Monday, March 5, 2012

BAB I KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Ilustrasi

  1. Pengertian Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah matakuliah baru, pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti bahwa definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan definisi pendidikan yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan fakar lainnya di dalam menguraikan makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti pendidikan multikultural.
Merujuk pendapat Andersen dan Cusher ( 1994:320 ), bahwa pendidikan multikutural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks ( 1993:3 ) mendefinisikan pendidikan multikutural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan ( anugerah Tuhan). Kemudian, bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el Ma’hady berpendapat, bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan ( global ).
Dalam bukunya Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekomomi yang dialami oleh maing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragan secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau, dengan lain kata, bahwa ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam ( plural ), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freire ( pakar pendidikan pembebasan ), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara ganding” yang berusaha menjauhi realitas social dan budaya. Pendidikan, menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise social sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multicultural ( Multicultural Education ) merupakan respons terhadap perkembangan keragaman hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multicultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa ( Hilliard, 1991-1992 ). Sedangkan secara luas, pendidikan multicultural itu menckup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata social dan agama.
James Banks ( 1994 ) menjelaskan, bahwa pendidikan multicultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Pertama, Content Integration, yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genegration. Yaitu mengintegrasikan konsep mendasar, genralisasi dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu. Kedua, theknowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran ( disiplin ). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ( culture ) ataupun social ( social ). Keempat, prejudice reducation, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif. Dalam aktivitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran ( objek ) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang cirri-ciri umum peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik memiliki lima cirri yaitu:
  1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
  2. Mempunyai keinginan untuk berkembang kea rah dewasa.
  3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
  4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.
Menurut Prof. HAR Tilaar, pendidikan multikutural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” sesuai Perang Dunia ( PD ) kedua. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini, selain terkait dengan perkembangan politik internasional diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas ( keberagaman ) di Negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari Negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai focus pendidika multicultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multicultural, focus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan cultural domain atau mainstream. Focus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan intercultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individual-individual yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominant, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multicultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti ( difference ), atau politics of recognition ( politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas ).
Dalam konteks itu, pendidikan multicultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifference” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multicultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: social, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhanya kajian-kajian tentang “ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan ( empowerment ) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged.
Istilah “pendidikan multicultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multicultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multicultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM; demokrasi dan pluralitas, multikulturalisme, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoretis, belajar dari model-model pendidikan multicultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme; kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan; ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan; keempat, pendidikan dwi-budaya; kelima, pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.
Sebetulnya, konsep pendidikan multicultural, utamanya di Negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multicultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometime forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people… had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system”.
Di Amerika, misalnya, muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikultiralisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdidi dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi, di mata bangsa Anglo Saxon yang menyebabkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu adalah kawasan tak bertuan, dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan.
Dari perespektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabeli secara generic dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 baru disadari bahwa, masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal Negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru, yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Atau dalam bahasa lain, sekolah lain, sekolah sebagai medium transformasi budaya.
Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui system pendidikan pasa suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai system demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya, toleransi tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Sehubungan dengan hal di atas, akhir-akhir ini di Indonesia sedang mencuat wacana baru dalam khazanah pemikiran pendidikan, yakni pendidikan multicultural. Sebagaimana diberitakan oleh salah satu media nasional di tanah air, bahwa saat ini perlu dibangun konsep pendidikan multicultural ( Kompas, 02/ 09/ 2004 ). Tentu, hal tersebut patut diapresiasi secara positif oleh semua kalangan yang peduli terhadap “nasib” pendidikan di negeri ini. Gagasan tersebut muncul dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, salah satu di antaranya adalah globalisasi. Globalisasi melahirkan peluang, ancaman, dan tantangan bagi kehiduapan manusia di berbagai belahan bumi, termasuk imbasnya adalah kebudayaan bangsa ( culture and tradition ).
Menurut HAR Tilaar, bangsa yang tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan yang mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah terbawa arus hingga akhirnya kehilangan jati diri local dan nasionalnya. Pendidikan multicultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan dengan menawarkan strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan budaya ( different of culture ).
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Prof. Dr. Sutjipto, dan Dr. Cut Kamaril Wardani. Ia berpendapat, bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan penguatan budaya local ( local culture ). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada budaya local berisiko menimbulkan disintegrasi bangsa. Maka, fanatisme dan primordialisme selayaknya dikikis habis. Di sinilah urgensi pendidikan multicultural untuk dihindarkan dalam dunia pendidikan kita saat ini sebab, pendidikan merupakan instrument paling ampuh untuk memberikan penyadaran ( conscious ) kepada masyarakat, supaya tidak timbul konflik etnis, budaya dan agama.
  1. Paradigma Pendidikan Multikultural
Dalam buku Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2004 ), Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu: horizontal dan vertical. Dalam perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Sementara, dalam perspektif vertiakal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat social budaya.
Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Karena itulah, Usman Pelly ( 1988 ) menyatakan bahwa, meskipun setiap Warga Negara Indonesia ( WNI ) berbicara dalam satu bahasa nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, adat-istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu.
Pada satu sisi, kemjemukan masyarakat memberikan side effect ( dampak ) secara positif. Namun, pada sisi yang lain, ia juga menimbulkan dampak negative, karena factor kemajemukan itulah justru terkadang sering menimbulkan kanflik antarkelompok masyarakat. Pada akhirnya, kenflik-konflik antarkelompok masyarakat tersebut akan melahirkan distabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan keridakharmonisan social ( social disharmony ). Pakar pendidikan, Syafri Sairin ( 1992 ), memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni : ( 1 ) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi ( acces to economic resources and to means of production ); ( 2 ) perluasan batas-batas social budaya ( social and cultural borderline expansion ); dan ( 3 ) benturan kepentingan politik, ideology, dan agama ( conflict of political, ideology and religious Interest ).
Menurut pandangan penulis, dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multicultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragama, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis maupun agama. Paradigma ini dimaksudkan bahwa, kita hendaknya apresiatif terhadap budaya orang lain, perbedaan dan keberagaman merupakan kekayaan dan khazanah bangsa kita. Dengan pandangan tersebut, diharapkan sikap eksklusif yang selama ini bersemayam dalam otak kita dan sikap membenarkan pandangan sendiri ( truth claim ) dengan menyalahkan pandangan dan pilihan orang lain dapat dihilangkan atau diminimalisir.
Banyak bukti di negeri kita ini, tentang kerusuhan dan konflik yang berlatarbelakang SARA ( suku, adat, ras dan agama ). Fakta tersebut sebetulnya menunjukkan kegagalan pendidikan dalam menciptakan kesadaran pluralisme dan multikulturalisme. Symbol budaya, agama, ideology, bendera, baju dan sebagainya, itu sebenarnya boleh berbeda. Tetapi, pada hakikatnya kita satu, yaitu satu bangsa. Kita setuju dalam perbedaan ( agree in disagreement ). Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan berbeda jenis kelamin, bangsa, suku, warna kulit, budaya dan sebagainya, dan agar diketahui bahwa orang yang paling mulia di sisi Tuhan adalah yang paling baik amal perbuatannya ( bertaqwa ). Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-que’an Surat al Hujurat ayat 13: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan ( Bapak dan Ibu ), dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa ( bermacam-macam umat ) dan bersuku-suku, supaya kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang lebih taqwa. Sungguh Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. ( Al Hujurat: 13 ).
Pendidikan multicultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk macro dan sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar macro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercerabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, yang menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:
I. Tujuannya membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya ( berperadaban )”.
II. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis ( cultural ).
III. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis ( multikulturalis ).
IV. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Menurut M. Khoirul Muqtafa ( 2004 ), paradigma multicultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternatif dalam rangka mengelola masyarakat multikultur seperti di Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahkan, baik oleh masyarakat maupun pemerintahan, dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 lalu hingga sekarang merupakan indikasi nyata hal ikhwal di atas.
Sebagai tamsil adalah fenomena ( di )muncul(kan)nya UU “kontroversi” sisdiknas yang sengaja didesakkan “kelomok mayoritas”. Masih munculnya keinginan sekelompok orang supaya hukum-hukum yang bersumber dari agama yang diperluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi ( Formalisasi Syariah ). Kasus RUU Kerukunan Beragama yang sangat kental dengan aroma intervensi Negara yang deterministic dalam kehidupan umat beragama juga menandai betapa lemahnya nalar multicultural dalam “nalar” bangsa ini.
Masalah ini sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-antropologis bangsa ini. Indonesia adalah masyarakat majemuk, baik secara horizontal maupun vertical. Secara horizontal, berbagai kelompok masyrakat yang kini dikategorikan sebagai “Bangsa Indonesia” dapat dipilah-pilah ke dalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa atau ke dalam golongan penganut ajaran agama yang berbeda satu dengan lainnya. Sedangkan secara vertical, berbagai kelompok masyarakat itu dapat dibeda-bedakan atas dasar meminjam istilah Karl Marx mode of production yang bermuara pada perbedaan kelas social dan budaya. Dalam realitas-empirik, kenyataan ini justru kerap di(ter)abaikan. Yang terjadi seringkali bukannya penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain, tetapi upaya untuk “mempersamakan” ( conformity ) atas nama persatuan dan kesatuan.
Sejumlah kebijakan politik yang sangat sentralistik pada masa Orde Baru yang memaksakan ideology “monokulturalisme” yang nyaris seragam, seperti, developmentalisme dan uniformitas, merupakan bukti nyata. Maka, tak aneh kalau kemudian monokulturalime ini memunculkan reaksi balik atau resistensi dari pihak lawan dan mengandung implikasi-implikasi negatif ( side effect ) bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan sejak 1999, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tidih dengan “etnisitas”. Politik identitas kelompok, seiring dengan menggejalanya komunalisme, makin menguat.
Konflik antarsuku maupun agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang diidam-idamkan selama ini ternyata semubelaka. Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengenyampingkan realitas atau kepentingan yang lain. Bahkan, tak jarang suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan kepentingan ini. Ironis memang, perbedaan yang seharusnya tidak dijadikan alasan dan halangan untuk bersatu, namun justru dijadikan alasan untuk bermusuh-musuhan atas nama perbedaan.
Factor lain yang turut menyebabkan mandulnya pendidikan multicultural pada tingkat praksis bisa jadi disebabkan masih dominannya wacana “toleransi” dalam menyikapi realitas multicultural tersebut. Toleransi hanya mungkin terjadi apabila orang rela merelativisasi klaim-klaimnya sebagaimana diungkapkan oleh Richard Rorty, seorang filsuf neo-pragmatis. Penghargaan atas yang lain sebagaimana dibayangkan dalam “toleransi” memang dibutuhkan. Namun, toleransi seringkali terjepak pada ego-sentrisme. Ego-sentrisme di sini adalah sikap saya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Artinya, setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri ( I am what I am not ). Yang terjadi kemudian adalah ko-eksistensi bukannya pro-eksistensi yang menuntut kreativitas dari tiap individu yang berbeda untuk merenda dan merajut tali-temali kebersamaan. Tak aneh kalau kemudian yang muncul bukannya situasi rukun tetapi situasi acuh tak acuh ( indifference ).
Sampai di sini, layak kita meneguhkan kembali paradigma multicultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan pada persoalan kompetensi kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak ke aspek psikomotorik dan efektif. Peneguhan ini dimaksudkan untuk mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap Goodenough ( 1976 ), adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empiric. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multicultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya, harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan ( continue ). Di sinilah fungsi strategis pendidikan multicultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa system standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan.
Dalam melaksanakan pendidikan multicultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar kita melupakan upaya-upaya penguatan identitas; melainkan menuntut kita agar berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multicultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi dari tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud.
  1. Pendekatan Pendidikan Multikultural
Men-design pendidikan multicultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok, budaya, suku dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan yang tidak ringan. Perlu disadari bersama, bahwa pendidikan multicultural tidak hanya sebatas “merayakan keragaman”. Apalagi, jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-harinya mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya, atau perbedaannya dari budaya yang dominant, akan berjalan dengan aman dan harmoni?
Dalam kondisi demikian, pendidikan multicultural lebih tetap diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sejumlah pendekatan. Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multicultural. Pertama, tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan ( education ) dengan persekolahan ( schooling ), atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidikan dari asumsi keliru bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka; tapi justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab, karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiaasikan kebbudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik lebih mengasosiasikan kebudayaan dengan kelompok-kelompok social yang relative self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus-menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multicultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penusun program pendidikan multicultural untuk melenyapkan kecendrungan memandang anak didik secara stereotype menurut identitias etnik mereka; sebaliknya mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi ini siatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, maka dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi, itu ditentukan oleh situasi dan kondisi secara proporsional. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan ( baik formal maupun non formal ) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.
Dikotomi semacam ini akan membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multicultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks ke-Indonesia-an dank e-bhineka-an, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terejawatahkan dalam kelompok social dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendaat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat, yang menyatakan bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatua Negara, kebudayaan dan agama.
Jadi, dapat dipahami bahwa inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relative lama, sehingga individu-individu tersebut dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak social. Kondisi tersebut selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang membentuk individu tersebut adalah pendidikan atau, dengan istilah lain, masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam pendekatan pendidikan multicultural juga diperlukan kajian dasar terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar tentang masyarakat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat aadalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
  2. Masyarakat bergantungan pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melelui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing.
  3. Individu-individu, dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
  4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
  5. Pertumbuhan individu dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dunia pendidikan, maka akan tampak bahwa masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan keperibadian individu peserta didik. Sebab, keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber macro yang penuh alternative untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan berbasis multicultural.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan multicultural. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbale balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memperdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan di masa kini dan akan datang.
  1. Pendidikan Berbasis Multikultural
Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pada decade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multicultural Based Education, selanjutnya di singkat ( MBE ), telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Dalam terminology ilmu-ilmu pendidikan dikenal dengan peristilahan yang hampir sama dengan MBE, yakni pendidikan multicultural ( multicultural education ) seperti yang dipakai dalam konteks kehidupan multicultural Negara-negara Barat. Sejumlah definisi terikat dalam disiplin ilmu tertentu, seperti pendidikan antropologi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.
Dalam buku Multicultural Education: A Teacher Guide to Lingking Context, Process, and Content, karya seorang pakar pendidikan multicultural dari California State University, Amerika Serikat, Hilda Hernandez, telah diungkap dua definisi “klasik” untuk menekankan dimensi konseptual MBE yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi MBE sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam ( plural ) secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Dalam satu decade terakhir, Hernandez mengembangkan sebauh definisi operasional tentang MBE. Dalam konseptualisasinya, MBE adalah sebuah kegiatan pendidikan yang bersifat empowering. Oleh karenanya, MBE, menurut Hernandez, adalah sebuah visi tentang pendidikan yang selayaknya dan seharusnya bisa untuk semua anak didik.
Berkaitan dengan anak didik, MBE menyoal tentang etnisitas, gender, kelas, banhasa, agama, dan perkecualian-perkecualian yang memenuhi, membentuk, dan mempola tiap-tiap individu sebagai makhluk budaya. MBE adalah hasil perkembangan seutuhnya dari konstelasi/ interaksi unik masing-masing individu yang memiliki kecerdasan, kemampuan, dan bakat. MBE mempersiapkan anak didik bagi kewarganegaraan ( citizenship ) dalam komunitas budaya dan bahasa yang majemuk dan saling terkait.
MBE juga berkenaan dengan perubahan pendidikan yang signifikan. Ia menggambarkan realitas budaya, politik, social dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sentematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifesikan melalui konteks, proses, dan muatan ( content ). MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki berbagai kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan seputar penciptan lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita-cita persamaan, kesetaraan dan keunggulan.
  1. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia
Hingga saat ini, wacanapendidikan multicultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena actual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multicultural.
Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multicultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 hingga saat ini. Pendidikan multicultural yang dikembangkan di Indonesia sejak dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ( otoda ). Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional ( disintegrasi bangsa dan separatisme ).
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negative bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multicultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan fenomena/ gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etniitas”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia, juga di Negara-negara lain, menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat, bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam proses pendidikan multicultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada; jadi, terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multicultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapannya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisii pendidikan .
Di Jepang, aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada Perang Dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagai masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedy kemanusiaan tidak terulang kembali. Sementara, di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dalam pertisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latar belakang suku, agama, budaya dan etnis. Di Indonesia juga memerlukan materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.
Model lainnya, pendidikan multicultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaraan, tetapi juga melakukan reformasi dalam system pembelajaran itu sendiri. Affirmative Action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen tenaga pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpang struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan social ( sense of crisis ), toleransi dan mengurangi prasangka antarkelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multicultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar, seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multicultural dapat mencakup tiga jenis transformasi:
( 1 ) transformasi diri; ( 2 ) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan ( 3 ) transformasi masyarakat.
Selain itu, wacana pendidikan multicultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju ( snow ball ) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multicultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multicultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.
  1. Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Global
Gambaran dunia saat ini tampak terasa semakin sempit. John Naisbit dalam Mega Trend 2000 juga menggambarkan demikian. Demikian pula Alvin Tofler seorang pakar sejarah dunia, juga menyebut demikian. Bahwa, Dunia telah menjadi kampung besar ( global village ), sebagaimana dikemukakan oleh ahli komunikasi Kanada, McLuhan. Bahwa, di era globalisasi dewasa ini kita tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan global. Apakah perbedaan mendasar antara pendidikan multicultural dan pendidikan global?
Pendidikan multicultural dapat kita rumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman cultural, hak asasi manusia, dan pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka demi membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan tentram. Apa kaitan pendidikan multicultural dengan pendidikan global? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali perlu kita rumuskan beberapa inti dari pendidikan multicultural. Pendidikan multicultural berarti mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya ( the pride in ones home nation ) dengan demikian, pendidikan global tidak mengurangi pengembangan kesadaran akan kebanggaan terhadap suatu bangsa. Oleh sebab itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada pendidikan global, yang ada adalah pendidikan dalam perspektif global.
Dalam pendidikan multicultural, dapat diidentifikasikan perkembangan sikap seseorang dalam kaitannya dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam masyarakat local sampai kepada masyarakat dunia global James banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural identity, yaitu:
  1. Ethnic psychological captivy. Pada tingkat ini, seseorang masih terperangkap dalam stereotype kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya lainnya inferior.
  2. Ethnic encapsulation. Pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaannya sendiri terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai budayanya mempunyai sikap curiga terhadap budaya atau bangsa lain.
  3. Ethnic identifities clarification. Pribadi macam ini mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya-budaya lainnya. Untuk mengembangkan sikap yang demikian maka seseorang lebih dahulu perlu mengetahui beberapa kelemahan budaya atau bangsannya sendiri.
  4. The ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
  5. Multicultural ethnicity. Pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
  6. Globalism. Pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat bergaul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterkaitannya terhadap budaya bangsa dan budaya global.
  1. Menuju Multikulturalisme Global
Berkenaan dengan cita-cita untuk mewujudkan tatanan multikulturalisme global, di sini patut dikemukakan tulisan Muhamad Ali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, berjudul “Menuju Multikulturalisme” ( kompas, 3 Januari 2004 ). Bahwa, dalam beberapa decade terakhir, masyarakat masih dipertontonkan hubungan internasional yang penuh gejolak. Ketika perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ( USSR ) berakhir, ternyata sejarah konflik tidak benar-benar berakhir, sebagagaimana dugaan Francis Fukuyama dalam Magnum Opus-nya “The End of History, yang sangat fenomenal di Amerika.
Konflik Palestina-Israel dan invasi Amerika Serikat ( AS ) beserta sekutunya terhadap Irak, itu menunjukkan bahwa tata dunia belum seimbang dan belum stabil. Karakter baik-buruk manusia tidaklah berubah. Aktor-aktor masa kini, dengan berbagai nama dan identitas, baik yang lama maupun yang baru, ternyata tetap berselisih. Beberapa pendapat, kepentingan, ideology, agama, bahasa, kebudayaan, dan peradaban, itu semua menjadi alasan untuk saling berkonflik.realitas tersebut mengundang akademisi Amerika, Samuel P Huntington, untuk menulis karya kontroversialnya The Clash of Civilization ( Benturan antar Peradaban ). Karya tersebut, mempunyai asumsi dasar bahwa setelah kemenangan liberalisme dan kapitalisme global atas sosialisme komunisme, akan terjadi benturan peradaban antara budaya barat ( Amerika ) dengan budaya timur ( Islam ).
Namun demikian, mesti kita sendiri bahwa karakter dunia hingga detik ini sebetulnya masih tetap multicultural. Jika di masa pra-modern kekuatan-kekuatan politik dalam bentuk dinasti, kerajaan, kesukuan, dan keagamaan yang dominan; di masa modern, Negara bangsa ( nation state ) menjadi actor yang sangat dominant, mengalahkan kekuatan-kekuatan lain. Nasionalisme pun menjadi plural. Individu dan kelompok telah menjadikan Negara-negara sebagai identitas yang sangat penting dalam hubungan antarmanusia.
Dalam batas Negara-bangsa ( nation statee ), manusia memiliki budaya yang majemuk ( plural ), tetapi pada saat yang sama, mereka memiliki identitas budaya yang satu. Negara-bangsa begitu kuatnya sehingga budaya telah menjadi tunggal dalam kebudayaan nasional. Meskipun berbeda-beda tetap satu” ( unity in diversity ) menjadi slogan tidak hanya bagi bangsa Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat, Malaysia, Kanada, Australia, dan banyak lagi Negara lain. Pada level ini, multikulturalisme dipahami dalam batas Negara-bangsa ( nation state ).
Bagaimana dengan perbedaan budaya antarbangsa? Bagaimana kebudayaan Indonesia, misalnya, bisa berinteraksi dengan kebudayaan Malaysia, kebudayaan Thailand, kebudayaan Iran, kebudayaan Inggris, dan sebagainya?
Multikulturalisme global berangkat dari kenyataan sejarah di mana budaya-budaya bangsa begitu majemuknya, sehingga monokulturalisme, budaya tunggal, tidak mungkin menjadi agenda sebuah Negara-bangsa untuk dipaksakan kepada bangsa-bangsa lain.
Pengertian budaya di sini tidak terbatas dalam seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas: agama, ideology, system hukum, system pembangunan, dan sebagainya.
Budaya dapat bersifat lintas Negara, tetapi ada juga budaya yang telah menjadi ciri khas Negara-bangsa tertentu. Misalnya, para pendiri Negara Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai bagian dari budaya national, karena merupakan akumulasi dari nilai-nilai bangsa Indonesia. Malaysia juga merupakan Negara-bangsa yang berkembang dari berbagai unsure budaya, yaitu: Melayu, India, Tionghoa, dan lain sebagainya.
Terlepas dari berapa kesamaan cultural antara mayoritas orang Indonesia dan orang Malaysia seperti bahasa dan agama kedua Negara bangsa ini memiliki perbedaan system dan budaya pembangunan. Di sinilah multikulturalisme antarbangsa menjadi penting.
Hal tersebut merupakan contoh hubungan antardua Negara yang berdekatan secara geografis dan cultural. Bagaimana hubungan antarnegara-negara yang sangat berbeda seperti AS dan Irak? AS dan Indonesia? Bagaimana dengan bangsa-bangsa yang terpinggirkan dalam konstelasi politik dan ekonomi internasional seperti Palestina dan Kashmir?
Multikulturalisme-nya Charles Taylor, Etika Global-nya Hans Kung, Overlapping Consensus-nya John Rawls, Dialog Peradaban-nya Muhammad Khatami, serta nilai-nilai Asia dan Global Convivencia-nya Anwar Ibrahim merupakan tesis-tesis yang mengarah pada sebuah hubungan global yang harmonis.
Pernah pula diusulkan berbagai tesis untuk membangun harmoni global, seperti World Peace Through World Law ( Clark and Sohn ) dan World Order Models Projects ( WOMP ). Di dalam berbagai tesis ini terdapat sikap menghindari absolutisme yang menegasikan segala yang lain, tetapi mendorong sikap skeptisisme epitimologis yang sehat, dan keinginan untuk bersikap kritis yang membuka jalan lagi bagi kemajemukan demi perdamaian global ( global peace ).
Bentuk-bentuk multikulturalisme global bermacam-macam dan sangat kontekstual. Sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui integritas nasional Negara-negara lain juga menjadi bagian dari sikap multicultural. Begitu pula sikap warga-warga terhadap warga Negara lain, sikap orang “Barat” terhadap orang “Timur” dan sebaliknya.
Multikulturalisme global juga bisa terjadi antara nasionalisme agama dan Negara sekuler ( Juergens Meyer ), antara nasionalisme liberal dan nasionalisme liberal, dan sebagainya. Multikulturalisme global menghargai bentuk-bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Multikulturalisme global menghindari sikap pemaksaan, seperti agresi militer dan pemaksaan budaya.
Multikulturalisme global juga bisa berbentuk sikap dan kebijakan luar negeri yang mengakui masyarakat bangsa minoritas ( politics of recognition ). Namun, pengakuan atas identitas kebangsaan tidak berhenti pada pengakuan formal. Multikulturalisme global menuntut perhatian dari bangsa yang kaya terhadap bangsa yang miskin, bangsa yang maju terhadap bangsa yang terbelakang dan bangsa sedang berkembang.
Menuju multikulturalisme global juga berarti menuju kemajemukan modernitas ( different modernities ). Misalnya saja, modernitas AS tidak selalu harus dipaksakan terhadap modernitas Irak, dan modernitas Malaysia berbeda dengan modernitas Indonesia.
Pemikir Maroko, Muhammad Abid Al-Jabiri, dalam Arab-Islamic Philosophy; a Contemporary Critique, misalnya, menawarkan modernisasi yang peduli dengan tradisi-tradisi budaya dan keagamaan karena “tidak ada satu modernitas yang absolute dan universal”. Yang ada adalah bermacam modernitas yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Modernitas Eropa berbeda dengan modernitas China, modernitas Jepang, modernitas Arab, modernitas Indonesia, dan seterusnya.
Perbedaan system moral membutuhkan dialog, bukan penghancuran yang satu atas yang lain. Lembaga-lembaga pendidikan dan budaya dapat menjadi model dialog, dengan cara mendorong diskusi yang jujur dan terbuka, Masyarakat yang memperjuangkan kebebasaan dan persamaan berdiri di atas perbedaan-perbedaan budaya. Janji moral multikulturalisme bergantung pada nilai-nilai saling mendengar dan saling menghargai.
Multikulturalisme global tidaklah bertentangan dengan humanisme global. Karena, multikulturalisme global tidak berarti membenarkan segala bentuk pengungkapan budaya seperti terorisme dan kekerasan. Multikulturalisme global mengakui politik universalisme yang menekankan harga diri semua manusia, serta hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia ( human ). Tak ada warga dunia kelas satu dan warga dunia kelas dua. Humanisme, baik yang berdasarkan atas nilai-nilai transcendental seperti agama dan spiritualitas, maupun yang non-agama, sama-sama mengakui harga diri kemanusiaan ( humanity ). Menghargai perbedaan budaya ( different in culture ) adalah bagian dari nilai-nilai humanisme itu sendiri.
Contoh paling mutakhir tentang multikulturalisme global yang sejalan dengan humanisme global adalah bantuan humanitarian terhadap pemerintahan dan rakyat Aceh dan Sumetera Utara ( Sumut ) yang terkena musibah Gempa dan Tsumani. Dan sebelumnya bantuan kemanusiaan terhadap rakyat Iran yang baru saja terkena musibah gempa bumi, yang memakan korban lebih dari 30.000 jiwa dan menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah.
Negara-negara Barat ( Amerika ) dan Aceh, Sumut ( Indonesia ) dan Iran secara ideologis dan pemerintahan sangat berbeda, tetapi atas dasar nilai-nilai humanisme, Negara-negara Barat menyatakan belasungkawa dan memberikan bantuan ke Aceh, Sumatera Utara ( Sumut ) dan Iran. Perbedaan ideologis dan budaya tidak mencegah Negara-negara dunia untuk menunjukkan etos solidaritas dalam bermacam-macam bentuk.
Paradigma multikulturalisme global kiranya menjadi jawaban alternative untuk mengatasi keretakan hubungan internasional. Di tahun-tahun mendatang, benturan antar nasionalisme dapat dikurangi dengan sebuah perubahan sikap dan kebijakan berbagai pemerintahan dan masyarakat sipil, dari sikap curiga dan memusuhi ke sikap saling menghargai. Dan kemudian, bekerja dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama, seperti kekerasan, kemiskinan, dan kebodohan.
DAFTAR BACAAN
Freire, Paulo, 2000, Pendidikan Pembebasan ( Jakarta: LP3S )
Gollnick, Donna M. & Phillip C. Chinn, 2002, Multicultural Education in a Plutalistic Society ( New Jersey & Ohio: Prentice Hall )
Hernandez, Hilda, 1989, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content ( New Jersey & Ohio: Prentic Hall ).
Maksum, Ali, Luluk Yunan Ruhendi, 2004, Paradigma Pendidikan Universal ( Yogyakarta: IRCiSoD )
Pelly, Usman dan Asih Menanti, 1994, Teori-Teori Sosial Budaya ( Jakarta: Dirjen Depdikbud )
Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shifd for Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, dalam www.exchange.org/multicultural.
Sleeter, C.E, 1999, Making Choice for Multicultural Education: Five Approaches to Race, Class and Gender ( New York: John Wiley & Sons )
Sairin, Syafri, 1992, Telaah Pengelolaan keserasian social dari literature luar negeri dan hasil penelitian Indonesia ( Jakarta: kerja sama meneg KLH dan UGM )
Stavenhagen, Rudolfo, 1996, Education for a Multicultural World, dalam Jasque Delors ( et all ), Lerarning: the treasure within, ( Paris: UNESCO )
Tilaar, H. A. R., 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia ( Jakarta: Grasindo ).

0 comments:

Post a Comment