Tujuan :
|
Mengajak mahasiswa untuk memahami konflik dalam masyarakat melalui
kegiatan pemahaman konsep, mengasah kompetensi, analisis dan refleksi
realitas sosial, praktik belajar sosial, serta bacaan lanjut.
|
Kata Kunci :
|
Konflik; Etnis; Perspektif; Resolusi; Transformasi
|
A. PENDAHULUAN
Kalimantan Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia
dalam perkembangan sejarah tata kehidupan masyarakatnya yang majemuk (plural)
telah mengalami beberapa kasus konflik antar kelompok masyarakat. Namun
ironisnya bahwa kasus konflik tersebut selalu mengarah pada bentuk-bentuk
konflik terbuka bernuansa etnis. Tidak ditemukan data pasti tentang sejarah
konflik di Kalimantan Barat, mengingat banyaknya perbedaan cara pandang dan
perspektif terhadap konflik itu sendiri.. Selanjutnya secara terus menerus
kasus-kasus konflik selalu terindentifikasi dalam kategori kasus-kasus konflik
antar kelompok etnis yang disertai dengan kasus-kasus kekerasan sosial secara
kolektif.
Dalam perjalanannya, Kalimantan Barat setidaknya
pernah mencatat 3 (tiga) kali kasus konflik terbuka (manifest conflict)
yang cukup memberikan dampak besar pada munculnya trauma-trauma sosial dalam
kehidupan masyarakat, baik dilihat dari segi kualitas dan lamanya pertikaian
serta dilihat dalam kuantitas jumlah korban jiwa, rusaknya bangunan fisik dan
harta benda lainnya serta turut menyisakan hancurnya sistem relasi sosial antar
kelompok masyarakat etnis di Kalimantan Barat yang sudah tercipta dan terbangun
sebelumnya. Kasus konflik yang dimaksud adalah kasus konflik antara kelompok
masyarakat etnis Dayak dengan etnis Tionghoa di wilayah Kabupaten Sambas dan
sekitarnya pada tahun 1967, kasus konflik antara kelompok etnis Dayak dengan etnis
Madura di Kabupaten Sambas dan sekitarnya pada tahun 1996/1997 dan kasus konflik
antara kelompok etnis Melayu dan etnis Madura di Kabupaten Sambas pada tahun
1999.
B. KONFLIK DAN KEKERASAN
1.
Pengertian dan Bentuknya
Istilah ’konflik’
berasal dari kata confligere, ’saling mengejutkan’.[1] Konflik dapat diartikan sebagai pertentangan kepentingan
oleh pihak yang berbeda. Konflik yang terjadi dalam masyarakat sesungguhnya hal yang wajar dan lumrah. Konflik bisa diolah
menjadi sesuatu yang konstruktif (membangun) dan bisa pula destruktif
(menghancurkan).
Dapat
dikatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik sosial seiring dengan
perubahan yang mengelilinginya. Oleh karena itu tidak sepatutnya kita terlalu
takut dengan konflik. Hidup tanpa konflik merupakan sesuatu yang utopis. Hanya
manusia yang tidak realistislah yang ingin melarikan dirinya dari hakekat hidup
manusia yang penuh dengan konflik sosial (Francis, 2006; Fisher dkk, 2001;
Soetrisno, 2003)[2].
Teori Konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf[3] mengatakan bahwa dalam suatu perubahan, pada
hakikatnya masyarakat memiliki dua sisi: konflik di satu pihak; dan stabilitas,
harmoni, serta consensus di pihak lain. Dalam upaya
menjelaskan pandangannya, Dahrendorf mengusulkan sebuah model konflik yang
dikaitkan dengan kekuasaan. Model ini terutama berguna
untuk kepentingan analisis dan menjelaskan hasil yang diperoleh di lapangan.
Pada bagian lain tulisannya, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik sosial tidak
kalah kompleks disbanding integrasi sosial (1973:101-102). Oleh itu,
pemahaman mengenai konflik sepatutnya dikaitkan dengan proses-proses sosial
yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, konflik yang terjadi dapat disebabkan
oleh sistem dalam stuktur sosial tertentu. Dengan kata lain, konflik yang
timbul terkait erat dengan sejumlah kedudukan sosial didalam masyarakat.
Dengan demikian, teori
fungsional tentang perubahan yang dikemukakan Talcol Parson[4] , dapat dipakai juga untuk melihat keterkaitan
konflik dengan fungsi kedudukan sosial yang berlaku dalam masyarakat . Talcott Parsons
seterusnya menginginkan agar
keseimbangan selalu terjaga, antara lain dengan jalan mengeliminasikan berbagai
sumber konflik. Parsons mendasarkan pandangannya pada konsep stabiliti atau
ekuilibrium yang dianggap sebagai ciri utama suatu struktur. Pengertian stuktur
perlu dibezakan dengan ciri suatu sistem. Istilah stuktur mengandung pengertian
keseimbangan yang stabil dalam erti kata statis (static) tetapi bergerak
(moving). Pada hakikatnya sistem berada dalam keadaan stabil atau relatif
seimbang ketika berlangsung hubungan antar stuktur dan berbagai proses
didalamnya. Pada masa berlangsung hubungan antar sistem dengan lingkungannya,
biasanya sistem cenderung menjaga sifat-sifat yang menyeimbangkan. Keadaan
(hubungan) inilah yang disebut stuktur,
karena secara relatif tidak berubah.
Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran
yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan
Schelling, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling
berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai
kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi,
walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (Schelling 1960).
Tentu saja, hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah
berbagai contoh konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar
komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak
diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara
kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah
(illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan, sebaliknya, bahwa
sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan.
Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak)
yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya
peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo ke
penolakannya (1981:320).
Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya
pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan)
merupakan konsep yang penting bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik
karena mereka memandang negara tidak sah. Seperti pengamatan Tajfel:
Pandangan
ketidakabsahan (perceived illlegitimacy) hubungan antar kelompok secara
sosiologis dan psikologis adalah diterima dan dapat diterimanya pengungkit (lever)
untuk tindakan dan perubahan social dalam perilaku antar kelompok (intergroup
behavior)…Dalam hal keelompok yang “inferior”, fungsi pengungkit/pengaruh (leverage)
terpenuhi dengan pandangan ketidaksahan hasil-hasil perbandingan antar
kelompok; dalam hal kelompok-kelompok “inferior” yang sedang menuju perubahan,
‘leverage’nya adalah keabsahan (legitimasi) citra perbandingannya yang baru (new
comparative image); dalam hal kelompok-kelompok yang “superior”
‘leverage’nya adalah keabsahan usaha-usaha untuk memelihara status quo
perbedaan nilai manakala perbedaan nilai ini dipandang terancam (1978:76).
Teori mikro telah
menambah dimensi penting pada pemahaman kita mengenai konflik. Teori ini
menempatkan situasi yang kompleks ke dalam model-model yang bisa dikerjakan
yang tegar (‘stand up’) terhadap analisis empiris. Teori-teori ini merupakan
modal yang berguna dalam usaha kita menekankan objektifitas pada
situasi-situasi tertentu. Alih-alih menunggu terselesaikannya debat nature
versus nurture, jika memang dapat diselesaikan, lebih baik menggabungkan kedua
pendekatan itu ke dalam pengembangan model penjelasan yang canggih. Sosialisasi
merupakan konsep yang penting, begitu juga perbandingan-perbandingan kelompok,
identitas diri dan kelompok yang positif dan pandangan ketidakabsahan oleh
kelompok-kelompok minoritas. Setelah hal-hal ini difahami, perilaku agresif
mungkin bisa dijelaskan. Betapapun mendalamnya analisa empiris terhadap tataran
mikro penelitian kita, masih tetap tidak bisa memperhitungkan semua variabel
dan sifat konflik, terutama pada tataran sadar. Disinilah teori makro berperan
dalam analisis konflik manusia. Untuk meliput dunia sadar kita sekarang beralih
pada teori-teori konflik makro.
Teori-Teori
Konflik Makro
Teori makro
memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada tataran
sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tsu sampai
Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat
perhatian: kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama
teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu
dating dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi
umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan
kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini
beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan yang berorientasi
material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan fenomena kelompok pada
suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara mendalam, dan menentukan
pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel ketimbang hanya menggunakan
segelintir variabel untuk banyak kasus. Metodologi utama yang digunakan adalah
pendekatan historis atau studi kasus.
Pada abad
kesembilan , Eropa paska Napoleon umumnya konsern dengan perimbangan kekuasaan
(balance of power). Konsep ini dipergunakan oleh Matternich pada Konser
Eropa. Pada saat meletusnya Perand Dunia I umunya menghancurkan teori ini,
asumsi-asumsinya digunakan dalam teori pencegahan (deterrence theory) Perang
Dingin. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa perimbangan terror
(balance of terror) karena arsenal nuklir negara-negara adikuasa akan
mencegah konflik. Teori pencegahan membuka jalan bagi teori-teori yang
lebih canggih seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan
teori permainan (game theory).
Teori pengambilan
keputusan dan teori permainan berasal dari model aktor/pelaku rasional abad
keduapuluh. Model aktor/pelaku rasional dikembangkan oleh para ahli
ekonomi untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia. Teori ini beranggapan bahwa
masyarakat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan secara rasional
berdasarkan informasi tentang pilihan-pilihan itu dan petimbangan
kesempatan-kesempatan (Downs 1957). Teori permainan berdasar pada model
aktor/pelaku rasional dalam hal mengandalkan pada asumsi proses pengambilan
keputusan yang rasional yang mendasar bagi keikutsertaan dalam konflik manusia.
Thomas Schelling
mengembangkan model ini lebih jauh dengan menciptakan teori permainan yang
canggih. Model permainan Schelling meliputi komunikasi, negosiasi, informasi,
dan memperkenalkan pentingnya irasionalitas ke dalam pemikiran strategis. Salah
satu sumbangsih Schelling yang paling penting adalah hipotesanya mengenai
saling ketergantungan (interdependency) konflik, kompetisi (persaingan)
dan kooperasi (kerjasama) di antara para pelakuknya (Schelling 1960). Dalam
setiap peristiwa konflik ada unsure-unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan
kerjasama (cooperative engagements) seringkali melahirikan unsure
konflik. Pandangan ini menjadi unsure penting dalam pemahaman kita terhadap
konflik. Schelling menggunakan teori permainan sebagai usaha untuk
memecah (menyederhanakan) kompleksitas hubungan antar kelompok dengan
menggunakan permainan untuk menggambarkan situasi-situasi yang serupa. Dia
menggunakan tiga jenis permaionan: kesempatan (chance), kecakapan (skill),
dan strategi (strategic), untuk menggambarkan akibat-akibat wajar dari
hubungan antar bangsa (internasional)—baik bersifat kerjasama (cooperative)
maupun konflik (conflictual).
Konflik bernuansa etnik dan
agama
Dalam teori makro
terdapat seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi konflik etnis. Di
sinilah letak pentingnya memahami konflik etnonasional karena konsep yang sama
dapat diterapkan pada konflik sectarian. Apakah konflik itu didefiniskan dalam
istilah-istilah etnis atau sectarian, tidak banyak bedanya secara teoretis
karena konsepsi-konsepsi untuk konflik etnis dan sectarian beroperasi dengan
cara yang sama. Yang penting adalah kelompok-kelompok orang-orang ini telah
menggolongkan diri sebagai kelompok-kelompok yang berbeda dan mereka memandang
satu sama lain sebagai luar kelompok atau musuh
Kita mulai dengan
tinjauan mengenai teori konflik etnis dari Donald Horowitz. Dalam karya
semifinalnya mengenai konflik etnis di negara-negara sedang berkembang, dia
menguraikan kerangka di mana konflik etnis itu terjadi:
Akhirnya, sistem
negara yang mulanya muncul dari feodalisme Eropa dan sekarang, dalam periode
paska kolonial, benar-benar meliputi seluruh dunia memberikan kerangka di mana
konflik etnis itu terjadi. Penguasaan negara itu, penguasaan suatu negara, dan
pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok lain merupakan di antara
tujuan konflik etnis (1985:5).
Akibatnya, salah
satu tujuan utama konflik etnis adalah berusaha menguasai negara itu sendiri.
Kelompok-kelompok itu berusaha menguasai negara agar dapt menjamin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan merugikan/merusak kelompok-kelompok
pesaingnya. Konflik atas penguasaan negara ini seringkali dipandang sebagai ‘zero
sum conflict’ (konflik habis-habisan). Maksudnya, kemenangan satu kelompok
berarti kekalahan kelompok yang lain: konflik ini bukan “sama-sama menang”
(win-win) untuk kedua kelompok itu. Meskipun ini tak pelak lagi masalah konflik
inti dalam kebanyakan kasus di negara-negara yang terpolarisasi, ada juga
masalah-malasah sampingan lainnya yang menambah kompleksitas situasi yang ada.
Sebagaimana yang dijelaskan Horowitz:
Dalam masyarakat
yang sangat terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke dalam banyak sekali
masalah: rencana pembangunan, kontroversi pendidikan, masalah perdagangan,
kebijakan pertanahan, kebijaksanaan ekonomi, perpajakan. Secara khusus, hal-hal
yang di tempat lain akan ditempatkan ke dalam kategori administrasi rutin
menduduki tempat utama dalam agenda politik masyarakat yang terpecah secara
etnis (1985:8).
Horowitz membedakan
sistem yang beranking dan sistem yang tidak beranking. Sistem yang berangking
adalah masyarakat di mana satu kelompok etnis berkuasa penuh terhadap kelompok
lain. Sistem yang tidak beranking terdiri dari dua kelompok etnis dengan
stratifikasi internalnya sendiri yakni elit dan massa. Horowitz lebih lanjut
mencatat:
Perpindahan
(migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete conquest) juga
menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak
kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan
masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah belakangan mungkin
menganggap keberadaannya sebagai (illegitimate) ab initio yang
tidak sah (1985:30).
Horowitz menguraikan
akibat-akibat konflik seperti itu:
Ketika kekerasan
etnis terjadi, kelompok-kelompok yang tidak beranking biasanya tidak bertujuan
terjadinya transformasi social, tetapi bertujuan sesuatu yang mendekati otonomi
kekuasaan, dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis yang sejajar/serupa dari
pembagian kekuasaan (a share of power), dan seringkali pengembalian dengan
pengusiran atau pembasmian pada status quo ante (sebelum status quo) yang
iperlakuan, homogen secara etnis (1985:31).
PENELITIAN KONFLIK DI KALBAR
Kalimantan Barat merupakan daerah yang dikenali sebagai
daerah yang kerap berlaku konflik-kekerasan etnis. Di provinsi ini hidup orang daripada etnik-etnik Dayak dan
etnik Melayu sebagai penduduk tempatan dan pelbagai suku pendatang dari pulau
lain di Indonesia. Kerana berbeza latar belakang, tentunya adat resam, budaya
dan bahasa juga berbeza. Di provinsi ini sejak tahun 1963 telah berlaku 12 kali
pertikaian antar kelompok etnik .
Pengkajian mengenai konflik etnik di Kalimantan Barat telah
ditulis oleh Alqadrie (2000), karya ini menghuraikan perbandingan proses
interaksi sosial antara etnik Bugis
lebih berhasil di bidang sosial dan ekonomi berbanding etnik Madura dan mampu
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, sehingga keberadaannya
diterima dengan baik oleh penduduk tempatan. Sedangkan etnik Madura dalam
proses interaksi sosial seringkali berbenturan dengan budaya tempatan, sehingga
menimbulkan pertikaian (konflik).
Sudagung (2001) berasaskan penelitiannya tentang Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan
Barat mengungkapkan bahwa konflik
etnik Madura dengan Dayak berpunca pada tidak baiknya adaptasi antara kelompok
etnis Madura dengan Etnik Dayak. Adaptasi yang tidak baik ini disebabkan,
antara lain: (1) sifat kelompok etnis Madura maupun Dayak secara umum tidak
begitu berbeza iaitu rasa kesukuan dan solidaritas kelompok yang kuat; (2)
orang Madura juga memiliki sifat cepat curiga dan pendendam, walaupun mereka
memiliki sifat yang baik, yakni hemat dan suka menabung; (3) perbezaan adat
resam dan agama; (4) tingkat ekonomi yang hampir sejajar, menyebabkan hubungan
kedua-dua kelompok ini bersaing di bidang ekonomi sehingga kurang harmonis; (5)
pengamalan bahasa Indonesia dalam pergaulan antar suku masih belum mapan, intonasi
pengucapan ataupun dialek yang meledak-ledak sebagai pencerminan daripada sifat
mereka yang keras, mudah menimbulkan salah faham.
Giring (2004), dalam penelitiannya[5] tentang Madura dalam pandangan orang Dayak di Desa
Salatiga, Kabupaten Pontianak, menemukan bahawa interaksi antara orang Madura
dengan orang Dayak di desa ini dilandasi oleh pencitraan yang tidak terlepas
daripada sistem makna dan sistem nilai yang dipegang oleh orang Dayak Kanayatn[6] dalam menanggapi orang Madura di Desa tersebut.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Shonhadji (2001) di
Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak tentang Interaksi sosial antar warga
pelbagai suku bangsa di desa tersebut menemukan
pula bahawa interaksi sosial antar warga pelbagai suku bangsa di desa ini
berlangsung baik, kerana berlakunya pranata sosial lokal dalam mengatur
interaksi sosial dan proses perjalanan sejarah yang ditopang oleh faktor
kepemimpinan lokal. Begitupun Yulianus
dalam peneltiannya tentang Relasi Dayak dan Madura di Desa Retok ( dalam
Atok,2005: 20) menemukan bahawa
kehidupan bersama antara orang Dayak dan Madura berlangsung baik di Desa Retok, Kecamatan Kuala mandor B,
Kabupaten Pontianak, ditentukan oleh
kuatnya kharisma pemimpin lokal orang Dayak di desa tersebut.
Seterusnya penulis bersama tim pengkaji Yayasan
Pemberdayaan Pefor Nusantara menjalankan pengkajian dengan tajuk Konflik
Masyarakat Pada Aras Lokal di 3 Kecamatan (2005). Kajian tersebut berjaya
menjelaskan bahawa konflik-kekerasan pada aras komuniti boleh dijelaskan
sebagai berikut: ditemukan 79 jenis kasus konflik sepanjang tahun 1999 s/d Juli
2004 (5 tahun) di tiga kecamatan tersebut.
Dari total 79 kasus konflik, tercatat setidaknya 44,30% daripada total kes konflik atau setara
dengan 35 kes, adalah kes konflik yang
bersifat kolektive dengan proporsi distribusi pada masing-masing kecamatan
sebagai berikut, Kecamatan Mempawah Hulu 33 kes, Kecamatan Sebangki 21 kes dan
Kecamatan Menjalin 25 kes. Dari 35 kes
konflik kolektive 8 kes di antaranya adalah kes konflik dengan karakteristik
konflik kolektive antar anggota komuniti etnik, 13 kes konflik kolektive inter
anggota komuniti etnik dan sisanya
bersifat campuran.
Pada bahagian terakhir
analisis ini, ditemukan bahawa intensitas berlakunya kes dari tahun ke tahun,
cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Grafik yang terus meningkat memberikan “early
warning”, kepada kita bahawa perlu
adanya penanganan yang cukup serius, khususnya dalam membantu masyarakat untuk
mengelola konflik di tataran komunitinya masing-masing, agar kes-kes konflik
tersebut tidak terus menerus meningkat dan kemudian terakumulasi menjadi konflik kekerasan.
Seterusnya kajian yang dijalankan oleh Hardi Suja’i
dengan tajuk Pengkajian Program Perdamaian di Sambas (2006). Dalam kegiatan
pengkajian ini yang menjadi fokusnya adalah aspek-aspek yang mempunyai
keterkaitan langsung dengan konflik etnis yang berlaku pada tahun 1999 di
Kabupaten Sambas (Konflik etnis berbasis Komunal). Sedangkan aspek-aspek
yang diinvestigasi lebih jauh terhad pada beberapa aspek yang diasumsikan
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan usaha membina perdamaiannya. Adapun aspek
tersebut adalah masalah-masalah ekonomi, sosial, hukum dan politik dalam hubung
kaitnya dengan anatomi konflik sosial sering dipandang sebagai faktor penyebab
utama (root of the problem). Masalah
demografi dipandang sebagai faktor yang memperlancar (facilitating factor), sedangkan masalah budaya dipandang sebagai
faktor yang memicu (triggering factor)
terjadinya konflik sosial di Kabupaten Sambas.
Usaha membina peacebuilding
di Sambas harus memperhitungkan kewujudan sebuah lembaga etnisiti namanya FKPM
atau Forum Komunikasi Pemuda Melayu sebagai salah satu representasi daripada
pelaku-pelaku konflik pihak orang Melayu Sambas meskipun ada sementara penboleh
yang negatif tentang FKPM. Gerry van
Klinken,[7] menyatakan bahawa; FKPM merupakan organisasi atau
jaringan preman remaja dan jagoan-jagoan lapangan yang dikenali secara luas dan
FKPM berperanan sebagai kendaraan politik untuk menggapai pemenuhan pelbagai
kepentingan politik dan ekonomi bagi elit pemimpinnya. Pernyataan ini juga
disokong daripada hasil wawancara bahawa memang ada pengerusi FKPM yang duduk
dalam jajaran struktural birokrasi pentadbiran Kabupaten Sambas, anggota badan
legistatif atau pemimpin organisasi yang memiliki basis massa serta kalangan
birokrat pemda Sambas. Amnya mereka memiliki pandangan dan sikap yang seragam
tentang akar konflik, transformasi konflik dan resolusi konflik. Misalnya;
Tentang akar konflik, mereka
berpendapat bahawa akar konflik Sambas 1999 adalah masalah kultural yang
berkaitan dengan prilaku dan karakter orang Madura Sambas yang dianggap selalu
negatif. Pandangan yang bersifat
“standar umum” ini menggambarkan bahawa sebahagian pengerusi FKPM secara
implisit ingin mempertahankan status quo
“ketidak-amanan” dalam masyarakat Sambas sehingga basis legitimasi kewujudan
FKPM yang muncul untuk mengatasi “masalah keamanan” tetap tidak tergoyahkan.
Adapula pengkajian oleh Muhamad Sulhan, yang melakukan
kajian dengan tajuk Representasi Identiti Dayak di Media Massa (2007).
Pengkajian ini telah dibukukan dengan judul ”Dayak yang Menang Indonesia yang
malang” yang diterbitkan pada Desember 2006. Pengkajian ini dilakukannya untuk
mendapatkan gelar Magister dari Universiti Gajahmada Yogyakarta. Metode yang
dilakukannya adalah dengan menganalisis berita-berita yang ada di media
massa terutama Harian Kompas dan Kalteng
Post yang melaporkan tentang peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001.
Kesimpulannya adalah media massa melalui rangkaian
headline-nya berfungsi sebagai salah
satu elemen daripada sosial early warning,
yakni sebuah sistem pemberitahuan dini akan berlakunya sesuatu dalam masyarakat
yang mungkin tidak dapat diamati dengan proses pengamatan biasa melalui
interaksi sosial sehari-hari. Representasi identiti etnik Dayak dan
penggambaran fenomena kerusuhan yang ditonjolkan oleh media massa terteliti
menunjukan bahawa adanya sentimen ideologis wartawan atas stereotaip etnik
sebagai indikasi adanya pelbagai kepentingan dan keterlibatan diri wartawan
dalam membingkai sebuah pemberitaan. Kecendrungan keberpihakan mahupun
netralitas reportase kedua media terteliti nampaknya dipengaruhi tiga hal
utama, yakni rentang waktu peliputan, kemampuan memilih perspektif, dan lingkup
area distribusi media.
Jammie Seith Davidson[8]
pula menyelidiki tumbuhnya kesedaran politik Dayak, penubuhan daripada Parti Persatuan Dayak,
birokrasi dan politik lokal pada masa awal kemerdekaan. Secara khusus, kajian
ini merupakan kritik terhadap politik kekerasan dan peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang berlaku di Kalimantan Barat setakat ini.
Manakala Muhammad Iqbal Jayadi[9],
mengkaji tentang tindakan jenayah yang boleh menimbulkan konflik etnik di
Kalimantan Barat selama ini. Kajian beliau boleh dijelaskan seperti berikut: bahawa didapati ada tiga insiden kekerasan etnik di
Kalimantan Barat. Pertama, beberapa
sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekumpulan Etnik
Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di
wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu terjadi Oktober hingga
November 1967, satu titik masa ketika rezim Orde Lama beralih kepada Orde
Baru. Kedua, beberapa sub-etnik Dayak
melakukan ethnic cleansing terhadap
sekumpulan Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu
berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik masa
ketika rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu
melakukan etnic cleansing terhadap
sekumpulan Etnik Madura yang tinggal di Sambas terjadi dari Februari sehingga
Mac 1999, satu titik masa ketika Orde Reformasi baru mula ditubuhkan. Pengkajian ini juga menemukan bahawa ada pelbagai situasi,
wacana publik, dan mekanisme sosial yang menyebabkan propinsi Kalimantan Barat
di satu ketika mengalami kekerasan etnik, namun di waktu lain justru perdamaian
etnik
Jayadi juga menemukan bahawa dampak daripada perubahan
peranan tentera. Di masa lalu, kekerasan etnik terjadi ketika tentera dalam
posisi yang dominan, tidak profesional dan polis merupakan bahagian yang
integral dalam tentera. Dalam kapasitasnya yang semacam itu, mereka cenderung
menyelesaikan permasalahan dengan mengadu domba satu kumpulan etnik dengan
kumpulan etnik lainnya. Hal itu terlihat
paling jelas dalam Insiden 1967. Kendati peranannya sudah banyak berkurang pada
1990-an, namun kerana polis masih merupakan bahagian daripada tentera, menyebabkan
penanganan mereka terhadap penjenayah inter-etnik tidak berjalan secara
efektif. Sebagai akibatnya, masalah jenayah individual telah berkembang menjadi
jenayah kumpulan etnik. Hal inilah yang
menyebabkan meluasnya rusuhan etnik tahun 1997 dan 1999.
2. Bentuk dan Karekteristik Konflik
Dari segi bentuk dan karekteristiknya, konflik antaragama
dan antaretnis dapat dibedakan menjadi:
- Konflik laten, yaitu koflik yang cenderung tertutup dan sifatnya
mengakar dalam masyarakat. Konflik jenis ini belum mewujud dalam bentuk
tindakan kekerasan sehingga dapat lebih cepat di selesaikan. Konflik laten
biasanya berupa anggapan-anggapan negatif, kecurigaan-kecurigaan, dan
isu-isu tertentu tentang agama atau isu lain. Misalnya, anggapan bahwa
Islam itu teroris, Kristen itu agama penjajah, orang Minang itu licik,
orang Madura itu dungu-dungu, orang Batak itu keras-keras wataknya, dan
sebagainya. Stereotif yang sudah tertanam dalam kesadaran masyarakat itu
(Seringkali diwariskan secara turun temurun), kemudian memunculkan
kecurigaan-kecurigaan dan isu-isu tertentu.
Di antara isu-isu yang sering muncul berkaitan dengan
konflik antaragama dan antaretnis adalah isu tentang:
- Kristenisasi
atau Islamisasi
- Penduduk
asli dengan pendatang
- Sekte-sekte
agama tertentu
- Simbol-simbol
agama (Kitab suci, tempat ibadah, dan sebagainya)
- Pribumi
dengan non pribumi
- Konflik terbuka, yaitu
konflik yang sudah muncul kepermukaan, baik berupa prilaku, sikap, maupun
tindakan-tindakan tertentu. Konflik jenis ini biasanya melibatkan dua
belah pihak atau lebih yang kadang-kadang berhadapan secara langsung dan
memunculkan tindakan kekerasan (Baik fisik maupun non fisik). Sehingga,
konflik ini tidak mudah untuk di selesaikan.
Konflik terbuka yang berkaitan dengan antaragama dan
antaretnis dapat muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
- Khotbah-khotbah atau ceramah-ceramah yang menghujat
dan anti terhadap agama/etnis lain (Perang mimbar) seperti khotbah minggu
atau khotbah jum’at yang menyudutkan dan menyalahkan agama lain.
- Selebaran-selebaran, brosur-brosur,
spanduk-spanduk, dan berita-berita di media cetak maupun elektronik yang
bernuansa provokatif.
- Tindakan-tindakan yang merusak simbol-simbol
agama/budaya tertentu seperti pelemparan dan perusakan gereja dan masjid,
perusakan kitab suci, pencemaran hostia, perusakan rumah-rumah adapt,
tempat-tempat pemujaan, dan sebagainya.
- Tindakan-tindakan kekerasan lainnya berupa
intimidasi, perkelahian, penganiayaan, sampai pembunuhan yang melibatkan
penganut agama atau etnis yang berbeda.
Perlu disadari bahwa setiap bentuk konflik mempunyai ciri
dan karakteristik tertentu (Khas/unik) yang sesuai konteks sosial, politik, dan
budayanya. Sehingga pendekatan dan cara penyelesaiannya pun sejatinya akan
berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya.
- Aktor yang terlibat dalam konflik
Dilihat dari sisi aktor yang terlibat dalam konflik,
dapat dibedakan menjadi:
- Aktor Intelektual, yaitu
pihak-pihak yang tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi dipahami
sebagai orang yang bertanggung jawab secara signifikan terhadap munculnya
konflik, bahkan mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut. Dari
beberapa kasus konflik antaragama dan antaretnis yang pernah terjadi di
Indonesia, actor intelektualnya yang biasanya terlibat adalah:
a.
Tokoh-tokoh
agama
b.
Tokoh-tokoh
adapt
c.
Tokoh-tokoh
masyarakat
d.
Orang-orang partai,
baik di tingkat local maupun tingkat pusat
e.
Para birokrat, baik
di tingkat local maupun tingkat pusat
f.
Kalangan
militer(Polisi dan tentara)
g.
Usahawan
h.
Organisasi
non pemerintah (Ornop)
2.
Aktor Lapangan, yaitu
pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam konflik. Aktor-aktor lapangan
yang biasanya terlibat langsung dalam konflik antaragama dan antaretnis adalah:
a.
Umat
(Beragama)
b.
Remaja
c.
Ibu-ibu
d.
Milisia
e.
Preman
f.
Pemuda
Aktor lapangan ini juga yang biasanya sekaligus menjadi
korban dalam setiap konflik antaragama/antaretnis. Dari sekian banyak korban,
yang menjadi korban utama biasanya adalah kelompok perempuan, anak-anak dan
remaja.
3.
Penyebab Konflik
Penyebab konflik dipahami sebagai faktor-faktor yang
mendasari dan menjadi akar munculnya konflik antaragama/etnis. Di
antara penyebab konflik yang muncul adalah:
1.
Faktor identitas,
khususnya identitas agama dan etnis
2.
Faktor penguasaan
sumber daya alam dan sumber daya manusia
3.
Faktor
dominasi kekuasaan politik
4.
Faktor
ketidakadilan struktural dalam berbagai aspek (Sosial, politik, ekonomi,
budaya)
Catatan: Setiap konflik biasanya tidak hanya disebabkan
oleh satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan
satu sama lain.
4.
Pemicu Konflik
Pemicu konflik dalam hal ini dapat kita defenisikan sebagai
hal-hal yang membuat konflik potensial diwujudkan menjadi konflik terbuka.
Ibarat senapan, pemicu konflik adalah pelatuknya, sedangkan penyebab konflik
adalah alasan ditembakkannya seapan tersebut. Pemicu konflik dapat berupa
peristiwa tertentu yang dapat dipakai untuk mewujudkan tujuan aktor pembuat
konflik. Fungsi pemicu konflik dalam hal ini memanifeskan
konflik laten.
5.
Akibat Konflik
Setiap konflik antaragama/etnis (Baik laten maupun
terbuka) pasti menimbulkan dampak-dampak. Dampak tersebut dapat
dibedakan menjadi:
Dampak Fisik
|
Dampak Non Fisik
|
Dampak-dampak yang
bersifat fisik yakni dampak-dampak yang dapat dilihat dan dirasakan serta
menimbulkan kerugian secara fisik. Misalnya:
|
Dampak-dampak yang
bersifat non fisik yakni dampak-dampak yang tidak dapat dilihat, tetapi
dirasakan dan tertanam dalam pikiran serta seringkali menimbulkan
trauma-trauma berkepanjangan. Misalnya:
a.
Menguatnya
stereotip terhadap agama/etnis tertentu.
b.
Terputusnya
komunikasi dan hilangnya kepercayaan.
c.
Polarisasi antar
kelompok agama/etnis semakin menajam.
d.
Runtuhnya
(hilangnya) kepercayaan masyarakat terhadap institusi agama dan Negara (baik
birokrasi pemerintahan maupun militer).
e.
Rusaknya tatanan
sosial-budaya yakni rusaknya nilai-nilai dan tradisi-tradisi, khususnya
nilai-nilai toleransi dan pluralisme serta mekanisme penyelesaian konflik
berdasarkan tradisi local, yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat.
f.
Radikalisasi sosial dan agama.
g.
Timbulnya
trauma-trauma yang sangat mendalam, khususnya anak-anak dan perempuan.
h.
Hilangnya rasa
aman dalam masyarakat.
|
Konsep
Resolusi Konflik dan Transformasi Konflik
No.
|
Resolusi Konflik
|
Transformasi Konflik
|
1
|
Menyelesaikan persoalan
|
Mencari penyebab munculnya persoalan itu
|
2
|
Orientasi jangka pendek
|
Orientasi jangka panjang
|
[1] Johan Galtung, 2005 “Mencari
solusi yang ampuh bagi konflik; Beberapa tema yang hilang” dalam Konflik
Kekerasan Internal, Dewi Fortuna Anwar dkk (editor); 396
[2] Ardhie Raditya & A. Sihabul
Millah, 2009 “Tafsir Konflik Kekerasan; Mengurai Ketegangan Sosial, Menuju
Negeri Yang Damai” ; 15
[3] Dahrendorf, Ralf, 1958 “ Toward
a Theory of Social Conflict” Journal of Conflict Resolution 2 (Juni) : 170-183.
[4]
Parsons, Talcott. 1949. Essays in sociological theory pure and applied. The
Free Press. Glencoe.
[6] Orang Dayak yang
mendiami Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang dan Sambas. Sebutan sub suku
ini belum kelar, karena sejumlah pakar antropologi Dayak seperti Simon Takdir
menyebutnya Dayak Selako, sedang Timanggong Miden Maniamas menyebutnya Dayak
Bukit. Penulis sendiri cenderung sependapat dengan Simon Takdir, Karena
referensi pakar masa kolonial banyak menulis tentang ini. (lihat Bernard
Sellato, 1994, Di pedalaman Borneo perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894
oleh Anton Nieuwenhuis). Sebutan Dayak Kanayatn, muncul pada masa Orde baru
oleh sejumlah orang yang duduk di lembaga legislative di kabupaten Pontianak
seperti Bahaudin Kay, dan dipromosikan melalui sejumlah event budaya seperti
gawe naik dango di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten landak. Orang orang di
level grass root menyebut dirinya berdasarkan Daerah Aliran Sungai seperti
misalnya Dayak mampawah bagi orang yang mendiami aliran sungai mempawah, Dayak
manyuke bagi orang yang mendiami alirasn sungai Banyuke dan seterusnya (lihat peta
suku-suku Dayak yang dibuat oleh Institute Dayaklogi).
[7]
Gerry van Klinken, 2005, “New actors, new
identities: Post Suharto ethnic violence in Indonesia”, dalam Dewi Fortuna
Anwar; Helene Bouvier; Glenn Smith; dan Roger Tol (Editors), Violent
Internal Conflict In Asia Pasific. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;
LIPI; LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta, hlm 95.
[8]
Jammie Seith Davidson, PhD yang melakukan kajian dengan tajuk Violence and Politics in West Kalimantan (2002).
[9]
Muhammad Iqbal Jayadi, PhD. Beliau melakukan kajian yang bertajuk Studi
Kekerasan Etnik dan Perdamaian Etnik di Kalimantan Barat (2003).
0 comments:
Post a Comment