Monday, March 5, 2012

BAB V MENGENAL POLITIK IDENTITAS


  A. PENDAHULUAN
Pada beberapa tahun belakangan ini bukan hanya terjadi gelombang demokratisasi secara global, melainkan juga kebangkitan nasionalisme dan munculnya kembali konflik etnik.1  Setidaknya hal tersebut diwartakan secara terang benderang oleh Samuel P Huntington ketika menulis sebuah buku yang diberi judul           The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order pada tahun 1996. Secara gamblang buku tersebut mengkisahkah transformasi pola konflik yang terjadi di politik domestik maupun global setelah perang dingin usai, dari konflik yang bersumber pada ideologi menjadi konflik politik yang berbasiskan identitas.
Lebih jauh Samuel P Huntington membaca bahwasanya politik global akan ditandai oleh   politics of civilitation sedangkan politik domestic oleh apa yang disebutnya     politics of etnicity.2 Dalam politik identitas, pertanyaan yang paling penting adalah           who are we Sehingga, berbagai komunitas dalam masyarakat akan merumuskan diri mereka sendiri dalam tema-tema kultural seperti kesamaan agama, bahasa, sejarah, nilai, kebiasaan dan lembaga. Dalam penguatan kembali politik identitas itu, nasionalisme dan konflik etnik seringkali lebih dipandang sebagai fenomena milik dunia ketiga. Asia dan terutama Afrika mengalami kekerasan etnik berkadar tinggi selama masa perang dingin. Menurut perkiraan kasar, paling tidak setengah dari negara-negara Sub Sahara Afrika- termasuk Angola, Mozambiq, Rawanda, Burundi, Zaire, Uganda, Ethiopia, Somalia, Suda, Chad, Nigeria, Liberia, Zimbabwe dan Afrika Selatan- semenjak kemerdekaannya telah mengalami perang audara maupun matinya ribuan orang karena kekejaman yang dilandasi yang dilandasi pengelompokan.
Dalam buku yang berjudul “Ehnic Group in Conflict” (1985), Donald Horowitz menggunakan istilah  etnik untuk menunjukan pada identitas kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif berskala besar) yang didasarkan atas ide kesamaan asal-usul, keanggotaan yang berdasarkan atas kekerabatan dan secara khusus menunjukan kadar kekhasan budaya. Dengan pemahaman semacam itu, maka etnik dengan mudah mencakup kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna kulit, bahasa, dan agama. Etnik juga mencakup suku bangsa, ras, kebangsaan, dan kasta. Lebih jauh Horowitz mengatkan bahwa meskipun sifatnya  diperoleh secara askriptif (keturunan), etnik tidak sepenuhnya bersifat abadi (walaupun nampaknya  demikian pada situasi konflik tertentu) karena batas-batas kelompok dapat berubah jika kelompok- kelompok itu terpecah-belah; bergabung dengan kelompok lain, mengalami erosi, bersatu, dan  mendifinisikan dirinya kembali dari waktu ke waktu (sebagaian dilakukan dengan jalan manata atau menciptakan kembali mitos kesamaan asal-usul). Biasanya, jika batas-batas etnik tidak dipelihara melalui ciri-ciri fisik yang tegas, bisa ada sejumlah orang yang menyebrangi garis-garis batas etnik tersebut.   
Samuel P Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, 1996. mengatakan bahwa korban jiwa akibat kegagalan mengelola politik etnsitas sungguh sangat mengerikan; setengah juta orang mati dan sebelas juta orang mengungsi di India pada tahun 1947; diperkirakan satu juta orang mati selama perang saudara di Negeria (1967-1970); ratusan ribu orang tewas selama teror etnik dan teror politik Idi Amin di Uganda (1971-1979); puluhan ribu orang tewas dan 600.000 orang terlantar selam satu dasawarsa perang saudara yangs ampai sekarang masih berlangsung di Srilangka dan diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi akibat peperangan di negara bekas Yugoslavia, lebih dari seratus ribu orang tewas dan setengah juta orang mengungsi akibat  meletusnya peperangan di Rwanda pada tahun 1994. Di situ terjadi perang antara kelompok mayoritas Hutu dan kelompok minoritas Tutsi yang pernah menguasai kaum feodal.  Bahkan berakhirnya perang dingin, era mundurnya ideologi seperti ditulis oleh Daniel Bell bukan berarti meredanya representasi kekerasan etnik dalam politik  domestik. 
Serangan tanggal 11 September oleh fundamentalis Islam terhadap lambang dominasi dunia Amerika di New York dan Washington telah secara masif menghidupkan kembali debat mengenai tantangan perbenturan peradaban di dunia. Argumentasi yang disampaikan oleh Samuel Huntington, bahwa kita sedang menghadapi sebuah perbenturan dapat dihindari antara peradaban-peradaban dunia, khususnya antara Islam dan Barat. Sebagai alasan krusial yang mendukung prospek yang tidak menyenangkan ini adalah adanya hipotesa bahwa dengan adanya peradaban dunia yang berbeda-beda saat ini, tidak dapat melewati batasan yang terbentuk dari semakin luasnya beberapa interpretasi tentang nilai-nilai politik mendasar untuk dapat hidup bersama.
Skenario peradaban yang saling berbenturan semakin mendapat kekuatan, hal mana dapat diterima bila melihat kejahatan yang dilakukan oleh satu kelompok etnik terhadap lainya di Yugoslavia yang runtuh atau kegiatan jaringan teror Bin Laden. Skenario ini telah menjadi sebuah paradigma untuk pandangan dunia baru, yang mengakibatkan goncangan di seluruh dunia, di kantor-kantor editorial, dalam berbagai seminar, sidang perencanaan dan rapat konsultasi politik, serta juga dalam pemikiran kekuatan-kekuatan yang ingin muncul yang mengharapkan mendapatkan keuntungan politik darinya. Sebetulnya tidak mengherankan, banyak yang sudah mulai berperilaku seolah-olah model tersebut berlaku. Setiap pihak menganggap dirinya paling mengerti dalam menghadapi realitas yang disebutkan tadi, juga karena pihak-pihak lain melakukan hal yang sama sesuai dengan perkiraan yang ditentukan oleh model tersebut.  Dengan demikian paradigma fundamentalisme dapat melebarkan sayapnya di luar penganut setianya. 
Sangat jelas bahwa pengalaman sosial dan situasi kehidupanlah, beserta kedekatan pada modernisasi budaya yang ditentukan olehnya,  berada pada posisi utama untuk menentukan pendefinisikan cara hidup berbudaya kelompok-kelompok, dalam hal afiliasi pada tradisi agama-budaya. Termasuk dalam pengalaman-pengalaman yang membentuk ini adalah krisis, gejolak dan penyisihan, seperti yang telah diperlihatkan dalam hal fundamentalisme.
Akan tetapi, nilai-nilai sosial yang menyangkut cara hidup bersama yang dianut oleh semua budaya yang ada akan membuka tempat bagi ko-eksistensi identitas budaya yang berbeda-beda sebagai cara untuk percaya dan hidup. Namun demikian, saat ini bertentangan dengan kesempatan nyata yang telah diberikan untuk saling mengerti, risiko berubahnya politisasi budaya menjadi sebuah proses mempertahankan diri sangatlah dekat. Mereka yang berusaha dari dalam dan mereka yang melakukannya dari luar akan bertemu dan saling mendukung, penjelasan dan ramalan mereka bekerjasama secara menyesatkan, dan tenaga mereka saling memberikan kekuatan.Seperti masyarakat dimanapun, munculnya tata global memerlukan nilai-nilai dan norma norma untuk hidup bersama yang umum.
Kesamaan mendasar terdapat dalam inti semua budaya, walaupun diucapkan dalam bahasa, simbol dan gambar yang berbeda-beda. Seringkali hal ini sulit terlihat, tetapi perlu ditemukan dan di taruh di tempat yang jelas. Diperlukan usaha keras untuk mengenal, mengembangkan dan membawa elemen-elemen dalam berbagai budaya tersebut menjadi dekat satu dengan  yang lain, sehingga memudahkan terjadinya saling pengertian dan tindakan bersama, khususnya karena selalu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ini adalah tantangan yang sesungguhnya setelah 11 September.

B.  POLITIK DALAM KONTEKS ILMU PENGETAHUAN
Secara keilmuan , mengutip Max Weber[1] politik adalah  usaha untuk ikut ambil bagian dalam kekuasaan atau  usaha untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan, baik diantara negara-negara atau diantara kelompok-kelompok dalam suatu negara. Kata Politik mengacu kepada segala sesuatu yang  berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan yang dipegang oleh para pegawai pemerintah. Pegawai pemerintah adalah sekelompok orang yang memegang kekuasaan untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan[2] dan, dalam usaha mengatur masyarakat, berhak menggunakan kekerasan fisik yang memaksa[3]. Kekuasaan yang memiliki kedua sifat tadi yaitu mengatur masyarakat secara keseluruhan dan menggunakan kekerasan fisik secara sah disebut kekuasaan politik, sedangkan orang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan politik disebut penguasa politik, sementara keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh penguasa politik dalam usaha untuk mengatur masyarakat disebut kebijakan politik.

C. POLITIK IDENTITAS
C.1. Pengertian
Hal pertama yang mesti dipahami  bahwa  politik identitas bukanlah politik dalam makna tradisional saja.  Politik identitas fokus perhatiannya ialah  perbedaan identitas yang meliputi etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk menghimpun orang atas dasar kesamaan yang dimiliki. Politik identitas merupakan subdisiplin  ilmu politik yang bersifat empiris dan mulai dibicarakan pada tahun 1960-an. Pada tahun 1967, dalam suatu pertemuan pertama yang diadakan oleh asosiasi ilmu politik internasional dibicarakan tentang biologi dan politik.
Merujuk Eriksen timbulnya perasaan untuk berkumpul pada identitas yang sama seperti etnisitas misalnya berdasarkan pada kecenderungan di dalam setiap kumpulan manusia untuk membedakan antara orang dalam dan orang luar, untuk menarik garis batas sosial, dan kecenderungan untuk membangun stereotip-stereotip tentang “kumpulan lain.” Kecenderungan membangun stereotip-stereotip tentang kumpulan lain ini juga sebenarnya merupakan cara untuk mendukung dan membenarkan garis batas sosial ini.  Eriksen menekankan bahwa etnisitas muncul ketika “perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan  akan berakibat pada perbedaan sosial” (ethnicity occurs when perceived cultural differences make a sosial difference. Etnisitas muncul karena adanya interaksi dari kumpulan-kumpulan yang merasa “berbeda”, ketika pembedaan “kita” dan “mereka” menjadi penting.
Menurut Lukmantoro (2008:2)  Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kumpulan karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara tidak adil. Lebih lanjut dikatakannya bahwa secara konkret, kehadiran politik identitas sengaja dijalankan kumpulan- kumpulan masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini mendapatkan hambatan yang sangat signifikan.
Politik Identitas ini terkait dengan upaya-upaya mulai sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, iaitu penentuan nasib sendiri atas asas keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula pada upaya memasukan nilai-nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pentadbiran, keinginan menerapkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya peraturan daerah tentang syariah, mahupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu.
Secara teoritis munculnya politik identitas merupakan fenomena yang disebabkan oleh banyaknya faktor seperti :  aspek struktural berupa disparitas ekonomi masa lalu dan juga masih berlanjutnya kesulitan ekonomi sehingga hari  ini yang telah memberikan alasan pembenaran upaya pemisahan diri sebuah kumpulan primordial yang bertautan dengan aspek keterwakilan politik dan institusional.

C.2.  Politisasi identitas Etnik
Dalam konteks keterwakilan politik belum meluas dan menginstitusinya partisipasi dan keterwakilan politik masyarakat secara komprehensif telah memicu munculnya kebijakan yang diskriminatif dan eksklusif yang pada akhirnya memperkuat alasan kebangkitan politik identitas etnik .
Menurut  Barker (2005:217),  Karena terdorong perjuangan politik serta minat terhadap filsafat dan bahasa, ’identitas’ berkembang menjadi tajuk utama kajian budaya di era 1990-an. Politik feminisme, etnisiti, dan orientasi seks, juga tajuk-tajuk lain, menjadi minat utama yang memiliki kaitan rapat dengan politik identitas.
Politik Identitas diasaskan pada esensialisme strategis, dimana kita bertindak seolah-olah identitas merupakan entitas yang stabil demi tujuan politis dan praktikal tertentu. Hall (1993:136) mengatakan bahwa setiap gagasan mengenai diri, identitas, komuniti identifikasi (bangsa,etnisiti, seksualitas, kelas, dan lain-lain), dan politik yang mengalir darinya hanyalah fiksi yang menandai pembakuan makna secara temporer, parsial, dan arbitrer.  Politik tanpa penyisipan kuasa secara arbitrer kedalam bahasa, pemotongan ideologi, pemosisian, persilangan arah, retidakan adalah mustahil.
Penanda-penanda identitas ’budaya’ boleh berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa dan adat resam pada masyarakat yang bersangkutan (Mauneti,2004:30). Namun tidak sesederhana itu pula, karena King juga mengatakan bahwa konstruksi identitas budaya bersifat kompleks sebahagian karena konstruksi ini merupakan salah satu produk sejarah.
Merujuk kepada Eriksen[4], (2001: 10) bahwa apabila  ditinjau dari sudut pandang antropologi, pada semua masyarakat sedang terjadi perubahan identitas sosial dan budaya. Kata dia, sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir menjelang abad ke 20, kita dapat melihat secara dramatis rekonseptualisasi konsep kebudayaan dan masyarakat dalam studi-studi ilmu sosial. Seterusnya sebagai berikut:
Sampai tahun 1960-an terjadi tumpang tindih antara kebudayaan dan etnitas (diasumsikan bahwa identitas ditentukan oleh etnisitas, sejauh etnik memelihara kekhasan kulturalnya) dengan masalah kewarganegaraan (status kebangsaan seseorang). Namun, kurang lebih tiga puluh tahun berlalu atau sekitar tahun 1990-an, mulai terlihat sebuah perubahan yang sangat cepat di mana kita tak bisa lagi menunjukan hubungan langsung antara kebudayaan dan etnisitas. Artinya, identitas etnik belum tentu ditunjukan lagi oleh kebudayaan dari etnik itu (bdk. Barth 1969). Menurut Thomas, yang sedang terjadi kini adalah meningkatnya perbedaan budaya kini berubah menjadi identitas etnik sebagai identitas budaya kini berubah menjadi identitas budaya “baru” atau sekedar sebagai identitas sosial semata-mata.
Seterusnya Eriksen menjelaskan bahwa apa yang digambarkan itu menunjukan sekurang-kurangnya dua isu yang selalu terus diperdebatkan.
Pertama, bahwa selalu ada kontroversi tentang primordialisme dan instrumentalisme. Ini dikarenakan, identitas etnik pada galibnya merupakan sesuatu yang bersifat “primordial”, yang semula berakar pada kebudayaan yang dihayati bersama secara kolektif baru” akibat asimilasi dua atau lebih budaya yang didukung oleh perkawinan (amalgamasi) maupun komunikasi antarbudaya ditempat kerja, sekolah, dan lain-lain (baca juga Abner Cohen mengenai etnisitas keturunan Afrika di AS). Kolektiva komunitas baru itu dihasilkan oleh keberhasilan mereka memanipulasi simbol-simbol komunikasi bersama yang baru atau menafikan simbol-simbol budaya yang asli dan asal (lihat kasus Sunita Puri diatas, mempertahankan bindi sebagai simbol etnik orang indian atau kita dapat membuat bindi sendiri dengan membeli cat ditoko). Jadi, perdebatan ini berkaitan dengan dikotomi antara mempertahankan karakteristik kebudayaan tertentu secara primordial atau menerima suatu karakteristik kebudayaan tertentu secara primordial atau menerima suatu karakteritik kebudayaan yang baru sebagai sesuatu yang sekedar instrumental.
Kedua, perdebatan antara konstruktivisme dan esensialisme; bahwa yang namanya etnik dan identitas dapat dibentuk dan hasil bentukan etnik baru itu secara esensial menghilangkan atau mengurangi simbol-simbol kultural dari etnik sebelumnya, atau secara esensial pula membentuk karakteristik etnik baru dengan simbol-simbol etnik baru.
Isu inilah yang coba didiskusikan oleh Ernest Gellnar (1983, 1997) dan Anthony D.Smith (1986, 1991). Keduanya mencoba “duduk” pada posisi “antara”, di mana di satu pihak kita tetap mengakui keberadaan etnik-etnik, entah dalam rangka etnik itu sendiri atau dalam rangka sebuah bangsa (artinya ada hubungan antara etnisitas dan nasionalisne), dan dipihak lain kita harus berhadapan dengan bentuk etnik baru karena arus modernisasi. Gellner kemudian mengatakan bahwa : bagaimanapun juga yang namanya “bangsa” adalah sebuah bentukan atau kreasi modern, sekurang-kurangnya kreasi pemikiran tentang negara. Kalau begitu, perkembangan negara memang harus dibicarakan tanpa mengabaikan bahwa dalam kenyataannya memang ada negara dan bangsa yang terbentuk karena etnisitas dari etnik. Buktinya, kata Gellner, bangsa memang merupakan bentukan dari kelompok etnik yang sekurang-kurangnya ditunjukan oleh pemimpin (dari etnik mana) yang memerintah. Sebaliknya, Anderson (1983) melihat bahwa bangsa adalah suatu komunitas abstrak atau imagined community dari sebuah bangsa, khususnya kelompok etnik. Contoh imagined community  adalah Filipina dan Indonesia yang merupakan negara multietnik, sehingga kita harus membedakan antara etnik dan bangsa (Smith 1991).
Apa yang diuraikan di atas merupakan gejala dari transformasi identitas etnik karena perubahan tertentu dari arah sejarah, keadaan sosial ekonomi, kondisi sosial dan politik. Tindakan dan kelompok etnik merespons kemajuan dan modernisasi sebagai suatu perubahan yang selalu harus dan akan terjadi. Suka atau tidak, kini sedang terjadi transformasi identitas etnik. Konsep kemajuan dan modernisasi telah meningkatkan pandangan tentang kebebasan, termasuk kebebasan ekspresi etnik-etnik.Modernisasi dalam bidang pemerintahan yang demogratis turut membentuk otonomi individual, termasuk otonomi etnik terhadap perubahan struktur dalam masyarakat kita. Kemajuan yang bersifat fundamental tersebut melahirkan masyarakat sipil (civil society), yang kini mulai menuntut kembali hak-haknya yang hilang dalam sejarah peradapan etnik-etnik tersebut. Oleh karena itu, definisi sosial terhadap individu kini berubah seiring dengan perubahan struktur kekuasaan, dominasi gender, kekuasaan politik, seperti hak-hak minoritas, termasuk perkembangan agama yang tak membatasi kesukubangsaan sebagai sesuatu yang membatasi peran. Dengan demikian, dalam batas-batas dan konteks tertentu, kita masih membutuhkan pemaknaan etnik secara kontekstual, terutama dalam suasana masyarakat yang multietnik dan multikultur.

C.3.  Politisasi Identitas budaya  
Fundamentalisme adalah salah satu dari berbagai pilihan untuk dapat mengerti dan mempraktekan tradisi budaya. Sebagai bentuk ekstrem dari politisasi perbedaan budaya, fundamentalisme tidak terbatas pada budaya barat (yang menciptakan terminologi tersebut), atau pada peradaban tertentu seperti Islam, walaupun banyak sekali pandangan yang menentangnya. Fundamentalisme juga bukan merupakan sebuah instrumen analisa barat, seperti contoh dapat ditemukan dalam budaya lainnya, tetapi mungkin cara penerapannya di budaya lain melalui perspektif barat.Sebaliknya, semua budaya dunia terbukti berupa sekat-sekat diskusi dan wacana sosial yang pada hakekatnya sangat beranekaragam dan dinamis. Dalam budaya tersebut, dengan ukuran berbeda-beda, fundamentalisme muncul; dan dalam semua budaya itu pula, fundamentalisme merupakan ekspresi yang mendapat tentangan dalam keseluruhan identitas budaya.
Perbandingan empiris yang menjangkau semua budaya menunjukan bahwa dalam kondisi tertentu setiap budaya menghasilkan aliran fundamentalisme berbarengan dengan modernisasi dan tradisionalisasi yang mengitarinya. Walaupun terdapat perbedaan yang luas dalam lingkungan-lingkungan budaya, aliran fundamentalisme dalam struktur dan fungsinya menunjukan karakteristik yang sama dimanapun dan memberi bahan untuk kebutuhan politis dan psikologis dalam semua budaya, yaitu kebutuhan akan kepastian, identitas dan pengakuan bagi mereka yang terisolasi atau terancam oleh kekuatan yang lebih tinggi atau oleh perkembangan pembangunan.
Dalam masing-masing budaya ini, fundamentalisme menyatakan perang terhadap kedua aliran bersaing, yaitu modernisme dan tradisionalisme, dan dengan tak tergoyahkan mengupayakan dikembalikannya identitas yang sesungguhnya dari budaya tradisional yang saat itu berada dalam keterpurukan, dengan membangkitkannya kembali dengan cara mengambil alih kendali kekuasaan politik dan mencapai supremasi absolut. Dengan demikian masyarakat dibebaskan secara menyeluruh terhadap penderitaan kontradiksi modernisasi.
Dengan berakhirnya konflik Timur-Barat, maka pola-pola budaya yang berbeda-beda malah menjadi lebih jelas sebagai nilai-nilai dasar dan bentuk-bentuk hidup, sebagai merek dan harapan kolektif.  Fakta yang kurang menonjol ini tidak begitu berhasil meninggalkan kesan di benak masyarakat luas dalam beberapa tahun setelah era ideologi, sama gagalnya dengan usahanya untuk menjadi pusat publisitas dan eksploitasi politik. Dibentuk sebagian untuk tujuan politik, dibuat berlebihan sebagian untuk mempertahankan pengakuan, ditelan oleh publik yang tak terorientasi dengan sebuah perasaan kelegaan dengan jarak aman terhadap kejadian tidak menyenangkan, perasaan kesadaran budaya dan bersamanya juga kesadaran perbedaan budaya kelihatannya telah mengambil alih keadaan konfrontasi terbesar yang mendominasikan abad ke-20.
Politisasi perbedaan budaya terjadi baik di dalam maupun dari luar. Dari dalam mewakili strategi fundamentalisme yang berupaya meyakinkan kita bahwa kejahatan yang timbul di dunia hanya dapat disembuhkan, jika tuntutan kepastian yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin fundamental dalam masing-masing kasus, dapat berlangsung tanpa ketakutan akan kontradiksi. Dari luar mewakili strategi dari pihak luar seperti Huntington yang tanpa menjadi fundamentalis sendiri, membuka jalan untuk tindakan fundamentalisme dengan mengungkapkan pernyataan bahwa peradaban yang sudah menyebar di dunia pada hakekat bersifat fundamental. 
Bahkan orang non-fundamentalis juga harus membayar dengan uang yang sama, jika mereka tidak mau membahayakan kekuasaan untuk menuntut yang mereka miliki dalam perbenturan peradaban global yang diasumsikan. Fundamentalisme adalah sebuah ideologi abad ke-20 yang merekrut anggotanya atas dasar kesamaan karakteristik ethnis dan agama. Pengalaman penghinaan, penderitaan, keputusasaan, atau kurangnya pengakuan memberikan kontribusi besar pada kesuksesan politisnya. Dengan menggabungan elemen zaman moderen secara pragmatis dualis dengan aspek-aspek dogma yang berasal dari tradisi zaman pra-moderen, fundamentalisme berupaya untuk menyerang struktur dasar dan konsekuensi budaya yang tidak toleran dalam era moderen -yang tidak mendapat dukungan- dengan menggunakan perangkat modern dan dengan cara modern.

C.4. Politisasi identitas Agama
Sebagai bagian dari fenomen global, di Indonesia, politik identitas berdasarkan agama terasa semakin terang benderang terutama sejak kejatuhan rejim Soeharto pada bulan Mei 1998. Setidaknya, bangkitnya kembali            politics of identity  ini terlihat dari munculnya dua gejala politik utama, pertama, terjadinya kerusuhan antar etnis di  beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Maluku, Papua dan Kupang. Kedua, terjadinya tindak kekerasan dengan menggunakan sentimen-sentimen agama,  seperti yang terjadi pada peristiwa Mataram, Kupang, serta Maluku. Ada beberapa bentuk kekerasan politik agama yang terjadi di Indonesia. Pertama, kekerasan fisik seperti pengruskan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan Mesjid  maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma maupun terbunuh.  Bentuk  kekerasan yang kedua adalah kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat  berupa kekerasan simiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan yang bernada melecehkan sesuatu agama. Pelaku tindakan kekerasan politik agama secara potensial bisa berasal dari setiap kelompok agama di Indonesia. Namun, belajar dari kasus-kasus yang muncul di Maluku, Poso, Mataram serta Kupang maka bisa ditemukan sebuah kecenderungan bahwasanya sebagian besar kekerasan politik agama yang timbul akibat konflik yang terjadi antara komunitas Islam dan komunitas Kristen.
Di Maluku, misalnya, komunitas Islam dan Kristen teridentifikasi melalui ikat kepala dan identitas nama kelompok yang bertikai  anatara kelompok merah (obet) dan kelompok putih (acang).    Dari data statistik, Kabupaten/ Kota yang menjadi ajang pengrusakan Mesjid dan gereja, dapat dilihat bahwa pengrusakan gereja terjadi di Kabupaten/ Kota yang  prosentase penganut agama Islamnya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Kristennya melebihi laju pertumbuhan umat Islam di daerah tersebut. Sebaliknya pengruskan Mesjid terjadi di Kabupaten/ Kota yang prosentase  penganut agama Kristennya mayoritas, sedangkan laju pertumbuhan umat Islamnya melebihi laju pertumbuhan umat Kristen di daerah tersebut. Misalnya di Kupang, prosentase umat Islam : Katolik: Protestan ialah 6,7 : 11,47 : 80,79. Laju pertumbuhan umat Islam : Katolik: Protestan ialah 9,18 : 6,53: -0,89. Laju pertumbuhan penduduk Kupang adalah 0,58.  Namun ada juga kecenderungan konflik antar komunitas agama yang akhirnya bermuara pada kekerasan terjadi di daerah-daerah yang mempunyai komposisi agama secara demografis berimbang.  
Dalam perspektif historis terlihat bahwa kekerasan politik agama merupakan fenomena khas Orde Baru. Ini terlihat dari data Thomas Santoso (2000:4) yang memperlihatkan bahwa pada masa Orde Lama hampir tidak ada kerusuhan yang berlatar belakang agama seperti pengruskan gereja. Pada kurun waktu 1945- 1966, hanya terdapat dua gereja yang dirusak, itupun terjadi di daerah-daerah yang mengalami gejolak politik dan keamanan bertalian dengan gerakan Darul Islam.5 Sedangkan pada masa Orde Baru (1966-1998) tercatat tidak kurang dari 456 gereja  dirusak, ditutup maupun diresolusi. Perusakan gereja yang terjadi setelah 21 Mei 1998 dapatlah dikatakan sebagai epilog atau warisan Orde Baru. Dalam  kurun waktu 1996 sampai dengan akhir April 2000 tercatat 473 gereja dirusak, ditutup atau diresolusi.  Dari 473 gereja (100%) tersebut dapat dipilah atas tahun dan tempat kejadian, denominasi gereja dan bentuk kekerasan fisik serta simbolik. Pada tahun 1996 tercatat 71 gereja (15,01 %) dirusak, dibakar dan diresolusi, selanjutnya tahun 1997 tercatat 92 gereja (19,45 %), tahun 1998 tercatat 134 gereja (28,33%), tahun 1999 tercatat 123 gereja (26 %) dan tahun 2000 tercatat 53 gereja (11,2%). Berdasarkan tempat kejadian, perusakan gereja terjadi di berbagai pelosok Indonesia meliputi 76 Kabupaten/ Kota. Dari 473 gereja, perusakan lebih banyak  terjadi di Jawa (273 gereja/ 57,72 %) dibandingkan dengan di luar Jawa (200 gereja/ 42,28 %). Pengrusakan gereja lebih banyak terjadi di kota pesisir (291 gereja/ 61,52 %) dibandingkan kota pedalaman (182 gereja/ 38,48 %) Denominasi gereja dibedakan atas Protestan, Pantekosta dan Katolik. Dari 473 gereja tersebut terdiri atas Protestan (240 gereja/ 50,74 %), Pantekosta (179 gereja/ 37,84 %) dan Katolik ( 54 gereja/ 11,42 %).
Apabila dibedakan menjadi Jawa dan luar Jawa maka komposisi pengrusakan di Jawa ialah Protestan (235            Karena pertimbangan akses data, tulisan ini hanya menampilkan data-hanya tindak kekerasan terhadap komunitas Kristen. %), Pantekosta (28,75 %) dan Katolik (27 %). Sedangkan di luar Jawa, Protestan (27,48 %), Pantekosta (9,09 %) dan Katolik (5,71 %). Berdasarkan jenis kekerasan yang dilakukan dari 473 gereja tercatat 446 gereja (94,29 %) mengalami kekerasan fisik dan 27 gereja yang mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik lebih banyak terjadi di Jawa (25 gereja) dibandingkan dengan di luar Jawa (2 gereja). 


Semua label fundamentalisme agama, apakah itu Kristen, Yahudi, Islam, Hindu atau Buddha, senantiasa bertendensi untuk membentuk sebuah sistem berpikir tertutup yang dengan demikian secara sintetis mengisolasikan perbedaan pendapat, keraguan, alternatif, dan keterbukaan. Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk memberikan keamanan, keyakinan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran yang menyeluruh. Mereka akan tiba pada sebuah kepastian sistem kepercayaan yang dihasilkan sendiri dan disterilkan terhadap keraguan. Fundamentalisme modern memberikan pelayanan dalam bentuk militannya sebagai legitimasi tuntutan intelektual, agama dan supremasi terhadap mereka yang berbeda pendapat. Sistem iman yang tertutup dan penerapan peraturan dalam format fundamentalisme mewakili suatu paham kembali secara absolut dalam politik sampai pada batas bahwa mereka berasumsi memiliki peran dalam lingkungan publik dan mematikan kritik, semua alternatif, keraguan, serta dialog terbuka mengenai tuntutan kognitif diantara mereka yang setara.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah pengabaian penuh (atau kadang-kadang dalam masyarakat demokratis yang telah berkembang hanya secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan prinsip mayoritas demokrasi atas nama kebenaran yang absolut yang dipercayai oleh kaum fundamentalis. Dalam budaya barat akhir-akhir ini kita telah menjadi saksi beraneka ragam gerakan fundamentalisme: Fundemantalisme Protestan di Amerika Serikat, fundamentalisme etnis di Balkan atau Jerman, dan Marxisme-Leninisme dalam berbagai bentuknya. Pada akhir abad ke-20 fundamentalisme moderen telah menjadi formula tanpa banding untuk mendapatkan keberhasilan dalam politisasi perbedaan budaya dalam semua peradaban, walaupun ia juga memperlihatkan unsur-unsur yang sama beranekaragamnya seperti modernisasi yang ingin dilawannya di berbagai pusat di mana ia timbul sebagai kekuatan dominan .
Dalam isi ajaran-ajarannya, kebiasaan hidup masyarakat yang tergabung dalam lingkungannya dan bentuk/struktur  tujuan politik sosial yang dituju, terdapat perbedaan yang besar antara fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat, fundamentalisme Hindu di India, fundamentalisme Evangelis di Guatemala, fundamentalisme Yahudi di Israel, funda-mentalisme Buddha di Sri Langka, fundamentalisme Islam di Iran atau Aljazair, fundamentalisme Khong Hu Cu di Asia Timur, fundamentalisme Katolik Roma di Eropa dan Amerika Serikat. Perbedaan-perbedaan tersebut terungkap dalam kasus-kasus yang terjadi dengan jelas dan dalam ungkapan-ungkapan lumrah yang berakar pada masing-masing budaya yang berbeda.
Namun, di antara semua perbedaan itu, ada satu elemen bersama yang mengikat mereka, yaitu suatu gaya yang ditandai oleh sebuah pendekatan permusuhan terhadap perbedaan budaya, sebuah strategi yang berorientasi untuk mencapai supremasi dengan cara mempolitisasikan budayanya sendiri melawan budaya pihak lainya, baik dalam lingkungan masyarakatnya sendiri maupun dengan masyarakat di luarnya.
Hampir tanpa pengecualian, kepemimpinan fundamentalis diilhami dengan kemauan untuk menggunakan energi pengikut setia yang dimobilisasikan untuk meraih atau mengkonsolidasikan kepentingan politik atau membenarkan perlakuan kekerasan terhadap pihak yang dinyatakan sebagai musuh. Penelitian sosiologi terperinci terhadap fundamentalis-me Islam di Iran dan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat dengan jelas menunjukan bahwa terutama lingkup tradisional memberikan reaksi terhadap bahaya disintegrasi diri yang diakibatkan oleh modernisasi kota dengan cara mundur ke dalam isolasi fundamentalis. Fundamentalis dalam kedua negara ini memiliki tendensi untuk mencari suaka kepada rekan-rekan yang berpikiran sama dengan tiga alasan.
Ada ketakutan dalam diri mereka bahwa pengakuan sosial terhadap kebiasaan hidupnya akan sedikit demi sedikit berkurang; mereka menolak identitas sosial yang telah mereka raih di devaluasikan; atau ada kekuatiran bahwa anak-anak mereka akan memeluk gaya hidup modern dan terbuka. Pilihan terhadap gaya hidup terbuka akan memberikan ancaman terhadap existensi keseluruhan mereka sebagai komunitas yang terpisah.Impuls fundementalis dapat tumbuh dengan baik di mana terjadi penurunan harkat sosio-kultural secara tak terduga yang dikombinasikan dengan pengalaman atau ancaman penurunan mobilitas dan ketidakpastian ekonomi. Krisis ganda budaya-ekonomi jenis seperti ini akan memberikan lahan yang subur bagi pertumbuhan cepat fundamentalisme. Contoh yang paling baik adalah nasional-sosialisme Jerman dengan semangat luar biasa yang dipegangnya dengan latar belakang keruntuhan budaya, perpecahan dengan krisis tradisi dan ekonomi.
Contoh lainnya adalah fundamentalisme Islam di Iran yang muncul dari modernisasi yang dipaksakan dari atas digabung dengan sikap resmi yang melecehkan identitas tradisional sosial-budaya. Aljazair saat ini menunjukkan adanya peningkatan dramatis dalam perasaan bahwa masa depan tidak memberikan prospek, jika elit kepemimpinan politik membuktikan dirinya korupsi dan tidak mampu bereformasi.Fundamentalisme dengan daya tarik bagi massa bekerja melalui organisasi yang berpengaruh, pemimpin yang karismatik, teknik komunikasi yang efektif dan slogan-slogan populer yang digabungkan dengan penjelasan superfisial mengenai keadaan saat ini dengan janji-janji politik akan mengatasinya.
Kredibilitas tawaran yang diberikan dalam banyak kasus didukung oleh fakta bahwa organisasi-organisasi fundamental memberikan bantuan praktis pada lingkungan kelompok yang diminati.Semua contoh ini menunjukan bahwa pemimpin-pemimpin fundamentalis beserta organisasi-organisasi mereka seringkali bersikap santai dalam waktu jangka panjang tanpa ada respons besar hingga saatnya datang sebuah krisis. Seperti yang diamati oleh Gilles Keppel, bukanlah sebuah kebetulan bahwa fundamentalisme telah mendapatkan pengaruh dan daya tarik di seluruh dunia sejak pertengahan tahun tujuh puluhan. Masa ini menentukan titik dimana krisis dalam model budaya pada zaman modern, khususnya dalam alternatif Marxisme, bertepatan dengan manifes stagnasi sosio-ekonomi dan pengalaman pertumbuhan ketidaksamaan sebagai akibat globalisasi.



C.5. Politik Identitas di Dunia
Proses modernisasi mengakibatkan sistem-sistem budaya, sosial dan politik dalam masyarakat terbuka terhadap interprestasi, tata susun, gaya hidup dan perjalanan pembangunan alternatif. Dalam masyarakat barat proses ini digerakan oleh dinamika internal sendiri; dalam banyak masyarakat berkembang proses dirangsang oleh pengaruh luar, walaupun hampir tidak pernah tanpa unsur modernisasi yang berasal dari dinamika masyarakat itu sendiri. Modernisasi membutuhkan kepastian tradisi yang perlu dipertanyakan melalui kritik dan pertimbangan alternatif; sesungguhnya kemampuan meresap alternatif menjadi sangat fundamental terhadap semua bagian pemikiran dan tindakan. Tata aturan publik harus melalui sebuah perubahan fundamental agar dapat mencapai kapasitas untuk dapat mengatur komunikasi dan kebebasan sistem bersaing dalam orientasi, dengan demikian memungkinkan integrasi sosial secara menyeluruh. Tata aturan harus belajar untuk dapat mengatur produktivitas dengan perbedaan dan mengatur interaksi-interaksi secara permanen.           
Dengan berpegang pada prasyarat kebebasan dan hak menentukan diri sendiri, pembukaaan dalam masyarakat pada saat yang sama dengan tidak sengaja menciptakan kejadian sejarah yang tidak pernah terjadi yaitu resiko kehilangan orientasi dan erosi arti kepada individu dan kelompok. Baik kepada individu maupun masyarakat kini tersedia kesempatan besar untuk pengembangan hak penentuan sendiri, tetapi tanpa jaminan keberhasilan dalam membentuk sebuah identitas imdividu dan kollektif secara memuaskan. Dengan alasan ini tradisi dengan orientasinya, kemungkinan identifikasi dan keyakinan status senantiasa berada di bawah pertimbangan kondisi-kondisi moderen, tidak pernah sekaligus keseluruhan eksistensi tradisi, tetapi secara esensial satu per satu, dan tidak lebih dahulu dari tantangan perkembangan sosial. Tradisi tidak lagi berlaku per se, tetapi hanya dalam proporsi kekuasaan untuk meyakinkan para lawanya pada setiap saat. Di bawah prasyarat ini, perkembangan dan upaya mempertahankan identitas individu dan kolektif menjadi tantangan yang tiada henti-hentinya.
Sebagai sebuah ideologi politik dan gerakan, fundamentalisme merupakan sebuah upaya untuk membalikkan proses modernisasi keterbukaan dan ketidakpastian, Apakah fundamentalisme, menumbangkan modernitas secara menyeluruh atau hanya yakin pada keyakinan utamanya, sikap mendasar fundamentalisme adalah senantiasa memaksakan pandangan dunianya, etikanya, gaya hidupnya dan bentuk bentuk organisasi sosialnya kepada orang lain, dan untuk menyisihkan orientasi-orientasi lainnya. Sebagai produk zaman modern, fundamentalisme mencari upaya untuk mengatasi ketidakpastian dan keterbukaan dengan cara memilih satu alternatif diantara tradisi-tradisi yang sempit atau kebiasaan yang diterima tanpa kritik menjadi hal yang absolut.
Orang-orang fundamentalis dengan demikian bermaksud untuk melanjutkan sistem berpikir dan tindakan yang tertutup berdasarkan hal absolut  tersebut – sistem yang secara sintetis menyisihkan perbedaan, keraguan dan alternatif – untuk menggantikan keterbukaan moderen. Dengan demikian, mereka memperbaharui  dukungan dan jaminan keamanan, keyakinan akan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran, dengan cara membuat keyakinan ini bersifat mengikat bagi setiap orang dengan cara yang sama dan meletakkan mereka di luar lingkup perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Terakar dalam tawaran ini untuk individu dan kelompok yang belum yakin adalah prasyarat dan motivasi psiko-sosial yang memungkinkan dilakukannya instrumentalisasi politis perbedaan budaya agar dapat berhasil dalam skala besar.
Jadi selalu terdapat dua sisi instrumentalisasi perbedaan budaya untuk kepentingan politik: perhitungan pelaku instrumentalisasi dan motivasi-motivasi mereka yang diinstrumentalisasikan, dimana keduanya harus sesuai satu dengan yang lainnya.Pengimunisasian fondasi dari keraguan dilakukan fundamentalisme moderen dalam bentuk-bentuk militannya sebagai legitimasi intelektual, agama dan tuntutan politik terhadap kekuasaan, serta supremasi terhadap mereka yang berbeda. Sistem iman tertutup dan tata aturan bentuk seorang fundamentalis mencerminkan kembalinya absolut dalam politik hingga pada keadaan dimana mereka merampas peranan publik dan mematikan kritik, semua alternatif, keraguan dan dialog terbuka mengenai tuntutan diantara mereka yang setara.
Apa yang umumnya terjadi selanjutnya adalah pengabaian total (atau kadang-kadang dalam peradaban demokrasi yang telah berkembang hanya secara selektif) terhadap hak azasi manusia, pluralisme, toleransi, hukum dan prinsip mayoritas demokratis atas nama kebenaran absolut, kepada siapa para fundamentalis percaya mereka memiliki komitmen penuh.Sebagai fenomena, fundamentalisme telah ada sejak dimulainya modernisasi budaya sebagai impuls penentangnya. Istilah itu sendiri muncul untuk pertama kali dalam kaitannya dengan rangkaian publikasi dengan judul “The Fundamentals” antara 1910 dan 1915 di Amerika Serikat.
Rangkaian ini juga memegang judul terpandang “A Testimony to Truth”. Pada tahun 1919 kaum Kristen Protestan yang mempublikasikan rangkaian ini mendirikan sebuah organisasi sedunia yang bernama “World’s Christian Fundamentals Association”. Dengan demikin, istilah “Fundamentalisme” menjadi semacam keyakinan Kristen dengan dapat menempatkan diri untuk keperluan umum dan akademik. Selanjutnya, istilah ini juga digunakan untuk merujuk kepada ideologi dan gerakan lainya, awalnya dalam Katholikisme dan berikutnya dalam lingkungan budaya lainya yang memiliki karakteristik yang sama.
Ada empat dasar yang memberikan karakter gerakan fundamentalis awal yang memberikan nama pada fenomena ini: (1) Penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi Alkitab. (2) Pernyataan bahwa semua teologi, agama, dan ilmu pengetahuan adalah tidak berlaku, jika bertentangan dengan kata-kata dalam alkitab. (3) Keyakinan bahwa siapa saja yang keluar dari teks Alkitab (sesuai dengan interpretasi kaum fundamentalis) tidak dapat menjadi seorang Kristen yang benar, walaupun dengan yakin menyatakan dirinya demikian, (4) Kemauan yang pasti untuk membatalkan pemisahan moderen atas gereja dan negara, serta agama dan politik demi kepentingan politik, dengan cara menginterpretasikan agama sebagai jalan masing-masing, jika terdapat ketentuan hukum/politik dalam masalah-masalah krusial yang bertentangan dengan etika masing-masing.Sebuah perbandingan berbagai gerakan fundamentalis dan kerangka berpikir dalam beberapa budaya yang sangat berbeda telah memperlihatkan bahwa walaupun terdapat perbedaan isi dalam bentuk dan pendekatan, fundamentalisme dipimpin oleh “impuls ideal-typical” yang sama di mana-mana.
Keanekaragaman budaya dalam perwujudan impuls ideal-typical ini, variasi dalam kesamaan dalam kelompok keluarga ini, menyebar ke semua peradaban di dunia dan dicontohkan dengan baik oleh dua buah gerakan agama dan politik yang berbeda, masing-masing fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat dan fundamentalisme Hindu di India. Yang di India tertanam terutama dalam organisasi-organisasi budaya dari Vishwa Hindu Parishad (VHP) dan Rashtriya Sewak Singh (RSS) maupun dalam partai politik Shiv Sena dan Bharatiya Janata (BJP).
Diantara mereka berdua, varian fundamentalisme mencakup perbedaan yang cukup besar dalam kerangka referensi agama, pada tingkat negara berkembang, tempat munculnya hal ini, dan dalam budaya politiknya.Baik pengikut fundamentalis Hindu dan rekannya Protestan menyatakan bahwa mereka adalah satu-satunya juru bicara yang paling sah dari agama mereka masing-masing. Kedua-duanya membenarkan intervensi mereka dalam politik dengan cara mengutuk hak-hak khusus dan konsensus budaya mayoritas yang menurut mereka telah melenceng dari fondasi agama sebenarnya di dalam budaya yang didasarkan pada agama, di mana agama dianggap berlaku abadi pada masing-masing negara.
Gerakan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat menuntut haknya untuk menentang keputusan mayoritas demokrasi dan keputusan pengadilan dalam hal legalisasi aborsi dan larangan doa dalam sekolah.
Fundamentalis Hindu menyatakan perlawanan yang serupa untuk pertama kalinya ketika terjadi pembangunan kembali pura Hindu tua Ayodhya pada lokasi Mesjid abad ke-17 yang harus dibongkar untuk tujuan tersebut. Pada saat yang sama mereka juga mengumumkan maksud mereka untuk memulai gerakan-gerakan lebih lanjut dengan tujuan yang sama.Dengan mengungkapkan sebuah hak istimewa yang lebih tinggi yang didasarkan pada kebenaran agama, mereka membenarkan tuntutan agar etika yang berlaku dalam kelompok mereka ditingkatkan menjadi suatu moralitas yang mengikat dalam masalah-masalah utama dalam kehidupan normal. Mereka juga menuntut agar dogma mereka dipaksakan dengan cara apapun, termasuk pelanggaran hak-hak dasar orang lain dan pengecualian terhadap ketentuan pengambilan keputusan demokratis, jika diperlukan.
Kedua kelompok tersebut sama-sama berkeyakinan penuh bahwa mereka dapat menjaga identitas mereka yang superior dan mengikat dalam masyarakat dengan cara memastikan bahwa kebenaran agama yang tunggal diturunkan dengan cara yang tidak bisa dipertanyakan.
Dalam konteks ini, interpretasi lain dalam agama yang sama atau weltanschauung (Idiologi) dalam negara masing-masing dianggap oleh kedua kelompok sebagai hal yang menyesatkan.Jika tulisan Alkitab dianggap sakral oleh fundamentalis Protestan di Amerika Serikat, sebaliknya kaum Hindu tidak memiliki teks tertulis yang mengikat bagi semua, bahkan dogma yang dengan jelas disebutkan bagi pengikutnya juga tidak ada. Dengan keadaan ini, fundamentalis Hindu tidak berupaya untuk mensucikan teks atau mengeluarkan sebuah hukum Hindu untuk keperluan itu.
Untuk memilah antara kawan dengan lawan, pemeluk orthodoks dan yang bukan, mereka kembali kepada kejadian-kejadian simbolik yang direkam oleh tradisi, menginterpretasikannya secara dogmatis untuk melihat kejadian mana yang melambangkan tindakan-tindakan masa sekarang.Fundamentalis protestan di Amerika Serikat menggunakan produk-produk tercanggih teknologi komunikasi moderen, mulai dari televisi swasta sampai pada direct mailing untuk dapat menyebarkan pesan mereka.
Fundamentalis Hindu, di sisi lain, hingga kini tetap bertahan dengan cara komunikasi pra-moderen seperti prosesi simbolik dari kampung ke kampung atau pertemuan masa di desa dan kota, semua cara ini adalah sangat efektif dalam konteks budaya kegiatan mereka. Fundamentalis Protestan di Amerika Serikat dengan pendapat bersatu mempengaruhi program-program dan seleksi kandidat-kandidat berbagai partai yang ada dengan skala yang demikian besar, agar dapat mengambil bagian dalam kekuasaan politik, tanpa berupaya sendiri untuk mendirikan sebuah partai.
Fundamentalis Hindu di India, disisi lain, memiliki dua buah partai, masing masing Shiv Sena dan BJP. Kedua partai tersebut mendapatkan kemenangan dalam masing-masing negara bagian, bahkan BJP di pusat melalui kemenangan elektoral.Di kedua negara tersebut, kaum fundamentalis mempertahan-kan klaimnya akan kepastian pendapatnya dan berhadapan dengan kelompok-kelompok yang jumlahnya jauh lebih besar yang juga menginterpretasikan agama dan tradisi budaya yang sama dengan cara liberal atau orthodoks dan memiliki pandangan lain mengenai kehidupan bersama. Selain itu, klaim ini juga harus dipertahankan terhadap kelompok-kelompok perwakilan agama lain. Di India, upaya-upaya kaum fundamentalis terutama ditujukan kepada agama-agama lain; di Amerika Serikat agama lain sebagian ditentang, sebagian diabaikan.
Oleh karena itu fundamentalisme selalu merupakan bentuk komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Komunikasi simetris, yaitu dialog terbuka antara mitra yang sejajar dengan asumsi bahwa orang-orang yang dianggap oleh peserta sebagai orang yang sama-sama bertanggung jawab berupaya melakukan pertemuan antar pikiran dengan pandangan, kepentingan, konsep, interpretasi tradisi, signifikansi teks, dan elemen dalam tradisi yang berbeda-beda. Dalam hal demikian semua pihak menyetujui bahwa tidak ada diantara mereka yang memiliki akses atas pengetahuan yang tidak dapat dibantah karena mereka yang memiliki akses tersebut mempunyai kewenangan apriori untuk berbicara atas nama yang lainya.Prinsip-prinsip dialog, hak azasi manusia dan demokrasi di satu sisi sangat sesuai dengan berbagai tuntutan kebenaran yang berperilaku dalam sebuah cara yang saling menunjang, tetapi di lain sisi tidak sesuai dengan tuntutan kepastian yang disahkan oleh satu pihak atas nama pihak-pihak lainya.
Fundamentalisme dapat berkembang menjadi “totalitarisme”, tetapi hal ini tidak selalu terjadi pada setiap kasus. Fundamentalisme lebih bersifat sebuah ideologi politik baru dalam zaman moderen yang menerima dorongan saat terjadinya krisis. Seperti yang telah diperlihatkan dalam analisa empiris komparatif, fundamentalisme tidak terdiri atas esensi aktual dari peradaban dunia manapun melainkan sebuah gaya peradaban khusus, yang menginterpretasikan tradisi khusus dari masing-masing peradaban yang bersaing dengan gaya lainya dalam peradaban yang sama dan menjadikan ini semua dalam sebuah praktek khusus.
Berbicara mengenai penampilan manusia dan lingkungan sosial yang ingin dibentuk, fundamentalisme adalah sebuah mania identitas moderen yang harus merendahkan derajat, menundukkan atau mengusir identitas-identitas lain yang ada di dalam diri manusia itu sendiri dan dalam lingkungan hidupnya agar tercapai keyakinan akan identitas dirinya.

C.6. Politik Identitas di Indonesia
Pada masa pemerintahan Orde Baru dijalankan politik penyeragaman. Rakyat tabu membicarakan suku, agama dan ras (SARA). Pemerintahan Orde baru memobilisasi isu SARA untuk mengendalikan masyarakat melalui bahasa dan etinisitas. Sepanjang masa berkuasanya pemerintahan Orde baru, Negara berusaha menyeragamkan perbedaan-perbedaan budaya demi kepentingan ‘pembangunan nasonal’ (misalnya, demi mempromosikan pariwisata). Ruang bagi perbedaan-perbedaan etnis dibolehkan asal tidak membahayakan ‘kepentingan nasional’. Memang, ideology Negara Indonesia “ Bhinneka Tunggal Ika” secara eksplisit mengakui perbedaan budaya dan peran perbedaan budaya ini menentukan karakter bangsa Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang plural dan toleran.
Tetapi pada masa sekarang tampaknya Negara telah kehilangan kendali atas proses-proses identitas budaya yang dulu pernah dicoba untuk diseragamkan guna kepentingan-kepentingan pembangunan Negara. Sekarang sejak jatuhnya pemerintahan Suharto, tampaknya diberbagai daerah urutan prioritasnya sudah secara efektif dibalik. Sekarang, pemikiran-pemikiran tentang pembangunan nasional dan modernisasi nasional telah digantikan dengan konflik-konflik berbasis-etnis yang berkaitan dengan isu pembangunan yang tidak merata dan marginalisasi masyarakat asli(adat).
            Dampak terbesar dari penyeragaman pada masa ORBA adalah hilangnya khasanah budaya dari suku-suku yang minoritas. Sekarang semua suku akhirnya terjebak dalam konflik identitas. Ini semua karena pemerintah dengan kebijakannya tadi akhirnya mempengaruhi identitas dari setiap warga negaranya. Picard menjelaskan panjang lebar cara-cara yang digunakan oleh pemerintahan Orde Baru untuk mendomestikasi identitas-identitas etnis demi mengakomodasikannya kedalam kerangka proses-proses  pembangunan bangsa (1997:197). Pentadbiran Indonesia sebenarnya melanjutkan cara-cara dari Kolonial Belanda dalam membentuk identitas ini (Mauneti, 2004:27)
Keadaan politik di Indonesia  secara umum saat ini masih sangat primordial. Isu Politik masih berputar-putar sekitar etnik dan agama. Bahkan partai politik pun didirikan atas dasar hal itu. Trend politik berorientasikan  demikian  ini sangat mengkhawatirkan, terutamanya bagi daerah yang terdiri dari pelbagai agama dan sukubangsa seperti Kalimantan Barat. Sejarah membuktikan bahwa di banyak negara kekejaman demi kekejaman dilakukan atas nama agama dan nasionalisme etnik. Irlandia Utara misalnya masih berkecamuk dengan perang saudara antara Protestan dengan Katolik. Di India, kelompok minoritas Islam yang berada ditengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu terus-menerus mengalami ancaman jiwa harta benda. Begitu halnya yang saat ini terjadi di Timur Tengah di tanah Palestina.
Penggunaan symbol agama atau yang diistilahkan sebagai political religion (Apter 1965:267) sangat berbahaya dan bisa menimbulkan konflik yang serius dalam sistem politik sebuah Negara. Perpecahan yang terjadi akibat konflik politik yang berdasarkan agama adalah lebih parah daripada dengan perpecahan akibat factor lain. Hal ini dibuktikan oleh Richard Rose dalam kajiannya pada pemilih-pemilih Kristen di Belgia (Rose dan Urwin 1969:26).
Indonesia adalah negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Akan tetapi, sepanjang sejarah pemilihan umum di Indonesia – sejak tahun 1955, sampai  di era Orde Baru sebanyak 6 kali, dan  di era reformasi sebanyak 2 kali, tahun 1999 dan 2004, belum pernah partai-partai politik Islam sukses memenangkannya.
Masyarakat Indonesia walaupun mayoritas muslim, tetapi ia sangat majmuk daripada aspek suku, bangsa, agama, taraf hidup sosial dan ekonomi, sikap politik, tingkat pendidikan, cara hidup desa-kota, dan sebagainya. Selain itu, forganisasii sosial, serta aliran politik yang berkembang masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme, dan mistik dari agama Hindu-Buddha yang dianut oleh masyarakat sebelum datangnya Islam ke Indonesia. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 30 Juni 2000 adalah 206.264.595 orang[5]. Daripada jumlah tersebut sebanyak 88 % beragama Islam – yang berarti jumlah orang Islam di Indonesia pada 30 Juni 2000 sebanyak 181.512.843 orang. Selain itu, sekitar 59,19 % dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia tersebut, tinggal di pulau Jawa atau 122.088.013 orang, selebihnya tinggal di luar pulau jawa.
Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh corak Islam Jawa seperti yang dikatakan oleh W. F. Wertheim[6]  : “… the Islam as practiced in Indonesia could in its early stages associate itself closely with the religious tradition of the Hindu period, for the from in which it was introduced had already been largely adapted to the mystical religious atmosphere of India”. Oleh karena itu, kepercayaan Hindu-Buddha yang dianut oleh masyarakat sebelum datangnya Islam, sulit dihapuskan terutama di kalangan masyarakat Jawa, walaupun mereka sudah menganut Islam.
Menurut Robert Jay[7], proses Islamisasi di Jawa melalui dua pola. Pertama, di wilayah-wilayah di mana pengaruh nilai-nilai agama Hindu-Buddha minimum, mempunyai kecenderungan untuk merubah masyarakat Jawa menjadi kaum Muslim yang santri (ortodoks) seperti di wilayah-wilayah perkotaan pesisir utara pulau Jawa, misalnya di Ngampel (Surabaya), Bonang, Gresik, Demak, Tuban, Jepara dan Cirebon. Di wilayah-wilayah itu, proses Islamisasi mengambil bentuk penetrasi secara damai (penetration pacifique). Kedua, di wilayah-wilayah di mana pengaruh peradaban Hindu-Buddha kuat, proses islamisasi untuk sebagian besar dicirikan oleh perebutan pengikut di antara kedua tradisi keagamaan yaitu Islam dengan ajaran Tauhid-nya yang bersifat monoteistik berhadapan dengan kepercayaan Jawa yang masih diwarnai oleh pengaruh nilai-nilai agama Hindu-Buddha yang bersifat animisme dan mistik. Maka walaupun Islam berjaya melakukan perembesan (penetrasi) melalui aktivitas dakwah, tetapi keutuhan idiologi dan cara hidup Jawa tradisional tetap berhasil dipertahankan.
Clifford Geertz yang menyelidiki masyarakat Jawa di Mojokuto Jawa Timur, mendapati terbelahnya masyarakat Islam- Jawa ke dalam 3 (tiga) golongan kebudayaan iaitu abangan, santri dan priyayi.
Menurut Geertz[8] bahwa: Abangan mewakili satu penekanan kepada aspek-aspek animisme dari seluruh sinkritisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan penduduk; Santri mewakili satu penekanan kepada aspek-aspek Islam dari sinkritisme di atas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang (juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani); Priyayi menekankan aspek-aspek Hindiusme yang berkaitan dengan unsur birokrasi.
Akan tetapi, beberapa penganalisis Indonesia, seperti Taufik Abdullah[9], Harsya W. Bachtiar[10], Zamakhsyari Dhofier[11], Bahtiar Effendy[12], serta peneliti luar seperti Robert W. Hefner[13], ; dan Marshall Hudgson[14], memberi kritik terhadap hasil penyelidikan Geertz. Mereka umumnya tidak setuju varian yang dirumuskannya yang membelah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan. Kendatipun begitu, hampir tidak ada yang membantah bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat golongan abangan dan santi.
Ketiga golongan tersebut (santri, abangan dan priyayi), mulai mendapat perhatian pada saat pilihan raya tahun 1955 untuk memilih anggota parlemen, dan anggota konstituante. Ia menjadi rebutan pengaruh partai-partai politik yang bersaing dalam kempen pilihan raya. Hasilnya memperlihatkan bahwa golongan santri mengarahkan pilihan politiknya kepada partai-partai sekuler (nasionalis) dan komunis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) atau Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hasil pemilihan umum tahun 1955 memberi gambaran nyata tentang peta  politik di Indonesia. Partai-partai Islam yang disokong golongan santri hanya memperoleh dukungan suara sebesar 43,5 %. Sedangkan partai-partai sekuler yang nasionalis dan partai komunis yang didukung golongan abangan dan priyayi, memperoleh dukungan suara lebih besar yaitu sekitar 52 %. Adapun Partai Kristen Indonesia (Parkindo) memperoleh dukungan suara 2.5 %, sedangkan Partai Katolik 2.0 %.
Dalam pemilihan umum tahun 1955, satu-satunya partai Islam yang mendapat dukungan suara yang signifikan dari kalangan masyarakat Jawa ialah partai NU terutama di Jawa Timur. Sedangkan partai Masyumi, mendapat dukungan suara yang besar daripada luar Jawa. Oleh sebab, mayoritas masyarakat tidak menyokong partai-partai Islam, maka jumlah perolehan suara mereka, baik di palemen ataupun di majelis konstituante lebih kecil dibanding dengan kelompok nasionalis sekuler dan komunis, sehingga partai-partai Islam gagal memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Setelah Indonesia memasuki era reformasi, dan melaksanakan pilihan raya tahun 1999 secara demokratis, hasilnya tidak banyak berbeza daripada hasil pilihan raya tahun 1955. Partai-partai Islam tetap mengalami kekalahan dalam memperoleh dukungan suara dari pengsuara, bahkan lebih teruk daripada sebelumnya. Pada pilihan raya tahun 1999, Partai-partai Islam termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Abdurrahman Wahid, dan mendapat sokongan daripada Nahdhatul Ulama, serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin M. Amien Rais (Muhammadiyah) yang tidak secara terbuka menyatakan sebagai partai Islam, keseluruhannya hanya memperoleh dukungan suara sebesar 37,19 %, yang berarti dukungan yang diperoleh partai-partai Islam turun sebesar 6,31 % dibandingkan dengan hasil pilihan raya tahun 1955.
Begitu juga dalam pilihan raya untuk memilih anggota parlemen tahun  2004, partai-partai Islam yang ikut bertarung  hanya memperoleh suara untuk DPR RI yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 8.15 %, Partai Bulan Bintang (PBB) 2.62 %, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7.34 %, Partai Bintang Reformasi (PBR) 2.44 %, dan Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PNUI) 0.79 %. Dengan demikian, jumlah keseluruhan perolehan suara partai-partai politik Islam dalam pilihan raya tahun 2004 adalah sebesar 21.4 %. Jika jumlah itu ditambahkan dengan perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) 6.44 %, yang tidak menyatakan diri sebagai partai Islam, tetapi basis dukungannya adalah kaum muslim yaitu kaum Nahdiyin untuk PKB, dan Muhammadiyah untuk PAN, maka jumlah perolehan suara hanya sebesar 38.41 %. Ini berarti terdapat peningkatan jumlah perolehan suara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik yang berbasis Islam sebesar 1.22 % daripada  hasil pilihan raya tahu 1999.
Kendatipun begitu, perolehan partai-partai politik Islam pada pilihan raya tahun 2004 dan partai-partai yang berbasis massa Islam, masih di bawah perolehan suara partai-partai politik Islam pada pilihan raya tahun 1955 sebesar 5.09 %, karena pada tahun 1955, partai-partai politik Islam meraih dukungan suara dari pengsuara 43.5 %. Dengan jumlah perolehan suara partai-partai politik Islam dan dua partai politik yang berbasis massa Islam tersebut, maka dapat dikatakan bahwa mereka harus berkerja lebih keras lagi pada masa-masa mendatang untuk meyakinkan pengsuara muslim bahwa mereka boleh membawa perbaikan dan boleh menyelamatkan Indonesia, jika mereka diberi kepercayaan oleh rakyat dalam pilihan raya berikutnya dan memerintah  Indonesia.
Keadaan semacam itu terjadi, antara lain karena masyarakat Jawa yang merupakan mayoritas dari suku bangsa lainnya yang mencapai 47 % dari total penduduk Indonesia, terutama kaum abangan yang umumnya ”wong cilik” yang hidup di akar rumput (grassroot), dan sangat banyak jumlahnya tidak memberi sokongan pada partai-partai politik Islam. Mereka lebih suka menyokong partai-partai politik sekuler seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Sukarno Putri (Presiden RI), atau Partai Golongan Karya (Golkar), yang dipimpin Akbar Tandjung (Ketua DPR RI).
Entah sedar atau tidak, kebanyakan sarjana Erofah yang membicara atau membahas tentang peranan agama dan hubungannya dengan politik selalu menganggap dua bidang ini sebagai “dua daerah” yang terpisah secara total (Roesenthal[15]). Begitu juga halnya bila berbicara tentang kewujudan nasionalisme di sebuah Negara. Mereka lebih cenderung mengatakan berbentuk etnik atau kesukuan, tidak bersifat keagamaan.
Sebenarnya pendapat ini tidak tepat, karena di kebanyakan negara Islam, agama adalah tenaga  pembangkit dan pengembang semangat kebangsaan. Perkara ini jelas di lihat di Indonesia......” In Indonesia Islam was force that promoted the rise and growth of Indonesian nationalism” (Nasution[16] ). Mengikutnya lagi di Indonesia, Islamlah :
…..that created in them consciousness of belonging to the same group. Islam was their rallying point of identity. It was throught Islam that different etnich groups were united into a large comprehensive community. Islam was able to break the power of local nationalism (Nasution 1965:18).
Tegasnya, nasionalisme di Indonesia dan Negara Islam lainnya bermula dengan fenomena kebangkitan Islam. Begitu juga halnya dengan kemerdekaan. Bagi pergerakan Islam, kemerdekaan bukan hanya bererti ”kemerdekaan negeri” tetapi juga ”kemerdekaan kaum Muslimin” dan ”kemerdekaan Islam” (Noer[17] ).
Dalam pilihan raya tahun 1999 partai politik beridentitas agama dan etnis memperolehi suara yang kecil. Perolehan suara itu memberi tanda penting, bahwa penggunaan identitas agama dan etnis di peringkat kebangsaan, kurang mendapat sokongan daripada masyarakat luas. Keadaan serupa juga ditunjukan pada saat Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2000, yang antaranya membahas tentang Amandemen UUD 1945. Pada masa itu, partai politik berbasis agama (Islam), memperjuangkan formalisasi syariat Islam di aras kebangsaan melalui pencantuman piagam Jakarta dalam preambule UUD 1945. Melalui tarik ulur dengan kumpulan nasionalis, akhirnya upaya itu tidak berjaya diwujudkan.
Meski menemui kegagalan di peringkat kebangsaan , keinginan untuk memperjuangkan syariat Islam yang di formalkan  tidak sepenuhnya pudar. Mereka seakan menemukan ruangnya lagi seiring dengan hadirnya politik desentralisasi dibawah payung hukum akta  No 20/1999. Situasi ini memberi peluang baru bagi kalangan Islam fundamentalis untuk boleh menunjukan ekspresi identitas (keagamaan dan etnisiti) melalui perebutan ruang-ruang di tingkat lokal. Di Kabupaten Sambas issu ini cukup kuat. Perjuangannya adalah  berupa Peraturan daerah (peraturan daerah)  syariah. Sampai sekarang peraturan daerah yang demikian sudah ada di 6 propinsi, 38 kabupaten dan 12 kota di seluruh Indonesia[18].
Daripada pembincangan dengan politisi lokal (khususnya di Sambas), ada sebilangan alasan yang dimunculkan dalam regulasi itu, antara lain ialah (a) untuk mengembalikan identitas (”otensitas”) lokal yang dihilangkan  pada masa rezim Orde Baru, (b) hukum positif dianggap tidak mampu mengatasi problem sosial kemasyarakatan (dekadensi moral privat), (c) desakan anggota parlemen dan partai politik Islam seperti PPP dan PBB, serta dari tokoh agama Islam, (d) memperolehi dukungan dari khalayak publik tempatan dengan basis keagamaan .
Bila di tarik ke belakang, politisasi agama yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah hal yang baru, tetapi terkait dengan dinamika kesejarahan Indonesia sejak awal berdiri sampai sekarang. Khususnya terkait dengan perdebatan dalam  perumusan konsep kenegaraan Indonesia iaitu relasi antara     agama dengan negara yang belum selesai. Keinginan sebahagian pihak  untuk mendirikan negara Islam pada masa lampau (baik masa pasca kemerdekaan- BPUPKI tahun 1945, Sidang Istimewa MPRS 1968, dan Sidang Umum MPR 2000).
Dalam bagian lain, kemunculan politik identitas juga tidak boleh dilepaskan dari adanya intervensi globalisasi. Faktor ini tidak boleh nisbikan perananya, terutama karena globalisasi menyediakan ruang keterbukaan untuk saling berkomunikasi bagi tiga pihak iaitu komuniti global, nation state, dan penduduk lokal. Dalam situasi sekarang dimana sedang terjadi arena persaingan antar ideoologi dengan pelbagai warna, juga soalan ekonomi dipelbagai aras, maka konstruksi identitas tidak kosong dari pengaruh satu sama lain. Terkait dengan soal ini, maka politik identitas berbasis identitas agama di komuniti lokal, juga boleh dipahami sebagai konsekuensi daripada persaingan di aras global. Kehadirannya juga banyak di dukung oleh posisi negara yang sedang lemah, baik dalam erti politik mahupun ekonomi.
Mengutip pernyataan  Hanneman Samuel seterusnya, tentang terjadinya penguatan Politik Identitas di Indonesia :
Dalam satu dekade terakhir ini, telah terlihat kemajuan dalam perlindungan identitas di Indonesia. Indonesia kini telah memiliki UU Kependudukan. Status Khonghucu juga sudah jelas. Imlek tidak perlu lagi dirayakan sembunyi-sembunyi. Justeru yang kurang menggembirakan adalah adanya Kristalisasi politisasi identitas yang mengambil bentuk pendirian partai  politik. Selain itu Juga melalui tekanan-tekanan dalam penyusunan rancangan peraturan nasional. Bahkan banyak kabupaten kini telah memiliki Peraturan daerah Syari’ah. Satu kota di Papua berusaha dijadikan sebagai “Kota Injil”.
Kita tidak tahu apakah politisasi identitas merupakan tujuan atau cara. Kehebohan pada pengesahan Rancangan akta ( RUU) Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) memberi kesan penajaman politisasi identitas. Namun, yang terjadi justru legalisasi masuknya prinsip neoliberalisme dalam dunia pendidikan. UU SISDIKNAS bukan politisasi identitas. Soal campur tangan negara dalam pengajaran agama di sekolah lebih merupakan isu sesaat. Masih banyak kes yang boleh kita catat. Perayaan Imlek diperebutkan. Keberadaan tempat ibadah dipermasalahkan. Bahkan ada yang sampai dirosak. Secara sosiologis, semua itu merupakan hal yang menarik. Kita telah menyaksikan muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan radikalisme pada masa Perang Dingin. Kini, tampaknya kita tengah menyaksikan munculnya neo radikalisme. Isue yang diangkat bukan lagi persoalan ketimpangan buruh dan majikan. Tetapi, perjuangan atas nama identitas kultural. Khususnya yang berhubung kait dengan S-A-R-A (Etnik, Agama, Ras, Antar kumpulan).
Walaupun kebanyakan tokoh-tokoh sains sosial meletakkan factor perbezaan ekonomi dan etnik sebagai punca utama berlakunya konflik politik, namun faktor lain seperti perbezaan agama juga tidak boleh diketepikan. Dalam hal ini, penulis bersetuju dengan pendapat Alan R Ball[19] bahwa : “ Religious diversity may replace race and social class as the chief basis for political conflict .
Gerakan lain yang juga menguat di era globaliasi ini ádalah fundamentalisme. Pelbagai kumpulan muncul untuk memperjuangkan apa yang disebut pendukungnya– sebagai “pemurnian budaya”. Mereka memandang orang-orang di luar kumpulan mereka sebagai pihak yang keliru. Merekalah yang menganggap diri paling benar dalam menafsirkan ajaran. Dalam kaitan dengan Muslim, hal ini berujung pada pembezaan di antara “Islam textual” dan “Islam Kontekstual”. Yang satu mempoisisikan diri vis-à-vis yang lain. Yang mengalami kerugian, bukan hanya Muslim. Tetapi juga orang Indonesia pada amnya.
Tidak ada satu orang pun yang mengharap tahun 2009 dan seterusnya merupakan tahun yang buruk. Namun, sulit rasanya untuk menolak kenyataan bahwa tahun 2009 – 2010 boleh jadi merupakan masa-masa kritis bagi orang Indonesia. Dan penulis tidak akan terkejut bila penajaman politisasi identitas akan terjadi. Pilkada tengah terjadi di pelbagai belahan Nusantara. Isue Putra Daerah menguat di pelbagai kawasan. Hal ini sungguh menyedihkan. Di era globalisasi ini kita justru mengembangkannya. Tidak ada jaminan pula bahwa pilihan raya yang akan kita laksanakan pasti terbebas dari pihak-pihak yang mencoba memancing di air keruh. Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi orang Indonesia . Bukan untuk menjadikan kita ketakutan atau paranoid. Yang diperlukan, kelenturan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecenderungan politik berorientasikan agama ini amat membimbangkan, terutamanya bagi negeri yang terdiri daripada pelbagai agama seperti Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa di banyak negara kekejaman demi kekejaman dilakukan atas nama agama. Ireland Utara misalnya masih berkecamuk dengan perang saudara antara Protestan dengan Katolik. Di India, kelompok minoriti Islam yang berada ditengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu terus-menerus mengalami ancaman jiwa harta benda. Begitu halnya yang hari ini terjadi di Timur Tengah di tanah Palestin.
Sampai hari ini,  konflik politik akibat daripada perbezan agama tidak banyak ditulis oleh anggota sosiologi mahupun anggota sains politik. Antara anggota sosiologi yang menyentuh permasalahan ini ialah Talcot Parsons dalam eseinya, “ Racial and Religious Differences as Factors in Group Tension (Parson[20] ). Parson memandang konflik sebagai “ disfunction and disruptive and to disregard its positive fungtions. Conflict appears as partly social”. Baginya, konflik ini adalah “endemic” seperti “penyakit” dan “a sick society” ini harus dirawat oleh pakar propaganda (Parson[21] ).

C.7. Politik Identitas di Kalimantan Barat
Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalimantan Barat merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan Melayu. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik (Partai Persatuan Dayak) dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Sedangkan Madura dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan usaha sendiri dalam bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal.
Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar - negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.
Orde Baru adalah masa “kuliah Politik Identitas”  bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan  dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam.
Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan percaya dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu.
Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002.
Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsai dan liong. Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil menjadi bupati di Sanggau.
Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan dalam politik. Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih sebagai anggota DPRD tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai Golkar yang berkuasa atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam, dan/atau NU atau PKB pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik secara berurutan dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha mendekatkan diri secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada hukum adat, sedangkan secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai nasional dan Islam yang umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja tidak sepenuhnya dapat menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang harus terpaksa menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu.
Oooo00000oooooo




Analisis dan Refleksi Realitas Sosial

Politik Identitas dalam Perang Libanon- Israel
Konsep multikulturalisme yang lebih mementingkan identitas kelompok di atas identitas bersama menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi. Bukan hanya di Libanon tapi juga kemungkinan ini akan dihadapi oleh setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali Indonesia.
“Konflik Libanon-Israel yang terjadi sejak 2006  bukan hanya persoalan perang antara milisi Hizbullah dengan Israel, tetapi juga ada persoalan politik identitas kelompok pada masyarakat Libanon. Inilah yang menyebabkan terjadinya baku hantam di negeri seribu bidadari ini.”
Demikian pernyataan kritis M. Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal, saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional dengan tema “Membincang Kekerasan Sosial dan Politik Identitas di Indonesia,” yang diselenggarakan Jaringan Islam Liberal (JIL) bekerja sama dengan Yayasan Tifa, dan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), Minggu, (30/7) di Aula Formaci Lt. 1, Ciputat Tangerang. Hadir pula sebagai pembicara Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr. Andi Faisal Bakti, PhD.
Persoalan politik identitas yang dimaksud, lanjut Guntur, dapat disaksikan dari munculnya berbagai kelompok sosial yang berbasis kultural, agama atau partai di Libanon. “Komunitas Kristen, misalnya, terpolarisasi pada kelompok Maranit, Ortodoks dan Katolik. Sementara di komunitas Islam atau Arab muncul kelompok Sunni, Syiah, Duruz, dan Armenia.”
Sepanjang sejarah, sebelum kemerdekaan Libanon pada 1963, telah terjadi pula pertikaian antara kelompok Maranit dengan Duruz. Konflik tersebut telah memancing campur tangan asing. Maranit yang Kristen didukung oleh negara-negara Eropa, terutama Prancis. Sementara Durus, kendati bukan Islam, tapi memiliki hubungan dekat dengan kebudayaan dengan Arab, mendapat dukungan dari Dinasti Ottoman di Turki. “Pada kasus tersebut, identitas kelompok saling berhadapan. Keduanya mementingkan identitas kelompoknya masing-masing, selain ada campur tangan kekuatan asing. Itulah yang terjadi hingga tahun-tahun selanjutnya,” ungkap Guntur. Bahkan konflik yang terjadi sekarang, menurut Guntur, juga tidak lebih dari sebuah pengulangan sejarah perang Libanon beberapa tahun silam. 
Guntur menilai, konflik di Libanon semakin diperparah dengan terjadinya konflik negara afiliasi Syiah Amal, yaitu Syuriah dengan negara Iran yang telah membentuk Hizbullah. Hingga akhirnya pada tahun 1989 pertikaian itu bisa diredam dengan bantuan Arab Saudi melalui kesepakatan Thaif yang berisi keharusan ada perimbangan kekuasaan. Di Libanon di kenal ada tiga presiden atau tiga pemimpin, yakni presiden dari Kristen Maranit, yang sekarang dipegang Emile Lahud, ketua DPR dari Syiah Amal, yang dipegang Nabih Berri, dan Perdana Mentri dari Sunni, Fuad Sainora, orang dekat Rafiq al-Hariri yang telah mati terbunuh.
“Sekalipun ada perimbangan kekuasaan, tapi tetap saja masih mencerminkan identitas kelompoknya masing-masing. Itulah yang dapat membahayakan Libanon dari perpecahan. “Karenanya Libanon tidak bisa menjadi negara yang kuat dan berdaulat,” tegas Guntur.
Menurut mahasiswa yang pernah menempuh studinya di Universitas Al Azhar Cairo ini, konflik yang terjadi di Libanon saat ini kurang lebih juga karena pertarungan identitas-identitas kelompok yang diperparah dengan campur tangan kekuatan asing.
Ancaman Demokrasi
Fakta menguatnya sejumlah identitas kelompok di Libanon dan diusungnya gagasan multikulturalisme di sisi lain juga menarik perhatian aktivis Jaringan Islam Liberal ini. “Multikulturalisme yang kerapkali dianggap lahir sebagai sebuah jawaban atas keragaman sebuah identitas kultural kelompok, ternyata dalam kenyataan masih menyisakan permasalahan”, ucapnya. “Betapa tidak!” “Pendekatan multikultural terhadap keragaman identitas kelompok, etnis, budaya dan adat pada saat ini memicu lahirnya sentimen identitas kelompok tertentu”, tandas Guntur seraya mengutip tesisnya Francis Fukuyama. Karena tidak jarang sentimen-sentimen kelompok tertentu itu harus berbenturan dengan sentimen kelompok lainnya yang ada di masyarakat. Kendati dalam bingkai demokrasi, benturan identitas kelompok yang berpotensi satu mengancaman lainnya tidak dapat dihindarkan, seperti yang terjadi di Libanon. Padahal sistem demokrasi sudah dilaksanakan, yaitu melalui pelaksanaan pemilu dalam suksesi kepemimpinan (demokrasi prosedural). 
“Konsep multikulturalisme yang lebih mementingkan identitas kelompok di atas identitas bersama menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi. Bukan hanya di Libanon tapi juga kemungkinan ini akan dihadapi oleh setiap negara yang menerapkan sistem demokrasi, tidak terkecuali Indonesia”, tegasnya. Masa depan demokrasi Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ujian serius. Sejumlah kelompok masyarakat yang memiliki sentiment etnis, budaya, partai ataupun agama belakangan ini ramai bermunculan, seperti FBR, FPI, PKS dan HTI. Dalam diskursus demokrasi kerap kali mereka terlibat benturan identitas dengan komunitas lainnya, bahkan tidak jarang terjadi ancaman dan kekerasan. Hal itu telah dibuktikan oleh kasus RUU APP yang terjadi di DPR beberapa bulan lalu. Proses pembahasan RUU ini menurut Guntur telah didominasi oleh tafsir kelompok dengan identitas tertentu. “Bagaimana identitas kelompok tertentu bisa mengangkangi pemahaman tentang moralitas, definisi pornografi, dan erotisme di atas pemahaman kelompok lain?”, tanyanya gemas. “Jelas, ini mengganggu masa depan demokrasi dan sistem politik di Indonesia.”
Demokrasi di Indonesia, jelas Guntur dengan kembali mengutip tesis Fukuyama, masih mementingkan kebebasan kelompok dari pada kebebasan individu. Demokrasi memang mengakui keragaman identitas kelompok. Hanya saja, ternyata tidak jarang orang-orang itu terjebak pada sikap mengedepankan kepentingan kelompok mayoritas dan mengabaikan kepentingan serta kebebasan individu. FPI, misalnya, dengan sejumlah identitas kelompoknya kerapkali menyuarakan kekerasan sekaligus melakukan kekerasan atas individu atau kelompok lain. Dalam tindakannya mereka bisa saja mengatakan bahwa apa yang dilakukannya dijamin oleh klaim kebebasan berserikat dan berkumpul dalam sistem demokrasi.
Demokrasi yang menjamin prinsip kebebasan dan multikulturalisme pada konteks ini mengandung cacat sejarah. Alih-alih demokrasi memberikan kebebasan yang luas bagi masyarakat, justru semakin mempersubur tumbuhnya fanatisme berdasarkan kelompok. Tumbuh suburnya identitas sejumlah kelompok itu berujung pada semakin menguatnya sentimen komunal yang mengancam keberadaan komunitas lain.
Sementara itu, Andi Faisal Bakti menambahkan bahwa menguatnya sentimen kelompok itu tidak jarang juga menimbulkan aksi kekerasan yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Doktor Ilmu Komunikasi itu, dalam penjelasnnya, berusaha memetakan kekerasan kelompok yang terjadi di Indonesia sebelum merdeka.
Menurut Andi, modal keragaman identitas, baik suku bangsa, budaya, dan agama yang dimiliki masyarakat Indonesia dalam sejarahnya senantiasa mengalami bermacam respon dari pemerintah. Mulai dari masa pemerintahan Soekarno hingga Soharto keragaman itu dipersatukan dalam satu kesatuan bangsa Indonesia. Berbagai tingkat sosio-kultural bercampur menjadi satu dalam identitas Bhineka Tunggal Ika. “Hanya saja, dalam perjalanan sejarahnya kita seringkali lebih mementingkan ke-Ikaannya, sentimen kepentingan individu atau kelompok, daripada kebhinekaanya,” tuturnya.
Karena lebih mementingkan individu itu, lanjut Andi, di antara masyarakat sendiri sering terlibat aksi kekerasan. Hingga sekarang, meningkatnya kekerasan yang dilakukan baik oleh organisasi sosial berbasis kultural, seperti FBR maupun agama, seperti FPI semakin memperjelas terjadinya kristalisasi sentimen identitas kelompok. Untuk mengatasinya, Andi menyarankan agar setiap kelompok yang ada di masyarakat melakukan langkah strategis melalui negosiasi antara kedua belah pihak.[]
Menyoal konflik Libanon-Israel yang terjadi di negeri seribu bidadari itu, membuat kita mengerutkan dahi bila kita mencari asal muasalnya terjadi peperangan. Bila dulu perseteruan kedua kelompok bermula dari pesan suci dari Tuhan guna menyebarkan luaskan risalahnya.
Kini, tesis ini dibantah oleh M Guntur Romli, Ia menjelaskan “Konflik Libanon-Israel yang terjadi sejak satu bulan terakhir ini bukan hanya persoalan perang antara milisi Hizbullah dengan Israel, tetapi juga ada persoalan politik identitas kelompok pada masyarakat Libanon. Inilah yang menyebabkan terjadinya baku hantam di negeri seribu bidadari ini.”
Demikian demikian, permasalahan politik identitas menjadi pemicu akut dan pelik dalam menentukan eksistensi kelompoknya. Apalagi dengan adanya pendekatan mutakhir multikultarlisme. Sunguh lengkap sudah bentrokan antar golongan tersebut. Seolah-olah metode itu, memberikan peluang sekaligus melegalkan masyarakat guna terjadinya peperangan antar golongan. Bahkan terkesan melanggengkan budaya barbar. Artinya, bila segala sesuatu sudah terhinggapi penyakit ekslusif, maka kemudian akan melahirkan sikap dan sifat superior. Ujung-ujungnya mereka akan mempunyai anggapan bahwa klannya saja yang paling benar. Sedangkan di luar kelompoknya tidak. 
Meskipun, pada mulanya cara pandang tersebut, diharapkan bisa menghormati keragaman dan mengarifi segala permaslahan. Namun, pada kenyataanya berkata lain. Justru dengan munculnya kaca mata itu, malah memperkeruh susana yang sedang gaduh. Hingga, pertikaian antar kedua kelompok pun tak terelakan lagi.
Pendek kata, buah simalakama dalam pertikaian saudara di Libanon-Israel itu bernama politik identitas.
BACAAN LANJUT
Anyang, Thambun YC. 1998,  Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Gramedia, Jakarta.
Barker, Chris. 1999. Cultural Studies, Teori dan Praktek, Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.
Budiardjo,  Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Burhanuddin. 1988. Streotipe Enik Asimilasi,integrasi Sosial,Yayasan Ilmu-Ilmu sosial, Jakarta: Pustaka Grafika.
Coomans, Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Davidson,  Jamie S. 2003. politik primitif : pasang surut partai persatuan dayak di                Kalimantan Barat, Indonesia, Diterjemahkan dari “Primitive” Politics: The Rise and Fall of Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia, Asia Research Institute Working Paper Series No. 9. August 2003. www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005. Pendidikan Multikultur, Jakarta: CV Karya Agung.
Duman, J.1975. Dalam J.U.Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Kebiasaan di Kalimantan Barat, Jakarta: Bumi Restu.
Duverger, Maurice. 2002. Sosiologi PolitikJakarta: PT. RajaGrafindo
Fukuyama, Francis. 2006. Guncangan Besar- Kodrat manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Giring. 2004. Madura di Mata Dayak, Jogyakarta:  Galang Press
Greif, Stuart W. 1991. WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina,Penerjemah Dahana A, Jakarta: Grafiti.
Hasanudin, dkk , 2000. Pontianak 1771-1900, Statu Tinjauan Sejarah Social Ekonomi, Romeo Grafika, Pontianak.
Hidayat, ZM. 1984. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Bandung: Tarsito.
Husodo, Soswono Judo. 1985. Warga Baru (Kasus Cina di Indonesia), Jakarta: Yayasan Padamu Negeri.
Imron, D Zamawi. 2005. Kearifan dari sastra lisan Madura, Bunga rampai buku berpikir positif suku-suku bangsa, Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Kleden, Ignas. 2004.  Masyarakat dan Negara sebuah persoalan,  Magelang, Indonesiatera

Koentjaranigrat. 2000. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaranigrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: djambatan.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra Gatra Komunikasi AntarbudayaJogjakarta: Pustaka Pelajar.
Liliweri, Alo. 2003.  Dasar-dasar komunikasi antar budaya, Jogjakarta: Pustaka pelajar.
Mulyana, Dedy dan Jalaludin Rakhmat (pnyt.). 2001. Komunikasi Antar BudayaBandung: PT Remaja Rosdakarya.
Maunati, Yekti, 2004,  Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.
Ning, Hasyim. 1991. Masalah Rasionalisme Yang Sebenarnya: Dalam Nonpri di  Mata Pribumi, Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa.
Nieuwenhuis, Anton (terjemahan Bernard Sellato). 1994. Di Pedalaman Borneo, perjalanan dari Pontianak ke Samarinda. 1894, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwana, Bambang Hendarta Suta. 2003. Konflik Antarkomunitas Etnis Di Sambas 1999:  Suatu Tinjauan Sosial Budaya, Pontianak: Romeo Grafika.
Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang, Komunitas Bambu, Depok.

Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Saifuddin, Achmad Fediyani, 2005. Antropologi Kontemporer, Suatu pengantar Kritis Mengenai Paradigma,  Prenada Media, Jakarta.
Siahaan, Herlem. 1989. Pembauran di Kalimantan Barat prospek dan perspektif sejarahnya, Dalam buku Interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk, Jakarta: Depdikbud.
Sulhan, Muhamad,  2006, Dayak yang Menang Indonesia yang Malang, Fisipol UGM, Yogyakarta
Suni, Bakran, et all, 2007, Sejarah Melayu Sambas,  Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Suseno, Franz Magnis. 1988. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia.
Surata, Agus, Tuhana  Taufig Andrianto. 2001.  Atasi Konflik Etnis, Jogjakarta: Global Pustaka.
Suparlan, Parsudi. 1984. Interaksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi Di Indonesia, Dirjen

Sudagung, Hendro Suroyo. 2001. Mengurai pertikaian Etnis, Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat, Jakarta,  ISAI
Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis Dalam Masayarakat Multietnis, Jogjakarta: Matabangsa.
Wiyata, A latief. 2002. Eksplorasi Unsur-Unsur Primordial Madura sebagai modal Budaya Untuk Rekonsiliasi Pasca Konflik Etnik di Kalimantan Barat, makalah, Bengkulu, Forum Rektor.
Yusriadi, Hermansyah, Dedy Ari Asfar (Editor), 2005. Etnisitas di Kalimantan Barat. STAIN Press, Pontianak.
Yusriadi & Fahmi Ichwan (editor), 2007. Dayak Islam di Kalimantan Barat, STAIN Press, Pontianak.


[1] Dikutip dari Alan C Isaak, Scope and methods of political inquiry (1975, 18).
[2] Istilah yang digunakan oleh pakar politik David Easton dalam penjelasannya tentang sistem politik. Lihat David Easton, A Framework for political Analysis (1965), bab 4 : 47-57.
[3] Adanya hak penguasa politik untuk menggunakan kekerasan fisik dikemukakan oleh Max Weber yang kemudian banyak digunakan oleh ilmuan sosial. Lihat aplikasinya untuk sain politik dalam Gabriel Almon, “ introduction” dalam The Politic of the Developing Areas, Gabriel A Almond dan James S. Coleman, editor ( 1975: 6-7).
[4] dalam artikelnya “ethnic Identity, National Identity and Intergroup Conflict: The Significance of Personal Experiences” (Ashmore, Jussim, Wilder (eds.), Sicial Identity Intergroup Conflict, and Conflict Reduction, Oxford: Oxford University Press,
[5] Biro Pusat Statistik, Hasil Banci tahun 2000, BPS, Jakarta, halaman 7. Lihat juga Leo Suryadinata dalam bukunya “ Elections and Politics in Indonesia”, ISEAS, Singapore, 2002, halaman 2. Ia menyebutkan bahawa : Indonesia is a multi-religious state. There are six major religions, Muslims form the largest group (87,5 %), followed by Christians/Catholics (7,4%), Hindu-Bali (2,0 %), Buddhists (0,9 %) and Confucians (0,8 %).
[6] W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition a Study of Social Change, Greenwoods Press, Connecticut, 1980:199.
[7] Robert Jay, Religion and Politicts in Rural Central Java, 1963: 101-102
[8] Clifford Geertz, The Religion of Java, The Free Press of Gleneoe, Illinois, 1960:5
[9] Lihat Taufik Abdullah, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, 1981:550
[10] Lihat Harsya W. Bachtiar, The Religion of Java : A Comentary, Majalah lmu sastera Indonesia, Vol. 5, 1973:65-115.
[11] Lihat Zamakhasyari Dhofier, Santri abangan  dalam kehidupan orang Jawa, Prisma No.5, 1978:48-63.
[12] Bahtiar Effendy,  Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 1998:39
[13] Robert W. Hefner, Islamizing Java? : Religion and Politics in Rural East Java, Journal of Asian Studies, Vol 46, No.3 August 1987 : 533-554.
[14] Lihat  Marshall Hudgson,  The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, Vol II,  The University of Chicago Press, Chicago, 1974: 551.
[15] Rosenthal. E.I.J. 1965:26. Islam in the modern national state. The Cambridge University Press. London
[16] Nasution, H. 1965:180. The Islamic States In Indonesia, Tesis MA. Mc Gill University
[17] Noer, Deliar. 1973:260. The modernist Muslim movement in Indonesia 1900-1942. Oxpord University Press. Oxpord.
[18] Lihat Hanneman Samuel,  Dosen Sosiolgi Universitas Indonesia,2008, Majalah Online Suara Baru. (Januari-Pebruari 2008, halaman 26)
[19] Alan R, Ball, 1983:23. Modern politics and government. London : English Language Society
[20] Parsons, Talcott. 1949. Essays in sociological theory pure and applied. The Free Press. Glencoe.
[21] Parsons, Talcott dan Shi’ls, Edward. 1952. Toward a general theory of action. Haword University Press. Cambridge.

0 comments:

Post a Comment