang sangat bertentangan dengan fokus etnisitas yang tunggal. Sebagaimana dikatakan
oleh Newman, pluralisme merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan
struktur sosial masyarakat, dimulai dari
perubahan struktur sosial individu dan kelompok (Suzuki 1984; Soderquist 1995).
Sementara itu, john Gray dalam Singelis (2003) mengatakan
bahwa pada dasarnya pluralisme mendorong
perubahan cara berpikir dan bersifat universal, untuk mencegah
klaim pandangan bahwa ada
kebudayaan yang paling benar. Menurut Gray, semua kebudayaan itu penting
sehingga tidak ada satu kebudayaan pun
yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan itu menjadi
rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumentasi paling penting
dari pluralisme. Jadi, seorang pluralis-dengan kata lain –harus dan selalu akan
mengatakan bahwa meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma universal, dan
norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan dimana saja, harus diingat
bahwa norma-norma universal itu tidak lebih baik daripada validitas kearifan
budaya sendiri.
2. Multikulturalisme
Konsep
multikulturalisme, berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan (2002), tidak dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic group) atau kebudayaan
sukubangsa (ethnic culture) yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Kalau konsep dan prinsip kemajemukan lebih menekankan pada keanekaragaman yang
ada dalam realitas masyarakat per se, kemajemukan adalah sesuatu yang dapat
dilihat dan diterima secara kasat mata, sesuatu yang fisik, realitas fisik (physical
reality).
Oleh karena itu keanekaragaman
(pluralism) itu terletak atau adanya lebih dahulu dari atau cikal bakal
dari akan tampilnya multikulturalisme.
Jadi, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang bersifat majemuk atau
beragam dalam kesukubangsaan atau etnisitas (etnicity), dan yang
menerima dan menghargai keanekaragaman yang sudah tentu mengandung di dalamnya
perbedaan -- misalnya budaya, nilai-nilai budaya, pendapat atau ide dan apa
saja yang terkait dengan keberagaman fisik, sebagai suatu realitas yang ada.
Dengan konsep ini, multikulturalisme lebih dipandang dan semestinya
diperlakukan sebagai ideologi dan bukan lagi sebagai prinsip – sebagaimana
pluralisme sudah diperlakukan.
Multikulturalisme
menurut Para Ahli
Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat
peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan
pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari
sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata
merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian
problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau
salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang
seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan
tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan
berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya
sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan
ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan
politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin
tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia
tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar
dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada
keanekaragaman budaya yang sejati.
C. Perjalanan
Multikulturalisme di Indonesia
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas mengenai
“multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi
pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya
perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa
Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang
dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari
Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk,
seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan
lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat,
budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah
kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya
disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington,
keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak
kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham
sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada
perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon,
dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan
diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja
menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang
utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras
agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul
persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para
pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding
father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar
biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan
ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa
yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh.
Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam
dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa
pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para
penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928
merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus
dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah
Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan
Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu
persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam
sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai
pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun
politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu
menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan
dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi
seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama
ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang
terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh
mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila
seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama,
multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar
terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat
kemanusiaan itu.
D.
Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia
Semenjak
reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka
tahun itu sebagai titik tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan
berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang
(diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa. Integrasi nasional yang
selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi
relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat
sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi
kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi
tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik
nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari
kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka
ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.
Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah
politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian.
Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh,
selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas,
dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.
Masalah model
Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking
Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme
mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk
kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu.
Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan
sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia
tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan
gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif,
maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural
sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang
masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang
dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?
Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan
multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama, model yang
mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun
bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan
nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.
Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan
kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan
kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model
ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki
sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan
diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui
eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini,
keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan
identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena
penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi
juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih
kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai
kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan
negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif
sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-
konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu
sendiri.
E. Ketika
Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik
sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik
sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara
anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik
berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses
interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya
saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam
masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi
destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan
terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah
berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso,
Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih
besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap
remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak
menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan
dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik
sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu
dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang
bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih
ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita
terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang
mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja
bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering
berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial
berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang
pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat
tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya
menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat
setempat yang mandeg perkembangannya. Dalam hal kedua, kelompok
masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream,
yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini
dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan
politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya
F.
Penutup
Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif
dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam
masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu
kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi
kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka
yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang
dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi
kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang
terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi
kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat
berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses
pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati
dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri
dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak
setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan
politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa
dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah
komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan
beberapa hal penting, misalnya:
a.
Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi
politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan
yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
b.
Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan
politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan
antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan
identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c.
Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang
disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan
penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun
untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam
kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai.
Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial
budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan
pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi
masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat
bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka
Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang
perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya
itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi
kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa
dapat dihindari.
[1]
Pendapat
Samuel P Huntington (1993) tentang alasan terjadinya suatu konflik peradaban
adalah didominasi oleh hal-hal yang berbau SARA, seperti suku, agama, ras, dan
antargolongan
kita tahu, bahwa negara kita adalah masyarakatnya multikultur, dan secara otomatis pluralisme berkembang pada masyarakat kita. memang kondisi semacam ini sangat perlu pemerintahan yang demokratis, tetapi mengapa sepertinya pemerintahan yang demokratis tidak berperan banyak dalam pemerataan pembangunan, malah demokratis seakan membuat negara dipenuhi dengan berbagai konflik. apakah pelaksanaan pemerintahan demokratis negara kita sudah benar di dalam menghadapi masyarakat yang multikultur????
ReplyDeletebelum. perlu ketiga aktor untuk mewujudkannya.
ReplyDelete