Monday, March 5, 2012

BAB VI MEMAHAMI KONFLIK



Tujuan :
Mengajak mahasiswa untuk memahami konflik dalam masyarakat melalui kegiatan pemahaman konsep, mengasah kompetensi, analisis dan refleksi realitas sosial, praktik belajar sosial, serta bacaan lanjut.
Kata Kunci :
Konflik; Etnis; Perspektif; Resolusi; Transformasi

A. PENDAHULUAN
Kalimantan Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia dalam perkembangan sejarah tata kehidupan masyarakatnya yang majemuk (plural) telah mengalami beberapa kasus konflik antar kelompok masyarakat. Namun ironisnya bahwa kasus konflik tersebut selalu mengarah pada bentuk-bentuk konflik terbuka bernuansa etnis. Tidak ditemukan data pasti tentang sejarah konflik di Kalimantan Barat, mengingat banyaknya perbedaan cara pandang dan perspektif terhadap konflik itu sendiri.. Selanjutnya secara terus menerus kasus-kasus konflik selalu terindentifikasi dalam kategori kasus-kasus konflik antar kelompok etnis yang disertai dengan kasus-kasus kekerasan sosial secara kolektif.
       Dalam perjalanannya, Kalimantan Barat setidaknya pernah mencatat 3 (tiga) kali kasus konflik terbuka (manifest conflict) yang cukup memberikan dampak besar pada munculnya trauma-trauma sosial dalam kehidupan masyarakat, baik dilihat dari segi kualitas dan lamanya pertikaian serta dilihat dalam kuantitas jumlah korban jiwa, rusaknya bangunan fisik dan harta benda lainnya serta turut menyisakan hancurnya sistem relasi sosial antar kelompok masyarakat etnis di Kalimantan Barat yang sudah tercipta dan terbangun sebelumnya. Kasus konflik yang dimaksud adalah kasus konflik antara kelompok masyarakat etnis Dayak dengan etnis Tionghoa di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya pada tahun 1967, kasus konflik antara kelompok etnis Dayak dengan etnis Madura di Kabupaten Sambas dan sekitarnya pada tahun 1996/1997 dan kasus konflik antara kelompok etnis Melayu dan etnis Madura di Kabupaten Sambas pada tahun 1999.




B. KONFLIK DAN KEKERASAN
1. Pengertian dan Bentuknya

Istilah ’konflik’ berasal dari kata confligere,  ’saling mengejutkan’.[1] Konflik dapat diartikan sebagai pertentangan kepentingan oleh pihak yang berbeda. Konflik yang terjadi dalam masyarakat sesungguhnya hal yang wajar dan lumrah. Konflik bisa diolah menjadi sesuatu yang konstruktif (membangun) dan bisa pula destruktif (menghancurkan).
Dapat dikatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik sosial seiring dengan perubahan yang mengelilinginya. Oleh karena itu tidak sepatutnya kita terlalu takut dengan konflik. Hidup tanpa konflik merupakan sesuatu yang utopis. Hanya manusia yang tidak realistislah yang ingin melarikan dirinya dari hakekat hidup manusia yang penuh dengan konflik sosial (Francis, 2006; Fisher dkk, 2001; Soetrisno, 2003)[2].

Teori Konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf[3]  mengatakan bahwa dalam suatu perubahan, pada hakikatnya masyarakat memiliki dua sisi: konflik di satu pihak; dan stabilitas, harmoni, serta consensus di pihak lain. Dalam upaya menjelaskan pandangannya, Dahrendorf mengusulkan sebuah model konflik yang dikaitkan dengan kekuasaan. Model ini terutama berguna untuk kepentingan analisis dan menjelaskan hasil yang diperoleh di lapangan. Pada bagian lain tulisannya, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik sosial tidak kalah kompleks disbanding integrasi sosial (1973:101-102). Oleh  itu, pemahaman mengenai konflik sepatutnya dikaitkan dengan proses-proses sosial yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh sistem dalam stuktur sosial tertentu. Dengan kata lain, konflik yang timbul terkait erat dengan sejumlah kedudukan sosial didalam masyarakat.
Dengan demikian, teori fungsional tentang perubahan yang dikemukakan Talcol Parson[4] , dapat dipakai juga untuk melihat keterkaitan konflik dengan fungsi kedudukan sosial yang berlaku dalam masyarakat  .  Talcott Parsons  seterusnya  menginginkan agar keseimbangan selalu terjaga, antara lain dengan jalan mengeliminasikan berbagai sumber konflik. Parsons mendasarkan pandangannya pada konsep stabiliti atau ekuilibrium yang dianggap sebagai ciri utama suatu struktur. Pengertian stuktur perlu dibezakan dengan ciri suatu sistem. Istilah stuktur mengandung pengertian keseimbangan yang stabil dalam erti kata statis (static) tetapi bergerak (moving). Pada hakikatnya sistem berada dalam keadaan stabil atau relatif seimbang ketika berlangsung hubungan antar stuktur dan berbagai proses didalamnya. Pada masa berlangsung hubungan antar sistem dengan lingkungannya, biasanya sistem cenderung menjaga sifat-sifat yang menyeimbangkan. Keadaan (hubungan) inilah yang disebut stuktur,  karena secara relatif tidak berubah.
Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Schelling, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (Schelling 1960).
             Tentu saja, hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah berbagai contoh konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah (illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan, sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo ke penolakannya (1981:320).
Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang penting bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang negara tidak sah. Seperti pengamatan Tajfel:
Pandangan ketidakabsahan (perceived illlegitimacy) hubungan antar kelompok secara sosiologis dan psikologis adalah diterima dan dapat diterimanya pengungkit (lever) untuk tindakan dan perubahan social dalam perilaku antar kelompok (intergroup behavior)…Dalam hal keelompok yang “inferior”, fungsi pengungkit/pengaruh (leverage) terpenuhi dengan pandangan ketidaksahan hasil-hasil perbandingan antar kelompok; dalam hal kelompok-kelompok “inferior” yang sedang menuju perubahan, ‘leverage’nya adalah keabsahan (legitimasi) citra perbandingannya yang baru (new comparative image); dalam hal kelompok-kelompok yang “superior” ‘leverage’nya adalah keabsahan usaha-usaha untuk memelihara status quo perbedaan nilai manakala perbedaan nilai ini dipandang terancam (1978:76).

Teori mikro telah menambah dimensi penting pada pemahaman kita mengenai konflik. Teori ini menempatkan situasi yang kompleks ke dalam model-model yang bisa dikerjakan yang tegar (‘stand up’) terhadap analisis empiris. Teori-teori ini merupakan modal yang berguna dalam usaha kita menekankan objektifitas pada situasi-situasi tertentu. Alih-alih menunggu terselesaikannya debat nature versus nurture, jika memang dapat diselesaikan, lebih baik menggabungkan kedua pendekatan itu ke dalam pengembangan model penjelasan yang canggih. Sosialisasi merupakan konsep yang penting, begitu juga perbandingan-perbandingan kelompok, identitas diri dan kelompok yang positif dan pandangan ketidakabsahan oleh kelompok-kelompok minoritas. Setelah hal-hal ini difahami, perilaku agresif mungkin bisa dijelaskan. Betapapun mendalamnya analisa empiris terhadap tataran mikro penelitian kita, masih tetap tidak bisa memperhitungkan semua variabel dan sifat konflik, terutama pada tataran sadar. Disinilah teori makro berperan dalam analisis konflik manusia. Untuk meliput dunia sadar kita sekarang beralih pada teori-teori konflik makro.


Teori-Teori Konflik Makro

Teori makro memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada tataran sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tsu sampai Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat perhatian: kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu dating dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan yang berorientasi material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan fenomena kelompok pada suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara mendalam, dan menentukan pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel ketimbang hanya menggunakan segelintir variabel untuk banyak kasus. Metodologi utama yang digunakan adalah pendekatan historis atau studi kasus.

Pada abad kesembilan , Eropa paska Napoleon umumnya konsern dengan perimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep ini dipergunakan oleh Matternich pada Konser Eropa. Pada saat meletusnya Perand Dunia I umunya menghancurkan teori ini, asumsi-asumsinya digunakan dalam teori pencegahan (deterrence theory) Perang Dingin. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa perimbangan terror (balance of terror) karena arsenal nuklir negara-negara adikuasa akan mencegah konflik. Teori pencegahan membuka jalan bagi teori-teori  yang lebih canggih seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori permainan (game theory).

Teori pengambilan keputusan dan teori permainan berasal dari model aktor/pelaku rasional abad keduapuluh.  Model aktor/pelaku rasional dikembangkan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia. Teori ini beranggapan bahwa masyarakat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan secara rasional berdasarkan informasi tentang pilihan-pilihan itu dan petimbangan kesempatan-kesempatan (Downs 1957). Teori permainan berdasar pada model aktor/pelaku rasional dalam hal mengandalkan pada asumsi proses pengambilan keputusan yang rasional yang mendasar bagi keikutsertaan dalam konflik manusia.

Thomas Schelling mengembangkan model ini lebih jauh dengan menciptakan teori permainan yang canggih. Model permainan Schelling meliputi komunikasi, negosiasi, informasi, dan memperkenalkan pentingnya irasionalitas ke dalam pemikiran strategis. Salah satu sumbangsih Schelling yang paling penting adalah hipotesanya mengenai saling ketergantungan (interdependency) konflik, kompetisi (persaingan) dan kooperasi (kerjasama) di antara para pelakuknya (Schelling 1960). Dalam setiap peristiwa konflik ada unsure-unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative engagements) seringkali melahirikan unsure konflik. Pandangan ini menjadi unsure penting dalam pemahaman kita terhadap konflik. Schelling menggunakan teori permainan  sebagai usaha untuk memecah (menyederhanakan) kompleksitas hubungan antar kelompok dengan menggunakan permainan untuk menggambarkan situasi-situasi yang serupa. Dia menggunakan tiga jenis permaionan: kesempatan (chance), kecakapan (skill), dan strategi (strategic), untuk menggambarkan akibat-akibat wajar dari hubungan antar bangsa (internasional)—baik bersifat kerjasama (cooperative) maupun konflik (conflictual).

Konflik bernuansa etnik dan agama
Dalam teori makro terdapat seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi konflik etnis. Di sinilah letak pentingnya memahami konflik etnonasional karena konsep yang sama dapat diterapkan pada konflik sectarian. Apakah konflik itu didefiniskan dalam istilah-istilah etnis atau sectarian, tidak banyak bedanya secara teoretis karena konsepsi-konsepsi untuk konflik etnis dan sectarian beroperasi dengan cara yang sama. Yang penting adalah kelompok-kelompok orang-orang ini telah menggolongkan diri sebagai kelompok-kelompok yang berbeda dan mereka memandang satu sama lain sebagai luar kelompok atau musuh
Kita mulai dengan tinjauan mengenai teori konflik etnis dari Donald Horowitz. Dalam karya semifinalnya mengenai konflik etnis di negara-negara sedang berkembang, dia menguraikan kerangka  di mana konflik etnis itu terjadi:

Akhirnya, sistem negara yang mulanya muncul dari feodalisme Eropa dan sekarang, dalam periode paska kolonial, benar-benar meliputi seluruh dunia memberikan kerangka di mana konflik etnis itu terjadi. Penguasaan negara itu, penguasaan suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok lain merupakan di antara tujuan konflik etnis (1985:5).

Akibatnya, salah satu tujuan utama konflik etnis adalah berusaha menguasai negara itu sendiri. Kelompok-kelompok itu berusaha menguasai negara agar dapt menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan merugikan/merusak kelompok-kelompok pesaingnya. Konflik atas penguasaan negara ini seringkali dipandang sebagai ‘zero sum conflict’ (konflik habis-habisan). Maksudnya, kemenangan satu kelompok berarti kekalahan kelompok yang lain: konflik ini bukan “sama-sama menang” (win-win) untuk kedua kelompok itu. Meskipun ini tak pelak lagi masalah konflik inti dalam kebanyakan kasus di negara-negara yang terpolarisasi, ada juga masalah-malasah sampingan lainnya yang menambah kompleksitas situasi yang ada. Sebagaimana yang dijelaskan Horowitz:

Dalam masyarakat yang sangat terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke dalam banyak sekali masalah: rencana pembangunan, kontroversi pendidikan, masalah perdagangan, kebijakan pertanahan, kebijaksanaan ekonomi, perpajakan. Secara khusus, hal-hal yang di tempat lain akan ditempatkan ke dalam kategori administrasi rutin menduduki tempat utama dalam agenda politik masyarakat yang terpecah secara etnis (1985:8).

Horowitz membedakan sistem yang beranking dan sistem yang tidak beranking. Sistem yang berangking adalah masyarakat di mana satu kelompok etnis berkuasa penuh terhadap kelompok lain. Sistem yang tidak beranking terdiri dari dua kelompok etnis dengan stratifikasi internalnya sendiri yakni elit dan massa. Horowitz lebih lanjut mencatat:

Perpindahan (migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete conquest) juga menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah belakangan mungkin menganggap keberadaannya  sebagai (illegitimate) ab initio yang tidak sah (1985:30).

Horowitz menguraikan akibat-akibat konflik seperti itu:

Ketika kekerasan etnis terjadi, kelompok-kelompok yang tidak beranking biasanya tidak bertujuan terjadinya transformasi social, tetapi bertujuan sesuatu yang mendekati otonomi kekuasaan, dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis yang sejajar/serupa dari pembagian kekuasaan (a share of power), dan seringkali pengembalian dengan pengusiran atau pembasmian pada status quo ante (sebelum status quo) yang iperlakuan, homogen secara etnis (1985:31).


PENELITIAN KONFLIK  DI KALBAR
Kalimantan Barat merupakan daerah yang dikenali sebagai daerah yang kerap berlaku konflik-kekerasan etnis. Di provinsi ini  hidup orang daripada etnik-etnik Dayak dan etnik Melayu sebagai penduduk tempatan dan pelbagai suku pendatang dari pulau lain di Indonesia. Kerana berbeza latar belakang, tentunya adat resam, budaya dan bahasa juga berbeza. Di provinsi ini sejak tahun 1963 telah berlaku 12 kali pertikaian antar kelompok etnik .

Pengkajian mengenai konflik etnik di Kalimantan Barat telah ditulis oleh Alqadrie (2000), karya ini menghuraikan perbandingan proses interaksi sosial antara  etnik Bugis lebih berhasil di bidang sosial dan ekonomi berbanding etnik Madura dan mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, sehingga keberadaannya diterima dengan baik oleh penduduk tempatan. Sedangkan etnik Madura dalam proses interaksi sosial seringkali berbenturan dengan budaya tempatan, sehingga menimbulkan pertikaian (konflik).

Sudagung (2001) berasaskan penelitiannya tentang Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat  mengungkapkan bahwa konflik etnik Madura dengan Dayak berpunca pada tidak baiknya adaptasi antara kelompok etnis Madura dengan Etnik Dayak. Adaptasi yang tidak baik ini disebabkan, antara lain: (1) sifat kelompok etnis Madura maupun Dayak secara umum tidak begitu berbeza iaitu rasa kesukuan dan solidaritas kelompok yang kuat; (2) orang Madura juga memiliki sifat cepat curiga dan pendendam, walaupun mereka memiliki sifat yang baik, yakni hemat dan suka menabung; (3) perbezaan adat resam dan agama; (4) tingkat ekonomi yang hampir sejajar, menyebabkan hubungan kedua-dua kelompok ini bersaing di bidang ekonomi sehingga kurang harmonis; (5) pengamalan bahasa Indonesia dalam pergaulan antar suku masih belum mapan, intonasi pengucapan ataupun dialek yang meledak-ledak sebagai pencerminan daripada sifat mereka yang keras, mudah menimbulkan salah faham.

Giring (2004), dalam penelitiannya[5] tentang Madura dalam pandangan orang Dayak di Desa Salatiga, Kabupaten Pontianak, menemukan bahawa interaksi antara orang Madura dengan orang Dayak di desa ini dilandasi oleh pencitraan yang tidak terlepas daripada sistem makna dan sistem nilai yang dipegang oleh orang Dayak Kanayatn[6] dalam menanggapi orang Madura di Desa tersebut.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Shonhadji (2001) di Desa Durian, Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak tentang Interaksi sosial antar warga pelbagai suku bangsa di desa  tersebut menemukan pula bahawa interaksi sosial antar warga pelbagai suku bangsa di desa ini berlangsung baik, kerana berlakunya pranata sosial lokal dalam mengatur interaksi sosial dan proses perjalanan sejarah yang ditopang oleh faktor kepemimpinan lokal. Begitupun Yulianus  dalam peneltiannya tentang Relasi Dayak dan Madura di Desa Retok ( dalam Atok,2005: 20) menemukan  bahawa kehidupan bersama antara orang Dayak dan Madura berlangsung baik di  Desa Retok, Kecamatan Kuala mandor B, Kabupaten Pontianak, ditentukan oleh  kuatnya kharisma pemimpin lokal orang Dayak di desa tersebut.

Seterusnya penulis bersama tim pengkaji Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara menjalankan pengkajian dengan tajuk Konflik Masyarakat Pada Aras Lokal di 3 Kecamatan (2005). Kajian tersebut berjaya menjelaskan bahawa konflik-kekerasan pada aras komuniti boleh dijelaskan sebagai berikut: ditemukan 79 jenis kasus konflik sepanjang tahun 1999 s/d Juli 2004 (5 tahun) di tiga kecamatan tersebut.  Dari total 79 kasus konflik, tercatat setidaknya 44,30%  daripada total kes konflik atau setara dengan  35 kes, adalah kes konflik yang bersifat kolektive dengan proporsi distribusi pada masing-masing kecamatan sebagai berikut, Kecamatan Mempawah Hulu 33 kes, Kecamatan Sebangki 21 kes dan Kecamatan Menjalin 25 kes.  Dari 35 kes konflik kolektive 8 kes di antaranya adalah kes konflik dengan karakteristik konflik kolektive antar anggota komuniti etnik, 13 kes konflik kolektive inter anggota komuniti etnik dan sisanya  bersifat campuran. 

            Pada bahagian terakhir analisis ini, ditemukan bahawa intensitas berlakunya kes dari tahun ke tahun, cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan.  Grafik yang terus meningkat memberikan “early warning”, kepada kita bahawa  perlu adanya penanganan yang cukup serius, khususnya dalam membantu masyarakat untuk mengelola konflik di tataran komunitinya masing-masing, agar kes-kes konflik tersebut tidak terus menerus meningkat dan kemudian terakumulasi menjadi  konflik kekerasan.

Seterusnya kajian yang dijalankan oleh Hardi Suja’i dengan tajuk Pengkajian Program Perdamaian di Sambas (2006). Dalam kegiatan pengkajian ini yang menjadi fokusnya adalah aspek-aspek yang mempunyai keterkaitan langsung dengan konflik etnis yang berlaku pada tahun 1999 di Kabupaten Sambas (Konflik etnis berbasis Komunal). Sedangkan aspek-aspek yang diinvestigasi lebih jauh terhad pada beberapa aspek yang diasumsikan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan usaha membina perdamaiannya. Adapun aspek tersebut adalah masalah-masalah ekonomi, sosial, hukum dan politik dalam hubung kaitnya dengan anatomi konflik sosial sering dipandang sebagai faktor penyebab utama (root of the problem). Masalah demografi dipandang sebagai faktor yang memperlancar (facilitating factor), sedangkan masalah budaya dipandang sebagai faktor yang memicu (triggering factor) terjadinya konflik sosial di Kabupaten Sambas.

Usaha membina peacebuilding di Sambas harus memperhitungkan kewujudan sebuah lembaga etnisiti namanya FKPM atau Forum Komunikasi Pemuda Melayu sebagai salah satu representasi daripada pelaku-pelaku konflik pihak orang Melayu Sambas meskipun ada sementara penboleh yang negatif tentang FKPM. Gerry van Klinken,[7] menyatakan bahawa; FKPM merupakan organisasi atau jaringan preman remaja dan jagoan-jagoan lapangan yang dikenali secara luas dan FKPM berperanan sebagai kendaraan politik untuk menggapai pemenuhan pelbagai kepentingan politik dan ekonomi bagi elit pemimpinnya. Pernyataan ini juga disokong daripada hasil wawancara bahawa memang ada pengerusi FKPM yang duduk dalam jajaran struktural birokrasi pentadbiran Kabupaten Sambas, anggota badan legistatif atau pemimpin organisasi yang memiliki basis massa serta kalangan birokrat pemda Sambas. Amnya mereka memiliki pandangan dan sikap yang seragam tentang akar konflik, transformasi konflik dan resolusi konflik. Misalnya; Tentang akar konflik, mereka berpendapat bahawa akar konflik Sambas 1999 adalah masalah kultural yang berkaitan dengan prilaku dan karakter orang Madura Sambas yang dianggap selalu negatif.  Pandangan yang bersifat “standar umum” ini menggambarkan bahawa sebahagian pengerusi FKPM secara implisit ingin mempertahankan status quo “ketidak-amanan” dalam masyarakat Sambas sehingga basis legitimasi kewujudan FKPM yang muncul untuk mengatasi “masalah keamanan” tetap tidak tergoyahkan.

Adapula pengkajian oleh Muhamad Sulhan, yang melakukan kajian dengan tajuk Representasi Identiti Dayak di Media Massa (2007). Pengkajian ini telah dibukukan dengan judul ”Dayak yang Menang Indonesia yang malang” yang diterbitkan pada Desember 2006. Pengkajian ini dilakukannya untuk mendapatkan gelar Magister dari Universiti Gajahmada Yogyakarta. Metode yang dilakukannya adalah dengan menganalisis berita-berita yang ada di media massa  terutama Harian Kompas dan Kalteng Post yang melaporkan tentang peristiwa kerusuhan Sampit tahun 2001.

Kesimpulannya adalah media massa melalui rangkaian headline-nya  berfungsi sebagai salah satu elemen daripada sosial early warning, yakni sebuah sistem pemberitahuan dini akan berlakunya sesuatu dalam masyarakat yang mungkin tidak dapat diamati dengan proses pengamatan biasa melalui interaksi sosial sehari-hari. Representasi identiti etnik Dayak dan penggambaran fenomena kerusuhan yang ditonjolkan oleh media massa terteliti menunjukan bahawa adanya sentimen ideologis wartawan atas stereotaip etnik sebagai indikasi adanya pelbagai kepentingan dan keterlibatan diri wartawan dalam membingkai sebuah pemberitaan. Kecendrungan keberpihakan mahupun netralitas reportase kedua media terteliti nampaknya dipengaruhi tiga hal utama, yakni rentang waktu peliputan, kemampuan memilih perspektif, dan lingkup area distribusi media.
Jammie Seith Davidson[8] pula menyelidiki tumbuhnya kesedaran politik Dayak,  penubuhan daripada Parti Persatuan Dayak, birokrasi dan politik lokal pada masa awal kemerdekaan. Secara khusus, kajian ini merupakan kritik terhadap politik kekerasan dan peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berlaku di Kalimantan Barat setakat ini.

Manakala Muhammad Iqbal Jayadi[9], mengkaji tentang tindakan jenayah yang boleh menimbulkan konflik etnik di Kalimantan Barat selama ini. Kajian beliau boleh dijelaskan seperti berikut: bahawa didapati ada tiga insiden kekerasan etnik di Kalimantan Barat. Pertama,  beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekumpulan Etnik Cina yang tinggal di pedalaman, di sekitar perbatasan dengan Malaysia, yakni di wilayah Sambas, Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu  terjadi Oktober hingga November 1967, satu titik masa ketika rezim Orde Lama beralih kepada Orde Baru.  Kedua, beberapa sub-etnik Dayak melakukan ethnic cleansing terhadap sekumpulan Madura yang tinggal di Bengkayang, Landak, dan Sanggau. Insiden itu berlangsung sekitar 2 bulan, dari Januari hingga Februari 1997, satu titik masa ketika rezim Orde Baru segera akan berakhir. Dan ketiga, satu sub-etnik Melayu melakukan etnic cleansing terhadap sekumpulan Etnik Madura yang tinggal di Sambas terjadi dari Februari sehingga Mac 1999, satu titik masa ketika Orde Reformasi baru mula ditubuhkan. Pengkajian ini juga menemukan bahawa ada pelbagai situasi, wacana publik, dan mekanisme sosial yang menyebabkan propinsi Kalimantan Barat di satu ketika mengalami kekerasan etnik, namun di waktu lain justru perdamaian etnik

Jayadi juga menemukan bahawa dampak daripada perubahan peranan tentera. Di masa lalu, kekerasan etnik terjadi ketika tentera dalam posisi yang dominan, tidak profesional dan polis merupakan bahagian yang integral dalam tentera. Dalam kapasitasnya yang semacam itu, mereka cenderung menyelesaikan permasalahan dengan mengadu domba satu kumpulan etnik dengan kumpulan etnik lainnya.  Hal itu terlihat paling jelas dalam Insiden 1967. Kendati peranannya sudah banyak berkurang pada 1990-an, namun kerana polis masih merupakan bahagian daripada tentera, menyebabkan penanganan mereka terhadap penjenayah inter-etnik tidak berjalan secara efektif. Sebagai akibatnya, masalah jenayah individual telah berkembang menjadi jenayah kumpulan etnik. Hal inilah yang menyebabkan meluasnya  rusuhan  etnik tahun 1997 dan 1999.


2.   Bentuk dan Karekteristik Konflik
Dari segi bentuk dan karekteristiknya, konflik antaragama dan antaretnis dapat dibedakan menjadi:
  1. Konflik laten, yaitu koflik yang cenderung tertutup dan sifatnya mengakar dalam masyarakat. Konflik jenis ini belum mewujud dalam bentuk tindakan kekerasan sehingga dapat lebih cepat di selesaikan. Konflik laten biasanya berupa anggapan-anggapan negatif, kecurigaan-kecurigaan, dan isu-isu tertentu tentang agama atau isu lain. Misalnya, anggapan bahwa Islam itu teroris, Kristen itu agama penjajah, orang Minang itu licik, orang Madura itu dungu-dungu, orang Batak itu keras-keras wataknya, dan sebagainya. Stereotif yang sudah tertanam dalam kesadaran masyarakat itu (Seringkali diwariskan secara turun temurun), kemudian memunculkan kecurigaan-kecurigaan dan isu-isu tertentu.

Di antara isu-isu yang sering muncul berkaitan dengan konflik antaragama dan antaretnis adalah isu tentang:
    1. Kristenisasi atau Islamisasi
    2. Penduduk asli dengan pendatang
    3. Sekte-sekte agama tertentu
    4. Simbol-simbol agama (Kitab suci, tempat ibadah, dan sebagainya)
    5. Pribumi dengan non pribumi

  1. Konflik terbuka, yaitu konflik yang sudah muncul kepermukaan, baik berupa prilaku, sikap, maupun tindakan-tindakan tertentu. Konflik jenis ini biasanya melibatkan dua belah pihak atau lebih yang kadang-kadang berhadapan secara langsung dan memunculkan tindakan kekerasan (Baik fisik maupun non fisik). Sehingga, konflik ini tidak mudah untuk di selesaikan.
Konflik terbuka yang berkaitan dengan antaragama dan antaretnis dapat muncul dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
    1. Khotbah-khotbah atau ceramah-ceramah yang menghujat dan anti terhadap agama/etnis lain (Perang mimbar) seperti khotbah minggu atau khotbah jum’at yang menyudutkan dan menyalahkan agama lain.
    2. Selebaran-selebaran, brosur-brosur, spanduk-spanduk, dan berita-berita di media cetak maupun elektronik yang bernuansa provokatif.
    3. Tindakan-tindakan yang merusak simbol-simbol agama/budaya tertentu seperti pelemparan dan perusakan gereja dan masjid, perusakan kitab suci, pencemaran hostia, perusakan rumah-rumah adapt, tempat-tempat pemujaan, dan sebagainya.
    4. Tindakan-tindakan kekerasan lainnya berupa intimidasi, perkelahian, penganiayaan, sampai pembunuhan yang melibatkan penganut agama atau etnis yang berbeda.


Perlu disadari bahwa setiap bentuk konflik mempunyai ciri dan karakteristik tertentu (Khas/unik) yang sesuai konteks sosial, politik, dan budayanya. Sehingga pendekatan dan cara penyelesaiannya pun sejatinya akan berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya.
  1. Aktor yang terlibat dalam konflik
Dilihat dari sisi aktor yang terlibat dalam konflik, dapat dibedakan menjadi:
  1. Aktor Intelektual, yaitu pihak-pihak yang tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi dipahami sebagai orang yang bertanggung jawab secara signifikan terhadap munculnya konflik, bahkan mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut. Dari beberapa kasus konflik antaragama dan antaretnis yang pernah terjadi di Indonesia, actor intelektualnya yang biasanya terlibat adalah:
a.       Tokoh-tokoh agama
b.      Tokoh-tokoh adapt
c.       Tokoh-tokoh masyarakat
d.      Orang-orang partai, baik di tingkat local maupun tingkat pusat
e.       Para birokrat, baik di tingkat local maupun tingkat pusat
f.       Kalangan militer(Polisi dan tentara)
g.      Usahawan
h.      Organisasi non pemerintah (Ornop)

2.      Aktor Lapangan, yaitu pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam konflik. Aktor-aktor lapangan yang biasanya terlibat langsung dalam konflik antaragama dan antaretnis adalah:
a.       Umat (Beragama)
b.      Remaja
c.       Ibu-ibu
d.      Milisia
e.       Preman
f.       Pemuda
Aktor lapangan ini juga yang biasanya sekaligus menjadi korban dalam setiap konflik antaragama/antaretnis. Dari sekian banyak korban, yang menjadi korban utama biasanya adalah kelompok perempuan, anak-anak dan remaja.

3.      Penyebab Konflik
Penyebab konflik dipahami sebagai faktor-faktor yang mendasari dan menjadi akar munculnya konflik antaragama/etnis. Di antara penyebab konflik yang muncul adalah:
1.      Faktor identitas, khususnya identitas agama dan etnis
2.      Faktor penguasaan sumber daya alam dan sumber daya manusia
3.      Faktor dominasi kekuasaan politik
4.      Faktor ketidakadilan struktural dalam berbagai aspek (Sosial, politik, ekonomi, budaya)
Catatan: Setiap konflik biasanya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan satu sama lain.
4.      Pemicu Konflik
Pemicu konflik dalam hal ini dapat kita defenisikan sebagai hal-hal yang membuat konflik potensial diwujudkan menjadi konflik terbuka. Ibarat senapan, pemicu konflik adalah pelatuknya, sedangkan penyebab konflik adalah alasan ditembakkannya seapan tersebut. Pemicu konflik dapat berupa peristiwa tertentu yang dapat dipakai untuk mewujudkan tujuan aktor pembuat konflik. Fungsi pemicu konflik dalam hal ini memanifeskan konflik laten.
5.      Akibat Konflik
Setiap konflik antaragama/etnis (Baik laten maupun terbuka) pasti menimbulkan dampak-dampak. Dampak tersebut dapat dibedakan menjadi:
Dampak Fisik
Dampak Non Fisik
Dampak-dampak yang bersifat fisik yakni dampak-dampak yang dapat dilihat dan dirasakan serta menimbulkan kerugian secara fisik. Misalnya:
  1. Rusaknya sarana fisik seperti rusaknya rumah-rumah penduduk, tempat-tempat ibadah, pasar-pasar, took-toko dan lain-lain.
  2. Kegiatan ekonomi normal (Transaksi kebutuhan sehari-hari) menurun, sedangkan kegiatan ekonomi berbasis konflik (Seperti perdagangan senjata, amunisi, jasa keamanan, dan lain-lain) meningkat.
  3. Fragmentasi sosial yaitu terjadinya proses komunalisme sehingga memperlebar jarak antara kelompok satu dengan yang lainnya.
  4. Terhambatnya (Terhenti) proses pendidikan, baik formal maupun non-formal.
  5. Tingkat kesehatan menurun, terutama ibu-ibu dan anak-anak.
  6. Penderitaan fisik, dari mulai luka-luka sampai pada kematian, terutama pada perempuan dan anak-anak.
  7. Kerusakan lingkungan sekitarnya.
Dampak-dampak yang bersifat non fisik yakni dampak-dampak yang tidak dapat dilihat, tetapi dirasakan dan tertanam dalam pikiran serta seringkali menimbulkan trauma-trauma berkepanjangan. Misalnya:
a.        Menguatnya stereotip terhadap agama/etnis tertentu.
b.       Terputusnya komunikasi dan hilangnya kepercayaan.
c.        Polarisasi antar kelompok agama/etnis semakin menajam.
d.       Runtuhnya (hilangnya) kepercayaan masyarakat terhadap institusi agama dan Negara (baik birokrasi pemerintahan maupun militer).
e.        Rusaknya tatanan sosial-budaya yakni rusaknya nilai-nilai dan tradisi-tradisi, khususnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme serta mekanisme penyelesaian konflik berdasarkan tradisi local, yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat.
f.        Radikalisasi sosial dan agama.
g.       Timbulnya trauma-trauma yang sangat mendalam, khususnya anak-anak dan perempuan.
h.       Hilangnya rasa aman dalam masyarakat.

Konsep Resolusi Konflik dan Transformasi Konflik
No.
Resolusi Konflik
Transformasi Konflik
1
Menyelesaikan persoalan
Mencari penyebab munculnya persoalan itu
2
Orientasi jangka pendek
Orientasi jangka panjang



[1] Johan Galtung, 2005 “Mencari solusi yang ampuh bagi konflik; Beberapa tema yang hilang” dalam Konflik Kekerasan Internal, Dewi Fortuna Anwar dkk (editor); 396

[2] Ardhie Raditya & A. Sihabul Millah, 2009 “Tafsir Konflik Kekerasan; Mengurai Ketegangan Sosial, Menuju Negeri Yang Damai” ; 15

[3] Dahrendorf, Ralf, 1958 “ Toward a Theory of Social Conflict” Journal of Conflict Resolution 2 (Juni) : 170-183.
[4] Parsons, Talcott. 1949. Essays in sociological theory pure and applied. The Free Press. Glencoe.
[5]  Penelitian tentang Orang Madura di mata orang Dayak pada Pasca konflik berdarah tahun 1999.
[6]  Orang Dayak yang mendiami Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang dan Sambas. Sebutan sub suku ini belum kelar, karena sejumlah pakar antropologi Dayak seperti Simon Takdir menyebutnya Dayak Selako, sedang Timanggong Miden Maniamas menyebutnya Dayak Bukit. Penulis sendiri cenderung sependapat dengan Simon Takdir, Karena referensi pakar masa kolonial banyak menulis tentang ini. (lihat Bernard Sellato, 1994, Di pedalaman Borneo perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894 oleh Anton Nieuwenhuis). Sebutan Dayak Kanayatn, muncul pada masa Orde baru oleh sejumlah orang yang duduk di lembaga legislative di kabupaten Pontianak seperti Bahaudin Kay, dan dipromosikan melalui sejumlah event budaya seperti gawe naik dango di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten landak. Orang orang di level grass root menyebut dirinya berdasarkan Daerah Aliran Sungai seperti misalnya Dayak mampawah bagi orang yang mendiami aliran sungai mempawah, Dayak manyuke bagi orang yang mendiami alirasn sungai Banyuke dan seterusnya (lihat peta suku-suku Dayak yang dibuat oleh Institute Dayaklogi).
[7] Gerry van Klinken, 2005, “New actors, new identities: Post Suharto ethnic violence in Indonesia”, dalam Dewi Fortuna Anwar; Helene Bouvier; Glenn Smith; dan Roger Tol (Editors), Violent Internal Conflict In Asia Pasific. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; LIPI; LASEMA_CNRS; KITLV-Jakarta, hlm 95.
[8] Jammie Seith Davidson, PhD yang melakukan kajian dengan tajuk  Violence and Politics in West Kalimantan  (2002).

[9] Muhammad Iqbal Jayadi, PhD. Beliau melakukan kajian yang bertajuk Studi Kekerasan Etnik dan Perdamaian Etnik di Kalimantan Barat (2003).

0 comments:

Post a Comment