Monday, March 5, 2012

BAB VII DAMAI DAN TOLERANSI

A. Pendahuluan

 Sebagai pendahuluan, diajukan sebuah pertanyaan penting berkaitan topik ini; ” Mengapa sulit membangun perdamaian dan toleransi beragama ?. Jawabannya adalah karena telah terjadi politik  agama. Salah satu penjelasan yang dapat diterima bahwa semua fenomena sosial dan politik, termasuk tindakan politik agama, bermula dari pikiran manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, maka upaya untuk menemukan penyebab dasar  politik agama dipusatkan pada faktor kepentingan individu dan kelompok yang memobilisir psikologis orang atas dasar agama. Biasanya perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan menjadi pintu masuknya.
Secara ringkas, argumennya adalah bahwa politik pada aras komunitas itu terjadi karena perasaan yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam wujud       relative deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara  value expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang diyakini sebagai hak) dengan value capability mereka ( yaitu barang-barang atau kondisi yang mungkin akan mereka peroleh atau kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-barang dan kondisi yang mereka inginkan).
Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi (Gurr:1970). Jika intensitas kekecewaan semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elite, maka kekerasan politik yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang canggih. Dengan kata lain kekecewaan masyarakat  terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan berdasarkan agama. Namun, timbul pertanyaan ketika membaca Gurr. Apakah kerusuhan yang timbul di Maluku dan Kupang hanya sekedar cerminan kekecewaan material?
Apakah tidak ada persoalan yang bersifat non material ? Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditemukan pada teori tentang “Religious- nationalism” yang para pendukungnya terbagi dua aliran. Para teorisasi Religious nationalism  yang beraliran Primordialist mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik  berbasiskan agama muncul sebagai manifestasi dari tradisi kultural yang berdasarkan pada perasaan identitas primordial keagamaan. Dalam tradisi teoritik ini, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas  kultural itu, seperti ungkapan kita dan mereka, kemurnian ajaran agama, bahaya misionaris atau dakwah dan sebagainya. Sebaliknya, para teorisi religious – nationalism yang beraliran      situasionalist-instrumentalist menafsirkan gerakan komunal agama itu sebagai respon terhadap pilih kasih serta ancaman terhadap eksistensinya.
Jadi, dalam kerangka pemikiran kaum instrumentalist ini, isu agama merupakan sesuatu yang bisa dikondisikan, oleh kelompok-kelompok komunal maupun elitenya. Dengan demikian, mereka berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk memberikan tanggapan terhadap situasi dan relasi yang tidak adil dari aktor lain, baik negara maupun kelompok komunal lainnya. Penggunaan simbol-simbol agama itu di dasarkan  pada alasan praktis, yaitu sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional.  Pemikiran kalangan instrumentalist mirip dengan pendapat Charles Tilly (1978), yang melihat gerakan politik sebagai hasil dari kalkulasi para elite yang memobilisasi sumber daya kelompok untuk menanggapi peluang politik yang  berubah.
Dengan kata lain,  kekerasan politik terjadi bukan karena ekspresi emosional masyarakat, tetapi merupakan tindakan rasional atau tindakan instrumental untuk mencapai kepentingan politik tertentu. Ringkasnya, kekerasan politik merupakan hasil kalkulasi politik. Berdasarkan alur pemikiran di atas dapat dikatakan terdapat dua kubu tentang penyebab kekerasan. Kubu    pertama, kelompok teoritisi yang berpendapat  bahwa tindakan kekerasan merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kubu kedua, para pendukung argumen instrumentalist yang menyatakan bahwa tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi strategi  dan keputusan taktis. Untuk memberi jembatan teoritik terhadap dua kubu tersebut, kita bisa kembali pada pendapat    Theda Scokpol, ketika Scokpol melakukan penelitian tentang revolusi yang bisa gunakan untuk analisis tentang  kelompok etnik dan komunal  yang aktif dalam politik.
Menurut Scokpol, mobilisasi politik akan ditentukan oleh dua faktor yakni Faktor pertama, adalah faktor yang memberi landasan  dasar  bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan para elite gerakan yakni berupa perasaan kecewa/ frustasi akibat perlakuan yang tidak adil serta perasaan identitas kelompok. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah dan identitas kelompok tidak cukup kuat, maka para elite gerakan komunal tidak  punya bahan/ sarana untuk menangapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompoknya. Sebaliknya kalau kekecewaan mendalam dan meluas, diimbangi dengan penguatan identitas  dan kepentingan kelompok, tersedialah kondisi bagi munculnya kekerasan kolektif.  Faktor kedua, adalah kemampuan untuk melakukan mobilisasi politik.
Perasaan  frustasi akan berhenti hanya pada tingkat perlawanan tersembunyi dan tidak  akan menimbulkan tindak kekerasan politik pada aras komunitas kalau tidak ada kemampuan komunitas untuk melakukan mobilisasi atas konflik yang terjadi. Mobilisasi itu berujud proses mendorong anggota kelompok atau masyarakat lainnya agar bersedia mengorbankan tenaga dan sumberdayanya untuk melakukan tindakan kolektif demi kepentingan komunitasnya. 



  1. Apa itu Damai
Menurut Wikipedia, sebuah ensiklopedia berbahasa Indonesia, konsep damai membawa konotasi yang positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian. Perdamaian merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Tiap orang memiliki pandangan berbeda tentang apakah damai itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan mungkinkah perdamaian benar-benar terjadi.

a.      Definisi Umum
Burung merpati dan daun zaitun sering digunakan sebagai lambang perdamaian. Damai memiliki banyak arti dan seringkali kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu.
Sebuah definisi yang sederhana dan sempit dari damai adalah ketiadaan perang. (bahasa untuk damai adalah Pax yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang). Dan lagi, dengan definisi ini, kita sekarang tinggal di zaman dunia damai, tanpa perang aktif antara negara-negara. Perawatan perdamaian yang lama antar negara merupakan kesuksesan besar dari PBB. Damai dapat terjadi secara sukarela, dimana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam keributan, atau dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang menyebabkan gangguan.
Kenetralan yang kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini memiliki sejarah perdamaian yang berkelanjutan terlama. Sejak invasi 1814 Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan kekerasan gaya-militer.

b.      Keberadaan keadilan
Membatasi konsep perdamaian hanya kepada ketiadaan perang internasional hanya menutupi genocide, terorisme, dan kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Hanya sedikit yang menggambarkan genocide yang terjadi di Kongo pada 1890-an sebagai sebuah contoh damai. Beberapa, oleh karena itu, mendefinisikan 'damai' sebagai ketiadaan kekerasan: tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan(evil).
Dan banyak juga yang percaya bahwa perdamaian tidak hanya ketiadaan dari kejadian sosial yang tragis. Dari sudut pandan ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King,Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat di mana suatu grup ditekan oleh grup lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian, karena penekanan ini juga merupakan bagian dari setan.
Beberapa pemikir perdamaian memilih membuat ide damai tunggal; dan mendorong ide banyak arti dari damai. Mereka berpiki tidak ada definisi tunggal yang benar tentang damai; damai, harus dilihat sebagai sesuat yang jamak. Contohnya, di Wilayah Danau Besar Afrika, kata damai adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara manusia, dan dunia alam lainnya, dan juga kosmos. Pandangan ini lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang" atau bahkan "kehadiran keadilan".
Banyak pemikir yang sama juga mengkritik ide damai sebagai harapan dan yang akan terjadi pada suatu hari. Mereka mengenal damai tidak harus sesuatu yang manusia harus capai "suatu hari". Mereka menganggap bahwa damai hadir, bila kita menciptakan dan mengembangkannya dalam cara yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan damai akan berubah secara terus menerus. Dalam beberapa hubungan, damai dapat menunjuk secara umum ke keadaan tenang - ketiadaan gangguan atau godaan.
Bagi orang yang sering bepergian ke daerah terpencil seringkali memperhatikan perbedaan antara tingkat kebisingan antara kota dan desa; oleh karena itu muncul istilah 'damai dan tenang'.

c.       Damai dalam diri

Satu arti dari damai menunjuk ke damai dalam diri; sebuah keadaan pikiran, badan, dan jiwa, yang dikatakan terjadi di dalam diri kita. Orang yang melakukan eksperimen dengan damai dalam diri mengatakan bahwa rasa ini tidak tergantung oleh waktu, orang, atau tempat, menekankan bahwa setiap individu dapat mengalami ketenangan dalam diri di dalam suatu peperangan.

d.      Apakah kekerasan diperlukan?

Ada banyak pandangan yang menganggap apakah kekerasan dan perang dibutuhkan. Pengikut jainisme, berusaha untuk tidak melakukan penderitaan bahkan kepada hewan dan pacifist seperti Kristen anarkis melihat segala kekerasan sebagai penahanan-diri. Kelompok lainnya memiliki pendirian mereka sendiri yang bermacam-macam. Dari Rev. Martin Luther  King.Jr, Surat dari penjara Birmingham menuliskan:

"True peace is not merely the absence of tension: it is the presence of Justice."

Dari Henry Timrod, dikenal dengan puisinya The Poet Laureate of the Confederacy, yang menulis puisi penuh kasih, isinya menceritakan banyak orang meninggal disebabkan Confederate Army dari perang saudara di wilayah Amerika itu. Tetapi setelah menyaksikan sendirinya kengerian dari peperangan, ia menulis doa tajam ini untuk kedamaian:

"Not all the darkness of the land, can hide the lifted eye and hand; Nor need the clanging conflict cease, to make Thee hear our cries for peace."



D.    Konsep Damai dan Toleransi Dalam Konteks Modal Sosial
Modal sosial  adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup bermasyarakat. Kita bisa membangun perdamaian dan toleransi salah satunya karena modal sosial. Menurut Fukuyama (2005;20) modal sosial berhubungan dengan “radius kepercayaan” antara kita dengan orang lain, atau dalam skala yang lebih luas antara orang dari suatu suku bangsa dengan orang dari suku bangsa lain. Semakin banyak dan semakin tinggi kadar modal sosial yang dimiliki dalam berinteraksi dengan pihak lain diyakini bahwa interaksi tersebut akan menciptakan sosial harmoni yaitu berupa damai dan toleransi.
Menurut  Fukuyama (2005:19-20) Modal sosial (sosial capital) dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di antara mereka. Substansinya terletak pada radius kepercayaan yang ada pada masyarakat. Pada tataran operasionalnya  berhubungan dengan: tradisi masyarakat, jaringan sosial, dan  pranata sosial yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Istilah modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda Judson Hanifan pada 1916-an untuk menggambarkan pusat masyarakat sekolah di pedesaan. Selanjutnya Jane Jacobs menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa jaringan sosial yang sangat padat yang terdapat di pemukiman urban yang lebih tua dan yang penggunaan lahannya beragam sebagai bentuk modal sosial yang mendorong ketertiban umum. James Coleman tahun 1980-an menghidupkan kembali istilah modal sosial dan mengatakan bahwa modal sosial adalah milik masyarakat dan bermanfaat bagi bagi masyarakat secara keseluruhan. (Fukuyama, 2005: 23-24).
   Proses pembentukan modal sosial oleh masyarakat berjalan rumit dan sering sulit. Pada umumnya, proses itu memakan waktu beberapa generasi. Modal sosial dapat dibuat melalui investasi langsung dalam pendidikan dan pelatihan-pelatihan.
Shils (dalam Sztompka, 2000:74-76) menegaskan bahwa manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka. Lebih lanjut Sztompka mengatakan bahwa tradisi adalah (1)  kebijakan turun-temurun, tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan, norma, dan nilai-nilai yang kita anut kini serta di dalam benda-benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi menyediakan fragment warisan historis yang kita pandang bermanfaat.(2) tradisi memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup , keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada; (3) tradisi menyediakan symbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok; (4) tradisi membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan terhadap kehidupan modern (2004:74-76).
Menurut Fukuyama (2005:270), tradisi penting sekali untuk memahami norma-norma karena orang sering bertindak bersadarkan kebiasaan, bukan atas dasar pilihan rasional.
                  Jaringan sosial berkenaan dengan hubungan antar manusia melalui norma-norma dan nilai bersama (Fukuyama, 2005:273). Kunjungan silaturahmi antar penduduk dapat dipakai sebagai contohnya. Selain itu jaringan sosial dapat diamati pula pada terbentuknya institusi-institusi local yang dibentuk masyarakat dan kepemimpinan yang mengurusinya.
Kepemimpinan local yang umum adalah yang merujuk pada  kepemimpinan tradisional yang informal. Menurut Slamet dan Velsink (dalam Antlov, 2001;46), tipe-tipenya adalah orang kuat setempat, dan  Kyai. Menurut Weber (dalam Kleden 2003;112) kepemimpinan ditentukan oleh legitimasinya. Ada tiga legitimasi tersebut yaitu: legitimasi tradisional, kharismatis dan rasional. Legitimasi tradisional adalah seorang pemimpin diterima karena kewibawaan dan rasa hormat kepada asal-usulnya. Legitimasi kharismatis adalah seorang menjadi pemimpin karena pembawaan, bakat, dan keunggulan-keunggulan istimewa pribadinya sedangkan legitimasi rasional adalah seseorang diakui sebagai pemimpin berkat kecakapannya dalam bekerja dan mengatasi persoalan dan juga berkat hasil kerjanya yang didukung oleh cara, metode, system, dan prosedur yang rapi dan baku.
Institusi lokal  merupakan bagian dari kesejarahan dan organisasi rakyat yang masih hidup. Adat  menurut Koentjaraningrat (2000:10-11) adalah wujud ideel dari kebudayaan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu (1) nilai budaya, (2) norma-norma, (3) hukum, (4) aturan khusus.  Institusi adat merujuk kepada norma karena berkait dengan peranan dalam masyarakat. Institusi adat menjadi penting karena didalamnya terkandung model kepemimpinan lokal dengan sistem kekuasaan yang melekat padanya. Alat kekuasaan ini lebih bersifat moral spiritual yaitu pada keyakinan pada hubungan-hubungan yang seimbang antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam dan hubungan yang seimbang antara manusia dengan penciptanya. Institusi adat yang menempatkan dirinya pada ranah moral spiritual menyebabkan institusi ini masih hidup di komunitas . Kepemimpinan dalam institusi ini tidak hanya mempertahankan kepercayaan orang banyak, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri institusi ini.
                  Pranata (institution) adalah  suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat (Koentajaraningrat, 2000:14). Lebih lanjut di jelaskannya bahwa komponen-komponen pranata sosial dapat digambarkan sebagai berikut:



Diagram 1: Bagan  Komponen-komponen dari Pranata Sosial

Di dalam kehidupan masyarakat, pranata sosial yang merupakan alat untuk mengatur perilaku kehidupan anggota masyarakatnya adalah Hukum adat. Pospisil (dalam Koentjaraningrat, 2000:22-23) mengatakan bahwa hukum adat adalah:
suatu aktivitas pengawasan sosial, yang harus memenuhi empat attributes of law yaitu: (1) attribute of authority yang merujuk kepada adanya suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat untuk membuat keputusan-keputusan terhadap ketegangan sosial; (2) attribute of intention of universal application. Attribute ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dimaksudkan sebagai keputusan yang berjangka panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang akan datang; (3) attribute of obligation, attribute ini menjelaskan bahwa keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban  dan hak-hak para pihak yang bersengketa; (4) attribute of sanction, attribute ini berkenaan dengan  keputusan-keputusan dari pihak berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.


Toleransi
            Menyikapi kecenderungan munculnya konflik di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat yang majemuk ini, maka perlu beberapa hal penting yang harus dilakukan secara baik dan praktis. Hal-hal yang perlu dilakukan tersebut selanjutnya disebut strategi.
Strategi-strategi ini diawali dengan  sikap toleransi dan gagasan membangun relasi yang baik antar tokoh agama dan masyarakat, kemudian dilanjutkan dengan menghadapi konflik laten serta konflik terbuka. Berikut ini beberapa strategi praktis yang mungkin dilakukan sebagai upaya membangun perdamaian pada semua lapisan masyarakat, khususnya membangun toleransi antaragama dan antaretnis.
Toleransi berarti membiarkan, menerima adanya perbedaan, baik untuk sementara maupun dalam waktu lama. Toleransi menjadi hak tiap warga nagara untuk diperlakukan setara tanpa memperhitungkan lagi latar belakang agama, etnisitas atau pun sifat-sifat spesifik yang dimiliki seseorang. Yang memberi jaminan terwujudnya toleransi tidak lagi orang per orang atau kelompok tertentu terhadap yang lain, melainkan institusi Negara. Di bawah payung konstitusi setiap orang atau kelompok mempunyai hak sama untuk mewujudkan diri tetapi sekaligus mempunyai kewajiban yang sama pula.

Strategi-strategi yang bisa menumbuhkan toleransi di beberapa situasi
1.   Membangun kepercayaan antara tokoh agama
Banyak kegiatan antariman yang terprogram dan bersifat publik tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, terutama di daerah yang komunikasi antara para tokoh agama tidak berlangsung dengan baik. program-program antariman banyak yang tidak mungkin dilaksanakan karena tidak adanya dukungan dari para tokoh tersebut. Maka sangat diperlukan tumbuhnya relasi pribadi dan saling percaya di antara tokoh-tokoh tersebut. Proses membangun kepercayaan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah berikut ini:
1.      Adanya kelompok inti antar iman yang bertindak sebagai inisiator, pelobi, dan penghubung.
2.      Menentukan sejumlah tokoh agama yang:
a.       Mewakili semua dari agama yang ada
b.      Mempunyai pengaruh kuat baik di dalam komunitasnya dan/atau dalam masyarakat.
3.      Melakukan pendekatan ke pribadi masing-masing tokoh oleh anggota kelompok antariman dari agama yang sama.
4.      Mendengarkan keinginan/harapan maupun keberatan dari masing-masing tokoh mengenai kemungkinan kontak dengan tokoh dari agama yang lain.
5.      Mencari titik temu dari harapan-harapan tersebut dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang ada.
6.      menyerahkan keputusan mengenai tema pembicaraan, waktu dan kegiatan kepada para tokoh sesudah mengkomunikasikan penyatuan harapan dan keberata.
7.      Mendorong perjumpaan yang bersifat pribadi antara tokoh dalam jumlah terbatas (Dua sampai empat orang).
8.      Mengusahakan agar perjumpaan semacam ini berlangsung secara teratur, kalau perlu dua sampai tiga bulan sekali.
9.      kesempatan yang terkait dengan acara-acara kekeluargaan dapat dimanfaatkan sebagai alasan pertemuan.
10.  Hindarkan publikasi yang dapat menyudutkan posisi para tokoh dalam komunitasnya sendiri maupun masyarakat luas kalau situasi belum memungkinkan.

2. Promosi toleransi di daerah rawan konflik
Untuk mempromosikan toleransi di daerah yang rawan konflik atau dalam konteks konflik laten  disarankan sebagai berikut:
  1. Membangun hubungan baik antara tokoh agama/masyarakat
  2. Mensosialisasikan wawasan pluralisme dan toleransi, dalam bentuk kegiatan, misalnya:
a.       Seminar
b.      Diskusi kelompok
c.       Bedah buku
  1. Pengembangan kepekaan pluralisme dalam tindakan toleransi, misalnya:
a.       Lokakarya “Aksi tanpa kekerasan”.
b.      Pelatihan
c.       Perkemahan pemuda lintas iman dan etnis
  1. Membudayakan toleransi dalam tindakan dan aksi sosial yang dilaksanakan secara bersama, misalnya:
a.       Aksi sosial
b.      Donor darah
c.       Pemberian gizi balita
d.      Menangani dan merespon persoalan secara bersama

3. Promosi toleransi dalam konteks konflik terbuka
Dalam situasi konflik terbuka seperti di Kalimantan Barat, program-program yang sebaiknya dilakukan secara garis besar terbagi dua yaitu: Program tanggapan darurat dan program pendidikan dan penyadaran. Program tanggapan darurat semestinya dilakukan sebagai tahap awal karena kita tidak mungkin mendiskusikan akar konflik dan usaha-usaha pengelolaannya tanpa melalui program ini. Sedangkan program pendidikan dan penyadaran dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir laju konflik yang terjadi.

Program Tanggap Darurat
Dimensi dan cakupan kegiatan tanggap darurat sangatlah luas dan akan sangat tergantung kebutuhan situasi dan korban. Namun, dalam konteks upaya antaragama dan antaretnis program tanggap darurat dapat menjadi pintu masuk bagi mempromosikan kembali pentingnya bekerja dan hidup bersama, meski efektivitasnya sulit di ukur karena situasi yang sangat rentan.
Untuk melakukan program ini, mulai dari proses assessment hingga evaluasi, kelompok merujuk dan menunjuk organisasi-organisasi seperti instansi-instansi PBB (Organisasi yang bernaung di bawah PBB seperti UNICEF, WFP, OCHA), Church World Service (CWS) yang telah megembangkan pedoman bahasa Indonesia, Catholic Relief Services (CRS) (Manual dan Pedoman untuk Tanggap Darurat, termasuk assessment), serta beberapa Ornop lainnya.

A.    Program Pendidikan dan Penyadaran
1.      Pelatihan trauma konseling
Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
a.       Rekruitmen peserta sebanyak 25 orang. Terdiri dari 20 orang dari dua komunitas yang berkonflik dan lima orang staf lapangan.
b.      Dilaksanakan selama enam hari
c.       Materinya seputar hal-hal tentang pemahaman dasar dan ciri-ciri korban trauma dan metode penyembuhannya, media/alat untuk penyembuhan trauma, pelayanan psikososial dan sebagainya.
Prasyarat:
a.       Pesertanya melibatkan korban dari kalangan pemuda, tokoh agama, ibu-ibu, tim medis lokal dan staf lapangan.
b.      Dilaksanakan di luar wilayah konflik
c.       Fasilitator harus melibatkan orang yang menguasai lapangan, psikiater, dan psikolog.
d.      Sudah ada program sebelumnya sebagai entry point (Biasanya tanggap darurat).

2.      Rehabilitas mental
Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
a.       Diskusi informal antar kampung untuk dewasa yang difasilitasi oleh fasilitator yang telah mengikuti pelatihan trauma konseling.
b.      Untuk anak-anak dilakukan dengan metode bermain seperti melukis, lomba-lomba, dan sebagainya.
Prasyarat:
Peserta harus melibatkan semua level yakni dari anak-anak sampai dewasa.

3.      Diskusi non-formal interkomunitas agama dalam satu wilayah tentang pengelolaan konflik
Langkah-langkah dan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.       Diskusi  dalam komunitas agama di satu wilayah
b.      Diskusi dengan tokoh-tokoh lokal, dilakukan dua kali dalam seminggu.
c.       Perlu adanya fasilitator
Prasyarat:
Diskusi harus melibatkan korban

4.      Diskusi non-formal antar komunitas agama dalam wilayah-wilayah yang berbeda tentang pengelolaan konflik.
Langkah-langkah dan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.       Diskusi dari wilayah satu ke wilayah lain dalam satu komunitas agama
b.      Dilakukan dua kali sebulan
c.       Perlu adanya fasilitator

5.      Diskusi non-formal antar komunitas agama yang berbeda dari wilayah-wilayah yang berbeda tentang pengelolaan konflik.
Langkah-langkah dan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.       Memilih perwakilan dari tiap komunitas agama
b.      Peserta terdiri dua pihak yang bertikai
c.       Tempat diskusi ditentukan sesuai dengan kesepakatan dua komunitas
d.      Tema disepakati terlebih dahuku
e.       Dilakukan secara fleksibel, tergantung situasi
Prasyarat:
Situasi dan kondisi sudah memungkinkan

6.      Penerbitan media informasi dan komunikasi
Langkah-langkah dan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a.       Bentuknya dapat berupa koran, brosur, poster atau stiker.
b.      Data-data berasal dari hasil diskusi yang dilakukan dalam semua jenis diskusi diatas.
c.       Dilakukan analisis dan dielaborasi labih jauh dengan berbagai referensi tambahan.
d.      Diterbitkan dan disebarluaskan ke semua komunitas agama.
e.       Penerbitan satu kali dalam sebulan.


Prasyarat:
a.       Brosur, poster, dan stiker berisi pesan-pesan perdamaian, pluralisme, toleransi, dan seterusnya.
b.      Isi tulisan dalam koran tidak menyinggung salah satu komunitas agama.


Analisis dan Refleksi Realitas Sosial

Ketika argumen teoritis bahwa suasana damai dan toleransi tidak tercapai karena telah terjadi politik agama. Maka pertanyaan berikutnya adalah apa yang mendorong hal tersebut? Apa yang menimbulkan adanya perasaan kecewa serta menguatnya identitas kelompok ?   Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sangat panjang dan variatif. Namun, setidaknya ada beberapa ekplanasi untuk itu.           Pertama, seberapa parah tingkat perbedaan ekonomi, keterbelakangan sosial dan penderitaan kolektif  kelompok  komunal tersebut dibandingkan kelompok-kelompok yang lain. Semakin besar perbedaan kondisi antar kelompok semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin kokoh persepsi bahwa mereka mempunyai kepentingan bersama untuk tindakan kolektif.  Kedua,           ketegasan identitas dan      kohesi  kelompok.
Kekuatan untuk mengartikulasi kekecewaan akan tergantung pada kekuatan identitas dan mobilisasi kelompok. Dengan demikian, perumusan simbol-simbol bersama dan  upaya untuk merumuskan perbedaan yang tegas antara kita dan mereka menjadi faktor yang kondusif bagi gerakan politik. Semakin besar perbedaan dalam hal-hal yang simbolik maka semakin besar potensi untuk terjadinya konflik. Salah satu pemicu penguatan frustasi dan identitas kelompok adalah terbentuknya struktur sosial yang terkonsolidasi. Konfigurasi sosial disebut terkonsolidasi apabila pemilihan sosial yang berdasarkan parameter nominal (suku-agama) jumbuh dengan pemilihan sosial berdasarkan ekonomi dan struktur okupasi. Misalnya, suku A, umumnya memeluk agama A, dan sebagain besar menguasai struktur ekonomi A.  Sebaliknya, ada suku B, yang beragama B dan menguasai sektor ekonomi B. Bahkan di beberapa  daerah di Indonesia, seperti NTT, Kalimantan Barat dan Maluku,  struktur okupasi (pekerjaan) melekat  pada agama dan etnis tertentu.  Dengan demikian struktur ekonomi dan peta demografi menjadi suatu penjelasan yang penting dalam menyelesaikan kondisi-konsisi yang melatarbelakangi perasaan frustasi dan penguatan identitas.
Kasus tragedi Maluku  merupakan contoh yang gambang tentang hal ini. Maluku, khsususnya Ambon, sejak jaman kolonial  terbangun dalam pemilahan sosial  yang terbangun atas dasar agama. Perbedaan agama muncul tidak hanya sebagai perbedaan identitas akan tetapi menjadi sebuah perbedaan ruang. Ada kampung yang disebut kampung muslim, sebaliknya ada kampung Kristen. Pemilihan sosial ini juga terjadi dalam  lapangan pekerjaan, birokrasi dikuasai oleh Kristen sedangkan Perdagangan dikuasai oleh Muslim.  Sejak Orde Baru, terjadi perubahan konfigurasi sosial secara demografis akibat proyek modernisasi sosial-ekonomi. Keseimbangan yang sbelumnya terbangun menjadi tergoyahkan terutama sebagai akibat arus migrasi. Migrasi ke Ambon semakin meningkat tiga puluh tahun belakang ini dan menyebabkan hadirnya etnis Bugis Makasar dan Buton mengisi kekosongan struktur ekonomi Ambon. Mobilitas vertikal juga terjadi di kalangan komunitas Muslim sehingga banyak kalangan Muslim yang mengisi jabatan-jabatan publik serta menguasai sektor ekonomi. 
Perubahan komposisi sosial-ekonomi inilah yang kemudian menimbulkan kelompok yang menjadi “ the winner “ dan the looser” dan mengkondisikan frustasi sosial dan penegasan identitas kelompok. Seperti yang disampaikan dalam data tentang karakteristik kekerasan maka pengruskan Mesjid atau gereja akan terjadi di daerah dimana laju pertumbuhan antara minoritas dan mayoritas tidak seimbang. Penguatan identitas juga dipicu oleh modernisai yang justru melahirkan anak haram berupa militansi dan fundamentalisme yang melawan  sekularisme modernisme. Identitas teraktualisasi dalam istilah Obet dan Acang. Fondasi konflik yang sudah terbentuk kemudian menjadi konflik yang manifest ketika elite kedua kelompok komunal memobilisasi komunitasnya untuk  melakukan tindakan kolektif melalui sejumlah strategi.
Konflik agama bukan konflik identitas          an sich, dengan memperhatikan perubahan demografik dan ekonomi, mobilisasi politik elite dan  lain-lainnya, tetapi ada beberapa hal yang turut menjadi perhatian  teruatama dari argumen kaum Substantifis maupun Schumpeterian. Bahwa,  konflik tidak akan menjadi sebuah kekerasan politik apabila demokrasi secara prosedural dan substantif bisa bekerja. Elemen apakah yang membuat  demokrasi bisa bekerja ? Belajar dari pengalaman Putnam dalam mengkaji bekerjanya demokrasi di Italia maka modal sosial (social capital) justru menjadi elemen yang penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan kemampuan organisasi, jaringan dan kelembagaan sosial dan warga dari institusi tersebut di dalam mengontrol dan membentuk pertukaran sosial yaitu distribusi kekuasaan politik dan sumberdaya ekonomi antar individu atau kelompok dalam masyarakat.  Dalam konsepsi Putnam, modal sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian asosiasi-asosiasi horisontal  antar warga yang di dalamnya terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma- norma terkait yang mempunyai pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas.
Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi komunitas dalam mewujudkan kehidupan sosial. Semakin banyak asosiasi horsontal dan bakan interaksi antar asosiasi dan warga dalam  komunitas maka semakin tinggi warga mempunyai kemampuan dalam  menerapkan demokrasi.  Modal sosial merupakan suatu kekuatan untuk mewujudkan komunitas humanistik yang dalam bahasa Putnam disebut komunitas warga (civic community). Menurut Putnam, kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis karena dalam komunitas seperti itu selalu terlembaga; kesepakatan-kesepkatan, keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan (truste), toleransi serta struktur sosial yang kooperatif antar warga. Dengan demikian demokrasi substansi muncul apabila adanya perasaan tolerasi, saling menghargai dan mempercayai (mutual trust) satu sama lainnya.
Tentusaja ada pertanyaan lanjutan yang cukup sulit setelah itu; bagaimana mengembalikan            mutual trust yang sempat goyah akibat pertikaian antar komunitas Agama? Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Namun, ada beberapa usaha yang bisa dibangun untuk menrintis kembali mutual trust antar komunitas Agama;            pertama, mengembalikan mutual trust akan tergantung pada kemampuan kita untuk meretas rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini sangat dekat hubungannya dengan proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Sehingga, untuk membangun saling kepercayaan antar komunitas agama diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) di masalalu dan bahkan bersedia untuk meminta maaf atas  kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah.7 Proses ‘melupakan’ itu juga harus diikuti dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis  yang terjadi dalam sejarah, baik dilihat dari kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. Kedua,         mutual trust akan bisa terbangun apabila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas agama tentang berbagai isu yang dianggap sensistif. Dalam dialog emansipatoris, lebih didasarkan pada keterbukaan, keseteraaan, pembebasan dan tidak dipenuhi oleh apa yang sering disebut dengan prasangka  dan stereotype.Ketiga,      mutual trust akan bisa terbangun apabila ada ‘proyek bersama’ di masa depan yang ingin diwujudkan. Di jaman revolusi kemerdekaan, berbagai komunitas agama bisa bersatu karena harus mewujudkan negara-bangsa yang bebas dari kolonialisme maka pada masa kekinian, komunitas agama seharusnya bersatu dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan yang harus dihadapi.           
Sedangkan demokrasi prosedural berupa kesepakatan kelompok yang bertikaian untuk menggunakan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan persoalan. Kesepakatan ini bisa benbentuk pelembagaan konflik melalui institusi tradisional seperti adat  (Pella Gandong) maupun pembentukan zone-zone netral, seperti pasar dan kepentingan publik lainnya. Pelembagaan konflik melalui institusi – institusi sekarang ini dipertanyaan ketika kredibilitas institusi tersebut merosot di depan publik. Birokrasi, Militer, Pengadilan dan bahkan institusi mengalami krisis legitimasi dan kredibilitasnya. Dengan pula dengan Zone-zone netral semakin berkuarang dengan adanya pasar yang dibentuk berdasarkan agama. Dari mana resolusi konflik harus di mulai ?





INTISARI
Konsep damai membawa konotasi yang positif; hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian. Perdamaian merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Tiap orang memiliki pandangan berbeda tentang apakah damai itu, bagaimana mencapai kedamaian, dan mungkinkah perdamaian benar-benar terjadi.

Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu.

Ketiadaan perang
Sebuah definisi yang sederhana dan sempit dari damai adalah ketiadaan perang. (bahasa untuk damai adalah Pax yang didefinisikan sebagai Absentia Belli, ketiadaan perang). Dan lagi, dengan definisi ini, kita sekarang tinggal di zaman dunia damai, tanpa perang aktif antara negara-negara. Perawatan perdamaian yang lama antar negara merupakan kesuksesan besar dari PBB. Damai dapat terjadi secara sukarela, dimana peserta perang memilih untuk tidak masuk dalam keributan, atau dapat dipaksa, dengan menekan siapa yang menyebabkan gangguan.
Kenetralan yang kuat telah membuat Swiss terkenal sebagai sebuah negara yang mempertahankan perdamaian sejak lama. Swedia sekarang ini memiliki sejarah perdamaian yang berkelanjutan terlama. Sejak invasi 1814 Norwegia, Kerajaan Swedia tidak melakukan kekerasan gaya-militer.


Keberadaan keadilan
Membatasi konsep perdamaian hanya kepada ketiadaan perang internasional hanya menutupi genocide, terorisme, dan kekerasan lainnya yang terjadi dalam negara. Hanya sedikit yang menggambarkan genocide yang terjadi di Kongo pada 1890-an sebagai sebuah contoh damai. Beberapa, oleh karena itu, mendefinisikan 'damai' sebagai ketiadaan kekerasan: tidak hanya ketiadaan perang, tapi juga ketiadaan setan(evil).
Dan banyak juga yang percaya bahwa perdamaian tidak hanya ketiadaan dari kejadian sosial yang tragis. Dari sudut pandan ini, perdamaian tidak hanya ketiadaan kekerasan tapi juga kehadiran keadilan, seperti yang digambarkan oleh Martin Luther King,Jr. Dalam konsepsi ini, sebuah masyarakat di mana suatu grup ditekan oleh grup lainnya juga merupakan ketiadaan kedamaian, karena penekanan ini juga merupakan bagian dari setan.


Perdamaian jamak
Beberapa pemikir perdamaian memilih membuat ide damai tunggal; dan mendorong ide banyak arti dari damai. Mereka berpiki tidak ada definisi tunggal yang benar tentang damai; damai, harus dilihat sebagai sesuat yang jamak.
Contohnya, di Wilayah Danau Besar Afrika, kata damai adalah kindoki, yang menunjuk kepada keseimbangan yang harmonis antara manusia, dan dunia alam lainnya, dan juga kosmos. Pandangan ini lebih luas dari damai yang berarti "ketiadaan perang" atau bahkan "kehadiran keadilan".
Banyak pemikir yang sama juga mengkritik ide damai sebagai harapan dan yang akan terjadi pada suatu hari. Mereka mengenal damai tidak harus sesuatu yang manusia harus capai "suatu hari". Mereka menganggap bahwa damai hadir, bila kita menciptakan dan mengembangkannya dalam cara yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan damai akan berubah secara terus menerus.

Damai dan tenang
Dalam beberapa hubungan, damai dapat menunjuk secara umum ke keadaan tenang - ketiadaan gangguan atau godaan.
Bagi orang yang sering bepergian ke daerah terpencil seringkali memperhatikan perbedaan antara tingkat kebisingan antara kota dan desa; oleh karena itu muncul istilah 'damai dan tenang'.

Damai dalam diri
Satu arti dari damai menunjuk ke damai dalam diri; sebuah keadaan pikiran, badan, dan jiwa, yang dikatakan terjadi di dalam diri kita. Orang yang melakukan eksperimen dengan damai dalam diri mengatakan bahwa rasa ini tidak tergantung oleh waktu, orang, atau tempat, menekankan bahwa setiap individu dapat mengalami ketenangan dalam diri di dalam suatu peperangan.


BACAAN LANJUT
Anyang, Thambun YC. 1998,  Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman Kalimantan Dalam Arus Modernisasi, Gramedia, Jakarta.
Barker, Chris. 1999. Cultural Studies, Teori dan Praktek, Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.
Budiardjo,  Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Burhanuddin. 1988. Streotipe Enik Asimilasi,integrasi Sosial,Yayasan Ilmu-Ilmu sosial, Jakarta: Pustaka Grafika.
Coomans, Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Davidson,  Jamie S. 2003. politik primitif : pasang surut partai persatuan dayak di                Kalimantan Barat, Indonesia, Diterjemahkan dari “Primitive” Politics: The Rise and Fall of Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia, Asia Research Institute Working Paper Series No. 9. August 2003. www.ari.nus.edu.sg/pub/wps.htm.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 2005. Pendidikan Multikultur, Jakarta: CV Karya Agung.
Thomas Santoso,        Potret Kekerasan Politik- Agama dalam Era Reformasi,Lokakarya Flienders-FISIPOL UGM, 2000.
Theda Scokpol, Negara dan Revolusi Sosial, Penerbit Erlangga, 1991.


BAHAN BACAAN
HUBUNGAN ETNIK MELALUI TRADISI LISAN
PENDAHULUAN
Sebagai dampak dari modernisasi utamanya banyaknya stasiun televisi di Indonesia yang menayangkan sinetron, tradisi lisan dalam budaya Dayak mengalami kemunduran serius. Budaya pantun dan singara (bercerita) sudah sangat jarang terjadi. Pada 20 tahun yang lalu ketika penulis masih remaja, pantun menjadi model komunikasi ketika seorang pemuda Dayak akan melamar perempuan Dayak. Utusan kedua mempelai akan saling berbalas pantun dalam menyampaikan maksud pertemuan mereka. Pada masa itu seluruh tahapan acara perkahwinan diwarnai tradisi lisan yang sangat kental. Pada masa ini tidak lagi dijumpai hal demikian dalam perkahwinan Dayak. Pada masa kini, tradisi lisan yang masih terus bertahan adalah pada acara perdukunan/bomoh dan dunia roh/dunia magic.
Tidak boleh ditolak kenyataan bahawa sampai hari ini dukun atau bomoh masih memiliki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat. Aktiviti bomoh ini tidak ekslusif yang bermakna bahawa semua orang dari pelbagai etnik dan agama boleh pergi ke tempatnya untuk berubat, dengan demikian bomoh berperan penting merapatkan hubungan etnik. Modenisasi walaupun telah menjejaskan praktik bomoh ini tetapi masyarakat pada kawasan pedalaman masih percaya bahawa bomoh memiliki kemampuan penyembuhan penyakit yang puncanya  alam roh. Penulis menemukan data bahawa pada setiap kampung di daerah ini memiliki bomoh sekurang-kurangnya 4 orang. Di Selakau justeru lebih banyak lagi iaitu 14 orang. Kemampuan mereka yang patut dikangumi  bahkan oleh dokter moden sekalipun ialah pengobatan patah tulang. Kemampuan lainnya amnya berhubung kait dengan alam roh.

            Tradisi lisan yang dijalankan oleh para bomoh Dayak  ketika menjalankan pengubatan bomoh dan dunia roh secara am dipengaruhi oleh budaya Melayu. Perkataan Bismillah….. selalu merupakan kata-kata awal yang diucapkan oleh bomoh Dayak ketika acara pengubatan dimulai. Sementara itu untuk keperluan dunia roh dan Magic, orang Dayak selain menghapal ayat-ayat bernuansa Melayu juga menyimpan manuskrip-manuskrip yang ditulis dalam bahasa Arab. Keadaan demikian  cukup unik mengingat mereka menganuti agama Kristian.

            Pertikaian  dan rusuhan bernuansa etnik yang kerap berlaku di Kalimantan Barat juga memiliki andil yang besar pada orang Dayak untuk menguasai kembali ilmu-ilmu magic, yang dengan demikian meningkatkan peran tradisi lisan itu sendiri.

            Selain itu peran agama Kristian juga cukup penting, kecuali kristian Protestan. Agama Kristian Katolik memberikan tempat bagi berkembangnya tradisi lisan ini. Semua budaya Dayak berikutan tradisi lisannya dapat terus dijalankan walaupun orang Dayak menganuti agama katolik. Oleh itu adalah biasa seseorang yang menganuti agama Katolik juga menjalankan dan mengekalkan budaya dayak. Pada masa kini sering terdengar kata-kata inkulturasi iaitu sebuah kata yang bermakna memasukan unsur-unsur budaya lokal dalam upacara doa dalam kalangan agama katolik.
Tradisi lisan adalah cerita dan non cerita yang dituturkan secara langsung oleh nenek moyang suku Dayak secara turun temurun. Tradisi lisan ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Dayak, sebab dari tradisi lisan inilah dapat diketahui pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat Dayak. Selain itu dalam tradisi lisan ini mengandung filsafat, etika, moral, estetika, sejarah, seperangkat aturan adat, ajaran-ajaran agama asli Dayak, ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta hiburan rakyat. Bagi suku Dayak tradisi lisan menghubungkan generasi masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.

KERANGKA KONSEPTUAL

Apabila membincangkan tentang tradisi lisan ,  persoalan pokok yang dibincangkan adalah sosio budaya sesuatu masyarakat. Dalam perkara ini yang dibincangkan meliputi cara hidup dan sikap sesebuah masyarakat itu terhadap sesuatu perkara seperti pendidikan, ekonomi, politik, seni dan adat istiadat. Budaya yang masih terpelihara adalah warisan tradisi yang sudah menjadi darah daging seperti kenduri kendara, majlis perkahwinan dan sebagainya yang memerlukan penglibatan saudara mara serta amalan tolong-menolong. Kamus Dewan Edisi Keempat 2005 mendefinisikan sosiobudaya sebagai hubungan masyarakat dengan budaya. Hubungan ini adalah seperti cara hidup, adat istiadat dan lain lain. Seterusnya Anwar Din (2008:33) menyatakan budaya itu tercakup di dalamnya tentang cara hidup sesuatu masyarakat, tamadun, peradabannya dan kemajuan akal budinya. Dan pengertian cara hidup itu pula, mencakup hal-hal tentang cara berfikir, adat istiadatnya, kesenian dan hal-hal mengenai kehidupan mereka seperti cara berekonomi, cara berpolitik, cara belajar dan lain-lain. Budaya adalah sesuatu nilai dan pegangan hidup, gabungan dua unsur budi (sesuatu yang luhur, murni dan suci) dan daya (keupayaan, kemampuan dan kekuatan yang terangkum di dalam akal, jasmani dan rohani). Kekuatan akal semata-mata tanpa kekuatan jasmani tidak boleh melahirkan bangsa yang maju, positif dan boleh memenuhi perubahan dalam semua aspek kehidupan. Kebudayaan adalah tanda bahawa manusia boleh berfikir, mempunyai perasaan dan daya cipta. Daya cipta dalam hal ini termasuklah tradisi lisan.

Teori fungsional yang dikemukakan oleh O’dea (1987:3) adalah sebagai kerangka acuan penelitian empiris, yang memandang masyarakat sebagai suatu institusi social yang berada dalam keseimbangan, yang mempolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Institusi social yang konfleks secara keseluruhan merupakan system social sedemikian rupa yang pada setiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua bagian lain, sehingga perubahan pada salah satu bagian akan mempengaruhi bagian lain, yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi sistem keseluruhan.

Adapun “sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup” (Koentjaraningrat, 1969: 18). Dalam kehidupan bermasyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap, di mana  keduanya menentukan pola-pola tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian  terpadu dalam etika-moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat sopan-santun yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur tata-tertib kehidupan bermasyarakat. Adat-istiadat menetapkan bagaimana seharusnya warga masyarakat bertindak secara tertib.
Nilai budaya daerah tentu saja bersifat partikularistik, artinya khas berlaku  umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu. Sejak kecil “individu-individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya masyarakatnya, sehingga konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam mentalitas mereka dan sukar untuk digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat” (Koentjaraningrat, 1969: 18). ). Sehubungan dengan itu, di dalam manifestasinya secara konkret nilai budaya itu mencerminkan stereotaip tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun,  bertindak pelan-pelan lembah manah (low profile) , halus tutur katanya dan sebagainya. Kekhasan nilai budaya daerah dan perilaku praktisnya itu tentu saja secara relatif berbeda dengan kekhasan nilai budaya suku bangsa lain, hal demikian tergambar dalam tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Tradisi lisan merujuk kepada segala bentuk warisan dan tradisi yang lahir dalam sesuatu kelompok masyarakat. Penyampaian tradisi ini berbentuk perantaraan lisan. Ia merupakan satu cara masyarakat menyampaikan sejarah lisan, kesusteraan, perundangan dan pengetahuan lain menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan. Tradisi lisan menurut Muji Sutrisno (2008:1) merupakan salah satu cara seseorang mengembangkan dirinya dalam kebudayaan. Seterusnya beliau mengatakan ketika tuturan dan wacana serta yang umumnya disebut diskursus menjadi tempat berekspresi, disitulah orang menyusun pengetahuan dan menghayati norma atau nilai dalam etos ataupun estetika. Tradisi adalah ruang budaya dimana ia merupakan rahim tempat belajar hidup, bersikap dan memaknai realitas dari warisan yang diterima dalam pepatah, gurindam, peribahasa dan seni-seni bernafaskan ajaran hidup baik dan hidup bahagia. Tradisi lisan merupakan ruang ekspresi lisan dan wacana sebelum ditulis dalam tradisi tulisan.




TRADISI LISAN  DAYAK KONTEMPORER

Secara umum, kebudayaan Dayak  dan tradisi lisannya dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha. Orang Dayak Selako misalnya percaya kepada Tuhan yang mereka sebut sebagai Jubata , ada juga yang menyebutnya Dervata (Roth, 1968:7). Gould (1909:38) mengatakan , ‘ Dewata is the Land Dayak name of a God from Sanskrit word dewata divinity, deity, gods. Seterusnya Roth (1968:216) menulis, ‘ we may recall the fact that Land Dayaks have a kind of Hindu Trimurti, viz-Tapa or Yang, the Preserver (Vishnu or Dewa-dewa of Hindus), Jirong-Brama, the creator (Brahma of the Hindus), Triyuh-Kamang, the destroyer (Shiva of the Hindus)’. Berikut adalah  aktviti kulural Dayak pengaruh Hindu tersebut, yang pada setiap majlisnya mengamalkan tradisi lisan..
1.Lala’
Lala’ adalah aktiviti dalam wujud pantangan untuk menjalankan  sesuatu baik itu pantang makan, melakukan sesuatu, dan mengucapkan kata - kata.
Masa pantang bisa tiga hari, tujuh hari, 44 hari, dan seumur hidup diatur dalam tradisi masyarakat setempat. Tujuan lala’ adalah agar setiap anggota masyarakat terhindar dari bahaya, kekuatan meningkat, atau terkabulnya niat dalam pekerjaan.
2.Nyangahatn
Doa dalam adat dayak dikumandangkan dalam bentuk  nyangahatn. Upacara adat ini banyak digunakan dalam peristiwa adat seperti liatn, lala’remah, gawe, sampore’, dan mato’. Nyangahatn juga dilakukan saat bercerita sejarah kejadian asal usul. Tujuannya mengucap syukur mohon bimbingan dan perlindungan atau pemberitahuan kepada Jubata, Ne’ Panampa, Ne’ Daniang, terhadap kegiatan dalam bekerja. Nyangahatn dilengkapi dengan palantar (persembahan). Lihat lampiran.
3.Liatn
Liatn adalah upacara adat Dayak Kanayatn dalam bentuk magis dan sakral.
Ditampailkan dalam bentuk tarian, doa, dan prosa berirama. Tujuan liatn adalah untuk pengobatan, membayar niat, dan lain-lain. Liatn dipimpin langsung oleh seorang bomoh liatn dan dibantu oleh seorang panyampakng serta beberapa panyangahatn. Jenis liatn berdasarkan pemampilannya adalah liatn daniang, liatn nyande, liatn bantal, dan liatn kanayatn. Perbedaan jenis liatn itu didasarkan pada irama serta kata-kata yang digunakan. Tiap jenis mempunyai tokoh tersendiri, misalnya liatan danian adengan tokoh Ne’ Sinede, dan Ne’ Lampede. Sedangkan pembagian jenis lian menurut tujuannya adalah liatn batama bohol, liatn ngaladak buntikng, liatn badingin, dan liatn ngangkat paridup. Misalnya liatn batama bohol bertujuan untuk memberi anak, sedaangkan liatn ngangkat paridup untuk memperbaiki patahunan yang gagal. Kegiatan upacara dalam liatn antara lain adalah nyangahatn dalam rumah, ngantar roba, ka’ ayutn, baramauan ngamok jalu, ka’ bawakng, bajampi, ka’ Jubata masaka, nyangahatn ngago’ sumangat, notor (memberi makan iblis jahat), ka’ dango bonto, ngalainse, ngungke, ka’ paramainan, dan baripakng. Waktu pelaksanaan antara lain sehari semalam, tiga hari tiga malam.Nilai seni tari dan lagu dalam liatn ini sangat menonjol yang diiringi alat-alat musik agukng, dau, dan tuma’ (gendang)
            Ketiga macam budaya di atas  merupakan  bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang berkolerasi dalam sistem kehidupan itu sendiri. Nyangahatn merupakan bentuk komunikasi tradisi lisan dengan Tuhan dan dunia alam roh. Adapun baliatn merupakan wujud komunikasi orang Dayak dengan roh nenek moyang yang sudah meninggal.  Orang Dayak  menganggap “kematian”  sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (talino) serta semangat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00 hingga 12.00.[1] tanda Ini diartikan bahawa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu bahawa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.

                  Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak Salako berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan alam karena dia sesungguhnya berasal dari alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang sudah momo’ (meninggal dunia) itu sesungguhnya telah kembali ke binuo (tempat) asalnya. Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Darwin : 2002).
4. Mura’atn


Muraa’atn adalah berdoa agar sesorang tidak ditimpa mala petaka. Tradisi ini sifatnya pribadi perorangan. Manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak biasa. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan diluar rumah. Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus Kulikng Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan pelangkahan dari para rasi akan nek Baruang kulup.[2] kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos maniamas (yang hidup dalam tradisi lisan) yang melanggar suara rasi dari kijokng (kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.
“Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng (tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”

ESENSI  TRADISI LISAN DAYAK

Masyarakat Dayak dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dalam interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983). mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesihatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras sahaja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka – baik dan jahat – selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.
            Religi – berasal dari bahasa Inggris relogion dengan akar kata bahasa latin yaitu Religare – berarti menyatukan (to bind together) tanpa memiliki pengertian Wahyu dan Kitab Suci (Johnstones : 1975) karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak Selako disebut adat. Hal ini dapat dilihat dari doa dalam tradisi lisan  dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):

“Bukotnnyo unang i-mantabok i-marompokng adat aturan anyian, io inurunan ampet i ne’ Unte’ i kaimantotn, ne’ ancino i Tanyukng Bungo, ne’ Sarukng i sampuro, ne’ Rapek i sampero’, ne’ Sai i sabako’, ne’ ramotn i saa’u, ne’ ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak parucu’e make io dah tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.”
(terjeahan bebas: bukanlah adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai Sapero’, Nek  Sai di bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng  Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).[3]

            Dalam adat (religi tradisional) ini terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature)  dalam sistem kehidupan ini. Religi tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak Selako: buis bantotn) – misalnya posisi ayam kurban, jenis daun ritual – dan tempat-tempat mitis dari setiap desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981).
                  World-view (pandangan dunia) masyarakat horticultural Dayak Salako memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn.[4] Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.

Alam roh atau dunia roh merupakan kepercayaan yang melekat dengan orang Dayak Selako dan Melayu, Merujuk kepada pendapat mereka hal ini bersumber daripada asal-usul manusia semula jadi lagi. Alam roh dihuni oleh para roh iaitu sesuatu yang bukan manusia tetapi diyakini ada di sekitar kehidupan Dayak Selako. Roh ini biasa dikenali juga sebagai makhluk halus yang bertempat tinggal di langit, di bumi, di air, dan sebagainya yang mempunyai tugas masing-masing. Mereka hidup di alam yang tidak boleh dilihat, namun mereka mempunyai keperluan yang sama dengan manusia. Hubung kait kehidupan manusia dengan roh dalam konteks kepercayaan tradisional terjalin rapat. Jalinan yang rapat inilah yang oleh Etnik Dayak Selako diyakini sebagai dunia Ilmu Magis.(bandingkan, Madrah, 1997:2-4). Hal ini juga selaras dengan yang dikatakan oleh   Clark Chilson and Peter Knecht (2002:1)  bahawa... as repressive, ideologies and political sistems started to dissolve, many ethnic groups in Asia and elsewhere began to reflect on their distinctive cultural proparties in order to reconnect themselves with their tradition and their cultural roots. This led to a new appretiation  and revival of folklore in various fields such us oral traditions, music, and religion .

Masyarakat etnik Dayak Selako dan Melayu percaya bahawa kepatuhan dan kesetiaan manusia terhadap roh akan mendatangkan berkah dan mendapatkan imbalan dalam pelbagai bentuk daripada para roh. Sebaliknya akan terjadi kemurkaan roh yang boleh menimbulkan kemalangan atau mara bahaya. Oleh sebab itu, manusia berusaha untuk boleh berkomunikasi dengan roh-roh tersebut melalui suatu ilmu yang dikenali sebagai ilmu magis, yang sering kali tidak boleh diterima oleh akal manusia. Tetapi memang terjadi.
Ilmu magis ini boleh diperolehi dengan beberapa cara seperti betapa (bertapa), mimpi, rajaki (keberuntungan), baguru (belajar) secara tradisi lisan dan ilmu magis warisan sejak lahir. Ilmu Magis ini boleh dibahagi kedalam dua jenis iaitu : ilmu magis panas dan ilmu magis dingin. Ilmu magis panas bermakna bahawa ilmu ini boleh digunakan untuk mencelakakan orang lain (membunuh orang), Racun , dawak dan  polong termasuk dalam kumpulan ini. sedangkan ilmu magis dingin bermakna ilmu magis untuk antsisipasi, menangkal ataupun untuk mengubati akibat dari ilmu magis panas. Misalnya azimat dan mantra-mantra.

Pemahaman masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam diasaskan atas adanya korelasi  tersebut. Korelasi ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos tradisi lisan yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987).[5] Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.


                  Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah,
Hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di beri sesajian dalam bentuk Patek. Doanya  dengan tradisi lisan sebagai berikut.

(patek diambil dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa)
“Au’ unang nyian patek tampi paribaso si ane’ (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi’ kito’am badamo Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito’ an dingaso’an dingarap, ingampioh am batimang. Ame kito’ batimang jawi’, batimang jaji ka manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn, jaji ka banir buoh. Kurrra’ patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di atas kurban)”

(Terjemahan bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu (sebut nama si pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung jawa. Bungkikik burung matan. Kalian yang diharapkan untuk menimang segala mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia beranak pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon buah-buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi ini).

Tradisi lisan Masyarakat  Dayak yang bercorak Melayu
                  Selain dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, tradisi lisan Dayak juga dipengaruhi interaksi mereka dengan masyarakat Melayu. Diantaranya adalah Sampore.’
Sampore’ dijalankan dalam kehidupan sesorang yang berhubungan dengan rehablitasi hubungan yang pernah cacat. Sampore dilakukan dalam acara lenggang, liatn, dendo, bapipis, batampukng tawar, dan babuis (karena badi atau jukat). Bentuk upacara ini bukan berasal dari asli Kanayatn. Upacara ini dilakukan pada saat membayar niat.
Kegiatan ini mirip dengan liatn tetapi dengan variasi dari luar yaitu melayu
Etnik Dayak dan Melayu memiliki asal kultur yang sama, hal demikian boleh tampak dalam catatan Kühr (1995 : 78), beliau mencatat bahawa pada tahun 1892, di Serawai, Kabupaten Melawi , ditemukan monumen Hindu dari zaman dahulu, yang dianggap sebagai tempat suci untuk meletakkan sesajen oleh orang Melayu dan Dayak agar panennya dikabulkan.
Mengikut kepercayaan orang Dayak tersebut, manusia merupakan gabungan daripada empat unsur : badan, roh (soul), perasaan dan nyawa. Untuk membolehkan seorang itu hidup dan sihat, keempat-empat unsure hendaklah bersatu tanpa gangguan. Manusia tidak terlepas daripada mengalami kemalangan dan penyakit. Mereka percaya bahawa satu-satu kejadian kemalangan atau mengidap sesuatu penyakit itu berpunca daripada tindakan mereka yang melanggar adat, diserang oleh hantu ataupun dibuat oleh ahli sihir. Kalau seseorang itu diserang penyakit, mula-mula perasaannya terganggu dan rohnya tidak lagi tenteram, Roh tadi akan meninggalkan badan dan berjalan menuju ke alam baka.
Semua orang Dayak mempercayai wujudnya kuasa halus(spirits). Klasifikasi umum makhluk halus dibuat berasaskan tempat tinggal mereka. Mereka boleh dibahagikan kepada tiga iaitu Hantu Air, Hantu Hutan, dan Hantu yang tinggal di udara. Orang Dayak juga mempercayai bahawa makhluk halus itu ada yang jantan dan ada yang betina. Mereka mempercayai bahawa hantu-hantu itu tidak mengganggui manusia sekiranya mereka boleh hidup dengan selesa dan tenteram. Tetapi, kalau makhluk halus itu hidup susah dan tidak cukup makan mereka menjadi bahaya dan mengganggu manusia. Makhluk-makhluk itu boleh mendatangkan penyakit kepada manusia .
Dalam hubungan mereka dengan kuasa luar biasa, orang Dayak cuba berbaik-baik disamping mencuba menguasai kuasa luar biasa. Tujuan menguasai kuasa luar biasa ialah untuk kegunaan dan kepentingan komuniti. Mereka mempercayai bahawa kuasa luar biasa boleh mendatangkan penyakit dan kuasa luar biasa juga membantu mengubati penyakit. Pada masa bomoh orang Dayak berkomunikasi dengan penguasa luar tersebut, mereka mengamalkan tradisi lisan bercorak Melayu.  

Seorang bomoh Dayak di Kampung Sasak yang mengubati pasiennya, memberikan salam kepada nabi Khaidir ketika menggunakan air sebagai salah satu sarananya. Kepercayaan itu terlihat pada mantra berikut:

Assalamu’alaikum sahibul bahar sahibul basar
Assalamu’alaikum nabi Hedir
Aku mengambil air untuk tepung tawar
Si (sebutkan nama pasien)
( Andi Lala, 2007)
Salam sejahtera atas pemilik laut dan pemilik darat
Salam sejahtera atas Nabi Khaidir
Aku mengambil air untuk tepung tawar
Si (sebut nama pasien)

Kepercayaan kepada nabi Khaidir merupakan kepercayaan yang khas di kalangan masyarakat Melayu Nusantara. Kepercayaan ini sangat kuat di kalangan masyarakat Melayu yang berada di pesisir pantai. Skeat (1967: 99), Endicott (1991: 107) menyebutkan bahawa nabi Khaidir merupakan salah satu Nabi yang utama di kalangan masyarakat Melayu. Merujuk kepercayaan masyarakat Melayu, Nabi Khaidir adalah nabi yang menguasai air (lord of water). Di daerah Kendawangan, kabupaten Ketapang, bagian selatan Kalimantan Barat, juga ditemukan kepercayaan sejenis.

Bagi sebahagian nelayan, ketika mereka memulai aktiviti mencari rezeki di laut harus meminta izin lebih dahulu kepada Nabi Khaidir dengan ucapan: Bismillah Assalamu’alaikum nabi Hidir. Merujuk salah seorang informan, jika seseorang tidak meminta izin kepada nabi Khaidir ketika mengambil hasil laut, maka di akhirat nanti hasil laut yang diambilnya akan dituntut sebagai hasil curian. Untuk maksud tersebut maka dibuatlah sesajian untuk tepung tawar[6].

Selain nabi Khaidir, yang dipercayai sebagai penguasa laut, didapati pula penguasa laut yang lain. Penguasa laut ini amnya merupakan kuasa negatif yang boleh mendatangkan kemalangan bagi para nelayan. Penguasa laut yang terkenal adalah hantu laut. Hantu laut boleh membantu sekaligus boleh memusnahkan. Hantu laut boleh menunjukkan tempat menangkap ikan, udang, cumi dan hasil laut lainnya yang baik. Hantu laut juga boleh menolong pemeliharanya terhindar dari ancaman ombak laut. Namun, hantu laut yang kadang-kadang disebut juga sebagai penunggu laut, boleh mendatangkan angin besar yang mengundang ombak yang ditidakuti nelayan atau kadang-kadang menampilkan diri dalam bentuk atau suara yang menakutkan. Untuk menaklukkan kekuatan ini beberapa nelayan berusaha bersahabat dengan hantu laut. Ada beberapa orang nelayan yang memelihara hantu laut. Untuk memelihara hantu laut ini, mereka terikat perjanjian dalam bentuk memberikan sesaji pada waktu-waktu tertentu[7]. Secara kolektif, masyarakat desa Sepuk Laut  mengadakan upacara kasi’ makan laut (memberi makan laut). Upacara ini utamanya bertujuan untuk membujuk penguasa laut agar tidak marah dan supaya laut memberikan kemurahan dengan memberikan hasil tangkapan yang banyak. Jika upacara ini tidak dilakukan dikhawatirkan akan memakan korban di laut yang biasanya berupa orang hilang, angin ribut dan hasil tangkapannya sedikit. Upacara ini biasanya dilakukan pada saat angin utara bertiup kencang, sekitar bulan Juni, setiap tahunnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun kampung. Selain itu, ada juga kepercayaan bahawa bersiul di laut boleh mengundang angin kencang. Perkataan yang tidak senonoh atau tidakabur pun harus dihindari, sebab kalau tidak, boleh menyebabkan nelayan pulang dengan tangan hampa dari laut.

Selain itu, ada juga kepercayaan kepada “orang air”, nama lain dari buaya. Buaya tidak hanya merupakan binatang yang paling ditidakuti di air, tetapi juga dipercayai memiliki hubungan tertentu dengan manusia; sebagai saudara kembar. Oleh kerana itu, kadang-kadang mereka menyebut makhluk ini dengan orang ai’ (orang air) atau ‘orang bawah’. Mereka percaya bahawa hubungan yang tidak dipelihara dengan buaya boleh menyebabkan bahaya bagi manusia. Kepercayaan terhadap penguasa air, terutama buaya ini sangat biasa di kalangan masyarakat Kalimantan Barat atau bahkan di Nusantara (lihat misalnya Skeat 1967; Moh. Haitami et.al 2000; Hermansyah 2006).

Kepercayaan lain di kalangan sebahagian masyarakat diwujudkan dalam bentuk pantang larang. Ketika seseorang sedang hamil muda, misalnya di larang menyeberang laut atau parit kecil yang boleh menyebabkan keguguran. Suami dari wanita yang hamil dilarang menake’ (memotong) kepala ikan Tilan yang masih hidup kerana boleh menyebabkan bayi yang dilahirkan kelak menjadi sumbing. Dilarang juga ncelur (merebus sebentar) ikan Tilan untuk membuang lendirnya. Jika dilakukan juga, boleh mengakibatkan anak yang dilahirkan mengalami badi kulit melepuh seperti ikan Tilan yang direbus.

Kepercayaan mengenai badi sebenarnya juga biasa di kalangan masyarakat Nusantara sebagaimana dilaporkan Skeat (1967), meskipun ada variasinya. Hermansyah dan Zahry (2005) menyebutkan bahawa di kalangan masyarakat Embau didapati pantang larang yang jika dilanggar boleh menyebabkan badi. Misalnya seorang calon ayah dilarang memotong kayu pendek-pendek. Larangan ini dimaksudkan agar anak yang dilahirkan kelak tidak terkena badi, iaitu mengalami pendek tangan atau kakinya seperti kayu yang dipotong pendek-pendek.

Kepercayaan tentang penyakit ini tidak lepas dari sistem religi dan kepercayaan, serta teknologi dan pengetahuan moden. Meskipun mereka mengetahui bahawa penyakit disebabkan oleh sebab yang boleh dijelaskan oleh ilmu pengubatan moden, mereka juga percaya bahawa penyakit yang disebabkan gangguan oleh syaitan, jin dan makhluk gaib lainnya. Oleh sebab itu, jika sakit, mereka tidak hanya mengkonsumsi obat atau mendatangi ahli kesihatan moden, tetapi juga mendatangi para dukun yang dipercayai memiliki kemampuan untuk mengubati. Sebab-sebab gaib yang memungkinkan seseorang sakit terutama terjadi kerana perlakuan yang tidak semestinya terhadap makhluk gaib. Makhluk gaib yang diyakini itu menghuni tempat-tempat tertentu, yang biasanya disebut sebagai ‘penunggu’. Melewati tempat-tempat yang dipercayai dihuni oleh makhluk gaib tanpa permisi apalagi mengganggunya, boleh menyebabkan sakit. Selain itu, penyakit juga boleh disebabkan oleh kiriman secara gaib dari orang yang tidak senang. Sebagai contoh seorang informan menceritidakan penyakit yang dialami oleh seorang penduduk kampung yang suka mencuri. Penyakit yang dialami oleh orang tersebut adalah perutnya membesar. Diyakini bahawa penyakit itu kerana “dibuat”oleh orang yang tidak senang kepada kelakukan orang yang bersangkutan. Akhirnya, orang tersebut meminta maaf kepada orang-orang yang pernah diambil hartanya dan disertai dengan pengobatan pengubatan, orang tersebut pun sembuh.

Diyakini bahawa ada penyakit tertentu yang berhubung kait dengan sebab-sebab yang bersifat spiritual, yang penyembuhannya memerlukan cara-cara yang melibatkan unsur spiritual. Di sinilah peran para dukun. Para bomoh mendapatkan kemampuan untuk mendiagnosis dan mengubati suatu penyakit diperolehi melalui dua cara iaitu: belajar dan melalui wereh. Belajar dilakukan kepada pelbagai pihak yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengubati. Namun cikgu utama para dukun tersebut adalah dukun senior di kampung itu. Seorang dukun beranak di kampung ini juga mendapatkan pendidikan moden berupa kursus membantu ibu beranak dari Pusat kesihatan masyarakat di Sambas. Sedangkan wereh adalah memperolehi kemampuan mengubati melalui cara-cara gaib seperti mimpi. Ilmu yang diperolehi melalui wereh tidak boleh diajarkan kepada orang lain sebab jika diajarkan akan mengakibatkan tidak berfungsinya ilmu tersebut.

Mantra-mantra yang dilafalkan para bomoh Dayak menunjukkan adanya warisan tradisi lisan yang bercorak Melayu yang diamalkan  dalam sosiobudaya Dayak. Sebagai contoh, untuk menghindari pelbagai malapetaka dan penyakit di kampung[8], masyarakat  setiap tahun mengadakan upacara “beri’ makan kampung” yang kadang-kadang juga disebut “tolak bala kampung.” Upacara ini dilakukan setiap selepas  musim panen padi. Pada upacara itu, selain dibacakan doa tolak bala yang semuanya berbahasa Arab dan merupakan doa yang berasal dari ajaran Islam juga dibacakan mantra berikut:

Asslamu’alaikum datu’ Abdul ‘Ain[9]
Nang bekuase tujuh lapis langit tujuh lapis bumi
Inilah siade pengasihan anak buah aku
Aku minta’ jagekan anak buah aku sekelian nang bahaye minta’ tulung selisihkan (SA, dukun Kampung)

Terjemahan bebasnya:
Assalamu’alaikum Datok Abdul “Ain
Yang menguasai tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi
Hanya ini yang boleh kami berikan
Penulis minta engkau menjaga kami semua dari segala malapetidaka dan bahaya

Adanya pertautan antara tradisi lisan pada pengobatan penyakit dengan sosio budaya masyarakat tempatan boleh ditelusuri jauh ke belakang, iaitu ketika agama-agama langit pertama kali disebarkan di Asia Tenggara. Merujuk Azyumardi (1999:64), pada mula agama-agama baru—dalam hal ini Kristian dan Islam—tidak boleh berkembang kecuali jika mempunyai jawaban terhadap penyakit. Masyarakat Asia Tenggara percaya bahawa kekuatan-kekutan spiritual yang tangguh mempengaruhi kesihatan dan penyakit. Raja Patani menjadi seorang Muslim setelah disembuhkan seorang syekh asal Pasai. Hermansyah (2001: 23-28) juga melaporkan peranan ilmu penyembuhan dalam proses Islamisasi masyarakat pedalaman Kalimantan Barat. Seterusnya, kepercayaan lama kepada penyakit yang disebabkan oleh arwah disesuaikan dengan pandangan Islam tentang jin dan setan. Pelbagai formula dalam bahasa Arab dan sebahagiannya di gabungkan dengan formula tempatan digunakan untuk menangkal dan mengubati penyakit. Dalam masyarakat tertentu di Nusantara, pelbagai formula itu masih terus diamalkan oleh masyarakat. Menariknya formula—baik secara keseluruhan berasal dari bahasa Arab dan ajaran Islam mahupun sebahagian terdiri dari unsur tempatan—tersebut tidak hanya dipercayai dan diamalkan oleh masyarakat Islam tetapi juga oleh masyarakat bukan Muslim (Bernstein 1997; Hermansyah 2006, 2007)

Kepercayaan lain yang populer di kalangan masyarakat Dayak adalah mengenai Semangat. Seseorang yang ditinggalkan semangatnya tidak menyebabkan kematian. Kehilangan semangat boleh menyebabkan sesorang sakit. Seseorang yang hidup tanpa ‘semangat’ boleh diibaratkan dengan mayat hidup. Ia seperti orang yang kehilangan kekuatan dan tenaga untuk melanjutkan hidup. Orang tersebut akan kelihatan seperti orang yang tidak bergairah. Jika seseorang kehilangan semangat, ia  akan tetap hidup. Merujuk Hemansyah (2006), semangat adalah sesuatu yang ada pada manusia dan memungkinkan manusia memiliki kekuatan untuk menghadapi dunia. Sementara itu, Merujuk Wilkinson (1959:1053), semangat ialah ‘spirit of life, vitality; soul. It leaves the body in sleep, and when absent from the body may be seduced or captured by other person; magic is used sometimes to attract and so win a girl’s semangat.

Semangat ini boleh dipanggil, diambil dan meninggalkan seseorang. Jika sesorang mengalami sesuatu, seperti penyakit yang diduga kerana kehilangan semangat, maka semangatnya harus dipanggil. Seorang informan menceritidakan bahawa ketika dia diliputi rasa tidakut yang berlebihan sehingga tidak boleh melakukan sesuatu, oleh dukun kampung dilakukan upacara memanggil semangat dengan cara memandikan yang bersangkutan. Ketika memanggil semangat dibacalah mantra “teriak semangat” berikut:

Bismillahirrahmanirrahim
Kerasnya batu kerasnya semangat si (sebut nama)
Kerasnya besi kerasnya semangat si(sebut nama)
Ku...semangat (12 kali) (R, pengerusi masjid)

Konsepsi semangat memang merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang Melayu Nusantara. Namun agak berlebihan kalau Skeat (1900), Cuisiner (1951), Endicott (1970), Gimlette (1971), dan Shaw (1975) menyimpulkan bahawa semangat sebagai inti dari keseluruhan pandangan hidup orang Melayu, khususnya dalam magic, kerana semangat hanya merupakan salah satu bagian dari unsur manusia yang harus dipelihara. Shaw (1975: 6), misalnya menyatakan bahawa, undoubtedly the most important single element in Malay magic, and the most difficult to difine because there are so many different opinions as to what it actually is, is semangat, the vital cosmic force or energy which animates all creation.

           
KESIMPULAN

Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat Dayak memiliki hubungan dengan budaya dan agama-agama yang hidup dalam masyarakat ini. Dalam tradisi lisan tersebut Kita dapat melihat pengaruh Hindu , Budha dan Islam. Orang Arab dengan latar belakang Islam dan orang Eropa dengan latar belakang Kristen ikut mengubah institusi sosial di Kalimantan. Perubahan institusi ini juga berpengaruh terhadap tradisi lisan dalam masyarakat.
Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat etnik Dayak Selako dan Melayu di Sambas , khasnya yang berhubung kait dengan Alam Roh dan pengobatan bomoh boleh dikatakan telah ikut memiliki andil dalam merapatkan hubungan  kedua-dua etnik ini.
Nilai Tradisi lisan pada suatu daerah memang bersifat khas, memiliki cakupan berlaku terutama bagi pendukung kebudayaan tertentu. Sifat khas pada umumnya terletak pada tataran praktis yang konkret yang berwujud tindak-tanduk nyata. Dibalik yang kongkrit itu terkandung nilai-nilai etika moral dan filosofi yang universal. Dalam konteks ini, setiap orang, setiap kelompok seyogyanya berikhtiar untuk mengekalkan tradisi lisannya. 


RUJUKAN

Abdul Aziz, Rahimah & Mohamed Yusoff Ismail, 2000. Masyarakat, Budaya dan Perubahan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Aman, Rahim. 2008. Linguistik Bandingan Bahasa Bidayuhik, Universiti Kebangsaan Malaysia. Bangi.
Anwar Din, 2008. Asas Kebudayaan dan Kesenian Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Bakran Suni, et all, 2007. Sejarah Melayu Sambas, Lembaga penelitian Universitas Tanjungpura Pontianak.
Barth, Frederick. 1969. Ethnic Group and Boundaries, Boston:The Little Brown and Company.
Barker, Chris. 1999. Cultural Studies, Teori dan Praktek, Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.
Collins, J.T. & Awang Sariyan, 2006. Borneo and the Homeland of The Malays, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Collins, J.T. ,2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Sejarah Singkat.Obor, Jakarta.
Coomans, Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Dove, Michael R, 1988. The Real and Imagined Role of Culture in Development, case studies from Indonesia, University of Hawaii Press, Honolulu.
Duman, J.1975. Dalam J.U.Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Kebiasaan di Kalimantan Barat, Jakarta: Bumi Restu.
Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester afdeeling. Supplement to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap, 1901-03. Leiden : Brill, 1903.
Eriksen, Thomas Hylland, 1995. Small Places, Large Issues An Introduction to Social and Culture Anthropology, Pluto Press, London-Sterling-Virginia.
Geertz, Clifford, 1973. The Interpretation Of Cultures, Basic Books, Inc., Publishers, New York.
Hulten, Herman Josef, 1992,  Hidupku di antara suku Daya, Gramedia, Jakarta
Ishak bin Saat, 2006. Sejarah Sosiobudaya Melayu, Karisma Publication, Shah Alam.

King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo, Blackwell, Oxport & Cambridge.

King, Victor T & Michael Hitchook, 1997.  Images of Malay-Indonesian Identity, Oxport University Press, Oxport-Singapore-New York.
Kuhr, E.L.M, 1995. Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV Uitgeverij, Leiden.
Koentjaranigrat. 2000. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaranigrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: djambatan.
Leahy, Louis. 1985.  Manusia Sebuah Misteri: Suatu  Kajian Tentang Filsafat Manusia , Jakarta: PT. Gramedia.
Madrah, Dalmasius, 1997. LEMU Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq & Tunjung,  Puspa Swara & Yayasan Rio Tinto,  Jakarta.
Maunati, Yekti, 2004,  Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.
Shamsul Amri Baharudin, 2007. Modul Hubungan Etnik, Universiti Teknologi Mara, Shah Alam.
Suni, Bakran, et all, 2007, Sejarah Melayu Sambas,  Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Takdir, Simon. 2003. Suku Dayak Selako, Belum Publikasi
Veth, P.J. Veth. Borneo’s Wester-afdeeling, geographisch, statistisch, historisch,
              voorafgegaan door eene algemeene schets des gansch eilands (Zaltbommel:
              Joh. Nomanen Zoon, 1854)






[1] Tanda ini muncul pada malam hari. Malam adalah kegelapan, kesedihan yang identik dengan kematian
[2] Kulikng Langit adalah anak Nek Kulub dengan manusia di Taino. Dia meninggal karena jatuh dari pohon Sibo (sejenis rambutan hutan) akibat melanggar siara rasi.

[3] Kaimantotn, Tanyukng Bungo, Sampuro, Saper’, saako’, Saba’u, dan gantekng Siokng (sebanyak tujuh tempat) merupakan tempat mitis dalam religi suku Dayak Selako Kaimontotn diartikan kalimantan, tempat yang pertama kali dihuni oleh manusia Dayak yang bernama Nek Unte’. Sedangkan tanyukng Bungo adalah daerah bagian pantai yang berbukit di sepanjang pasir panjang hingga sungai raya. Bukit Sampuro berada di daerah Semangkak (samalantan), sapero’ nama sungai di pasuk kayu, sabako’ nama bukit dekat kalumpe, saba’u nama bukit di samalantan desa, gantekng siokng nama pertemuan (celah) antara dua buah bukit di ranto. Enam tempat mitis tersebut berada di wilayah kabupaten sambas yang dulu (sebelum terjadi pemekaran daerah jaman reformasi).
[4] Subayotn adalah tempat bermukim khusus arwah yang baik setelah kematian. Jubato nampaknya memiliki tempat tinggal tersendiri di luar Subayotn yang biasanya disebut Kayangan. Beberapa diantara para Jubato itu memiliki wilayah kekuasaan di dunia (bhs. Dayak Salako: Taino), misalnya, Jubato Bukit Bawokng (gunung bawang) adalah Nek Opo, Jubato bukit Rayo (gunung Raya) adalah Buuk Baso’ bukit poteng adalah si Rijab, dan sebagainya. Orang yang semasa hidupnya di Taino hidup tidak sesuai dengan adat (bersikap jahat) ketika meninggal dunia arwahnya tidak masuk Subayotn. Arwah itu menjadi hama, penyakit, hantu (pujut) dan gentayangan di Taino menggangu kehidupan manusia. Manusa akan terhindar dari gangguan mereka kalau dibangun relasi yang baik (sikap hormat dan bersahabt) melalui ritual (doa dan kurban).

[5] Menurut J. Van Baal mitos merupakan kebenaran religius dalam bentuk cerita. Atau cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang dimasa lalu atau dimasa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan.

[6] Di Kalimantan Barat terdapat variasi peralatan yang digunakan dalam tepung tawar. Di Embau, peralatan yang digunakan untuk tepung tawar adalah beras kuning, pucuk daun sabang dan juaran (lenjuang) (Cordyline fruticosa)—dengan batangnya, bertih, air beras, gunting atau sikin (pisau dapur). Semua daun diikat menjadi satu; lotit, air tepung beras, dan beras kuning masing-masing dimasukkan ke dalam mangkuk kecil yang berbeza. Kemudian mangkuk-mangkuk tersebut diletakkan ke atas talam kecil (Hermansyah, 2006) . Di Kendawangan, Ketapang, peralatan tepung tawar terdiri dari air beras yang ditumbuk halus, paku sebatang, daun andong-andong, daun reribu, keminting sebutir dan uang logam Rp. 100. (Andi Lala 2007)

[7]  Sesajian itu berupa lalat dan panggang masing-masing 7 ekor, sesisir pisang Berangan, nasing kuning, ayam, ketupat, dan air minum. terlihat dari luar rumah, terutama dari pintu, maka pintunya harus selalu tertutup. Selain itu, di atas ayunan ditaruh sebuah surah Yasin
[8]  Biasanya dilakukan pada bulan Oktober-November setiap tahun. Upacara ini terdiri dari pembacaan doa dan pemberian makanan kepada penunggu gaib kampung. Upacara tersebut dilakukan di hulu kampung. Makanan yang disiapkan terdiri dari nasi empat jenis (putih, hitam, merah, dan kuning), 7 butir ayam kampung yang direbus, 3 sisir pisang Berangan, sirih lengkap dan sebatang rokok nipah, kemenyan, minyak bau, bertih. Seluruh barang tersebut diletakkan di ancak berupa daun pisang yang diletakkan di tanah. Makanan ini dimaksudkan sebagai pemberian kepada penunggu kampung agar menjaga keselamatan penghuninya. Selain itu, masyarakat peserta upacara membawa makanan lain seperti ketupat dan pat lau lengkap dengan lauk pauknya. Setelah dibacakan doa tolak bala semua peserta upacara memakan makanan yang dibawa dari rumah-masing masing.

[9] Dipercayai sebagai nama Malaikat

0 comments:

Post a Comment