Monday, March 5, 2012

BAB II KONSEP DASAR HUBUNGAN ANTAR MANUSIA


 A.    Siapa Manusia itu?
Peta Konsep
Anda pasti akan heran dengan subjudul  itu? Apakah penulis ini bukan manusia? Kalau penulis manusia,  mengapa membuat judul seperti itu? Anda akan menyangka bahwa penulis memberikan pertanyaan tolol….. sudah jelas namun dipertanyakan. Banyak orang akan berpikir seperti itu. Tidak salah ataupun keliru….. masalahnya, dapatkah anda memberikan gambaran pengertian tentang manusia itu? Atau, jika ada orang yang mengatakan bahwa anda seperti monyet, marah tidak anda? Tersinggungkah? Atau justru mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengiyakan. Begitu pula sebaliknya, apakah hal tersebut juga anda lakukan ketika ada orang yang mengatakan bahwa anda seperti manusia?
Bagi anda yang marah jika dikatakan seperti monyet, tidak keliru. Anda marah karena anda merasa sebagai manusia yang dilecehkan karena dianggap seperti monyet. Tetapi jangan-jangan, anda justru akan tersenyum dan tidak marah jika ada yang mengatakan anda seperti manusia? Kalau itu yang terjadi, penulis justru marah kalau dikatakan seperti manusia. Sebaliknya, penulis akan mengangguk-anggukkan kepala jika ada yang mengatakan bahwa penulis seperti monyet. Mengapa? Karena jika ada yang mengatakan saya seperti monyet berarti saya masih manusia; sedangkan jika saya dikatakan seperti manusia artinya saya bukan manusia – maka saya marah.
Lantas, siapa sih manusia itu? Para ahli biologi menyebutnya manusia adalah hewan yang berakal budi. Mengapa? Karena dalam dunia hewan, manusia digolongkan metazoa dengan phylum chordata, subphylumnya vertebrata masuk dalam klas mammalia yang ordenya primata, sub-orde antropoidea, keluarga dari homonidae dengan genus homo masuk spesies sapiens. Wacana seperti ini yang kemudian melahirkan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis. Disebut makhluk biologis karena manusia memiliki tanda-tanda yang sama dengan makhluk primata lainnya, yakni ditandai oleh:
a.     Sebagian primata hidup di atas pohon, hanya baboon dan manusia yang hidupnya di atas tanah.
b.     Anggota badannya mudah digerakkan, terutama yang berusia muda.
c.     Jari-jari primata dapat memegang benda kasar ataupun halus, mencengkeram, meraih dan fungsi lainnya.
d.     penglihatan primata lebih tajam, tetapi penciumannya lebih buruk dari mamalia lainnya.
e.     Otak primata relative lebih besar volumenya daripada mamalia lainnya.
Manusia sebagai makhluk biologis, sesuai dengan sifat dan kemampuannya maka diberikan berbagai macam sebutan. Pertama, manusia disebut homo sapiens yakni dikategorikan sebagai bagian dari zoology (Ilmu Hewan) yang dapat menggunakan sifat dan kemampuan berpikir secara bijaksana, sehingga manusia juga disebut sebagai makhluk rasional. Ke dua disebut homo faber, karena manusia mampu menggunakan sifat dan kemampuannya untuk membuat dan mempergunakan alat. Ke tiga disebut homo loquens, yakni makhluk yang dapat berbicara dan berkomunikasi social. Ke empat disebut homo sosialis, karena sifat dan kemampuannya untuk berkelompok (bermasyarakat). Ke lima disebut homo economicus, karena  menggunakan sifat dan kemampuannya untuk mengorganisasi pemenuhan kebutuhan hidupnya.  Ke enam disebut homo religiousus, disebut begitu karena ia memiliki sifat dan kemampuan untuk berpikir dan menyadari adanya kekuatan supranatural (Tuhan Yang Maha Segalanya).  Ke tujuh disebut homo delegans, karena sifat dan kemampuannya untuk mendelegasikan pekerjaan kepada yang lain dan menyadari keterbatasannya. Ke delapan disebut homo legatus, karena sifat dan kemampuannya untuk mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya.  Ke Sembilan disebut Artis creator, karena sifat dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan (estetika). Oleh karena itu, manusia memiliki berbagai macam sebutan yang menunjukkan bahwa manusia itu makhluk multidimensional.
Manusia juga disebut makhluk Individu, yaitu manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara anggota tubuhnya yang satu dengan yang lain. Kata Individu berasal dari kata latin ‘individuum’ artinya yang tak terbagi, entitas yang terkecil. Dalam pemahaman ilmu social-budaya menunjuk pada tabiat kehidupan jiwa manusia yang majemuk dengan peranannya dalam kehidupan social-budaya manusia. Dengan kata lain, individu menunjuk kepada keterbatasan manusia sebagai manusia perseorangan, manusia yang membutuhkan manusia lainnya, manusia sebagai mahkhluk social-budaya yang otonom. Manusia dalam berbagai hal banyak kesamaannya dengan yang lainnya, tetapi dalam banyak hal pula banyak perbedaannya. Sejenis tetapi berbeda, setiap individu mempunyai keunikannya sendiri. Keunikannya ini yang menjadikan tingkat peradaban yang berbeda, maka akan menghasilkan deferensiasi social.
Keunikan individu menjadi kepribadiannya. Tingkat kepribadian ini ikut menentukan dan mewarnai dunia social-budaya. Kepribadian yang unsurnya pengetahuan, perasaan dan naluri itu kemudian dikelola sedemikian rupa hingga melahirkan budaya, pola prilaku dan budaya materi.
Deferensiasi social melekat dan berkaitan dengan dunia social-budaya manusia. Pemberian identitas social kepada orang lain menjadi contoh konkrit deferensiasi social yang melekat pada manusia, sedang saya seorang siswa yang paling (maha) dibanding siswa lainnya ini adalah contoh konkrit dari deferensiasi social yang berkaitan dengan dunia social-budaya.
Ernst Cassirer (1944) memberikan pandangannya tentang manusia dan mencoba menggambarkannya dalam satu istilah ‘animal symbolicum’. Dengan istilah ini, Cassirer merangkum semua sebutan untuk manusia yang di uraikan di muka, sekalipun istilah itu masih juga tidak mampu menghadirkan gambaran manusia secara utuh.
Setiap individu merupakan suatu pribadi yang unik, berbeda antara yamg satu dengan yang lain. Aku bukan kamu dan kamu bukan aku, oleh karena itu kepribadian setiap individu juga berbeda. Kepribadian individu sangat tergantung kepada factor:

1) Pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa sescorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan individu itu ada bermacan-macam hal yang dialaminya melalui penerimaan pancaindranya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang lain, sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran autistik (suara), bau, rasa, sentuhan, tckanan rnekanikal (bcrat-ringan), tckanan termikal (panas-dingin) dan sebagainya yang masuk kedalam sel­-sel tertentu dibagian-bagian tertentu dari otak.
Seluruh proses akal manusia yang sadar (conscious) tadi dalam ilmu psikologi disebut "persepsi". Sementara itu, penggambaran baru dengan banyak pengertian tentang keadaan lingkungannya, disebut "apersepsi". Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi karena pemusatan akal yang Iebih intensif, disebut "pengamatan".
Adapun penggambaran abstrak tentang sesuatu berdasarkan penggabungan dan perbandingan dengan penggambaran lain yang sejenis berdasarkan azas-azas tertentu secara konsisten disebut "konsep". Sebaliknya adapula penggambaran baru yang kadangkala .juga tidak realistik , disebut "fantasi".
Seluruh penggambaran, (persepsi), apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur pengctahuan seseorang individu yang sadar. Selain itu, banyak pengetahuan atau bagian-bagian dari himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu selama hidupnya, seringkali hilang dari alarn akalnya yang sadar atau dalam kesadarannya dengan berbagai sebab, disebut "alam bawah sadar" (sub­conscious), kemudian ada pula pengetahuan individu yang saling baur dan tercampur, disebut "alarn tak sadar" (unconscious).

2) Kecuali pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam "perasaan" . Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilairrya sebagai suatu keadaan positif atau negatif.Suatu perasaan selalu bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi, biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu. Kehendak itu bisa bersilat positif artinya individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasanya sebagai suatu hal yang akan rnemberikan kenikmatan, keuntungan, kebahagiaan kepadanya , atau bisa juga negatif, artinya ada upaya untuk menghindari, menjauh, tidak senang, merasa tidak enak dan sebaginya dari hal yang dirasanya sebagai hal yang akan mcmbawa perasaan tidak nikmat padanya. Suatu kehendak keras untuk mendapatkan sesuatu, dinamakan "keinginan" . perasaan dan upaya keras untuk mendapatkan suatu itu, juga disebut "emosi" .

3) Setiap individu memiliki dorongan naluri.
            Dengan pengetahuan dan perasaannya maka dorongan naluri harus dikelola sedemikian rupa agar antara yang satu dengan yang lain menyadari bahwa kita sama dan sederajat (apalagi dihadapan Sang Pencipta). Dalam proses mengelola dorongan naluri inilah nilai-nilai sosial tentang cinta-kasih (bahkan diajarkan oleh Tuhan sendiri melalui nabi-nabiNya), tanggung jawab, pengabdian, keadilan, pandangan hidup, keindahan, penderitaan, kegelisahan dan harapan bermunculan dalam berbagai versi sangat tergantung kepada kepribadian setiap individu.
Manusia juga disebut sebagai makhluk cultural. Manusia merupakan kelompok makhluk yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi dalam proses evolusi sehingga memiliki kedudukan yang khusus di dalam ekosistem alam sekitarnya. Perbedaan yang utama bahwa manusia dikaruniai Tuhan selain kecerdasan juga akalnya. Dengan akal inilah maka membedakan secara mutlak manusia dengan binatang. Manusia dengan akalnya dapat berusaha membantu tubuhnya menghadapi berbagai keadaan, berbagai tempat dan cara hidup, sehingga lebih luas dalam menyesuaikan diri dengan alam sekitar, di mana ia hidup. Dengan akalnya manusia membuat alat-alat yang dapat digunakan untuk melengkapi dirinya alam keadaan tertentu.
Dengan kecerdasan otaknya dapat membantu tubuhnya dan mempermudah hidupnya. Misalnya ia tidak perlu memanjat pohon untuk mengambil buah-buahan, hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan galah. Apa yang dibuat dan diciptakan pada awalnya terbatas pada benda-benda yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Pertama kebutuhan untuk makan maka alat-alatnya berkaitan dengan upaya mencari makan. Kedua yaitu alat yang digunakan untuk menyambung akal sehingga mengalami kemajuan dan semakin luas bentuk alat-alat tersebut dan kegunaanya. Hal ini mempermudah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan menjadi dasar perekonomian dalam lingkungan sosial dengan kerja yang teratur.
Semua kemampuan manusia itu dilandasi oleh dorongan naluri yang dimilikinya, ditambah dengan kemampuan akal pikirannya, maka jadilah manusia yang seperti anda-anda bayangkan saat ini. Dorongan naluri yang dimiliki oleh manusia adalah sebagai berikut:
a.     dorongan naluri untuk mempertahankan hidup
b.     dorongan naluri untuk mencari makan
c.     dorongan naluri untuk mencari teman
d.     dorongan naluri untuk meniru
e.     dorongan naluri untuk sex
f.        dorongan naluri untuk mengabdi
g.     dorongan naluri akan keindahan
Dorongan naluri-dorongan naluri itu diolah dengan akal-pikirannya menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki oleh semua manusia di dunia. Keinginan atau hasrat disertai dengan keindahan akan melahirkan kesenian. Keinginan atau hasrat mengatur alam sekitar dalam menghadapi  tenaga alam yang gaib menimbulkan kepercayaan dan keagamaan. Keinginan untuk mengetahui apa yang dihadapinya akan menimbulkan ilmu pengetahuan.
Semua ciptaan manusia merupakan hasil usaha untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru sesuai kebutuhan jasmani dan rohaninya dikenal dengan kebudayaan. Sehingga manusia memiliki dua bagian yang tidak dapat dilepaskan yaitu segi kebendaan adalah buatan manusia merupakan perwujudan dari akal yang hasilnya dapat diraba atau nyata. Segi kerohanian yaitu alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur dan tidak dapat diraba hanya dapat dipahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan.
Manusia juga disebut makhluk politik (zoon politicon). Dalam setiap interaksi dengan manusia lain, selalu terdapat kepentingan sekalipun kepentingannya itu tersembunyi. Manusia selalu menginginkan pengakuan akan eksistensinya, sehingga manusia akan berdaya-upaya agar kepentingannya itu terpenuhi. Oleh karena itu, manusia akan menggunakan seluruh kemampuan akal pikirannya untuk menyusun strategi untuk mempengaruhi manusia lainnya. Pada ranah ini manusia mulai berpolitik, dengan argumentasi-argumentasi yang disusun dalam pikirannya, manusia menyembunyikan kepentingannya. Paling tidak, manusia yang satu akan mempengaruhi manusia lainnya, dengan maksud agar ia mempunyai pengikut. Jika sudah demikian maka mulailah manusia membuat kelompok, karena aku dan kamu sependapat maka menjadi kita. Dia-dia bukan kita, tetapi mereka; ketika bertemu dengan mereka maka kita menjadi kami. Dan selanjutnya, manusia mengenal dan mengenakan identitas sosialnya agar mudah menandai siapa kawan dan siapa yang ‘the others’ (yang bukan kawan), siapa ‘orang dalam’ dan siapa ‘orang luar’. Untuk lebih jelasnya silakan simak bab Politik Identitas.
Lantas, mengapa sering terjadi yang tadinya kawan berubah menjadi lawan? Homo homini lupus, manusia adalah srigala bagi manusia lainnya.  Hal itu disebabkan sifat manusia yang dinamis. Pikiran manusia itu tidak dapat diikat oleh waktu maupun tempat. Detik ini ia bicara kedelai, sebentar kemudian sudah menjadi air tahu, besok sudah menjadi tempe. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk homo duplex  yang memperlihatkan sifat-sifat yang paradox (bertentangan). Misalnya, disatu pihak ia menjadi konsumen produk masyarakat, dipihak lain ia juga menjadi produsen produk masyarakat; disatu pihak ia menjadi pengendali masyarakat (controler) dipihak yang lain ia menjadi obyek yang dikendalikan masyarakat; satu sisi menjadi pengaman masyarakat, dipihak lain menjadi perusak masyarakat. Pada satu sisi ia menjadi penegak nilai-nilai social, dan disisi lain ia menjadi pelanggar nilai-nilai social. Manusia itu hakim sekaligus terdakwa, bertindak sebagai jaksa dan juga pada saat yang sama ia akan bertindak sebagai pembela.
Hakekat manusia sebagai homo duplex tersebut, dapat diungkapkan sebagai mahluk yang dikuasai oleh nafsu hewani di satu pihak; dan dipihak lain dikendalikan oleh  “semangat malaikat”. Sifat manusia seperti itu, menurut Zijderveld menunjukkan Manusia merupakan individu yang unik. Baik kehidupannya, cara berfikirnya, emosinya, kesadarannya, dan segala tingkah-lakunya serta tindakannya. Dipihak yang lain, pada saat yang sama, manusia merupakan anggota dari jenisnya, menjadi mahluk sosial yang diatur oleh norma sosial yang membatasi cara berfikir, pengungkapan perasaan, dan tindakannya sesuai dgn peraturan serta pola masyarakat.
Manusia sebagai individu, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, sedangkan sebagai mahluk sosial ia harus bertindak sesuai dengan pola masyarakatnya dan bertanggug jawab serta mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada masyarakat. Pada tataran ideal, Manusia yang dapat menyeimbangkan kedua hakekat tersebut, merupakan manusia yang dapat tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat. Ia benar-benar dapat mengungkapkan dinamikanya secara seimbang. Nyatanya, sering dilindas oleh dinamikanya sendiri. Dinamika manusia yang memadukan manusia dengan sesamanya dan dunia lingkungannya, memadukan ‘dunia sosial’ yang penuh makna dengan ‘dunia alamiah’ yang penuh keteraturan, regularitas. Dunia sosial dunia yang serba tidak teratur, meloncat-loncat, hari ini senang lima detik berikutnya sedih. Menghayati dan mendalami hakekat kehidupan manusia memerlukan penginderaan dan kepekaan terhadap gejala-gejala seperti digambarkan di muka, yang meliputi sikap dan tingkah laku serta seluruh kepribadiannya sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Kemampuan seperti itu,  selain dapat diperoleh dari mempelajari bidang keilmuan yang berhubungan dengan gejala-gejala bersangkutan, juga dapat diperoleh dari latihan penghayatan terhadap gejala serta masalah sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita harus melakukan penginderaan, pengamatan dan penghayatan tentang apa yang kita alami di masyarakat.

B.    Konsep Dasar Hubungan Manusia: Manusia membutuhkan manusia lainnya

Meskipun manusia itu makhluk individu namun ia tidak akan sanggup untuk hidup sendirian di muka bumi ini. Coba anda perhatikan kisah Penciptaan! Mengapa Tuhan menciptakan Hawa? Mengapa Adam tidak dibiarkan sendirian oleh Tuhan? Yah…. Jawabannya dapat berbagai macam, tetapi intinya manusia tidak dibiarkan hidup sendirian oleh Tuhan. Oleh karena itu, manusia tidak akan sanggup hidup sendirian. Jika manusia hidup sendirian, maka manusia tidak akan dapat menyalurkan berbagai macam dorongan naluri yang dimilikinya. Manusia tidak akan dapat berkembang sebagai individu yang utuh. Manusia tidak akan memiliki kebudayaan dan manusia tidak akan memenuhi dunia seperti sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia itu HIDUP, dinamis perkembangannya.
Lantas, untuk apa hidup? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita berangkat dari proses siklus hidup manusia. Ketika seorang anak manusia dilahirkan mengapa harus menangis, sebab kalau tidak menangis justru orang-orang dewasa di sekitarnya mulai kawatir terhadap anak itu. Justru dengan menangis, bayi itu memberi sinyal sedang belajar bernafas, sebab tanpa bernafas ia tidak akan hidup. Bahkan menetek pun, seorang bayi tidak lantas otomatis pandai menetek tetapi ia harus belajar dengan bimbingan sang mama. Si bayi terus menerus berkembang dan belajar banyak hal. Mulai dari tengkurap, merangkak, berdiri dan kemudian baru belajar berjalan. Semua itu adalah proses belajar yang harus dilalui dan dialami oleh si bayi, hingga ia dapat berlari dan menjadi manusia mandiri. Tentu dengan syarat, selama si bayi itu mendapatkan kasih-sayang (asih), pengawasan (asuh) dan bimbingan (asah).
Dengan kata lain ilustrasi di atas, mengajak anda untuk memahami konsep-konsep dasar hubungan antar manusia. Pertama, seorang manusia agar dapat berhubungan dengan manusia lainnya maka harus ada kontak terlebih dahulu. Ibarat orang hendak menelpon seseorang, maka ia akan memperhatikan nada sambungnya terlebih dahulu. Nada sambungnya menunjukkan sibuk atau tidak, ini sama dengan harus kontak terlebih dahulu. Kedua, setelah ada tanda-tanda kontak baru kemudian terjadilah komunikasi. Dalam proses komunikasi ini, terjadi berbagai macam hubungan, mulai dari hubungan yang baik-baik hingga hubungan yang berakhir buruk. Komunikasi yang baik, biasanya ditandai dengan canda-tawa, saling pandang, saling merespon maksud dari lawan komunikasinya. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut interaksi antar manusia (interaksi sosial).
Interaksi social merupakan dasar (factor utama) dalam proses-proses social. Artinya, interaksi sosial merupakan kunci dari seluruh kehidupan sosial. Manusia hanya dapat dikatakan sebagai makhluk sosial, apabila ia mampu berinteraksi dengan orang lainnya, tanpa interaksi sosial maka kehidupan sosial tidak akan pernah mungkin terjadi. Perhatikan semut, mereka setiap bertemu selalu beradu kepala, saling membau sebagai tanda ’aku kawanmu’, ’aku orang diri’. Selama proses interaksi sosial terjadi, maka biasanya para komunikator itu saling bergaul, saling bertengkar, saling berkawan dan saling bermusuhan dan kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan nilai dan norma sosial.
Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis dalam bentuk sebagai berikut:















Suatu kerjasama yang terjadi dalam masyarakat, suatu waktu dapat berubah menjadi suatu persaingan yang berujung pada suatu pertikaian. Suatu pertikaian tidak akan selamanya berlangsung, maka akan tercipta akomodasi hingga akhirnya akan kembali menjadi suatu proses kerjasama. Jika suatu proses akomodasi dapat tercipta dalam kondisi yang asosiatif, maka akan diikuti oleh proses asimilasi dan akulturasi. Akan tetapi, jika tercipta dalam kondisi yang dissosiatif maka yang akan berkembang adalah proses persaingan yang akan berujung pada pertikaian (baik dalam bentuk ketegangan maupun konflik).
            Dalam proses kerja sama pasti ada norma dan nilai-nilai yang diberlakukan secara bersama dan di taati bersama. Ada kesepakatan yang dibuat dan digunakan bersama dengan sanksi yang disepakati bersama pula. Agar norma dan nilai ini dapat diakomodir oleh semua pihak maka kemudian kelompok yang terlibat itu akan saling berkomunikasi untuk membuat wadah sosial yang dapat menampung seluruh aspirasi anggotanya, yang disebut dengan lembaga sosial (institusi sosial).
            Lembaga sosial (institusi sosial) pengertiannya ada dua, yang berbentuk material dan non material. Pengertian institusi sosial yang berbentuk material adalah lembaga yang berupa wadah bagi persatuan orang untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya: sekolah menengah atas negeri I, yang terdiri dari pengurus sekolah, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Pengertian ini sama dengan istilah asosiasi sosial. Pengertian lain yang berbentuk non-material adalah apa yang disebut sebagai pranata sosial, yakni norma-norma dan nilai-nilai yang diberlakukan untuk mengatur hubungan antar pengurus, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Jadi lembaga sosial (institusi sosial) adalah himpunan dari norma-norma sosial yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat.
Istilah lembaga sosial dalam kehidupan sehari-hari sulit dipahami karena membingungkan. Secara implisit, lembaga sosial mempunyai fungsi sosial sebagai berikut:
a.     Memberi pedoman kepada anggota-anggota masyarakat, tentang bagaimana harus berbuat dan bersikap dalam pergaulannya di masyarakat;
b.     Menjaga keutuhan masyarakat;
c.     Memberikan pegangan untuk pengendalian sosial (social control) terhadap prilaku anggota masyarakat.
Agar supaya hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma sosial yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.
Norma sosial yang dibangun dan dihasilkan itu akan berguna untuk menjadi ’koridor’ bagi dinamika sosial manusia dalam berinteraksi. Dengan demikian, norma sosial merupakan aturan main para anggota masyarakat dalam berinteraksi. Norma sosial dibagi dalam empat tingkatan, mulai dari tingkat yang paling longgar sanksinya hingga tingkatan yang paling berat sanksinya. Pertama, disebut cara (usage) yang menunjuk pada suatu perbuatan. Misalnya saja: cara makan, cara tidur, cara ngomong, setiap individu pasti berbeda-beda. Ada orang yang cara makannya ”heboh”, mulutnya berbunyi mengecap, tangannya kanan-kiri digunakan dan sajian di meja makan berantakan. Tetapi ada juga yang cara makannya sangat diam, diatur, dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, sajian di meja makan dijaga agar tetap rapi. Perbedaan pada cara hanya menimbulkan sanksi  cemoohan saja. Kedua, kebiasaan (folkways) yakni menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kalau cara makannya saja heboh, maka cara itu jika diulang-ulang akan menjadi kebiasaan makan heboh. Kebiasaan jika dilanggar maka sanksinya dapat berupa jadi bahan omongan orang sekitar. Ketiga, tata-kelakuan (mores) yakni menunjuk pada kebiasaan yang dianggap sebagai cara berprilaku dan diterima sebagai norma pengatur. Sanksi bagi pelanggar berupa pengucilan, pe-marginal-an. Ke-empat apa yang disebut adat (istiadat – customs) yakni menunjuk pada tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat. Bila adat dilanggar maka sanksinya berwujud denda adat yang besarnya tergantung kepada berat-ringannya pelanggaran.
Norma sosial dapat menjadi pranata sosial jika melalui proses berikut: (a) institutionalization, proses pelembagaan yang meliputi norma sosial baru yang dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari; (b) internalized, proses pelembagaan yang meliputi norma tersebut kemudian menjadi ”darah daging” dalam jiwa angota-anggota komunitasnya. Dalam pemahaman seperti ini, menjadi sulit kiranya untuk mengatakan pranata sosial atau norma sosial yang lebih penting. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa hal itu diperlukan ketika kita akan menganalisisnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari justru agak sulit untuk memilah mana yang pranata dan mana yang norma. Norma sosial harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, lebih khusus lagi anggota komunitas (kelompok pendukung kebudayaan), oleh karena itu diperlukan pengawasan sosial (social – control).
Hubungan antar manusia hanya akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan jika norma-norma sosialnya dijaga dan difungsikan sebagaimana mestinya dan sesuaikan dengan tuntutan jaman. Hubungan antar manusia menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan masyarakat. Sebelum terjadi perubahan maka biasanya didahului oleh proses-proses sosial terlebih dahulu, yakni proses interaksi sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila anggota atau kelompok masyarakat saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan. Dengan kalimat lain, pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama menyebabkan perubahan dan perkembangan masyarakat, inilah yang disebut dengan dinamika sosial.
Hubungan antar manusia menghasilkan kehidupan bersama, kehidupan bersama hanya akan terjadi kalau ada proses interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Meskipun secara jasmaniah manusia saling bertemu, saling bersinggungan, saling melihat, tetapi belum tentu (bahkan tidak akan) menghasilkan pergaulan hidup dalam kelompok sosial. Contohnya adalah penonton film di bioskop, penonton sepakbola, atau orang-orang yang berkerumun disekeliling tukang obat di pasar, merupakan contoh kelompok manusia yang bukan kelompok sosial. Kelompok jenis ini disebut crowd (kerumunan). Pergaulan hidup atau interaksi sosial baru terjadi manakala para anggotanya saling mengadakan kerjasama, saling bertegur-sapa dsb.nya untuk mencapai tujuan bersama. Tentu saja dalam proses kerja sama ini dapat mengakibatkan adanya persaingan, dan ketika persaingannya memanas maka akan berubah menjadi pertikaian. Adanya pertikaian dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan, maka kemudian diperlukan proses akomodasi – proses penyelarasan kembali agar pertikaian kembali menjadi kerjasama baru. Begitu seterusnya dengan landasan dasar belajar dari pengalaman.
Di situ ada proses belajar yang merupakan representasi dari konsep dinamika sosial. Oleh karena itu, guna membahas masalah di atas, saya berangkat dari konsep tersebut. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dinamika sosial, agar pemahaman kita berangkat dari satu titik start yang sama. Dengan berangkat dari titik start yang sama berarti kita menyamakan persepsi; sehingga pembahasannya menjadi lebih terarah, tidak bertabrakan tetapi terus saling bersinggungan.
Dinamika sosial, di dalamnya berisi proses internalisasi (internalization), sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation) (Koentjaraningrat, 1980). Ke tiga istilah ini menunjuk pada proses belajar di dalam masyarakat, dengan kata lain masyarakat merupakan wahana pendidikan mengenai hubungan antar manusia bagi setiap anggotanya. Bagaimana pengertian ke tiga istilah tersebut?
            Pertama, saya mulai dari istilah internalisasi. Maksud daripada istilah ini adalah menunjuk pada proses panjang seorang anak manusia dari sejak ia dilahirkan, hingga ia hampir meninggal. Selama hidupnya ia belajar dan memperoleh pengalaman mengenai perasaannya, hasratnya, nafsunya, dan emosinya; sehingga ia dapat hidup bersama dengan anak manusia lainnya. Ia belajar bagaimana ”rangsangan” itu datang dan bagaimana ia harus memperoleh dan mengelolanya, agar ia terpuaskan. Setiap hari selama ia masih hidup, maka ia bertambah pengalamannya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perasaannya (secara antropologis, ia belajar memperoleh kesenangan, kegembiraan, perhatian, kebencian, kecintaan, benar – salah, malu dan lain-lain; secara sosiologis, ia mempunyai keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya); hasratnya (secara antropologis, ia ingin menyalurkan hasrat untuk bergaul, meniru, mencari tahu, berbakti, keindahan dan lain-lain; dan secara Sosiologis ia mempunyai keinginan untuk bersatu dengan manusia lainnya/masyarakat). Semua itu diperolehnya melalui proses belajar yang disebut dengan istilah internalisasi. Apa yang diperolehnya itu kemudian menjadi milik kepribadiannya yang khas, unik dan berbeda dengan orang lain. Mengapa ia harus belajar itu semua? Hal itu dikarenakan setiap orang mempunyai dorongan naluri untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, yang dalam Sosiologi disebut dengan istilah gregariuosness. Dengan demikian tidak mengherankan kalau ada ahli Antropologi atau Sosiologi yang menyebut manusia sebagai social animal (makhluk sosial).
            Ke dua, istilah sosialisasi dimaksudkan menunjuk pada proses belajar dari seorang manusia tentang pola-pola berprilaku dalam hidup bermasyarakat dengan berbagai macam peranan sosialnya, dan proses ini dilakukan dari sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Agar mempermudah mendapatkan gambaran tentang sosialisasi, maka mari kita bandingkan dua anak manusia, yang satu dilahirkan ditengah keluarga pejabat di kota dan yang lainnya dilahirkan ditengah keluarga biasa di kampung/desa. Si anak pejabat dari lahir sudah dikelilingi dengan berbagai ”fasilitas”. Ada pembantu, bahkan baby sitter, ada ibunya bahkan neneknya, yang masing-masing memberikan perhatian dan kasih sayang dengan pola prilaku yang berbeda. Selama pertumbuhan awalnya itu, ia sudah harus menghadapi berbagai tokoh sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan tokoh-tokoh itu, sehingga ia memiliki hubungan sosial yang lebih intensif dan kemudian mendorongnya menjadi individu yang mudah mengutarakan isi hati serta menerima maksud dan pikiran orang lain. Sebaliknya, si anak ”kampung” yang paling intensif berhubungan dengan ibunya. Kalau ia mempunyai kakak, kakaknya sudah asyik main sendiri paling hanya sekali-kali. Oleh karena itu, biasanya anak ”kampung” cenderung menjadi individu yang tertutup, pemalu dan cenderung kesulitan untuk menyampaikan isi hatinya.
            Perbedaan ’kepandaian’ yang dimiliki  (oleh anak pejabat dan anak desa itu) melalui proses belajar dan akan dijadikan miliknya yang kemudian dikembangkan secara turun temurun. Hal ini dilakukan secara horizontal dalam kelompoknya yang berbeda-beda sehingga penggabungan orang-orang yang disengaja disertai aturan-aturan mengenai hubungan antara satu dengan yang lainnya akan menimbulkan perbedaan. Oleh karena itu, norma social yang berkembang di kota berbeda dengan yang di desa. ada proses inkulturalisasi dalam keluarga.
Ketiga, konsep enkulturalisasi. Istilah ini maksudnya adalah bahwa manusia mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan utama dalam kehidupan sosial manusia. Keluarga merupakan kelompok primer bagi seorang anak manusia, di dalam keluarga terbentuklah frame of reference dan sense of belonging. Di dalam keluarga, manusia pertama kali memperhatikan hasrat keinginan orang lain, meniru pola prilaku individu yang yang menjadi reference-nya, belajar memberi dan menerima dari orang lain.  
Gabungan dari hal yang terkecil yaitu antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan bentuk keluarga. Gabungan yang lebih besar yaitu keluarga dengan keluarga yang disebut masyarakat. Maka pengalaman satu anggota keluarga yang diturunkan pada anggota lainnya termasuk kepandaiannya. Cara menurunkan kebudayaan tersebut karena manusia diberikan kepandaian berbicara. Bahasa adalah alat perantara yang paling utama bagi manusia. Dengan bahasa maka manusia dapat memahami sesuatu bersama-sama, dapat mendengar dari orang lain, ditambah pengamalannya sendiri sehingga semakin luas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang bersifat universal, yang memberikan fondasi bagi perkembangan individu dan kepribadiannya. Oleh karena itu, keluarga merupakan inti dari masyarakat, seperti kata Cooser (1967) bahwa keluarga merupakan mediator dalam mengaktualisasikan dan men-sosialisasikan nilai-nilai sosial. Dari sisi ini, tampak bahwa keluarga mempunyai fungsi pendidikan bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Kalau keluarga merupakan inti masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat juga mempunyai fungsi pendidikan bagi setiap individu yang menjadi anggotanya. Keluarga menjadi guru pertama (dan utama) bagi setiap individu, dan masyarakat menjadi ’guru besar’ bagi setiap individu. Dengan kata lain masyarakat sebagai salah satu wahana pendidikan kebudayaan. Dengan demikian masyarakat mempunyai kewajiban untuk mendidik generasi berikutnya agar mereka menjadi manusia-manusia yang mampu menghargai manusia lainnya. Kemampuan manusia terbatas dari apa yang didapat dalam masyarakat, karena berbeda-beda kepentingannya dan prioritas yang digunakan dalam hidupnya, meskipun terjadi dalam lingkungan yang sama. Sehingga pendukung kebudayaan bukanlah manusia secara individu tetapi juga masyarakat secara umum.
Dinamika sosial dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Dinamika sosial mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
·   Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling menghargai
·   Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain
·   Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota kelompok
·   Menimbulkan adanya i’tikad yang baik diantara sesama anggota kelompok.
Proses dinamika sosial mulai dari individu sebagai pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, belum mengenal antar individu yang ada dalam kelompok. Mereka membeku seperti es. Individu yang bersangkutan akan berusaha untuk mengenal individu yang lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair, proses ini disebut sebagai “ice breaking”. Setelah saling mengenal, dimulailah berbagai diskusi kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini disebut ”storming”. Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku individu, pada proses ini individu mengalami ”forming”. Dalam setiap kelompok harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota kelompok dan pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut ”norming”. Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan berbagai kegiatan, proses ini disebut ”performing”. Secara singkat proses dinamika sosial dapat dilihat pada gambar berikut:


  

Alasan pentingnya dinamika sosial:
·   Individu tidak mungkin hidup sendiri di dalam masyarakat
·   Individu tidak dapat bekerja sendiri dalam memenuhi kehidupannya
·   Dalam masyarakat yang besar, perlu adanya pembagian kerja agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik
·   Masyarakat yang demokratis dapat berjalan baik apabila lembaga sosial dapat bekerja dengan efektif




1 comments:

  1. manusia yang dimaksud dalam bahan ini, ditinjau dari kemampuan diri berelasi dengan manusia yang lainnya (sosial) ya pak?

    ReplyDelete