Secara ringkas, argumennya adalah bahwa
politik pada aras komunitas itu terjadi karena perasaan yang mendalam dan
meluas di kalangan masyarakat. Terutama
dalam wujud relative deprivation,
yaitu ketidaksesuaian antara value
expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi
hidup yang diyakini sebagai hak) dengan value capability mereka ( yaitu
barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan
sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang
mereka inginkan).
Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi
(Gurr:1970). Jika intensitas kekecewaan semakin tinggi dan menyentuh berbagai
lapisan, termasuk kaum elite, maka kekerasan politik yang muncul akan semakin
meluas dan dalam bentuk yang canggih. Dengan kata lain kekecewaan masyarakat terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak
adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan
berdasarkan agama. Namun, timbul pertanyaan ketika membaca Gurr. Apakah
kerusuhan yang timbul di Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan
material?
Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non
material ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teori tentang “Religious-
nationalism” yang para pendukungnya terbagi dua aliran. Para teorisasi
Religious nationalism yang beraliran Primordialist
mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik
berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang
berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisi
teoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara
identitas kultural itu, seperti ungkapan
kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan
sebagainya. Sebaliknya, para teorisi religious – nationalism yang beraliran situasionalist-instrumentalist
menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta
ancaman terhadap eksistensinya.
Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum
instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh
kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik
dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik negara maupun
kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu di dasarkan pada alasan praktis, yaitu sarana efektif
untuk menimbulkan dukungan emosional.
Pemikiran kalangan instrumentalist mirip dengan pendapat Charles Tilly
(1978), yang melihat gerakan politik sebagai hasil dari kalkulasi para elite
yang memobilisasi sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik
yang berubah.
Dengan kata lain, kekerasan politik terjadi bukan karena
ekspresi emosional masyarakat, tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan
instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya, kekerasan
politik merupakan hasil kalkulasi politik. Berdasarkan alur pemikiran di atas
dapat dikatakan terdapat dua kubu tentang penyebab kekerasan. Kubu pertama, kelompok teoritisi yang
berpendapat bahwa tindakan kekerasan
merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kubu kedua, para
pendukung argumen instrumentalist yang menyatakan bahwa tindak kekerasan
merupakan hasil dari kalkulasi strategi
dan keputusan taktis. Untuk memberi jembatan teoritik terhadap dua kubu
tersebut, kita bisa kembali pada pendapat Theda
Scokpol, ketika Scokpol melakukan penelitian tentang revolusi yang bisa
gunakan untuk analisis tentang kelompok
etnik dan komunal yang aktif dalam
politik.
Menurut Scokpol, mobilisasi politik akan ditentukan
oleh dua faktor yakni Faktor pertama, adalah faktor yang memberi landasan dasar
bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan para elite gerakan yakni
berupa perasaan kecewa/ frustasi akibat perlakuan yang tidak adil serta
perasaan identitas kelompok. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan
identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para elite gerakan komunal tidak punya bahan/ sarana untuk menangapi ancaman
atau peluang yang datang dari luar kelompoknya. Sebaliknya kalau kekecewaan mendalam
dan meluas, diimbangi dengan penguatan identitas dan kepentingan kelompok, tersedialah kondisi
bagi munculnya kekerasan kolektif.
Faktor kedua, adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi politik.
Perasaan
frustasi akan berhenti hanya pada tingkat perlawanan tersembunyi dan
tidak akan menimbulkan tindak kekerasan
politik pada aras komunitas kalau tidak ada kemampuan komunitas untuk melakukan
mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu berujud proses mendorong
anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorbankan tenaga dan
sumberdayanya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan
komunitasnya.
- Apa
itu Damai
Menurut Wikipedia, sebuah ensiklopedia
berbahasa Indonesia ,
konsep damai membawa konotasi
yang positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian. Perdamaian
merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Tiap orang memiliki pandangan berbeda
tentang apakah damai itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan mungkinkah
perdamaian benar-benar terjadi.
a.
Definisi Umum
Burung merpati dan daun zaitun
sering digunakan sebagai lambang perdamaian. Damai memiliki banyak arti dan
seringkali kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat.
Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan
perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak
memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang
umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi.
Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga
dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. Konsepsi damai setiap orang berbeda
sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang
tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya
tertentu.
Sebuah definisi
yang sederhana dan sempit dari damai adalah ketiadaan perang. (bahasa untuk
damai adalah Pax yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan
perang). Dan lagi, dengan definisi ini, kita sekarang tinggal di zaman dunia
damai, tanpa perang aktif antara negara-negara. Perawatan perdamaian yang
lama antar negara merupakan kesuksesan besar dari PBB. Damai dapat terjadi
secara sukarela, dimana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam
keributan, atau dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang menyebabkan gangguan.
Kenetralan yang
kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan
perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini memiliki sejarah perdamaian yang berkelanjutan
terlama. Sejak invasi 1814 Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan kekerasan
gaya-militer.
b.
Keberadaan
keadilan
Membatasi konsep perdamaian hanya
kepada ketiadaan perang internasional hanya menutupi genocide, terorisme, dan
kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Hanya sedikit yang menggambarkan
genocide yang terjadi di Kongo pada 1890-an sebagai sebuah contoh damai.
Beberapa, oleh karena itu, mendefinisikan 'damai' sebagai ketiadaan kekerasan:
tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan(evil).
Dan banyak juga yang percaya bahwa
perdamaian tidak hanya ketiadaan dari kejadian sosial yang tragis. Dari sudut
pandan ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran
keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King,Jr. Dalam konsepsi
ini, sebuah masyarakat di mana suatu grup ditekan oleh grup lainnya juga
merupakan ketiadaan kedamaian, karena penekanan ini juga merupakan bagian dari
setan.
Beberapa pemikir perdamaian memilih
membuat ide damai tunggal; dan mendorong ide banyak arti dari damai. Mereka
berpiki tidak ada definisi tunggal yang benar tentang damai; damai, harus
dilihat sebagai sesuat yang jamak. Contohnya, di Wilayah Danau Besar Afrika,
kata damai adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang
harmonis antara manusia, dan dunia alam lainnya, dan juga kosmos. Pandangan ini
lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang" atau bahkan
"kehadiran keadilan".
Banyak pemikir yang sama juga
mengkritik ide damai sebagai harapan dan yang akan terjadi pada suatu hari.
Mereka mengenal damai tidak harus sesuatu yang manusia harus capai "suatu
hari". Mereka menganggap bahwa damai hadir, bila kita menciptakan dan
mengembangkannya dalam cara yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan damai
akan berubah secara terus menerus. Dalam
beberapa hubungan, damai dapat menunjuk secara umum ke keadaan tenang -
ketiadaan gangguan atau godaan.
Bagi orang yang sering bepergian ke
daerah terpencil seringkali memperhatikan perbedaan antara tingkat kebisingan
antara kota dan
desa; oleh karena itu muncul istilah 'damai dan tenang'.
Satu arti dari damai menunjuk ke
damai dalam diri; sebuah keadaan pikiran, badan, dan jiwa, yang dikatakan
terjadi di dalam diri kita. Orang yang melakukan eksperimen dengan damai dalam
diri mengatakan bahwa rasa ini tidak tergantung oleh waktu, orang, atau tempat,
menekankan bahwa setiap individu dapat mengalami ketenangan dalam diri di dalam
suatu peperangan.
Ada banyak
pandangan yang menganggap apakah kekerasan dan perang dibutuhkan. Pengikut
jainisme, berusaha untuk tidak melakukan penderitaan bahkan kepada hewan dan
pacifist seperti Kristen anarkis melihat segala kekerasan sebagai
penahanan-diri. Kelompok lainnya memiliki pendirian mereka sendiri yang
bermacam-macam. Dari Rev. Martin Luther King.Jr, Surat dari penjara Birmingham
menuliskan:
"True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of
Justice."
Dari Henry Timrod, dikenal dengan puisinya The Poet
Laureate of the Confederacy, yang menulis puisi penuh
kasih, isinya menceritakan banyak orang meninggal disebabkan Confederate Army
dari perang saudara di wilayah Amerika itu. Tetapi setelah menyaksikan sendirinya
kengerian dari peperangan, ia menulis doa tajam ini untuk kedamaian:
"Not all the darkness of the land, can hide the lifted
eye and hand; Nor need the clanging conflict cease, to make Thee hear our cries
for peace."
D. Konsep
Damai dan Toleransi Dalam Konteks Modal Sosial
Modal sosial adalah sesuatu yang sangat penting dalam
hidup bermasyarakat. Kita bisa
membangun perdamaian dan toleransi salah satunya karena modal sosial. Menurut
Fukuyama (2005;20) modal sosial berhubungan dengan “radius kepercayaan” antara
kita dengan orang lain, atau dalam skala yang lebih luas antara orang dari
suatu suku bangsa dengan orang dari suku bangsa lain. Semakin banyak dan
semakin tinggi kadar modal sosial yang dimiliki dalam berinteraksi dengan pihak
lain diyakini bahwa interaksi tersebut akan menciptakan sosial harmoni yaitu
berupa damai dan toleransi.
Menurut Fukuyama
(2005:19-20) Modal sosial (sosial capital) dapat diartikan sebagai seperangkat
nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok
yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Substansinya terletak pada radius
kepercayaan yang ada pada masyarakat. Pada tataran operasionalnya berhubungan dengan: tradisi masyarakat,
jaringan sosial, dan pranata sosial yang
berlaku di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Istilah modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda
Judson Hanifan pada 1916-an untuk menggambarkan pusat masyarakat sekolah di
pedesaan. Selanjutnya Jane Jacobs menggunakan istilah ini untuk menjelaskan
bahwa jaringan sosial yang sangat padat yang terdapat di pemukiman urban yang
lebih tua dan yang penggunaan lahannya beragam sebagai bentuk modal sosial yang
mendorong ketertiban umum. James Coleman tahun 1980-an menghidupkan kembali
istilah modal sosial dan mengatakan bahwa modal sosial adalah milik masyarakat
dan bermanfaat bagi bagi masyarakat secara keseluruhan. (Fukuyama, 2005:
23-24).
Proses pembentukan modal sosial oleh masyarakat berjalan rumit dan
sering sulit. Pada umumnya, proses itu memakan waktu beberapa generasi. Modal
sosial dapat dibuat melalui investasi langsung dalam pendidikan dan
pelatihan-pelatihan.
Shils (dalam Sztompka, 2000:74-76) menegaskan bahwa manusia tak mampu hidup
tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka.
Lebih lanjut Sztompka mengatakan bahwa tradisi adalah (1) kebijakan turun-temurun, tempatnya di dalam
kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai-nilai yang kita anut kini serta di dalam
benda-benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi menyediakan fragment warisan
historis yang kita pandang bermanfaat.(2) tradisi memberikan legitimasi
terhadap pandangan hidup , keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada; (3)
tradisi menyediakan symbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat
loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok; (4) tradisi
membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan
kekecewaan terhadap kehidupan modern (2004:74-76).
Menurut Fukuyama (2005:270), tradisi penting sekali untuk
memahami norma-norma karena orang sering bertindak bersadarkan kebiasaan, bukan
atas dasar pilihan rasional.
Jaringan sosial berkenaan dengan hubungan antar
manusia melalui norma-norma dan nilai bersama (Fukuyama, 2005:273). Kunjungan
silaturahmi antar penduduk dapat dipakai sebagai contohnya. Selain itu jaringan
sosial dapat diamati pula pada terbentuknya institusi-institusi local yang
dibentuk masyarakat dan kepemimpinan yang mengurusinya.
Kepemimpinan local yang umum adalah yang merujuk
pada kepemimpinan tradisional yang
informal. Menurut Slamet dan Velsink (dalam Antlov, 2001;46), tipe-tipenya
adalah orang kuat setempat, dan Kyai.
Menurut Weber (dalam Kleden 2003;112) kepemimpinan ditentukan oleh
legitimasinya. Ada tiga legitimasi tersebut yaitu: legitimasi tradisional,
kharismatis dan rasional. Legitimasi tradisional adalah seorang pemimpin
diterima karena kewibawaan dan rasa hormat kepada asal-usulnya. Legitimasi
kharismatis adalah seorang menjadi pemimpin karena pembawaan, bakat, dan
keunggulan-keunggulan istimewa pribadinya sedangkan legitimasi rasional adalah
seseorang diakui sebagai pemimpin berkat kecakapannya dalam bekerja dan
mengatasi persoalan dan juga berkat hasil kerjanya yang didukung oleh cara,
metode, system, dan prosedur yang rapi dan baku.
Institusi lokal
merupakan bagian dari kesejarahan dan organisasi rakyat yang masih
hidup. Adat menurut Koentjaraningrat
(2000:10-11) adalah wujud ideel dari kebudayaan. Adat dapat dibagi lebih khusus
dalam empat tingkat, yaitu (1) nilai budaya, (2) norma-norma, (3) hukum, (4)
aturan khusus. Institusi adat merujuk kepada norma karena berkait
dengan peranan dalam masyarakat. Institusi adat menjadi penting karena
didalamnya terkandung model kepemimpinan lokal dengan sistem kekuasaan yang
melekat padanya. Alat kekuasaan ini lebih bersifat moral spiritual yaitu pada
keyakinan pada hubungan-hubungan yang seimbang antara manusia dengan manusia
dan manusia dengan alam dan hubungan yang seimbang antara manusia dengan
penciptanya. Institusi adat yang
menempatkan dirinya pada ranah moral spiritual menyebabkan institusi ini masih
hidup di komunitas . Kepemimpinan dalam institusi ini tidak hanya
mempertahankan kepercayaan orang banyak, tetapi juga memperkuat rasa percaya
diri institusi ini.
Pranata (institution)
adalah suatu sistem norma khusus yang
menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan
khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat (Koentajaraningrat, 2000:14).
Lebih lanjut di jelaskannya bahwa komponen-komponen pranata sosial dapat
digambarkan sebagai berikut:
Diagram
1: Bagan Komponen-komponen dari Pranata
Sosial
Di
dalam kehidupan masyarakat, pranata sosial yang merupakan alat untuk mengatur
perilaku kehidupan anggota masyarakatnya adalah Hukum adat. Pospisil (dalam
Koentjaraningrat, 2000:22-23) mengatakan bahwa hukum adat adalah:
suatu aktivitas
pengawasan sosial, yang harus memenuhi empat attributes of law yaitu: (1)
attribute of authority yang merujuk kepada adanya suatu mekanisme yang diberi
kuasa dan pengaruh dalam masyarakat untuk membuat keputusan-keputusan terhadap
ketegangan sosial; (2) attribute of intention of universal application.
Attribute ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa
harus dimaksudkan sebagai keputusan yang berjangka panjang dan harus dianggap
berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan
datang; (3) attribute of obligation, attribute ini menjelaskan bahwa keputusan
dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban dan hak-hak para pihak yang bersengketa; (4)
attribute of sanction, attribute ini berkenaan dengan keputusan-keputusan dari pihak berkuasa harus
dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.
Toleransi
Menyikapi kecenderungan munculnya konflik di tengah-tengah
masyarakat Kalimantan Barat yang majemuk ini, maka perlu beberapa hal penting
yang harus dilakukan secara baik dan praktis. Hal-hal yang perlu dilakukan tersebut selanjutnya disebut
strategi.
Strategi-strategi ini diawali dengan sikap toleransi dan gagasan membangun relasi
yang baik antar tokoh agama dan masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan
menghadapi konflik laten serta konflik terbuka. Berikut ini beberapa strategi
praktis yang mungkin dilakukan sebagai upaya membangun perdamaian pada semua
lapisan masyarakat, khususnya membangun toleransi antaragama dan antaretnis.
Toleransi
berarti membiarkan, menerima adanya perbedaan, baik untuk sementara maupun
dalam waktu lama. Toleransi
menjadi hak tiap warga nagara untuk
diperlakukan setara tanpa memperhitungkan lagi latar belakang agama, etnisitas
atau pun sifat-sifat spesifik yang dimiliki seseorang. Yang memberi jaminan
terwujudnya toleransi tidak lagi orang per orang atau kelompok tertentu
terhadap yang lain, melainkan institusi Negara. Di bawah payung konstitusi
setiap orang atau kelompok mempunyai hak sama untuk mewujudkan diri tetapi
sekaligus mempunyai kewajiban yang sama pula.
Strategi-strategi yang bisa
menumbuhkan toleransi di beberapa situasi
1.
Membangun kepercayaan antara tokoh agama
Banyak kegiatan antariman yang terprogram dan bersifat
publik tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, terutama di daerah yang
komunikasi antara para tokoh agama tidak berlangsung dengan baik.
program-program antariman banyak yang tidak mungkin dilaksanakan karena tidak
adanya dukungan dari para tokoh tersebut. Maka sangat diperlukan tumbuhnya
relasi pribadi dan saling percaya di antara tokoh-tokoh tersebut. Proses
membangun kepercayaan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah
berikut ini:
1.
Adanya
kelompok inti antar iman yang bertindak sebagai inisiator, pelobi, dan penghubung.
2.
Menentukan sejumlah
tokoh agama yang:
a.
Mewakili semua dari
agama yang ada
b.
Mempunyai pengaruh
kuat baik di dalam komunitasnya dan/atau dalam masyarakat.
3.
Melakukan
pendekatan ke pribadi masing-masing tokoh oleh anggota kelompok antariman dari
agama yang sama.
4.
Mendengarkan
keinginan/harapan maupun keberatan dari masing-masing tokoh mengenai
kemungkinan kontak dengan tokoh dari agama yang lain.
5.
Mencari titik temu
dari harapan-harapan tersebut dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang
ada.
6.
menyerahkan
keputusan mengenai tema pembicaraan, waktu dan kegiatan kepada para tokoh
sesudah mengkomunikasikan penyatuan harapan dan keberata.
7.
Mendorong
perjumpaan yang bersifat pribadi antara tokoh dalam jumlah terbatas (Dua sampai
empat orang).
8.
Mengusahakan agar
perjumpaan semacam ini berlangsung secara teratur, kalau perlu dua sampai tiga
bulan sekali.
9.
kesempatan yang
terkait dengan acara-acara kekeluargaan dapat dimanfaatkan sebagai alasan
pertemuan.
10. Hindarkan publikasi yang dapat menyudutkan posisi para
tokoh dalam komunitasnya sendiri maupun masyarakat luas kalau situasi belum
memungkinkan.
2.
Promosi toleransi di daerah rawan konflik
Untuk mempromosikan toleransi di daerah yang rawan
konflik atau dalam konteks konflik laten
disarankan sebagai berikut:
- Membangun hubungan baik antara tokoh
agama/masyarakat
- Mensosialisasikan
wawasan pluralisme dan toleransi, dalam bentuk kegiatan, misalnya:
a.
Seminar
b.
Diskusi
kelompok
c.
Bedah
buku
- Pengembangan kepekaan pluralisme dalam tindakan
toleransi, misalnya:
a.
Lokakarya
“Aksi tanpa kekerasan”.
b.
Pelatihan
c.
Perkemahan pemuda
lintas iman dan etnis
- Membudayakan toleransi dalam tindakan dan aksi
sosial yang dilaksanakan secara bersama, misalnya:
a.
Aksi
sosial
b.
Donor
darah
c.
Pemberian
gizi balita
d.
Menangani dan
merespon persoalan secara bersama
3.
Promosi toleransi dalam konteks konflik terbuka
Dalam situasi konflik terbuka seperti di Kalimantan
Barat, program-program yang sebaiknya dilakukan secara garis besar terbagi dua
yaitu: Program tanggapan darurat dan program pendidikan dan penyadaran. Program
tanggapan darurat semestinya dilakukan sebagai tahap awal karena kita tidak
mungkin mendiskusikan akar konflik dan usaha-usaha pengelolaannya tanpa melalui
program ini. Sedangkan program pendidikan dan penyadaran dilakukan sebagai
upaya untuk meminimalisir laju konflik yang terjadi.
Program
Tanggap Darurat
Dimensi dan cakupan kegiatan tanggap darurat sangatlah
luas dan akan sangat tergantung kebutuhan situasi dan korban. Namun, dalam
konteks upaya antaragama dan antaretnis program tanggap darurat dapat menjadi
pintu masuk bagi mempromosikan kembali pentingnya bekerja dan hidup bersama,
meski efektivitasnya sulit di ukur karena situasi yang sangat rentan.
Untuk melakukan program ini, mulai dari proses assessment
hingga evaluasi, kelompok merujuk dan menunjuk organisasi-organisasi seperti
instansi-instansi PBB (Organisasi yang bernaung di bawah PBB seperti UNICEF,
WFP, OCHA), Church World Service (CWS) yang telah megembangkan pedoman bahasa
Indonesia, Catholic Relief Services (CRS) (Manual dan Pedoman untuk Tanggap
Darurat, termasuk assessment), serta
beberapa Ornop lainnya.
A.
Program
Pendidikan dan Penyadaran
1.
Pelatihan trauma
konseling
Langkah-langkah
yang dapat dilakukan adalah:
a.
Rekruitmen
peserta sebanyak 25 orang. Terdiri dari 20 orang dari dua komunitas yang
berkonflik dan lima
orang staf lapangan.
b.
Dilaksanakan
selama enam hari
c.
Materinya
seputar hal-hal tentang pemahaman dasar dan ciri-ciri korban trauma dan metode
penyembuhannya, media/alat untuk penyembuhan trauma, pelayanan psikososial dan
sebagainya.
Prasyarat:
a.
Pesertanya
melibatkan korban dari kalangan pemuda, tokoh agama, ibu-ibu, tim medis lokal
dan staf lapangan.
b.
Dilaksanakan
di luar wilayah konflik
c.
Fasilitator
harus melibatkan orang yang menguasai lapangan, psikiater, dan psikolog.
d.
Sudah
ada program sebelumnya sebagai entry
point (Biasanya tanggap darurat).
2.
Rehabilitas
mental
Langkah-langkah
yang dapat dilakukan adalah:
a.
Diskusi
informal antar kampung untuk dewasa yang difasilitasi oleh fasilitator yang
telah mengikuti pelatihan trauma konseling.
b.
Untuk
anak-anak dilakukan dengan metode bermain seperti melukis, lomba-lomba, dan
sebagainya.
Prasyarat:
Peserta
harus melibatkan semua level yakni dari anak-anak sampai dewasa.
3.
Diskusi
non-formal interkomunitas agama dalam satu
wilayah tentang pengelolaan konflik
Langkah-langkah dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.
Diskusi
dalam komunitas agama di satu wilayah
b.
Diskusi
dengan tokoh-tokoh lokal, dilakukan dua kali dalam seminggu.
c.
Perlu
adanya fasilitator
Prasyarat:
Diskusi
harus melibatkan korban
4.
Diskusi
non-formal antar komunitas agama dalam
wilayah-wilayah yang berbeda tentang pengelolaan konflik.
Langkah-langkah dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.
Diskusi
dari wilayah satu ke wilayah lain dalam satu komunitas agama
b.
Dilakukan
dua kali sebulan
c.
Perlu
adanya fasilitator
5.
Diskusi
non-formal antar komunitas agama yang
berbeda dari wilayah-wilayah yang berbeda tentang pengelolaan konflik.
Langkah-langkah dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.
Memilih
perwakilan dari tiap komunitas agama
b.
Peserta
terdiri dua pihak yang bertikai
c.
Tempat diskusi
ditentukan sesuai dengan kesepakatan dua komunitas
d.
Tema
disepakati terlebih dahuku
e.
Dilakukan
secara fleksibel, tergantung situasi
Prasyarat:
Situasi
dan kondisi sudah memungkinkan
6.
Penerbitan media
informasi dan komunikasi
Langkah-langkah dan
hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.
Bentuknya dapat
berupa koran, brosur, poster atau
stiker.
b.
Data-data berasal
dari hasil diskusi yang dilakukan dalam semua jenis diskusi diatas.
c.
Dilakukan analisis
dan dielaborasi labih jauh dengan berbagai referensi tambahan.
d.
Diterbitkan dan
disebarluaskan ke semua komunitas agama.
e.
Penerbitan satu
kali dalam sebulan.
Prasyarat:
a.
Brosur,
poster, dan stiker berisi pesan-pesan perdamaian, pluralisme, toleransi, dan
seterusnya.
b.
Isi
tulisan dalam koran tidak menyinggung
salah satu komunitas agama.
Analisis dan Refleksi Realitas
Sosial
Ketika argumen teoritis bahwa suasana damai
dan toleransi tidak tercapai karena telah terjadi politik agama. Maka
pertanyaan berikutnya adalah apa yang mendorong hal tersebut? Apa yang
menimbulkan adanya perasaan kecewa serta menguatnya identitas kelompok ? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sangat
panjang dan variatif. Namun, setidaknya ada beberapa ekplanasi untuk itu. Pertama, seberapa parah
tingkat perbedaan ekonomi, keterbelakangan sosial dan penderitaan kolektif kelompok
komunal tersebut dibandingkan kelompok-kelompok yang lain. Semakin besar
perbedaan kondisi antar kelompok semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin
kokoh persepsi bahwa mereka mempunyai kepentingan bersama untuk tindakan
kolektif. Kedua, ketegasan identitas dan kohesi kelompok.
Kekuatan untuk mengartikulasi kekecewaan akan
tergantung pada kekuatan identitas dan mobilisasi kelompok. Dengan demikian,
perumusan simbol-simbol bersama dan
upaya untuk merumuskan perbedaan yang tegas antara kita dan mereka
menjadi faktor yang kondusif bagi gerakan politik. Semakin besar perbedaan dalam hal-hal yang simbolik maka
semakin besar potensi untuk terjadinya konflik. Salah satu pemicu penguatan
frustasi dan identitas kelompok adalah terbentuknya struktur sosial yang
terkonsolidasi. Konfigurasi sosial disebut terkonsolidasi apabila pemilihan
sosial yang berdasarkan parameter nominal (suku-agama) jumbuh dengan pemilihan
sosial berdasarkan ekonomi dan struktur okupasi. Misalnya, suku A, umumnya
memeluk agama A, dan sebagain besar menguasai struktur ekonomi A. Sebaliknya, ada suku B, yang beragama B dan
menguasai sektor ekonomi B. Bahkan di beberapa
daerah di Indonesia, seperti NTT, Kalimantan Barat dan Maluku, struktur okupasi (pekerjaan) melekat pada agama dan etnis tertentu. Dengan demikian struktur ekonomi dan peta
demografi menjadi suatu penjelasan yang penting dalam menyelesaikan
kondisi-konsisi yang melatarbelakangi perasaan frustasi dan penguatan
identitas.
Kasus tragedi Maluku merupakan contoh yang gambang tentang hal
ini. Maluku, khsususnya Ambon, sejak jaman kolonial terbangun dalam pemilahan sosial yang terbangun atas dasar agama. Perbedaan
agama muncul tidak hanya sebagai perbedaan identitas akan tetapi menjadi sebuah
perbedaan ruang. Ada kampung yang disebut kampung muslim, sebaliknya ada
kampung Kristen. Pemilihan sosial ini juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, birokrasi dikuasai oleh
Kristen sedangkan Perdagangan dikuasai oleh Muslim. Sejak Orde Baru, terjadi perubahan
konfigurasi sosial secara demografis akibat proyek modernisasi sosial-ekonomi.
Keseimbangan yang sbelumnya terbangun menjadi tergoyahkan terutama sebagai akibat
arus migrasi. Migrasi ke Ambon semakin meningkat tiga puluh tahun belakang ini
dan menyebabkan hadirnya etnis Bugis Makasar dan Buton mengisi kekosongan
struktur ekonomi Ambon. Mobilitas vertikal juga terjadi di kalangan komunitas
Muslim sehingga banyak kalangan Muslim yang mengisi jabatan-jabatan publik
serta menguasai sektor ekonomi.
Perubahan komposisi sosial-ekonomi inilah
yang kemudian menimbulkan kelompok yang menjadi “ the winner “ dan the looser”
dan mengkondisikan frustasi sosial dan penegasan identitas kelompok. Seperti
yang disampaikan dalam
data tentang karakteristik kekerasan maka pengruskan Mesjid atau gereja akan
terjadi di daerah dimana laju pertumbuhan antara minoritas dan mayoritas tidak
seimbang. Penguatan identitas juga dipicu oleh modernisai yang justru
melahirkan anak haram berupa militansi dan fundamentalisme yang melawan sekularisme modernisme. Identitas
teraktualisasi dalam istilah Obet dan Acang. Fondasi konflik yang sudah
terbentuk kemudian menjadi konflik yang manifest ketika elite kedua kelompok
komunal memobilisasi komunitasnya untuk
melakukan tindakan kolektif melalui sejumlah strategi.
Konflik agama bukan konflik identitas an sich, dengan memperhatikan
perubahan demografik dan ekonomi, mobilisasi politik elite dan lain-lainnya, tetapi ada beberapa hal yang
turut menjadi perhatian teruatama dari
argumen kaum Substantifis maupun Schumpeterian. Bahwa, konflik tidak akan menjadi sebuah kekerasan
politik apabila demokrasi secara prosedural dan substantif bisa bekerja. Elemen
apakah yang membuat demokrasi bisa
bekerja ? Belajar dari pengalaman Putnam dalam mengkaji bekerjanya demokrasi di
Italia maka modal sosial (social capital) justru menjadi elemen yang
penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan
kemampuan organisasi, jaringan dan kelembagaan sosial dan warga dari institusi
tersebut di dalam mengontrol dan membentuk pertukaran sosial yaitu distribusi
kekuasaan politik dan sumberdaya ekonomi antar individu atau kelompok dalam
masyarakat. Dalam konsepsi Putnam, modal
sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian asosiasi-asosiasi
horisontal antar warga yang di dalamnya
terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma- norma terkait yang mempunyai
pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas.
Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator
terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi komunitas dalam mewujudkan kehidupan
sosial. Semakin banyak asosiasi horsontal dan bakan interaksi antar asosiasi
dan warga dalam komunitas maka semakin
tinggi warga mempunyai kemampuan dalam
menerapkan demokrasi. Modal
sosial merupakan suatu kekuatan untuk mewujudkan komunitas humanistik yang
dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (civic community).
Menurut Putnam, kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis
karena dalam komunitas seperti itu selalu terlembaga; kesepakatan-kesepkatan,
keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta
struktur sosial yang kooperatif antar warga. Dengan demikian demokrasi
substansi muncul apabila adanya perasaan tolerasi, saling menghargai dan
mempercayai (mutual trust) satu sama lainnya.
Tentusaja ada pertanyaan lanjutan yang cukup
sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan mutual
trust yang sempat goyah akibat pertikaian antar komunitas
Agama? Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa
usaha yang bisa dibangun untuk menrintis kembali mutual trust
antar komunitas Agama; pertama,
mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita untuk meretas
rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya
dengan proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Sehingga, untuk membangun
saling kepercayaan antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’
hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masalalu dan bahkan bersedia untuk
meminta maaf atas kesalahan-kesalahan
yang telah diperbuat dalam sejarah.7 Proses ‘melupakan’ itu juga harus diikuti
dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari
kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. Kedua, mutual trust akan bisa terbangun
apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang
berbagai isu yang dianggap sensistif. Dalam dialog emansipatoris, lebih
didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh
apa yang sering disebut dengan prasangka
dan stereotype.Ketiga, mutual
trust akan bisa terbangun apabila ada ‘proyek bersama’ di masa depan yang
ingin diwujudkan. Di jaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa
bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme maka
pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi
masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi.
Sedangkan demokrasi prosedural berupa kesepakatan
kelompok yang bertikaian untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam
menyelesaikan persoalan. Kesepakatan ini bisa benbentuk pelembagaan konflik
melalui institusi tradisional seperti adat
(Pella Gandong) maupun pembentukan zone-zone netral, seperti pasar dan
kepentingan publik lainnya. Pelembagaan konflik melalui institusi – institusi
sekarang ini dipertanyaan ketika kredibilitas institusi tersebut merosot di
depan publik. Birokrasi, Militer, Pengadilan dan bahkan institusi mengalami
krisis legitimasi dan kredibilitasnya. Dengan pula dengan Zone-zone netral semakin berkuarang dengan adanya pasar
yang dibentuk berdasarkan agama. Dari
mana resolusi konflik harus di mulai ?
INTISARI
Konsep damai membawa konotasi yang positif; hampir
tidak ada orang yang menentang perdamaian. Perdamaian merupakan tujuan utama
dari kemanusiaan. Tiap orang memiliki pandangan berbeda tentang apakah damai
itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan mungkinkah perdamaian benar-benar
terjadi.
Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya
dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan
arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu.
Ketiadaan
perang
Sebuah definisi yang sederhana dan sempit dari damai
adalah ketiadaan perang. (bahasa untuk damai adalah Pax yang
didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang). Dan
lagi, dengan definisi ini, kita sekarang tinggal di zaman dunia damai,
tanpa perang aktif antara negara-negara. Perawatan perdamaian yang lama antar
negara merupakan kesuksesan besar dari PBB. Damai dapat terjadi secara
sukarela, dimana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam keributan, atau
dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang menyebabkan gangguan.
Kenetralan yang kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai
sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini
memiliki sejarah perdamaian yang berkelanjutan terlama. Sejak invasi 1814
Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan kekerasan gaya-militer.
Keberadaan
keadilan
Membatasi konsep perdamaian hanya kepada ketiadaan perang
internasional hanya menutupi genocide, terorisme, dan kekerasan lainnya yang
terjadi dalam negara. Hanya sedikit yang menggambarkan genocide yang terjadi di
Kongo pada 1890-an sebagai sebuah contoh damai. Beberapa, oleh karena itu,
mendefinisikan 'damai' sebagai ketiadaan kekerasan: tidak hanya ketiadaan
perang, tapi juga ketiadaan setan(evil).
Dan banyak juga yang percaya bahwa perdamaian tidak hanya
ketiadaan dari kejadian sosial yang tragis. Dari sudut pandan ini, perdamaian
tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang
digambarkan oleh Martin Luther King,Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat
di mana suatu grup ditekan oleh grup lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian,
karena penekanan ini juga merupakan bagian dari setan.
Perdamaian
jamak
Beberapa pemikir perdamaian memilih membuat ide damai
tunggal; dan mendorong ide banyak arti dari damai. Mereka berpiki tidak ada
definisi tunggal yang benar tentang damai; damai, harus dilihat sebagai sesuat
yang jamak.
Contohnya, di Wilayah Danau Besar Afrika, kata damai
adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara
manusia, dan dunia alam lainnya, dan juga kosmos. Pandangan ini lebih luas dari
damai yang berarti "ketiadaan perang" atau bahkan "kehadiran
keadilan".
Banyak pemikir yang sama juga mengkritik ide damai
sebagai harapan dan yang akan terjadi pada suatu hari. Mereka mengenal damai
tidak harus sesuatu yang manusia harus capai "suatu hari". Mereka
menganggap bahwa damai hadir, bila kita menciptakan dan mengembangkannya dalam
cara yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan damai akan berubah secara
terus menerus.
Damai dan
tenang
Dalam beberapa hubungan, damai dapat menunjuk secara umum
ke keadaan tenang - ketiadaan gangguan atau godaan.
Bagi
orang yang sering bepergian ke daerah terpencil seringkali memperhatikan
perbedaan antara tingkat kebisingan antara kota dan desa; oleh karena itu muncul istilah
'damai dan tenang'.
Damai dalam diri
Satu
arti dari damai menunjuk ke damai dalam diri; sebuah keadaan pikiran, badan,
dan jiwa, yang dikatakan terjadi di dalam diri kita. Orang yang melakukan
eksperimen dengan damai dalam diri mengatakan bahwa rasa ini tidak tergantung
oleh waktu, orang, atau tempat, menekankan bahwa setiap individu dapat
mengalami ketenangan dalam diri di dalam suatu peperangan.
BACAAN LANJUT
Barker, Chris. 1999. Cultural
Studies, Teori dan Praktek, Jogjakarta :
PT Bentang Pustaka.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Burhanuddin. 1988. Streotipe Enik Asimilasi,integrasi Sosial,Yayasan
Ilmu-Ilmu sosial, Jakarta: Pustaka Grafika.
Coomans,
Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Davidson, Jamie S. 2003. politik primitif : pasang
surut partai persatuan dayak di
Kalimantan Barat, Indonesia, Diterjemahkan dari “Primitive” Politics:
The Rise and Fall of Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia, Asia
Research Institute Working Paper Series No. 9. August 2003. www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm.
Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata. 2005. Pendidikan Multikultur, Jakarta: CV Karya Agung.
Thomas Santoso, Potret Kekerasan Politik-
Agama dalam Era Reformasi,Lokakarya Flienders-FISIPOL UGM, 2000.
Theda
Scokpol, Negara dan Revolusi Sosial, Penerbit Erlangga,
1991.
BAHAN BACAAN
HUBUNGAN ETNIK
MELALUI TRADISI LISAN
PENDAHULUAN
Sebagai dampak
dari modernisasi utamanya banyaknya stasiun televisi di Indonesia yang
menayangkan sinetron, tradisi lisan dalam budaya Dayak mengalami kemunduran
serius. Budaya pantun dan singara (bercerita) sudah sangat jarang terjadi. Pada
20 tahun yang lalu ketika penulis masih remaja, pantun menjadi model komunikasi
ketika seorang pemuda Dayak akan melamar perempuan Dayak. Utusan kedua mempelai
akan saling berbalas pantun dalam menyampaikan maksud pertemuan mereka. Pada
masa itu seluruh tahapan acara perkahwinan diwarnai tradisi lisan yang sangat
kental. Pada masa ini tidak lagi dijumpai hal demikian dalam perkahwinan Dayak.
Pada masa kini, tradisi lisan yang masih terus bertahan adalah pada acara
perdukunan/bomoh dan dunia roh/dunia magic.
Tidak boleh
ditolak kenyataan bahawa sampai hari ini dukun atau bomoh masih memiliki tempat
yang penting dalam kehidupan masyarakat. Aktiviti bomoh ini tidak ekslusif yang
bermakna bahawa semua orang dari pelbagai etnik dan agama boleh pergi ke
tempatnya untuk berubat, dengan demikian bomoh berperan penting merapatkan
hubungan etnik. Modenisasi walaupun telah menjejaskan praktik bomoh ini tetapi
masyarakat pada kawasan pedalaman masih percaya bahawa bomoh memiliki kemampuan
penyembuhan penyakit yang puncanya alam
roh. Penulis menemukan data bahawa pada setiap kampung di daerah ini memiliki
bomoh sekurang-kurangnya 4 orang. Di Selakau justeru lebih banyak lagi iaitu 14
orang. Kemampuan mereka yang patut dikangumi bahkan oleh dokter moden sekalipun ialah
pengobatan patah tulang. Kemampuan lainnya amnya berhubung kait dengan alam
roh.
Tradisi lisan yang dijalankan oleh
para bomoh Dayak ketika menjalankan
pengubatan bomoh dan dunia roh secara am dipengaruhi oleh budaya Melayu.
Perkataan Bismillah….. selalu merupakan kata-kata awal yang diucapkan oleh
bomoh Dayak ketika acara pengubatan dimulai. Sementara itu untuk keperluan
dunia roh dan Magic, orang Dayak selain menghapal ayat-ayat bernuansa Melayu
juga menyimpan manuskrip-manuskrip yang ditulis dalam bahasa Arab. Keadaan
demikian cukup unik mengingat mereka
menganuti agama Kristian.
Pertikaian dan rusuhan bernuansa etnik yang kerap
berlaku di Kalimantan Barat juga memiliki andil yang besar pada orang Dayak untuk
menguasai kembali ilmu-ilmu magic, yang dengan demikian meningkatkan peran
tradisi lisan itu sendiri.
Selain itu peran agama Kristian juga cukup penting, kecuali kristian
Protestan. Agama Kristian Katolik memberikan tempat bagi
berkembangnya tradisi lisan ini. Semua budaya Dayak berikutan tradisi lisannya
dapat terus dijalankan walaupun orang Dayak menganuti agama katolik. Oleh itu
adalah biasa seseorang yang menganuti agama Katolik juga menjalankan dan
mengekalkan budaya dayak. Pada masa kini sering terdengar kata-kata inkulturasi
iaitu sebuah kata yang bermakna memasukan unsur-unsur budaya lokal dalam
upacara doa dalam kalangan agama katolik.
Tradisi
lisan adalah cerita
dan non cerita yang dituturkan secara langsung oleh nenek moyang suku Dayak
secara turun temurun. Tradisi lisan ini sangat penting bagi kehidupan
masyarakat Dayak, sebab dari tradisi lisan
inilah dapat diketahui pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat Dayak. Selain
itu dalam tradisi lisan ini mengandung filsafat, etika, moral, estetika,
sejarah, seperangkat aturan adat, ajaran-ajaran agama asli Dayak, ilmu
pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta hiburan rakyat. Bagi suku Dayak tradisi lisan menghubungkan
generasi masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.
KERANGKA
KONSEPTUAL
Apabila
membincangkan tentang tradisi lisan ,
persoalan pokok yang dibincangkan adalah sosio budaya sesuatu
masyarakat. Dalam perkara ini yang dibincangkan meliputi cara hidup dan sikap
sesebuah masyarakat itu terhadap sesuatu perkara seperti pendidikan, ekonomi,
politik, seni dan adat istiadat. Budaya yang masih terpelihara adalah warisan
tradisi yang sudah menjadi darah daging seperti kenduri kendara, majlis
perkahwinan dan sebagainya yang memerlukan penglibatan saudara mara serta
amalan tolong-menolong. Kamus Dewan Edisi Keempat 2005 mendefinisikan
sosiobudaya sebagai hubungan masyarakat dengan budaya. Hubungan ini adalah
seperti cara hidup, adat istiadat dan lain lain. Seterusnya Anwar Din (2008:33)
menyatakan budaya itu tercakup di dalamnya tentang cara hidup sesuatu
masyarakat, tamadun, peradabannya dan kemajuan akal budinya. Dan pengertian
cara hidup itu pula, mencakup hal-hal tentang cara berfikir, adat istiadatnya,
kesenian dan hal-hal mengenai kehidupan mereka seperti cara berekonomi, cara berpolitik,
cara belajar dan lain-lain. Budaya adalah sesuatu nilai dan pegangan hidup,
gabungan dua unsur budi (sesuatu yang luhur, murni dan suci) dan daya
(keupayaan, kemampuan dan kekuatan yang terangkum di dalam akal, jasmani dan
rohani). Kekuatan akal semata-mata tanpa kekuatan jasmani tidak boleh
melahirkan bangsa yang maju, positif dan boleh memenuhi perubahan dalam semua
aspek kehidupan. Kebudayaan adalah tanda bahawa manusia boleh berfikir,
mempunyai perasaan dan daya cipta. Daya cipta dalam hal ini termasuklah tradisi
lisan.
Teori fungsional
yang dikemukakan oleh O’dea (1987:3) adalah sebagai kerangka acuan penelitian
empiris, yang memandang masyarakat sebagai suatu institusi social yang berada
dalam keseimbangan, yang mempolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma
yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu
sendiri. Institusi social yang konfleks secara keseluruhan merupakan system
social sedemikian rupa yang pada setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan
itu) saling tergantung dengan semua bagian lain, sehingga perubahan pada salah
satu bagian akan mempengaruhi bagian lain, yang pada akhirnya mempengaruhi
kondisi sistem keseluruhan.
Adapun “sistem nilai
budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap
mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap
remeh dan tidak berharga dalam hidup” (Koentjaraningrat, 1969: 18). Dalam kehidupan
bermasyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap, di mana keduanya menentukan pola-pola tingkah laku
manusia. Sistem nilai adalah bagian
terpadu dalam etika-moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam
norma-norma sosial, sistem hukum dan adat sopan-santun yang berfungsi sebagai
tata kelakuan untuk mengatur tata-tertib kehidupan bermasyarakat. Adat-istiadat
menetapkan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertindak secara tertib.
Nilai
budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa
tertentu. Sejak kecil “individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya
masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam
mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam
waktu yang singkat” (Koentjaraningrat, 1969: 18). ). Sehubungan dengan itu, di
dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya itu mencerminkan stereotaip
tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang
santun, bertindak pelan-pelan lembah
manah (low profile) , halus tutur katanya dan sebagainya. Kekhasan nilai
budaya daerah dan perilaku praktisnya itu tentu saja secara relatif berbeda
dengan kekhasan nilai budaya suku bangsa lain, hal demikian tergambar dalam
tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Tradisi
lisan
merujuk kepada segala bentuk warisan dan tradisi yang lahir dalam sesuatu
kelompok masyarakat. Penyampaian tradisi ini berbentuk perantaraan lisan. Ia merupakan satu cara masyarakat
menyampaikan sejarah lisan, kesusteraan, perundangan dan pengetahuan lain
menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan. Tradisi lisan menurut Muji Sutrisno
(2008:1) merupakan salah satu cara seseorang mengembangkan dirinya dalam
kebudayaan. Seterusnya beliau mengatakan ketika tuturan dan wacana serta yang
umumnya disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun
pengetahuan dan menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika.
Tradisi adalah ruang budaya dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup,
bersikap dan memaknai realitas dari warisan yang diterima dalam pepatah,
gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan ajaran hidup baik dan hidup
bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan wacana sebelum
ditulis dalam tradisi tulisan.
TRADISI
LISAN DAYAK KONTEMPORER
Secara umum,
kebudayaan Dayak dan tradisi lisannya
dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha. Orang Dayak Selako misalnya percaya kepada
Tuhan yang mereka sebut sebagai Jubata , ada juga yang menyebutnya Dervata
(Roth, 1968:7). Gould (1909:38) mengatakan , ‘ Dewata is the Land Dayak name of
a God from Sanskrit word dewata divinity, deity, gods. Seterusnya Roth
(1968:216) menulis, ‘ we may recall the fact that Land Dayaks have a kind of
Hindu Trimurti, viz-Tapa or Yang, the Preserver (Vishnu or Dewa-dewa of
Hindus), Jirong-Brama, the creator (Brahma of the Hindus), Triyuh-Kamang, the
destroyer (Shiva of the Hindus)’. Berikut adalah aktviti kulural Dayak pengaruh Hindu
tersebut, yang pada setiap majlisnya mengamalkan tradisi lisan..
1.Lala’
Lala’ adalah aktiviti dalam wujud pantangan untuk menjalankan sesuatu baik itu pantang makan, melakukan sesuatu, dan mengucapkan kata - kata. Masa pantang bisa tiga hari, tujuh hari, 44 hari, dan seumur hidup diatur dalam tradisi masyarakat setempat. Tujuan lala’ adalah agar setiap anggota masyarakat terhindar dari bahaya, kekuatan meningkat, atau terkabulnya niat dalam pekerjaan.
Lala’ adalah aktiviti dalam wujud pantangan untuk menjalankan sesuatu baik itu pantang makan, melakukan sesuatu, dan mengucapkan kata - kata. Masa pantang bisa tiga hari, tujuh hari, 44 hari, dan seumur hidup diatur dalam tradisi masyarakat setempat. Tujuan lala’ adalah agar setiap anggota masyarakat terhindar dari bahaya, kekuatan meningkat, atau terkabulnya niat dalam pekerjaan.
2.Nyangahatn
Doa dalam adat dayak dikumandangkan dalam bentuk nyangahatn. Upacara adat ini banyak digunakan dalam peristiwa adat seperti liatn, lala’remah, gawe, sampore’, dan mato’. Nyangahatn juga dilakukan saat bercerita sejarah kejadian asal usul. Tujuannya mengucap syukur mohon bimbingan dan perlindungan atau pemberitahuan kepada Jubata, Ne’ Panampa, Ne’ Daniang, terhadap kegiatan dalam bekerja. Nyangahatn dilengkapi dengan palantar (persembahan). Lihat lampiran.
Doa dalam adat dayak dikumandangkan dalam bentuk nyangahatn. Upacara adat ini banyak digunakan dalam peristiwa adat seperti liatn, lala’remah, gawe, sampore’, dan mato’. Nyangahatn juga dilakukan saat bercerita sejarah kejadian asal usul. Tujuannya mengucap syukur mohon bimbingan dan perlindungan atau pemberitahuan kepada Jubata, Ne’ Panampa, Ne’ Daniang, terhadap kegiatan dalam bekerja. Nyangahatn dilengkapi dengan palantar (persembahan). Lihat lampiran.
3.Liatn
Liatn adalah upacara adat Dayak Kanayatn dalam bentuk magis dan sakral. Ditampailkan dalam bentuk tarian, doa, dan prosa berirama. Tujuan liatn adalah untuk pengobatan, membayar niat, dan lain-lain. Liatn dipimpin langsung oleh seorang bomoh liatn dan dibantu oleh seorang panyampakng serta beberapa panyangahatn. Jenis liatn berdasarkan pemampilannya adalah liatn daniang, liatn nyande, liatn bantal, dan liatn kanayatn. Perbedaan jenis liatn itu didasarkan pada irama serta kata-kata yang digunakan. Tiap jenis mempunyai tokoh tersendiri, misalnya liatan danian adengan tokoh Ne’ Sinede, dan Ne’ Lampede. Sedangkan pembagian jenis lian menurut tujuannya adalah liatn batama bohol, liatn ngaladak buntikng, liatn badingin, dan liatn ngangkat paridup. Misalnya liatn batama bohol bertujuan untuk memberi anak, sedaangkan liatn ngangkat paridup untuk memperbaiki patahunan yang gagal. Kegiatan upacara dalam liatn antara lain adalah nyangahatn dalam rumah, ngantar roba, ka’ ayutn, baramauan ngamok jalu, ka’ bawakng, bajampi, ka’ Jubata masaka, nyangahatn ngago’ sumangat, notor (memberi makan iblis jahat), ka’ dango bonto, ngalainse, ngungke, ka’ paramainan, dan baripakng. Waktu pelaksanaan antara lain sehari semalam, tiga hari tiga malam.Nilai seni tari dan lagu dalam liatn ini sangat menonjol yang diiringi alat-alat musik agukng, dau, dan tuma’ (gendang)
Liatn adalah upacara adat Dayak Kanayatn dalam bentuk magis dan sakral. Ditampailkan dalam bentuk tarian, doa, dan prosa berirama. Tujuan liatn adalah untuk pengobatan, membayar niat, dan lain-lain. Liatn dipimpin langsung oleh seorang bomoh liatn dan dibantu oleh seorang panyampakng serta beberapa panyangahatn. Jenis liatn berdasarkan pemampilannya adalah liatn daniang, liatn nyande, liatn bantal, dan liatn kanayatn. Perbedaan jenis liatn itu didasarkan pada irama serta kata-kata yang digunakan. Tiap jenis mempunyai tokoh tersendiri, misalnya liatan danian adengan tokoh Ne’ Sinede, dan Ne’ Lampede. Sedangkan pembagian jenis lian menurut tujuannya adalah liatn batama bohol, liatn ngaladak buntikng, liatn badingin, dan liatn ngangkat paridup. Misalnya liatn batama bohol bertujuan untuk memberi anak, sedaangkan liatn ngangkat paridup untuk memperbaiki patahunan yang gagal. Kegiatan upacara dalam liatn antara lain adalah nyangahatn dalam rumah, ngantar roba, ka’ ayutn, baramauan ngamok jalu, ka’ bawakng, bajampi, ka’ Jubata masaka, nyangahatn ngago’ sumangat, notor (memberi makan iblis jahat), ka’ dango bonto, ngalainse, ngungke, ka’ paramainan, dan baripakng. Waktu pelaksanaan antara lain sehari semalam, tiga hari tiga malam.Nilai seni tari dan lagu dalam liatn ini sangat menonjol yang diiringi alat-alat musik agukng, dau, dan tuma’ (gendang)
Ketiga macam budaya di atas merupakan
bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang berkolerasi dalam
sistem kehidupan itu sendiri. Nyangahatn merupakan bentuk komunikasi tradisi
lisan dengan Tuhan dan dunia alam roh. Adapun baliatn merupakan wujud
komunikasi orang Dayak dengan roh nenek moyang yang sudah meninggal. Orang Dayak
menganggap “kematian” sebagai
peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (talino)
serta semangat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan
dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara
dari sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng.
Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang
besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00
hingga 12.00.[1]
tanda Ini diartikan bahawa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga
meninggal. Orang segera tahu bahawa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal
dunia di desanya atau desa sekitarnya.
Rangkaian peristiwa kematian
yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak Salako berkesimpulan
bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan alam karena dia
sesungguhnya berasal dari alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang
sudah momo’ (meninggal dunia)
itu sesungguhnya telah kembali ke binuo
(tempat) asalnya. Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia
secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Darwin : 2002).
4. Mura’atn
Muraa’atn
adalah berdoa agar sesorang tidak ditimpa mala petaka. Tradisi ini sifatnya
pribadi perorangan. Manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari
marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak
biasa. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih
waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan diluar rumah.
Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus Kulikng
Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan pelangkahan dari para rasi akan nek Baruang kulup.[2]
kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos maniamas (yang hidup dalam tradisi
lisan) yang melanggar suara rasi dari kijokng
(kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.
“Ketika maniamas hendak menebang
pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar
rumahnya. Walaupun dia tahu
rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan
pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah
menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung
melemparkan boekng
(tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng
(melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah,
Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn
(sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus
tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama
kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga
tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala
terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana
cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat
melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”
ESENSI TRADISI LISAN DAYAK
Masyarakat Dayak
dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius
tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dalam interaksinya
dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983). mereka percaya bahwa dalam usaha
mendapatkan rejeki, kesihatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya
bertumpu pada usaha kerja keras sahaja, tetapi juga pada harapan adanya campur
tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka –
baik dan jahat – selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.
Religi – berasal dari bahasa Inggris
relogion dengan akar kata bahasa latin yaitu Religare – berarti menyatukan (to
bind together) tanpa memiliki pengertian Wahyu dan Kitab Suci (Johnstones :
1975) karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur
secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya
disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak Selako disebut adat. Hal ini
dapat dilihat dari doa dalam tradisi lisan
dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):
“Bukotnnyo unang
i-mantabok i-marompokng adat
aturan anyian, io inurunan ampet i ne’ Unte’ i kaimantotn, ne’ ancino i
Tanyukng Bungo, ne’ Sarukng i sampuro, ne’ Rapek i sampero’, ne’ Sai i sabako’,
ne’ ramotn i saa’u, ne’ ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak
parucu’e make io dah tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.”
(terjeahan
bebas: bukanlah adat dan
aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh mereka (para
leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino
(leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek
Rapek di sungai Sapero’, Nek Sai di
bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya
yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).[3]
Dalam adat (religi tradisional) ini
terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan
manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini. Religi
tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat
hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan
tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap
perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak
Selako: buis bantotn) – misalnya
posisi ayam kurban, jenis daun ritual – dan tempat-tempat mitis dari setiap
desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari
penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981).
World-view
(pandangan dunia) masyarakat horticultural Dayak Salako memahami alam semesta
(kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang
non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur)
yang berada di Subayotn.[4]
Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari
unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang
saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup
manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang
dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang
harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia
melalui praktik-praktik religi mereka.
Alam roh atau dunia roh merupakan kepercayaan yang
melekat dengan orang Dayak Selako dan Melayu, Merujuk kepada pendapat mereka
hal ini bersumber daripada asal-usul manusia semula jadi lagi. Alam roh dihuni
oleh para roh iaitu sesuatu yang bukan manusia tetapi diyakini ada di sekitar
kehidupan Dayak Selako. Roh ini biasa dikenali juga sebagai makhluk halus yang
bertempat tinggal di langit, di bumi, di air, dan sebagainya yang mempunyai
tugas masing-masing. Mereka hidup di alam yang tidak boleh dilihat, namun
mereka mempunyai keperluan yang sama dengan manusia. Hubung kait kehidupan
manusia dengan roh dalam konteks kepercayaan tradisional terjalin rapat.
Jalinan yang rapat inilah yang oleh Etnik Dayak Selako diyakini sebagai dunia
Ilmu Magis.(bandingkan, Madrah, 1997:2-4). Hal ini juga selaras dengan yang
dikatakan oleh Clark Chilson
and Peter Knecht (2002:1) bahawa... as
repressive, ideologies and political sistems started to dissolve, many ethnic
groups in Asia and elsewhere began to reflect
on their distinctive cultural proparties in order to reconnect themselves with
their tradition and their cultural roots. This led to a new appretiation and revival of folklore in various fields
such us oral traditions, music, and religion .
Masyarakat etnik Dayak Selako dan Melayu percaya
bahawa kepatuhan dan kesetiaan manusia terhadap roh akan mendatangkan berkah
dan mendapatkan imbalan dalam pelbagai bentuk daripada para roh. Sebaliknya
akan terjadi kemurkaan roh yang boleh menimbulkan kemalangan atau mara bahaya.
Oleh sebab itu, manusia berusaha untuk boleh berkomunikasi dengan roh-roh
tersebut melalui suatu ilmu yang dikenali sebagai ilmu magis, yang sering kali
tidak boleh diterima oleh akal manusia. Tetapi memang terjadi.
Ilmu magis ini boleh diperolehi dengan beberapa cara
seperti betapa (bertapa), mimpi, rajaki (keberuntungan), baguru (belajar)
secara tradisi lisan dan ilmu magis warisan sejak lahir. Ilmu Magis ini boleh
dibahagi kedalam dua jenis iaitu : ilmu magis panas dan ilmu magis dingin. Ilmu
magis panas bermakna bahawa ilmu ini boleh digunakan untuk mencelakakan orang
lain (membunuh orang), Racun , dawak dan
polong termasuk dalam kumpulan ini. sedangkan ilmu magis dingin bermakna
ilmu magis untuk antsisipasi, menangkal ataupun untuk mengubati akibat dari
ilmu magis panas. Misalnya azimat dan mantra-mantra.
Pemahaman
masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam diasaskan
atas adanya korelasi tersebut. Korelasi
ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos tradisi
lisan yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987).[5]
Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang
diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis
(tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.
Selanjutnya, kesuburan semua
mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok
dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang
agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan
berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat
timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah,
Hewan disungai
dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan
mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di
beri sesajian dalam bentuk Patek. Doanya
dengan tradisi lisan sebagai berikut.
(patek diambil
dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa)
“Au’ unang nyian
patek tampi paribaso si ane’ (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi’ kito’am
badamo Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito’ an dingaso’an
dingarap, ingampioh am batimang. Ame kito’ batimang jawi’, batimang jaji ka
manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn, jaji ka banir buoh.
Kurrra’ patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di
atas kurban)”
(Terjemahan
bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu
(sebut nama si pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung
jawa. Bungkikik burung matan. Kalian yang diharapkan untuk menimang segala
mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan.
Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia beranak
pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon
buah-buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi
ini).
Tradisi
lisan Masyarakat Dayak yang bercorak
Melayu
Selain
dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, tradisi lisan Dayak juga dipengaruhi
interaksi mereka dengan masyarakat Melayu. Diantaranya adalah Sampore.’
Sampore’ dijalankan dalam kehidupan sesorang yang berhubungan dengan rehablitasi hubungan yang pernah cacat. Sampore dilakukan dalam acara lenggang, liatn, dendo, bapipis, batampukng tawar, dan babuis (karena badi atau jukat). Bentuk upacara ini bukan berasal dari asli Kanayatn. Upacara ini dilakukan pada saat membayar niat. Kegiatan ini mirip dengan liatn tetapi dengan variasi dari luar yaitu melayu
Sampore’ dijalankan dalam kehidupan sesorang yang berhubungan dengan rehablitasi hubungan yang pernah cacat. Sampore dilakukan dalam acara lenggang, liatn, dendo, bapipis, batampukng tawar, dan babuis (karena badi atau jukat). Bentuk upacara ini bukan berasal dari asli Kanayatn. Upacara ini dilakukan pada saat membayar niat. Kegiatan ini mirip dengan liatn tetapi dengan variasi dari luar yaitu melayu
Etnik Dayak dan Melayu memiliki asal
kultur yang sama, hal demikian boleh tampak dalam catatan Kühr (1995 : 78),
beliau mencatat bahawa pada tahun 1892, di Serawai, Kabupaten Melawi ,
ditemukan monumen Hindu dari zaman dahulu, yang dianggap sebagai tempat suci
untuk meletakkan sesajen oleh orang Melayu dan Dayak agar panennya dikabulkan.
Mengikut kepercayaan orang Dayak
tersebut, manusia merupakan gabungan daripada empat unsur : badan, roh (soul),
perasaan dan nyawa. Untuk membolehkan seorang itu
hidup dan sihat, keempat-empat unsure hendaklah bersatu tanpa gangguan. Manusia
tidak terlepas daripada mengalami kemalangan dan penyakit. Mereka percaya
bahawa satu-satu kejadian kemalangan atau mengidap sesuatu penyakit itu
berpunca daripada tindakan mereka yang melanggar adat, diserang oleh hantu
ataupun dibuat oleh ahli sihir. Kalau seseorang itu diserang penyakit,
mula-mula perasaannya terganggu dan rohnya tidak lagi tenteram, Roh tadi akan
meninggalkan badan dan berjalan menuju ke alam baka.
Semua orang
Dayak mempercayai wujudnya kuasa halus(spirits). Klasifikasi umum makhluk halus
dibuat berasaskan tempat tinggal mereka. Mereka boleh dibahagikan kepada tiga
iaitu Hantu Air, Hantu Hutan, dan Hantu yang tinggal di udara. Orang Dayak juga
mempercayai bahawa makhluk halus itu ada yang jantan dan ada yang betina.
Mereka mempercayai bahawa hantu-hantu itu tidak mengganggui manusia sekiranya
mereka boleh hidup dengan selesa dan tenteram. Tetapi, kalau makhluk halus itu
hidup susah dan tidak cukup makan mereka menjadi bahaya dan mengganggu manusia.
Makhluk-makhluk itu boleh mendatangkan penyakit kepada manusia .
Dalam
hubungan mereka dengan kuasa luar biasa, orang Dayak cuba berbaik-baik
disamping mencuba menguasai kuasa luar biasa. Tujuan menguasai kuasa luar biasa ialah untuk kegunaan dan kepentingan
komuniti. Mereka mempercayai bahawa kuasa luar biasa boleh mendatangkan
penyakit dan kuasa luar biasa juga membantu mengubati penyakit. Pada masa bomoh orang Dayak berkomunikasi dengan penguasa
luar tersebut, mereka mengamalkan tradisi lisan bercorak Melayu.
Seorang bomoh Dayak di Kampung Sasak
yang mengubati pasiennya, memberikan salam kepada nabi Khaidir ketika
menggunakan air sebagai salah satu sarananya. Kepercayaan itu terlihat pada mantra berikut:
Assalamu’alaikum
sahibul bahar sahibul basar
Assalamu’alaikum
nabi Hedir
Aku
mengambil air untuk tepung tawar
Si
(sebutkan nama pasien)
( Andi Lala, 2007)
|
Salam
sejahtera atas pemilik laut dan pemilik darat
Salam
sejahtera atas Nabi Khaidir
Aku
mengambil air untuk tepung tawar
Si (sebut nama pasien)
|
Kepercayaan kepada nabi Khaidir
merupakan kepercayaan yang khas di kalangan masyarakat Melayu Nusantara.
Kepercayaan ini sangat kuat di kalangan masyarakat Melayu yang berada di
pesisir pantai. Skeat (1967: 99), Endicott (1991: 107) menyebutkan bahawa nabi
Khaidir merupakan salah satu Nabi yang utama di kalangan masyarakat Melayu.
Merujuk kepercayaan masyarakat Melayu, Nabi Khaidir adalah nabi yang menguasai
air (lord of water). Di daerah Kendawangan, kabupaten Ketapang, bagian selatan
Kalimantan Barat, juga ditemukan kepercayaan sejenis.
Bagi sebahagian
nelayan, ketika mereka memulai aktiviti mencari rezeki di laut harus meminta
izin lebih dahulu kepada Nabi Khaidir dengan ucapan: Bismillah Assalamu’alaikum
nabi Hidir. Merujuk salah seorang informan, jika seseorang tidak meminta izin
kepada nabi Khaidir ketika mengambil hasil laut, maka di akhirat nanti hasil
laut yang diambilnya akan dituntut sebagai hasil curian. Untuk maksud tersebut
maka dibuatlah sesajian untuk tepung tawar[6].
Selain nabi
Khaidir, yang dipercayai sebagai penguasa laut, didapati pula penguasa laut
yang lain. Penguasa laut ini amnya merupakan kuasa negatif yang boleh
mendatangkan kemalangan bagi para nelayan. Penguasa laut yang terkenal adalah
hantu laut. Hantu laut boleh membantu sekaligus boleh memusnahkan. Hantu laut
boleh menunjukkan tempat menangkap ikan, udang, cumi dan hasil laut lainnya
yang baik. Hantu laut juga boleh menolong pemeliharanya terhindar
dari ancaman ombak laut. Namun, hantu laut yang kadang-kadang disebut juga
sebagai penunggu laut, boleh mendatangkan angin besar yang mengundang ombak
yang ditidakuti nelayan atau kadang-kadang menampilkan diri dalam bentuk atau
suara yang menakutkan. Untuk menaklukkan kekuatan ini beberapa nelayan berusaha
bersahabat dengan hantu laut. Ada beberapa orang nelayan yang memelihara hantu
laut. Untuk memelihara hantu laut ini, mereka terikat perjanjian dalam bentuk
memberikan sesaji pada waktu-waktu tertentu[7]. Secara kolektif, masyarakat desa Sepuk Laut mengadakan upacara kasi’ makan laut (memberi
makan laut). Upacara ini utamanya bertujuan untuk membujuk penguasa laut agar
tidak marah dan supaya laut memberikan kemurahan dengan memberikan hasil
tangkapan yang banyak. Jika upacara ini tidak dilakukan dikhawatirkan akan
memakan korban di laut yang biasanya berupa orang hilang, angin ribut dan hasil
tangkapannya sedikit. Upacara ini biasanya dilakukan pada saat angin utara
bertiup kencang, sekitar bulan Juni, setiap tahunnya. Upacara ini dipimpin oleh
seorang dukun kampung. Selain itu, ada juga kepercayaan bahawa bersiul di laut
boleh mengundang angin kencang. Perkataan yang tidak senonoh atau tidakabur pun
harus dihindari, sebab kalau tidak, boleh menyebabkan nelayan pulang dengan
tangan hampa dari laut.
Selain itu, ada juga kepercayaan kepada “orang air”, nama lain dari buaya.
Buaya tidak hanya merupakan binatang yang paling ditidakuti di air, tetapi juga
dipercayai memiliki hubungan tertentu dengan manusia; sebagai saudara kembar.
Oleh kerana itu, kadang-kadang mereka menyebut makhluk ini dengan orang ai’
(orang air) atau ‘orang bawah’. Mereka percaya bahawa hubungan yang tidak
dipelihara dengan buaya boleh menyebabkan bahaya bagi manusia. Kepercayaan
terhadap penguasa air, terutama buaya ini sangat biasa di kalangan masyarakat
Kalimantan Barat atau bahkan di Nusantara (lihat misalnya Skeat 1967; Moh.
Haitami et.al 2000; Hermansyah 2006).
Kepercayaan lain di kalangan sebahagian masyarakat diwujudkan dalam bentuk
pantang larang. Ketika seseorang sedang hamil muda, misalnya di larang
menyeberang laut atau parit kecil yang boleh menyebabkan keguguran. Suami dari
wanita yang hamil dilarang menake’ (memotong) kepala ikan Tilan yang masih
hidup kerana boleh menyebabkan bayi yang dilahirkan kelak menjadi sumbing.
Dilarang juga ncelur (merebus sebentar) ikan Tilan untuk membuang lendirnya. Jika
dilakukan juga, boleh mengakibatkan anak yang dilahirkan mengalami badi kulit
melepuh seperti ikan Tilan yang direbus.
Kepercayaan mengenai badi sebenarnya juga biasa di kalangan masyarakat
Nusantara sebagaimana dilaporkan Skeat (1967), meskipun ada variasinya.
Hermansyah dan Zahry (2005) menyebutkan bahawa di kalangan masyarakat Embau
didapati pantang larang yang jika dilanggar boleh menyebabkan badi. Misalnya
seorang calon ayah dilarang memotong kayu pendek-pendek. Larangan ini
dimaksudkan agar anak yang dilahirkan kelak tidak terkena badi, iaitu mengalami
pendek tangan atau kakinya seperti kayu yang dipotong pendek-pendek.
Kepercayaan tentang penyakit ini tidak lepas dari sistem religi dan
kepercayaan, serta teknologi dan pengetahuan moden. Meskipun mereka mengetahui
bahawa penyakit disebabkan oleh sebab yang boleh dijelaskan oleh ilmu
pengubatan moden, mereka juga percaya bahawa penyakit yang disebabkan gangguan
oleh syaitan, jin dan makhluk gaib lainnya. Oleh sebab itu, jika sakit, mereka
tidak hanya mengkonsumsi obat atau mendatangi ahli kesihatan moden, tetapi juga
mendatangi para dukun yang dipercayai memiliki kemampuan untuk mengubati.
Sebab-sebab gaib yang memungkinkan seseorang sakit terutama terjadi kerana
perlakuan yang tidak semestinya terhadap makhluk gaib. Makhluk gaib yang
diyakini itu menghuni tempat-tempat tertentu, yang biasanya disebut sebagai
‘penunggu’. Melewati tempat-tempat yang dipercayai dihuni oleh makhluk gaib
tanpa permisi apalagi mengganggunya, boleh menyebabkan sakit. Selain itu,
penyakit juga boleh disebabkan oleh kiriman secara gaib dari orang yang tidak
senang. Sebagai contoh seorang informan menceritidakan penyakit yang dialami
oleh seorang penduduk kampung yang suka mencuri. Penyakit yang dialami oleh
orang tersebut adalah perutnya membesar. Diyakini bahawa penyakit itu kerana
“dibuat”oleh orang yang tidak senang kepada kelakukan orang yang bersangkutan.
Akhirnya, orang tersebut meminta maaf kepada orang-orang yang pernah diambil
hartanya dan disertai dengan pengobatan pengubatan, orang tersebut pun sembuh.
Diyakini bahawa ada penyakit tertentu yang berhubung kait dengan
sebab-sebab yang bersifat spiritual, yang penyembuhannya memerlukan cara-cara
yang melibatkan unsur spiritual. Di sinilah peran para dukun. Para bomoh
mendapatkan kemampuan untuk mendiagnosis dan mengubati suatu penyakit
diperolehi melalui dua cara iaitu: belajar dan melalui wereh. Belajar dilakukan
kepada pelbagai pihak yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengubati. Namun
cikgu utama para dukun tersebut adalah dukun senior di kampung itu. Seorang
dukun beranak di kampung ini juga mendapatkan pendidikan moden berupa kursus
membantu ibu beranak dari Pusat kesihatan masyarakat di Sambas. Sedangkan wereh
adalah memperolehi kemampuan mengubati melalui cara-cara gaib seperti mimpi.
Ilmu yang diperolehi melalui wereh tidak boleh diajarkan kepada orang lain
sebab jika diajarkan akan mengakibatkan tidak berfungsinya ilmu tersebut.
Mantra-mantra yang dilafalkan para bomoh Dayak menunjukkan adanya warisan
tradisi lisan yang bercorak Melayu yang diamalkan dalam sosiobudaya Dayak. Sebagai contoh,
untuk menghindari pelbagai malapetaka dan penyakit di kampung[8], masyarakat
setiap tahun mengadakan upacara “beri’ makan kampung” yang kadang-kadang
juga disebut “tolak bala kampung.” Upacara ini dilakukan setiap selepas musim panen padi. Pada upacara itu, selain
dibacakan doa tolak bala yang semuanya berbahasa Arab dan merupakan doa yang
berasal dari ajaran Islam juga dibacakan mantra berikut:
Nang bekuase
tujuh lapis langit tujuh lapis bumi
Inilah siade
pengasihan anak buah aku
Aku minta’
jagekan anak buah aku sekelian nang bahaye minta’ tulung selisihkan (SA, dukun
Kampung)
Terjemahan
bebasnya:
Assalamu’alaikum
Datok Abdul “Ain
Yang
menguasai tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi
Hanya ini
yang boleh kami berikan
Penulis
minta engkau menjaga kami semua dari segala malapetidaka dan bahaya
Adanya pertautan antara tradisi lisan pada pengobatan penyakit dengan sosio
budaya masyarakat tempatan boleh ditelusuri jauh ke belakang, iaitu ketika
agama-agama langit pertama kali disebarkan di Asia Tenggara. Merujuk Azyumardi
(1999:64), pada mula agama-agama baru—dalam hal ini Kristian dan Islam—tidak
boleh berkembang kecuali jika mempunyai jawaban terhadap penyakit. Masyarakat
Asia Tenggara percaya bahawa kekuatan-kekutan spiritual yang tangguh
mempengaruhi kesihatan dan penyakit. Raja Patani menjadi seorang Muslim setelah
disembuhkan seorang syekh asal Pasai. Hermansyah (2001: 23-28) juga melaporkan
peranan ilmu penyembuhan dalam proses Islamisasi masyarakat pedalaman
Kalimantan Barat. Seterusnya, kepercayaan lama kepada penyakit yang disebabkan
oleh arwah disesuaikan dengan pandangan Islam tentang jin dan setan. Pelbagai
formula dalam bahasa Arab dan sebahagiannya di gabungkan dengan formula
tempatan digunakan untuk menangkal dan mengubati penyakit. Dalam masyarakat
tertentu di Nusantara, pelbagai formula itu masih terus diamalkan oleh
masyarakat. Menariknya formula—baik secara keseluruhan berasal dari bahasa Arab
dan ajaran Islam mahupun sebahagian terdiri dari unsur tempatan—tersebut tidak
hanya dipercayai dan diamalkan oleh masyarakat Islam tetapi juga oleh
masyarakat bukan Muslim (Bernstein 1997; Hermansyah 2006, 2007)
Kepercayaan lain yang populer di kalangan masyarakat Dayak adalah mengenai
Semangat. Seseorang yang ditinggalkan semangatnya tidak menyebabkan kematian.
Kehilangan semangat boleh menyebabkan sesorang sakit. Seseorang yang hidup
tanpa ‘semangat’ boleh diibaratkan dengan mayat hidup. Ia seperti orang yang
kehilangan kekuatan dan tenaga untuk melanjutkan hidup. Orang tersebut akan
kelihatan seperti orang yang tidak bergairah. Jika seseorang kehilangan
semangat, ia akan tetap hidup. Merujuk
Hemansyah (2006), semangat adalah sesuatu yang ada pada manusia dan
memungkinkan manusia memiliki kekuatan untuk menghadapi dunia. Sementara itu,
Merujuk Wilkinson (1959:1053), semangat ialah ‘spirit of life, vitality; soul.
It leaves the body in sleep, and when absent from the body may be seduced or
captured by other person; magic is used sometimes to attract and so win a
girl’s semangat.
Semangat ini boleh dipanggil, diambil dan meninggalkan seseorang. Jika
sesorang mengalami sesuatu, seperti penyakit yang diduga kerana kehilangan
semangat, maka semangatnya harus dipanggil. Seorang informan menceritidakan
bahawa ketika dia diliputi rasa tidakut yang berlebihan sehingga tidak boleh
melakukan sesuatu, oleh dukun kampung dilakukan upacara memanggil semangat
dengan cara memandikan yang bersangkutan. Ketika memanggil semangat dibacalah
mantra “teriak semangat” berikut:
Bismillahirrahmanirrahim
Kerasnya
batu kerasnya semangat si (sebut nama)
Kerasnya
besi kerasnya semangat si(sebut nama)
Ku...semangat
(12 kali) (R, pengerusi masjid)
Konsepsi semangat memang merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang
Melayu Nusantara. Namun agak berlebihan kalau Skeat (1900), Cuisiner (1951),
Endicott (1970), Gimlette (1971), dan Shaw (1975) menyimpulkan bahawa semangat
sebagai inti dari keseluruhan pandangan hidup orang Melayu, khususnya dalam
magic, kerana semangat hanya merupakan salah satu bagian dari unsur manusia
yang harus dipelihara. Shaw
(1975: 6), misalnya menyatakan bahawa, undoubtedly the most important single
element in Malay magic, and the most difficult to difine because there are so
many different opinions as to what it actually is, is semangat, the vital
cosmic force or energy which animates all creation.
KESIMPULAN
Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat Dayak
memiliki hubungan dengan budaya dan agama-agama yang hidup dalam masyarakat
ini. Dalam tradisi lisan tersebut Kita dapat melihat pengaruh Hindu , Budha dan Islam. Orang Arab dengan
latar belakang Islam dan orang Eropa dengan latar belakang Kristen ikut
mengubah institusi sosial di Kalimantan. Perubahan institusi ini juga
berpengaruh terhadap tradisi lisan dalam masyarakat.
Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat etnik
Dayak Selako dan Melayu di Sambas , khasnya yang berhubung kait dengan Alam Roh
dan pengobatan bomoh boleh dikatakan telah ikut memiliki andil dalam merapatkan
hubungan kedua-dua etnik ini.
Nilai
Tradisi lisan pada suatu daerah memang bersifat khas, memiliki cakupan
berlaku terutama bagi pendukung kebudayaan tertentu. Sifat khas pada umumnya
terletak pada tataran praktis yang konkret yang berwujud tindak-tanduk nyata.
Dibalik yang kongkrit itu terkandung nilai-nilai etika moral dan filosofi yang
universal. Dalam konteks ini, setiap orang, setiap kelompok seyogyanya
berikhtiar untuk mengekalkan tradisi lisannya.
RUJUKAN
Abdul Aziz, Rahimah &
Mohamed Yusoff Ismail, 2000. Masyarakat, Budaya dan Perubahan, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Aman, Rahim. 2008. Linguistik Bandingan Bahasa Bidayuhik, Universiti
Kebangsaan Malaysia. Bangi.
Anwar Din, 2008. Asas Kebudayaan dan Kesenian Melayu, Universiti
Kebangsaan Malaysia ,
Bangi.
Bakran Suni, et all, 2007. Sejarah Melayu Sambas, Lembaga penelitian
Universitas Tanjungpura Pontianak.
Barth, Frederick. 1969. Ethnic Group and Boundaries, Boston:The
Little Brown and Company.
Barker, Chris. 1999. Cultural Studies, Teori dan Praktek, Jogjakarta : PT Bentang
Pustaka.
Collins, J.T. & Awang Sariyan, 2006. Borneo and
the Homeland of The Malays, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur .
Collins, J.T. ,2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia,
Sejarah Singkat.Obor, Jakarta .
Coomans, Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu,
Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Dove, Michael R, 1988. The Real
and Imagined Role of Culture in Development, case studies from Indonesia,
University of Hawaii Press, Honolulu.
Duman, J.1975. Dalam
J.U.Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat
Kebiasaan di Kalimantan Barat, Jakarta: Bumi Restu.
Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester
afdeeling. Supplement to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap, 1901-03.
Leiden : Brill, 1903.
Eriksen, Thomas Hylland, 1995. Small Places, Large Issues An Introduction
to Social and Culture Anthropology, Pluto Press, London-Sterling-Virginia.
Geertz, Clifford, 1973. The Interpretation Of Cultures, Basic Books,
Inc., Publishers, New York.
Hulten, Herman Josef,
1992, Hidupku di antara suku Daya,
Gramedia, Jakarta
Ishak bin Saat, 2006. Sejarah
Sosiobudaya Melayu, Karisma Publication, Shah Alam.
King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo, Blackwell, Oxport &
Cambridge.
King, Victor T & Michael Hitchook, 1997. Images of Malay-Indonesian Identity, Oxport University
Press, Oxport-Singapore -New York .
Kuhr, E.L.M, 1995. Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV
Uitgeverij, Leiden .
Koentjaranigrat. 2000. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaranigrat. 2002. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta :
djambatan.
Leahy, Louis. 1985. Manusia
Sebuah Misteri: Suatu Kajian Tentang
Filsafat Manusia , Jakarta :
PT. Gramedia.
Madrah, Dalmasius, 1997. LEMU Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq &
Tunjung, Puspa Swara & Yayasan Rio
Tinto, Jakarta.
Maunati, Yekti, 2004, Identitas
Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta .
Shamsul Amri Baharudin, 2007. Modul Hubungan Etnik, Universiti Teknologi Mara,
Shah Alam.
Suni, Bakran, et all, 2007, Sejarah Melayu
Sambas, Universitas Tanjungpura,
Pontianak.
Takdir, Simon. 2003. Suku Dayak Selako, Belum Publikasi
Veth, P.J. Veth. Borneo’s Wester-afdeeling, geographisch, statistisch,
historisch,
voorafgegaan door eene
algemeene schets des gansch eilands (Zaltbommel:
Joh. Nomanen Zoon,
1854)
[1] Tanda ini muncul pada malam hari. Malam adalah kegelapan,
kesedihan yang identik dengan kematian
[2] Kulikng Langit adalah anak Nek Kulub
dengan manusia di Taino. Dia meninggal karena jatuh dari pohon Sibo (sejenis
rambutan hutan) akibat melanggar siara rasi.
[3] Kaimantotn, Tanyukng Bungo, Sampuro, Saper’, saako’,
Saba’u, dan gantekng Siokng (sebanyak tujuh tempat) merupakan tempat mitis
dalam religi suku Dayak Selako Kaimontotn diartikan kalimantan, tempat yang
pertama kali dihuni oleh manusia Dayak yang bernama Nek Unte’. Sedangkan
tanyukng Bungo adalah daerah bagian pantai yang berbukit di sepanjang pasir panjang
hingga sungai raya. Bukit Sampuro berada di daerah Semangkak (samalantan),
sapero’ nama sungai di pasuk kayu, sabako’ nama bukit dekat kalumpe, saba’u
nama bukit di samalantan desa, gantekng siokng nama pertemuan (celah) antara
dua buah bukit di ranto. Enam tempat mitis tersebut berada di wilayah kabupaten
sambas yang dulu (sebelum terjadi pemekaran daerah jaman reformasi).
[4] Subayotn adalah tempat bermukim khusus
arwah yang baik setelah kematian. Jubato nampaknya memiliki tempat tinggal
tersendiri di luar Subayotn yang biasanya disebut Kayangan. Beberapa diantara
para Jubato itu memiliki wilayah kekuasaan di dunia (bhs. Dayak Salako: Taino),
misalnya, Jubato Bukit Bawokng (gunung bawang) adalah Nek Opo, Jubato bukit
Rayo (gunung Raya) adalah Buuk Baso’ bukit poteng adalah si Rijab, dan
sebagainya. Orang yang semasa hidupnya di Taino hidup tidak sesuai dengan adat
(bersikap jahat) ketika meninggal dunia arwahnya tidak masuk Subayotn. Arwah
itu menjadi hama, penyakit, hantu (pujut) dan gentayangan di Taino menggangu
kehidupan manusia. Manusa akan terhindar dari gangguan mereka kalau dibangun
relasi yang baik (sikap hormat dan bersahabt) melalui ritual (doa dan kurban).
[5] Menurut J. Van Baal mitos merupakan
kebenaran religius dalam bentuk cerita. Atau cerita di dalam kerangka sistem
suatu religi yang dimasa lalu atau dimasa kini telah atau sedang berlaku
sebagai kebenaran keagamaan.
[6]
Di Kalimantan Barat terdapat variasi peralatan yang
digunakan dalam tepung tawar. Di Embau, peralatan yang digunakan untuk tepung tawar
adalah beras kuning, pucuk daun sabang dan juaran (lenjuang) (Cordyline
fruticosa)—dengan batangnya, bertih, air beras, gunting atau sikin
(pisau dapur). Semua daun diikat menjadi satu; lotit, air tepung
beras, dan beras kuning masing-masing dimasukkan ke dalam mangkuk kecil yang berbeza.
Kemudian mangkuk-mangkuk tersebut diletakkan ke atas talam kecil (Hermansyah,
2006) . Di Kendawangan, Ketapang, peralatan tepung tawar terdiri dari air beras
yang ditumbuk halus, paku sebatang, daun andong-andong, daun reribu, keminting
sebutir dan uang logam Rp. 100. (Andi Lala 2007)
[7] Sesajian
itu berupa lalat dan panggang masing-masing 7 ekor, sesisir pisang Berangan,
nasing kuning, ayam, ketupat, dan air minum. terlihat dari luar rumah, terutama
dari pintu, maka pintunya harus selalu tertutup. Selain itu, di atas ayunan
ditaruh sebuah surah Yasin
[8] Biasanya dilakukan pada bulan Oktober-November
setiap tahun. Upacara ini terdiri dari pembacaan doa dan pemberian makanan
kepada penunggu gaib kampung. Upacara tersebut dilakukan di hulu kampung.
Makanan yang disiapkan terdiri dari nasi empat jenis (putih, hitam, merah, dan
kuning), 7 butir ayam kampung yang direbus, 3 sisir pisang Berangan, sirih
lengkap dan sebatang rokok nipah, kemenyan, minyak bau, bertih. Seluruh barang
tersebut diletakkan di ancak berupa daun pisang yang diletakkan di
tanah. Makanan ini dimaksudkan sebagai pemberian kepada penunggu kampung agar
menjaga keselamatan penghuninya. Selain itu, masyarakat peserta upacara membawa
makanan lain seperti ketupat dan pat lau lengkap dengan lauk pauknya. Setelah
dibacakan doa tolak bala semua peserta upacara memakan makanan yang dibawa dari
rumah-masing masing.
[9] Dipercayai
sebagai nama Malaikat
0 comments:
Post a Comment