Monday, March 5, 2012

BAB IV MENGENAL KULTUR SUKUBANGSA DI KALIMANTAN BARAT

Kesukubangsaan

     Seorang dalam melakukan interaksi dengan sesama dalam kehidupan sosial dipengaruhi, antara lain, oleh identitas kesukubangsaannya. Dengan identitas kesukubangsaan tertentu, yang ditentukan baik untuk mengkaterogikan diri sendiri atau orang lain, seseorang dapat mengaktifkan ikatan kelompok sesama suku bangsa. Ikatan itu nantinya dapat membentuk pola tersendiri dalam hubungan interaksi dengan sesama. Itu terjadi, karena didalam ikatan kesukubangsaan bukan saja terlekat ciri budaya (Barth, 1988: 12), melainkan juga tatanan sosial dan nilai-nilai dasar (Barth, 1988: 14 dan 15) yang terbawa sejak lahir.

Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan Melayu. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang  karena bidang usahanya ekonomi, maka cenderung ‘pandai-pandai’ bermain dengan kelompok yanag sedang berkuasa, umumnya mereka mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Sebagaimana Dayak, Madura adalah rakyat biasa, yang seakan menjadi budak bagi kelompok etnik lainnya. Namun tidak seperti Dayak, kelompok etnik pendatang ini harus menghambakan dirinya bukan hanya pada satu, melainkan juga kelompok etnik lainnya, hal ini terjadi karena migran Madura yang pertama masuk kalbar adalah yang  berpendidikan rendah bahkan tidak berpendidikan. Usaha mereka pada saat masuk kalbar adalah buruh dan pekerja sektor informal.
Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar kepada etnik Cina dan Dayak. Secara sadar atau tidak, Belanda ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak.
Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik (Partai Persatuan Dayak) dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.

Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Sedangkan Madura dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan usaha sendiri dalam bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal.

Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.  Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.

Orde Baru adalah masa “kuliah Politik Identitas”  bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya.  Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan  dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam.

Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu.

Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002.

Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil menjadi bupati di Sanggau.

Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan dalam politik. Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih sebagai anggota DPRD tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai Golkar yang berkuasa atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam, dan/atau NU atau PKB pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik secara berurutan dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha mendekatkan diri secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada hukum adat, sedangkan secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai nasional dan Islam yang umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja tidak sepenuhnya dapat menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang harus terpaksa menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu.

            Pemaparan berikut ini merupakan gambaran tentang  kultur identitas masing-masing kelompok suku bangsa di Kalimantan Barat.


4.1. MENGENAL  ETNIK DAYAK


PENGANTAR

Ave dan King (1986) memperkirakan bahwa jumlah orang Dayak dikalimantan adalah sekitar tiga juta orang, sedangkan sellato (1986) menyebutkan sekitar enam juta orang (jika orang dayak sudah menjadi orang melayu karena memeluk agana islam masuk hitungan). Mengenai jumlah orang Dayak ini, sempai sekarang memang belum ada data yang pasti. Namun, pada tahun 1990 diperkirakan bahwa jumlahnya minimal berkisar sepertiga jumlah penduduk pulau tersebut (MacKinnon, dkk., 1996).
Orang Dayak dianggap sebagai penduduk asli  (indigenous people)pulau Kalimantan Suku Dayak,menurut asal- usulnya,adalah imigran dari daratan Asia,yakni Yunan di cina selatan .kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok rasNegrid dan Weddid(coomans,1987)yang kini tidak ada lagi,serta ras Aurtaloid (Mackinnon,1996).selanjutnya adalah kelompok imigran melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM.kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987;sellato,1989;Rousseau1990).Mackinnon mencatat,larer waves of migrants,tbemongoloids,brought rice cultivation from mainland asia about 5,000 year ago(glover,1979).permanent settlement and rice barvesting necessi tated tbe claring of field. A system of sbifting cultivation evolved”(1996:356).

Sejarah perjalanan suku ini   selalu diwarnai sebagai “Objek” dan  sarat dengan stigma yang pada akhirnya menghasilkan generasi yang berbeban psikologis berat. Dayak Kanayatn seperti halnya suku-suku Dayak Lainnya di Kalimantan  selalu menjadi objek misalnya saja objek “ pembangunan” yang cerita tentang ini sudah demikian jelasnya, lalu sebagai objek” penelitian” yang latar belakangnya karena suku ini terbelakang, bodoh, primitif, dll yang apabila hasil kajiannya ditampilkan akan membuat pembaca menjadi kasihan, miris, prihatin, dll . dari perjalanan yang penuh “objek” ini, orang Dayak  untuk “setara” saja dengan orang lain, harus berjuang berat.  Contoh kasus terakhir di Kalbar tentang pemilihan Gubernur, persentasi Dayak yang mencalonkan diri menjadi Gubernur 4 : 19 , dan lebih dari 80% hanya berani mencalonkan dirinya menjadi Wakil Gubernur.

Sebelum abad ke 19, bahkan sampai tahun 1894  Daerah Kalimantan ini disebut Terra incognita (lihat Nieuwenhuis  perjalanan borneo 1894) cerita suku ini masih sangat sedikit. Baru ketika kolonial belanda masuk, catatan-catatan tentang suku ini mulai tersedia. Salah satu sebab mengapa proses belajar antar generasi suku ini sulit adalah karena budaya”lisan” yang mewarnai kehidupan sehari-harinya. Adapun bangsa eropa yang awal abad ke-19 masuk kedaerah ini membawa budaya tulisan, maka hanya merekalah yang membuat tulisan tentang suku ini. Menurut cerita jika ingin belajar tentang Dayak, sebaiknya anda pergi ke negeri Belanda, disana tersedia sangat banyak dokumentasi tentang suku ini.
Bayangkan, orang Dayak untuk belajar tentang dirinya saja, mereka harus pergi kenegeri yang jauh dimana untuk pergi kesana  hanya sedikit orang yang bisa,karena  persoalan ekonomi .

KEBUDAYAAN DAYAK

       Tidaklah mudah untuk berbicara tentang kebudayaan Dayak (Fridolin Ukur), yang mencakup lebih dari 450 suku yang tersebar di seluruh Kalimantan ini, termasuk mereka yang ada di Negara tetangga seperti Malaysia. Namun banyak penelitian yang telah diadakan mengenai suku-susku dayak di Kalimantan ini kita berkesimpulan bahwa tidak ada pulau besar lain di Indonesia ini yang dapat dikatakan memiliki semacam kesatuan budaya seperti Kalimantan.  

Asal-Usul Penamaan Suku Dayak

Secara harfiah, kata “Dayak” berarti orang ayang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama kolektig bagi banyak kelompok susku dikalimantan dan Borneo. Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsure budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990; Mallinckrodt, 1928; Stohr, 1959; Hudson, 1966, 1967, 1972; Kennedy, 1974; King, 1979, 1994; Sellato, 1986; Rousseau, 1990).

       Teori yang secara umum diterima bahwa suku-suku pribumi penduduk Kalimantan berasal dari daratan Asia, dari wilayah Cina Selatan (Propinsi Yunan) yang ikut dalam arus perpindahan (migrasi) besar-besaran antara tahun 3000-1500 sebelum masehi. Dari rombongan yang tida di Indonesia, mereka termasuk rombongan yang pertama (disebut Proto Melayu). Ada teori yang mengatakan bahwa perjalanan tersebut terbagi dua arah: yang satu bergerak melalui Indo Cina dan terus ke jasirah Malaysia dan terus ke Kalimantan; sedangkan rombongan lainnya melalui Taiwan dan Filipina.

       Pada waktu penyeberangan ke Kalimantan dimudahkan karena permukaan air laut pada jaman es turun secara drastic. Namun ada pula teori yang mengatakan bahwa pada waktu itu Kalimantan masih belum berwujud pulau, tetapi menyatu dengan Sumatera dan daratan Asia. Hal ini dibuktikan dengan jenis ikan sungai yang terdapat di Kalimantan hamper semuanya terdapat di Sumatera.

       Tentang pemakaian istilah “Dayak” untuk menandai suku-suku pribumi di Kalimantan ini terdapat beberapa teori. Ada yang berpebdapat, karena tersebut dupergunakan karena memang sudah ada dalam bahasa Iban berarti manusia; dalam bahasa Tanjung dan Benua, kata itu berarti hulu sungai seperti umpamanya Mahakam Dayak berarti Hulu Mahakam. Di Kalimantan Timur ada suku yang bernama Lun Daye, yang berarti orang dari daerah hulu. Di dalam bahasa Ngaju ada jenis padi yang bernama “parei dayak”, yang pohonnya lebih rendah dari padi yang biasa.

       Ada pula yang berpendapat, dan pendapat ini yang banyak dianut, bahwa istilah iti siberikan untuk membedakan penduduk pribumi (asli) dengan penduduk pribumi yang datang datang kemudian dan bermukim di pantai dan yang telah memeluk agama Islam. Dan orang dayak sendiri cenderung menyebut penduduk pantai pantai tersebut sebagai orang Melayu. Jadi nama ini diberikan untuk menandai penduduk pribumi di pedalaman atau penduduk pegunungan yang bukan Islam, dan sebab itu ekuivalen dengan kata/nama Toraja (Encyclopaedia der Nederlandsch Indie, Jilid I, A-G, 1917).

       Orang Dayak yang kenudia memeluk agama Islam tidak lagi menyebut dirinya orang Dayak tetapi menjadi orang Melayu, demikian pula bahasa yang digunakanpun bukan lagi bahasa Dayak, tetapi bahasa Melayu. Jadi sebenarnya di antara orang Melayu itu banyak terdapat orang Dayak. Di sini kita melihat bahwa penduduk yang asalnya serumpun itu bisa menjadi berbeda karena agama dan bahasa baru yang diikuti dan diamutnya. Ada kesan pada waktu itu bahwa kata Dayak itu mengandung nada ejekan atau hinaan terhadap mereka yang dianggap masih belum maju.

       Lambat laun kesan negative tadi kian menghilang terutama setelah sebagian besar penduduk sudah mengecap pendidikan, ditambah pula dengan berkembangnya kesadaran kebangsaan. Hal ini nampak di tahun tigapuluhan dengan lahirnya Pakat Dayak, suatu organisasi social budaya masyarakat Dayak yang berpusat di Banjarmasin, yang anggotanya terdiri dari semua penganut agama-agama. Lebih terasa lagi kemudia di tahun limapuluhan, ketika terbentuk Partai Dayak yang berpusat di Pontianak dengan cabang-cabangnya di seluruh Kalimantan. Penamaan ini diterima sebagai identitas bersama secara social budaya.

       Dari segi penulisan, terdapat 3 bentuk: Dayak, kedua Daya dan Dyak. Yang terakhir ini yaitu bentuk Dyak biasanya dijumpai dalam literature bahasa Inggris terutama tulisan-tulisan mengenai suku-suku di Malaysia Timur. Ada sementara kalangan yang enggan memakai kata Dayak (dengan huruf k) karena katanya penulisan tersebut mengandung makna kurang baik. Mengingat ada perkataan di salah satu suku di Indonesia, yaitu kata “dayak-dayakan” yang berarti gila-gilaan atau yang senada. Menurut hemat saya alas an ini terlalu naïf, karena terlalu banyak kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti yang sangat berbeda di dalam bahasa lainnya. Kata yang serupa dalam bahasa Ngaju (dayak-dayakan atau dadayakan) berarti berjalan sempoyongan, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Ini bisa saja diartikan secara negative tetapi juga positif. Kalau kita secara objektif menilai semua ini, rasanya tidak ada alas an untuk menolak penulisan tersebut, seperti Ensklopedia Indonesia.

Pengelompokan suku-suku dayak

Di kalangan ahli sejarah orang Dayak di Kalimantan dan Borneo,memang belum ada kesepakatan mengenai datum histori yang pasti perihal kedatangan kelompok imigran di kepulauan tersebut .yang disepakati halnya bahwa orang Dayak merupakan imigran dari daratan Asia (sellato,1992).latar belakang historis inilah yang pernah dipergunakan oleh pemerintah untuk menyatakan bahwa orang Dayak bukanlah penduduk asli Kalimantan dan Borneo.Oleh karena itu,dalam pandangan tersebut,mereka tidak mempunyai hak tradisional atas tanah dan hutan di Kalimantan (singarimbun, 1994,1996).

Masyarakat Dayak di kepulauan tersebut terdiri dari kelompok-kelompoksuku besar dan sub-sub suku kecil.ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an(Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993;sellato,1989;Rousseau,1990).selain itu,dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak,juga terhadap beraneka ragam versi.berdasarkan hukum adat,Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928)mengklasifikasikan suku Dayak kedalam enam subsuku besar yang disebutnya    stammenras, yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu;(2)Ot danum;(3)Iban;(4)murut;(5)kelamantan;dan(6)punan .
Lain halnya dengan W.Stohr (“Das Totenritual der Dajak”,dalam etbnologia,Koln:1959) yang membagi suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu (1)kenyah-kenyah bahu,(2)Ot danum (Ot danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan);(3)Iban;(4)Murut (dasun,murut, kalabit ;(5) klemantan (kilemantan,Dayak Darat );dan(6) punan.sedangkan Hudson(1967)membagi suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam mubyarto,dkk.1991;31-32).

Lain lagi dengan sellato (1989).ia mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok besar,yaitu(1)orang melayu;(2)orang iban ;(3)kelompok baito(Ot-danum,siang,murung,luangan,ma’anyan,benuag,bentian,dan tujung);(4)kelompok Barat;(5)kelompok timur laut;(6)kelompok Kenyan dan kanyahyang tnggal di Kalimantan timur da npedalaman seraak;(7)kelompok utara tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan,seperti orang kelabit,lun Dayeh,lun bawang dan murut bukit,orang kajang,Berawang,dan melanin di sebelah barat  Kalimantan.dalam kelompok ini,hanya orang kelabit danlun dayeh yang bersawah;dan(8)suku penan (bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di kelimantan (singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon dkk.,1996:356-363;sellato,1989).klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan alasan-alasan (1)aliran sungai;(2)geografis,etnografis,dan budaya material;(3)bahasa yaitu bahasa austronesia,bahasa Filipina,bahasa melayu,bahasa di sulawesi selatan,dan bahasa madagaskar;(4)cara dan tempat penguburan orang meninggal;(5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).

Sebagaimana dikutip singarimbu (1996:260),masalah klasifikasi suku Dayak ini ditanggapi oleh kingsebagai berikut:

The people of borneo present major difficulities to scbolars interested in formulating compre bensive etbnic classification.ti is an awesome task to sort uot tbe varied and often conflicting terms used ti refer to a category or grouping of people.Our predicament is also compounded webn we realize tbat,in boneo,tbere are very few neatly bounded etbnic. Looking specifi-cally at tbe upper kapuas regtion, it is clear tbat from tbe limited bistorical and oral materials which we bave at our disposal, a situation of in stability existed in tbe past with, on tbe one band, a significance ndegree of fission and cultural dif-ferentiation of originally similar grouping, and on tbe otber band, tbe fusion and cultural interpretation of different grouping.

Atas klasifikasi di atas,ave danking (1986:13)berpendapat bahwa salah satu ciri penting 
dari masyarakat Dayak adalah berladang .atas dasar itu,mereka tidak memasukan orang punan ke dalam kelompok suku Dayak,karena terutama hidup dari berburu dan meramu (dikutip dari singarimbun,1996:226). Sedangkan hoffman(1985)berpendapat bahwa orang punan remasukorang Dayak juga,namun kelompok ini memilih spesialisasi sebagai pengumpul hasil-hasil hutan dengan cara mengambar di hutan. Klasfikasi trsebut dibuat berdasarkan alasan-alasan ,seperti (1)aliran sungai;(2)gegorafis,etnografis ,dan budaya material;(3)bahasa, yaitu bahasa austonesia;bahasa filifina, bahasa melayu,bahasa di sulawesei selatan, bahasa di madagaskar; (4) cara dan tempat penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi sosisl; dan (6)mata pencaharian hidup,dan lain-lain (sellato,1989:58-62).dalam teori antropologi dan hukum adat,metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas,telah di lakukan oleh beberapa ahli sejak lama.  Misalnya,pertama-tama adalah van vollehoven (1918)yang mencitakan konsep “daerah huku adat”(recbtskring). Menurutnya,di Indonesia terdapat 19 daerah hukum adat,dan salah satunya adalah Kalimantan atau boneo.kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area” .selanjutnya ,J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963),Hildred Geesrtz (komunitas budaya),dan koentjaraningrat (1971).Akhirnya,Ave (1970 yang memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu (1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan teknologi.ketiganya disebut mode of production  (Marzali,1997:141-147).

Dove (1988) berpendapat bahwa klasifikasi etnis Dayak dan suku-suku lain di Indonesia, bahkan di dunia, yang di dasarkan pada bentuk-bentuk mata pencaharian hidup adalah akibat dari strategi adaptasi setiap kelompok terhadap lingkunganya. Perspektif ini di sebut ekologi kebudayaan (Tsing,1984,1993,1998).lihat peta suku Dayak di Kalimantan dan Borneo.

       Suku-suku Dayak yang tersebar di seluruh pulau Kalimantan ini memang cukup banyak jumlahnya, ada yang besar, sedang ataupun kecil. Keadaan dan geografi dan demografi telah mengakibatkan suku-suku ini terisolasi dan terpisah, sehingga walaupun semula merupakan satu runpun tetapi setelah ribuan tahun tampaknya seolah-olah tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Tidak heran kalau ada yang berpendapat bahwa nama umum “Dayak” tidak boleh dijadikan alas an untuk memandang semua suku Dayak itu sebagai satu kesatuan antropologis dan cultural. Tetapi menurut pendapat saya justru digunakannya nama Dayak itu untuk memberikan identitas bersama, karena memang ada raut dasar yang menunjuk kepada kesamaan.

       Untuk memudahkan memperoleh gambaran yang lebih memadai telah diusahakan membuat pengelompokan suku-suku Dayak ini berdasarkan pada kesamaan-kesamaan tertentu, seperti kesamaan hokum adapt, ritus-ritus, bahasa, dsb. Sampai sekarang ada 3 (tiga) pengelompokan yang telah ditampilkan pada penelitian ilmiah yang cukup dapat diandalkan. Pertama, yang diadakan oleh H.J.Mallinckrodt, berdasarkan kesamaan hokum adapt (Het Adatrecht van Borneo, Leiden, 1928). Ia membedakan enam rumpun suku yang disebutnya Stammanras: (1) Kenya-Kayan-Bahau, (2) Ot Danum, (3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan, (6) Punan. Kedua, diadakan oleh W.Stohr (Das Totenritual der Dajak, Ethnologica,, Koln.1959) dengan melihat dari segi ritus kematian. Ia memang bertolak dari pembagian yang telah dilakukan oleh Mallinckrodt, lalu mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan sesuai dengan criteria yang di pakai, yaitu ritus kematian. Menurut Stohr ada 6 kelompok besar: (1) Kenya-Kayan-Bahau, (2) Ot Danum, yang dibagi menjadi: a. Ot Danum-Ngaju, b. Maanyan-Lawangan, (3) Iban, (4) Murut, yang mencakup: Dusun Murut-Kelabit, (5) Klemantan, meliputi: a. Klemantan, b. Dayak Darat (Land Dajak), (6) Punan. Ketiga, diadakan oleh A.D.Hudson yang membaginya menurut bahasa. Penelitian hanya terbatas pada suku-suku yang berada dikalimantan tengah dan selatan serta sebagian di Kalimantan timur yang berbatasan dengan Kalteng. Ia mengambil batasan wilayah kesebelah utara sampai pegunungan Schwaner-Muller dengan sungai-sungai busang, murung dan mahakam; ke sebelah barat di daerah sungai mentaya dan sebelah selatan dan timur sampai ke daerah pantai di laut jawa dan selat makasar. Wilayah ini dihuni oleh kelompok Ot Danum (kalau kita lihat versi Mallinckrodt dan Stohr, pen.). menurut Hudson, kelompok ini secara bahasa ia golongkan sebagai keluarga Barito (Language of the Barito Family).

Cirri-ciri pokok kebudayaan dayak

       Adanya pembagian suku-suku dayak dalam kelompok-kelompok besar berdasarkan kesamaan hokum adapt, bahasa ataupun ritus kematian memperlihatkan adanya keragaman yang cukup alami mengingat kondisi geografis dan demografis Kalimantan. Namun kita dapat menelusiri beberapa ciri pokok yang sifatnya khas yang memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan.

1. Rumah panjang (lamin, betang, balai, lawu hante)
Pada umumnya, pola kediaman orang Dayak adalah rumah panjang (longhouse), yang memiliki nama berbeda-beda sesuai dengan bahasa local masing-masing kelompok suku (Alexander, 1993; Helliwell, 1993; Sather, 1993).

       Semua suku dayak, kecuali suku punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam di rumah-rumah panjang yang disebut lamin, betang, balai, lewu hante, dsb. Cirri-ciri khas rumah panjang ini: dibangun diatas tiang-tiang yang cukup tinggi; didalamnya selalu terdapat ruangan yang luas yang digunakan untuk kepentingan bersama, seperti upacara adapt, tempat tamu bermalam dsb. ; masing-masing keluarga menempati satu kamar, sedangkan jejaka yang belum menikah tidur diruangan umum. Pasangan yang baru menikah dapat membangun kamar tambahan pada rumah panjang itu. Itu sebabnya rumah panjang ini bisa berkembang dan menjadi semakin panjang.

Rumah panjang ini berfungsi sebagai:
-          tempat perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari binatang buas maupun dari musuh-musuh lainnya;
-          pusat seluruh kehidupan suku, karena disitulah semua upacara, baik yang menyangkut kehidupan pisik maupun rohani, diselenggarakan; dari situ mereka berangkat mencari nafkah dan kesitu mereka membawa rejeki;
-          lambang kehidupan komunal yang harmonis; di rumah panjang tidak ada yang kekurangan dan tidak ada yang kelebihan; keseluruhan penghuni bertanggungjawab memelihara kesejahteraan bersama;
-          pusat pendidikan dan pembinaan kaum muda. Di dalam bahasa maayan, balai ini disebut sebagai “balai mantawara, jaru mantaajar” yang artinya balai pendidikan, tempat pengajaran. Dalam penguraiannya dikatakan: “jika gadis-gadis belum bisa mengayam para jejaka belum bisa membuat tali dan menempa tombak, naiklah kebalai pendidikan dan ruang pengajaran, supaya si cantik manis pandai mengayam si pria gagah mamapu membuat tombak.”.

2. senjata : Mandau dan Sumpitan

       Senjata yang khas dan dimiliki oleh semua suku Dayak adalah Mandau, yang tidak dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia. Sejenis pisau yang panjang, dibagian pangkal kecil tebal, kemudia kian melebar dan sedikit melengkung. Di bagian ujung melancip. Di sepanjang alur pisau dihiasi dengan ukiran dan kadang-kadang diisi perak atau kuningan. Kepala atau hulu mandau ini terbuat dari kayu atau tanduk, juga diukir. Demikian pula sarung pisau terbuat dari kayu berukir, dan kadang-kadang dari kulit binatang. Yang sangat unik dari mandau ini, ialah apabila ia diikatkan dipinggang, maka mata pisau yang tajam itu selalu terarah keatas/kedalam dan tidak kebawah seperti halnya pada senjata-senjata jenis pisau lainnya. Dan ini hanya terjadi pada mandau. Ini memberi petunjuk pada cara penggunaan praktis dalam ilmu pertempuran. Dengan sekali mencabut langsung menyerang, dengan tidak menggunakan gerakan mengayun tangan dari atas ke bawah.

       Sumpitan juga merupakan senjata khas Dayak, yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) yang sangat keras demi mempertahankan daya tahan kelurusannya. Senjata ini digunakan untuk berburu dan berperang dangan mempergunakan Damak. Damak ini ada yang beracun dan ada pula yang tidak. Racunnya pun ada bebagai jenis, dari sifatnya sekedar sebagai pembius sampai pada mematikan langsung. Mengenai senjata sumpitan ini saya tidak mengetahui secara pasti apakah juga dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia. Tetapi yang pasti semua suku Dayak memiliki dan mengenal senjata sumpitan ini. Ketika senjata api sebagai alat berburu ditarik masyarakat, kita melihat bagaimana sumpitan berfingsi lagi.

3. anyaman

       Kerajinan rumah tangga yang berupa anyaman (khususnya dari rotan) terdapat dari semua suku Dayak. Yang unik adri anyaman ini nampak dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: a. tikar tidur dan tikar upacara, dan b. keranjang angkut yang bertali bahu. Tikar tidur dan tikar upacara pada umumnay dianyam dengan janinan rotan halus dengan motif-motif yang diambil dari mitologi suku. Tiap-tiap motif mempunyai nama dan makna sendiri.

       Sedangkan keranjang rotan, khususnya keranjang angkut yang diberi bertali untuk bahu, menurut saya unik dimiliki oleh suku dayak. Keranjang angkut ini fungsi dan kegunaannya bermacam-macam, ada untuk pakaian, padi, kayu baker, dsb. Kegunaannya itu nampak dalam bentuk halus-kasarnya pembuatannya, demikian pula besa-kecilnya keranjang tersebut.

4. tembikar

       Bejana, tempayan, belangan tembikar sejak ribuan tahun merupakan bagian dari tradisi suku-suku dayak di Kalimantan. Fungsi bejana ini pun beraneka ragam, dari tempat penyimpanan beras, tuak dan benda-benda lainnya sampai kepada tempat penyimpanan mayat. Bentuk dan motif yang ada pada bejana ini pun bermacam-macam pula yang menentukan penggunaannya. Ia juga merupakan lambang kekayaan dan status social seseorang. Di kalangan suku-suku tertentu bejana merupakan salah satu syarat sebagai “mas kawin”.

5. system perladangan

Bennett (1976;247) melihat bahwa adaptasi merupakan perilaku responsive manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata system-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudia membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun social (Alland, Jr, 1975; Alland, Jr dan McCay, 1973; Moran, 1982, 1983). Sebagai suatu proses mengatasi suatu perubahan, hal ini dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan. Oleh karena itu, strategi adaptasi merupakan suatu system interaksi yang terus-menerus antara manusia serta antara manusia dengan ekosistemnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 76-77; Abdoellah, 1997:51-53).

Menurut McElroy dan Townsend (1989), kemampuan suatu kategori individu untuk beradaptasi mempunyai nilai dan makna bagi kelangsungan hidupnya. Semakin besar kemampuan adaptasi makhluk hidup, semakin besar pula kelangsungan hidup makhluk tersebut. Sejalan dengan pandangan ini, Sahlins (1968) berpebdapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses dimana siatu kategori individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya. Oleh karena itu, baik Sahlins maupun Anderson (1973) berpebdapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang berkesinambungan dan tidak akan pernah berakhir dengan kesempurnaan. Jadi adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia selalu berubah (Hardesty, 1977 via Abdoellah, 1997).

Berdasarkan konsep adaptasi ini, hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya harus bersifat sirkuler. Artinya, tingkah laku manusia (kebudayaan) dapat mengubah suatu lingkungan, dan sebaliknya lingkungan yang berubah itu memerlukan adaptasi yang selalu di dapat diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 75-76). Oleh karena itu, adalah releven apa yang dikatakan oleh Alland Jr (1975: 70), yaitu bahwa to combine the study of bebavioral adaptation as human ecology (external adaptation) with the investigation of mental structures (internal adaptation) and their manifestation in actual behavioral system. Inilah yang disebut ekologi structural di mana ada interaksi antara mind, behavior, and ecological adaptation (1975:59).

Sementara itu, para pengikut posibilisme kebudayaan berpandangan bahwa lingkungan selalu bersifat memberi kemungkinan dan pembatasan-pembatasan bagi terbentuknya suatu bentuk kebudayaan tertentu sebagai akibat dari proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam ataupun lingkungan social budayanya (bdk. Sahlins, 1968). Pandangan ini merupakan reaksi terhadap determinisme kebudayaan (bdk. Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Penganut determinisme lingkungan dan paradigma positivisme linear berpandangan bahwa lingkungan menjadi penentu kebudayaan manusia (bdk. F. Barth, 1968; Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Sedeangkan positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, dimanipulasi, dan digeneralisasi sehingga gejala didepan bias diprediksikan. Ilmu-ilmu social yang menganut paham ini harus mengunakan metode ilmiah yang objektif dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, positivisme masyarakat pemisahan fakta dengan nilai dalam rangka pemahaman objektif atas realitas social. Implikasinya adalah bahwa proses perkembangan masyarakat dianalogikan secara linear (bdk. Rimbo G. dkk., 1998).

       Sisten perladangan (berpindah) adalah budaya yang merata di kalangan penduduk asli Kalimantan. Walaupun ini tidak dapat dikatakan khas dayak, karena system perladangan ini terdapat dimana-mana di Indonesia ini, namun ada segi-segi yang khas dapat dikategorikan sebagai budaya suku dayak. Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan adapt berladang:
-          permintaan izin dari kepala suku/kepala adapt;
-          pencarian hutan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tertentu, baik dari segi pengetahuan tentang alam, maupun dari segi kepercayaan apakah hutan yang akan digarap itu akan mendatangkan kebahagiaan atau kecelakaan;
-          upacara membuka hutan dan penggarapan selanjutnya seperti tebang, bakar dan pembersihan;
-          penanaman padi dengan system “menugal” yaitu mengunakan tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih padi;
-          pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembukaan awal dan penugalan biasanya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh penduduk; pekerjaan ini dilakukan secara bergiliran ditiap-tiap lading. Dengan demikian kebutuhan akan tenaga kerja dapat diatasi bersama;
-          kerja menuaipun dilakukan lagi secara gotong-royong;
-          peristiwa menugal dan menuai dianggap peristiwa kegembiraan, dan sebab itu hamper selalu dibarengi dengan nyanyian dan tari-tarian.

       Walaupun ada diantara suku-suku Dayak ini yang telah mempergunakan system persawahan, dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti dikalangan suku-suku Lun Daye di Karayam – Kaltim dan suku Kalabit, namun pada umumnya semua terbiasa dengan system perladangan. System perladangan ini sudah memeperhitungkan siklus rotasi tanaman, dengan menanam kembalii bekas perladangan dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi, karet dan pohon buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudia setelah masa daur 4-6 tahun baru diharap kembali. Oleh sebab itu perladangan (berpindah) tidak bisa dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.

6. kedudukan wanita dalam masyarakat

       System geologis dalam masyarakat Dayak adalah parental, di mana garis keturunan ayah-ibu dianggap sama. Ini berbeda dengan system patrilineal (garis keturunan ayah/lelaki) ataupun system matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Karena itu dalam masyarakat dayak pada hakekatnya kaum wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria. Baik dalam kehidupan social maupun kehidupan religius kaum wanita cukup menonjol peranannya. Bila dibandingkan dengan agama-agama lain seperti Kristen yang memerlukan waktu yang panjang sekali untuk membangkitkan wanita menjadi pendeta. Maka dalam masyarakat dayak sudah sejak semulanya kaum wnaita berperan sebagai balian (imam, prietress). Di kalangan suku Maayan umpamanya, jabatan balian kematian (wadian matei) hanya dijabat kau wanita.

       Kedudukan saa kaum wanita ii dijamin dalam hokum adapt, seperti dalam hokum adapt perkawinan. Pada dasarnya perkawinan di kalangan susku dayak bersifat monogamy. Adanya poligami adalah suatu keadaan yang tidak normal, keadaan yang luar biasa atau diluar kebiasaan. Bila hal tersebut terjadi ada ketentuan adapt yang memberikan keunggulan kepada istri pertama. Bila terjadi perjinahan, ada sanksi-sanksi yang tegas dalam hokum adapt. Biasanya pengaturannya cukup rinci, seperti:
-          perjinahan dengan wanita yang sudah bersuami; inipun dibedakan lagi antara wanita yang sudah punya anak dengan yang belum punya anak.
-          Perjinahan yang dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri hukumnya berbeda dengan lelaki yang belum beristri; dan banyak lagi ketentuan-ketentuan adapt yang pada dasarnya hendak menjamin kedudukan wanita.

7. seni tari

       Dalam masyarakat tradisional, tdilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan seremonial. Namun ada juga tarian yang diadakan pada kesempatan umum, seperti pada waktu gotong-royong menanam padi dan waktu menuai. Tarian pada dasarnya merupakan seleberasi kehidupan. Oleh sebab itu sejauh saya mengetahui, hokum adapt dikalangan suku dayak melarang diadakannya tari-tarian selama masa tertentu setelah peristiwa kematian. Pada akhir ritus kematian, yang menandakan kembali ke kehidupan, diadakanlah pesta tari-tarian yang meriah.

       Tarian dikalangan suku dayak tidak dikhususkan kepada kaum spesialis penari, tetapi pada dasarnya selalu merupakan tarian rakyat, di mana setiap orang, laki-perempuan, tua-muda ikut berpartisipasi. Falsafah tarian itu selalu menunjuk kepada perayaan kehidupan, kelepasan dari ketakutan terhadap maut serta segala rasa duka pribadi; ia melukiskan klimaks dramatis dari suatu transisi dari kematian ke kehidupan.

       Sebagai tarian rakyat, walaupun ada pola gerak tarian itu, namun setiap peserta bebas mengadakan improvisasi-improvisasi menurut variasinya sendiri. Tidak ada gerak yang didiktekan oleh bentuk tarian tersebut. Semua tarian dikalangan suku dayak memperluhatkan wajah tarian popular, artinya tidak merupakan ungkapan feudal, seperti tarian keratin dan sejenisnya. Kebebasan mengadakan inprovasisasi dalam tarian memperlihatkan adanya aspek-aspek kompetitif yang kreatif.

       Masa kini sebagai akibat tuntutan kemoderenan, apa lagi dalam proses melakukan parawisata, maka gerakan-gerakan bebas itu telah dikoreografikan menjadi gerakan kelompok, yang dilakukan oleh para penari menurut pola geometris dengan gerak-gerak bersama. Masalahnya tentu bagaimana menemukan jalan agar kekuatan vital dan orisinalitas tarian itu dapat dilanjutkan dan dipertahankan.


ADAT
Orang Dayak juga sangat berpegang teguh pada hokum adat atau adat-istiadat tradisional nenek moyang mereka yang diwariskan turun-temurun (Schaerer, 1963; Ukur, 1971; Garang, 1974; Coomans, 1993; Schiller, 1997).

. “Sistem adat”  sebenarnya merupakan satu keseluruhan sistem yang berisi pengetahuan mengenai sifat-sifat alam, pengetahuan mengenai moralitas dan etika manusia, pengetahuan mengenai keterbatasan manusia, dan pengetahuan tentang bagaimana perilaku manusia, kecenderungan-kecenderungan yang jahat dapat melukai manusia lain sekaligus melukai alam, bersandar pada moralitas keseimbangan.(Bagus S). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kata “adat” yang sering dipergunakan oleh masyarakat Dayak tidak menunjuk pada sesuatu yang monolitik atau sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, melainkan menunjuk pada suatu keseluruhan yang mungkin terwakili oleh sesuatu yang merupakan bagian. Pada konteks-konteks tertentu kata adat  dapat menunjuk pada aturan, ritual atau sistem religi, namun secara keseluruhan pengertian mengenai adat adalah kesatuan yang utuh dari semua itu.

Kepeimpinan lokal

Pada zaan dahulu,suatu benua dipimin  oleh kepala adat Besar yang disebut Mangku,sedangkan luug dipimpin oleh kepal adat keci (let-let mangku)dan petinggi atau kepala kamug menurut struktur  kepemimpinan lokal.kepala adat kampung memperhatikan soal-soal adat,hukum adat,peradilan adat di kampung,sedangkan petinggi memperhatikan hah-hal di luar bidang adat tersebut.

Asal-usul sistem kepemimpinan tersebut bisa dijelaskan dengan melihat asal-usul pembukaan suatu kampung atau pemungkiman .perintis pertama dan para pengikutnya dalam membuka ladang di hutan primer biasanya didirikan suatu lug atau perkampungan. Kemudian ,perintis diangkat oleh pengikutnya menjadi kepala lug dan di beri gelar merbajag,sedangkan seluruh kerabat dan keturunanya di sebut bajig.selain merbajag,ada penggawag ,yaitu pengawal merbajag dan fungsionaris lain yang disebut mantig tatau yang bertugas memperhatikan kepentingan dan kesejahteran warga benua atau lug.ada pula yang disebut pemanuk yang berfungsi sebagai penglima dan pemimpin perang suku (balaag).ada lagi yang disebut pemancarang yang dipilih dari kalangan bajig untuk mengatur kehidupan adat dan peradilan adat(besarag-besagig).dalam struktur kepemimpinan ini,ada orang secara khusus memperhatikan perladangan warga kampung,yang disebut kepala padang


DAYAK KANAYATN

Terminologi untuk memberi nama pada suku ini Dayak Kanayatn, sampai sekarang pada tataran peneliti antropologi dan sebagian besar masyarakat akar rumput masih dipertanyakan. Penyebabnya adalah bagi masyarakat akar rumput mereka menamai dirinya BAAHE, adapula yang menamai dirinya Dayak Bukit, dan sebutan-sebutan berdasarkan aliran sungai. Sedangkan pada tataran ilmiah (peneliti) tidak terdapatnya sebutan Dayak Kanayatn pada dokumen-dokumen tentang suku-suku penghuni Kalimantan. Dari berbagai dokumen hasil penelitian asal- muasalnya yang bisa diterima adalah pada rumpun Dayak Selako . Sejarah sebutan Dayak Kanayatn masih menarik untuk ditelusuri, terutama bagi generasi Dayak yang menyebut dirinya Kanayatn itu sendiri.

Dasar Pemikiran bahwa mereka (baahe,bajare,banana’) juga Dayak Salako, menurut Simon Takdir adalah  premis bahwa mereka yang berbahasa baahe/banana’ dan ba ngape adalah Dayak Salako antara lain persamaan antara praktek agama tradisional dan bahasanya.

            Menurut orang tua-tua duhulu,dan bahkan menurut orang yang berbahasa bakati sendiri bahwa kanayatn itu adalah mereka yang berbahasa bakati;banyadu,bainyam,dan dialek serumpun lainya. Proses pengambilan nama oleh Dayak Salako kabupaten Pontianak (kabupaten yang dulu) terhadap nama kanayatn (kandayan) barang kali berpatokan dari buku karangan seorang Missionaris (bukan antropolog) Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap,yang berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van DeTaal En Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo (1949)
            Penelitian Dunselman banyak dilakukan di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu.saya tahu bahwa daerah Tiang Tanjung dekat dengan desa-desa orang bakati’(Jirak,Sebangki,Timpurukng) dan desa-desa orang banyadu’(pentek,semade,perigi).kontak antara komunitas dalam hal bahasa,pertukaran barang,perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung.barangkali Dunselman bertanya seperti ini “urakng ahe ba kita’ nian?” Informan ini menjawab”Aku nian urakng Kanayatn”.Tanpa mengorek informasi lebih jauh lagi Dunselman langsung mematenkan informasi itu.saya menduga informan itu mengatakan kalau dirinya dulu orang kanayatn yang berbahasa bakati’/nyadu’tapi sekarang menikah dan tinggal di Tiang Tanjung sehingga menjadi komunitas Tiang Tanjung dan berbahasa baahe/banana’menurut saya disinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah.
            Bukti lain dari kekeliruan itu adalah artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas Putra (1997) mereka mengatakan :
            “ menurut beberapa sumber,pada tahun 1948 orang-rang yang berdialeg bakati’dan banyadu’yang sekolah di Nyarumkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang dari samalantan dan pahuman.menurut orang Dayak Bukati Talaga orang kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’mereka misalnya tidak mampu mngucapkan kata-kata yang berakiran dengan: utn.atn-ikng,-ukng-ekng,secara baik dan benar.dan yang tidak fasi berbahasa ahe/banana itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek Mpape,-banyadu’ dan balangin
 
Secara etnik dapat disimpulkan bahwa mereka yang tidak fasih berbahasa baahe/banana adalah mereka yang non-baahe/non-banana’yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak dapat seperti penutur asli)dalam ucapan baahe/banana’-nya.jadi mereka non baahe/non banana’ adalah Kanayatn.dengan demikian yang fasih berarti bukan kanayatn (kandayan).

Agama Tradisional

            Praktek agama tradisional antara wilayah membagian Kabupaten yang dulu yaitu Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak adalah sama secara umum.misalnya,mithos Ne’Kulup,kosa kata untuk perangkat persembahan (Nyangahatn) misalnya tumpi’poe’,apar,buis,pabayo,pantak,soor (salor),dan tempat-tempat mistis seperti bukit Bawakng, Nek Bancina Tanyukng Bunga (bukit sungai Raya/Pasir Panjang ) berada dikabupaten Sambas.
Bagi suku Dayak, Nyangahathn berarti  melantunkan mantra kepada Jubata, yang
 merupakan bagian dari rangkaian kegiatan religius mereka. Dalam tesisnya berjudul  “Mantra  In Baliathn In The Dayak Kanayathn Siciety” Regina  menulis   bahwa  “ Baliathn in the DK (Dayak) Society is the speech event in which a series of activity are done, such bayanyai’, (discussing), nyangahathn (saying prayer), singing the mantra by the shaman and his/her assistent, batarang mata (giving information) babatak lala’ (telling that something ia taboo to be done or to be eaten)  and basene’ ayo (returning the human’s spirit at the closing of the ceremony) (1997:27). Dari kutipan ini dapat dikemukakan bahwa  Nyangahathn  diterjemahkan  sebagai  Saying Prayer, yang berarti melantunkan doa atau berdoa.
Selain itu dari kutipan di atas juga terungkap bahwa dalam  Baliathn, sebelum memulai membaca mantra (singing the mantra), terlebih dahulu dilakukan Nyangahathn. Perbedaan tahapan  antara Baliatn dan Nyangahatn,  secara eksplisit menunjukkan bahwa melantunkan mantra sebagai Nyangahatn, berbeda dengan melantunkan mantra untuk tujuan  Baliathn. Sedangkan menurut Bahari Dinju, Dkk,  Nyangahathn  adalah wujut upacara religius.  Ia mengatakan untuk mewujudkan kepercayaan tersebut masyarakat Dayak Binua kaca’   selalu melaksanakan dalam  bentuk upacara religius. Dalam bentuk yang paling sederhana  ungkapan religius ini dinamakan  BABAMAKNG, yaitu  ungkapan kepercayaan dalam pernyataan pendek tanpa atau dengan kurban sederhana, yaitu nasi’ dua’ gare’ (nasi dan garam, atau sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau dan rokok daun nipah).  Sedangkan bentuk yang besar disebut Nyangahathn.
Pengertian Nyangahatn sebagai tindakan saying mantra atau pelantunan mantra,  cenderung hanya memberikan tekanan pada perlakuan terhdap unsur lisan dari  kegiatan tersebut.  Padahal kenyataannya tindakan melantunkan mantra hanyalah bagian dari keseluruhan kegiatan, dan hanya dapat dilaksanakan apabila seluruh syarat dipenuhi yang meliputi : sajian, tempat, waktu serta kemampuan khas tokoh atau petugas nyangahatn yang disebut PanyangahatnBerdasar kenyataan tersebut,    istilah Nyangahatn tidak hanya menekankan  pada pelentunan unsur lisannya, melainkan  melingkupi keseluruhan kegiatan dan syarat yang mendukung dilaksanakan kegiatan Nyangahatn. Dengan demikian Nyangahatn dapat dijelaskan sebagai tatacara melantunkan atau menyampaikan ungkapan yang khas Dayak yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur,  mohon rejeki perlingdungan dan keselamatan kepada Awa pama (roh leluhur) dan Jubata (Subjek yang illahi), yang disertai penyerahan kurban (palantar) dengan tatacara yang seragam, yang telah ditetapkan  oleh adat.

Berdasar penjelasan di atas,  maka istilah Nyangahatn dapat disejajarkan bersinonim  dengan istilah upacara  dalam bahasa Indonesia. Sesuai Kamus Bahasa Indonesia, kata  upacara memiliki pengertian peralatan; tindakan atau  rangkaian perbuatan yang terikat peraturan adat atau agama. Sedangkan Nyangahathn adalah rangkaian tindakan yang terikat pada adat suku Dayak. Dengan demikian  istilah Nyangahatn  memiliki pengertian yang identik  dengan upacara.  Sedangkan unsur lisan yang dibacakan atau dilantunkan disebut Sangahatn.
Dalam rangkaian kegiatan berladang suku Dayak,  dikenal paling tidak
18 tahapan Nyangahatn  (upacara adat) sebagaimana terlihat pada gambar mengenai Kronologis Kegiatan dan Upacara  Adat perladangan Suku Dayak kanayatn Kalimantan Barat  berikut ini:



















KEGIATAN NON UPACARA                         KEGIATAN BERUPA UPACARA


                                                                            Baburukng
                                                                      
                                                                            Ka’ Pantak
Pilih lahan
                                                                            Ngawah  (+ toto’ Pangalabur)
Nebas

Mengistirahatkan mata besi
Dan mengeringkan tebasan
                                                                           Nyangahatn  Raba
Membakar
                                                                            Balabuh Ka’ Pabanihan (atau
                                                                            Balabuh  Padapm Api
Nugal
                                                                            Muakng Tabut

                                                                            Ngamalo Lubakng Tugal

                                                                             Ngiliratn  (Muang Baho)
Merumput
                                                                            Nyiakng Buntikng Laki (padi 3 bln)
                                                                            Dan Nyiakng Buntikng Bini (4 bln)
Persiapan/pakarangan
                                                                            Macah Talo’ Padi Mampar

                                                                            Ngikat/ngabat Pihawakng (siap
                                                                            Ngetam

                                                                            Marantika (Penyerahan Panen                                                        
                                                                            Perdana)

                                                                            Ngarantuk (sentuhan pemberkatan)

                                                                             Matahatn  (Pesta)
Panen

                                                                            Mabut Pihawakng
                                                                            (membawa semangat padi pulang
                                                                              ke dango- tempat menyimpan padi).


                                                                                 Naik Dango                                                                            
                                                                                            
                                                                                            (Herman Ivo, dkk.,1999:3)

Catatan:
Upacara Ngikat  dilaksanakan pagi hari, dilanjutkan dengan penetaman padi untuk keperluan persiapan pelaksanaan Upacara marantika pada subuh keesokan harinya, yang dilanjutkan dengan Upacara Ngarantuk. Upacara Matahatn, dilaksanakan beberapa hari setelah  Ngarantuk, agar masyarakat  memiliki waktu cukup melaksanakan pesta ini secara bersama.

Bahasa
            Secara isoglos ( garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata dalam bahasa serumpun) menunjukan bahwa bahasa ba’ahe/banana’ dan bahasa badameo/bajare adalah berasal dari satu rumpun. Secara umum kosa kata adalah sama namun perbedaan ucapan dan beberapa kosa kata lainya karena hasil dari penyesuaian terhadap lingkungan.saya membagi bahasa Salako ini menjadi tiga ragam dialek (isolek) yaitu


Dialek Badameo/badamea/jare
Dialek Ahe /Jare
Ahe/janya
Bahasa Indonesia
Daerah
Binuo Bantanan,
Binuo Sakawokng
Sawak,Gajekng
Mampawah/Sa’iri
Sangah dan Menyuke

Kata/Kalimat
Dameo/Damea
Sio/sia
Na’un
Ahe jare
Sia
Naun
Ahe janya,Ape
Keatn,kea
Naung,naun
Apa katanua
Sini
Sana

Adanya dua hal yang sama diatas menunjukan bahwa mereka berasal dari satu titik sentral,yaitu dari daerah salako (austronesia) di kabupaten Sambas.
Perbedaan yang ada dalam praktek agama tradisional dalam bahasa (isolek) karena hasil proses adaptasi terhadap lingkungan serta kontak budaya (alkurturasi) dengan dunia luar.
            Kontak budaya dengan dunia luar telah terjadi antara daerah Pakana (Karangan) di Mempawah Hulu dengan kerajaan Majapahit pada pertengahan tahun 1300 M.ketika itu Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta yang dibantu oleh Patih Gajah Mada dan membawa Majapahit ke jaman keemasaan. Perluasan daerah terjadi sampai ke Kalimantan Barat yaitu kerajaan Sidiniang di Karangan. disini Gumantar dalam mengenang Raja pendiri Majapahit,Raden Wijaya yang bergelar Kertajasa Jayawardana (1293-1309) memberi nama putri nya Dara Irakng (Dara Hitam).Kertajasa selain menikahi empat putri Kertanegara (Raja Singosari) juga menikahi Dara Jingga yang bergelar Sjri Indresjwari,seorang putri dari kerajaan Melayu yang dibawa Panglima kerajaan Singosari sebagai upeti.pada waktu telah terjadi pengaruh ucapan bahasa dari bahasa Kawi (jawa kuno) kebahasa daerah setempat.Misalnya

Bhs.Kawi
Dialek Ahe/Janya
Dialek Dameo/Jare
Bahasa Indonesia
1.Pahoman
2.Walu
3.Tineget/tenget
4.Marga
5.Walyan
6.Sunsang
Pahuman
Balu
Teget
Maraga
Baliatn
Sunsakng
Pahauman
Bau
Teget
Marago
Baiyotn
Sunsokng
Tempat sidang
Duda
Tolak
Jalan
Belian
Kepala kebawah
 
Daerah Kabupaten Sambas (kabupaten yang dulu) mempunyai dialek dengan fonem/o/ dalam contoh 4 dan 6.dialek ini muncul karena barang kali pengaruh kerajaan Sriwijaya di Palembang lebih kuat,Dialek tersebut lebuh mirip dengan bahasa Palembang,misalnya :ngpo (ngapa),kamano (kemana,dst.



4.2. MENGURAI  IDENTITAS ETNIK MELAYU SAMBAS



Sosio Historis

Melayu sesungguhnya meliputi seluruh suku bangsa yang ada di Nusantara . Tapi dalam perkembangan selanjutnya  Melayu adalah orang yang beragama Islam dan berbahasa Melayu. Merujuk pada  Anwar Din (2008:13-15),

                        Orang Melayu terbentuk daripada gabungan pelbagai kumpulan etnik. Sebagahgiannya terdiri daripada masyarakat watan di Semenanjung Tanah Melayu, iaitu orang Kelantan, orang Terengganu, orang Kedah, orang Pahang, orang Johor, orang perak dan orang Melaka. Sebahagian lagi berasal dari keturunan Jawa, Sunda, Bugis-Makasar, Minangkabau, Banjar, mandailing, Krinci, Riau, Boyan, acheh dan Jambi. Selain itu, terdapat komuniti-komuniti lain seperti orang Arab, India, Siam, Cina, dan erofah beragama Islam yang menjadi Melayu. Asas penyatuan Melayu ialah agama Islam dan bahasa melayu.

Teori tentang asal usul orang Melayu yang agak relevan telah diberikan oleh Stamford Raffles sejak awal abad ke-19 lagi (Anwar Din, 2008:15). Merujuk Anwar Din, Stamford Raffles begitu cemburu dengan Islam, namun beliau mengakui sumbangan Islam dalam pembentukan orang Melayu. Menurut beliau :

                       The most obvious and natural theory on the malay origin is that they did not exist as a separate and distinct nation until the arrival of the Arabians in the Eastern Seas. At the present day they seem to differ from the more original nations, from which they sprung in about the same degree, as the Chuliahs of Kiling differ from Tamil and Telinga nations on the Coromandel coast, or the Mapillas of Malabar differ from the Nairs, both which people appear in like manner with the Malays, to have been gradually formed as nations, and separated from their original stock by the admixture of Arabian blood, and the introduction of the Arabic language and Moslem religion.

Menurut  Shamsul,AB ( dalam Yusuf Ismail dan Rahimah, 2000: 194-195), Stamford raffles adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep the Malay Nation, the Malay race. Di dalam bukunya “ On the Malayu nation, with a Translation of its Maritime Institutions” yang diterbitkan dalam jurnal Asiatic Researcher (Calcutta, 1816, 12 :140-160). Konsep bangsa Melayu berasaskan bahasa. Konsepsi Raffles secara epistimologis dipengaruhi oleh pendekatan Johann Herder (1744-1803) seorang pemikir Jerman yang menganjurkan konsep ‘ bahasa jiwa bangsa’. Konsep ‘ bangsa Melayu’  Menurut Raffles ini sebagai berikut :
                        …. I cannot but consider the Malayu nation as one people, speaking one language, though spread over so wide a space, and preserving their character and customs, in all the maritime states lying berween the Sulu Seas and the Southern Oceans, and bounded longitudinally by Sumatra and the western side of Papua or New Guinea (Raffles, 1816 : 103)

Dapat kita rumuskan dari uraian tersebut bahwa Raffles telah mempunyai gambaran yang jelas tentang ‘sempadan fizikal/batas wilayah’ kawasan penempatan bangsa Melayu, yang kemudiannya kita kenal sebagai ‘alam Melayu’, ‘Dunia Melayu’, atau ‘Nusantara’.
Selain dari konsep bahasa itu, Raffles juga menambahkan  dengan memasukan  konsep sejarah untuk bangsa Melayu. Kosepnya itu ialah Salalatus-Salatin (Peraturan segala Raja-raja) sebagai sejarah Melayu. Selengkapnya Syamsul AB  dalam Yusuf Ismail dan Rahimah, 2000: 194-195 mengatakan
                     “ Boleh kita rumuskan bahwa Raffles, sebagai sarjana perintis, telah meletakan batu asas dan kerangka epistemologi ilmu kolonial Melayu, bersendikan skema klasifikasi dan teori sosial Erofah, melalui konsep ’bangsa Melayu berasaskan bahasa’,’konsep wilayah Melayu’,’konsepsi sejarah Melayu’ dan ’konsep ras melayu’. Ringkasnya, apa yang telah dilakukannya ialah mengasaskan sebuah ’ paradigma Raffles’.

Dalam pengertian umum, berdasarkan kepada konstitusi Negara Malaysia, ”Melayu” adalah seseorang yang berbicara serta berbudaya melayu dan beragama Islam (one who speaks Malay habitually, practices Melayu culture, and is a muslim). Secara geografis suku bangsa muslim yang berbicara dan berbudaya melayu adalah penduduk dari berbagai suku yang mendiami kawasan Asia Tenggara yang membentang dari selatan siam, seluruh Malaysia, Brunei Darussalam, seluruh kawasan Indonesia, dan sebagian Filipina Selatan termasuk Kepulauan Sulu.
Selain itu ada pengertian Melayu yang lebih luas dan universal lagi dari pada pengertian Melayu secara agama, geografis dan etnis. Konsep itu adalah ”Alam Melayu”  seperti yang dikemukakan oleh James T. Collins. Menurutnya konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan pada peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia Tenggara. Dalam konsep ini melayu tidak hanya sebatas etnis dan agama (Islam) melainkan semua komponen semua penduduk Asia Tenggara yang bahasanya dipertuturkan dengan bahasa Melayu.  Dari konsep ini dapat ditarik kesimpulan umum bahwa orang-orang dari etnis apapun di Asia Tenggara ini, sekalipun tidak beragama Islam, termasuk kedalam keluarga besar Melayu asalkan mereka berbahasa Melayu. Melayu ini dapat dikategorikan sebagai Melayu ”tua”.
Banyak perbincangan yang menyoalkan apakah Melayu merupakan penduduk asli pulau Kalimantan. Untuk mengkritisi masalah ini ada baiknya kita identifikasikan suku bangsa Melayu melalui tahapan perkembangan kebudayaannya. Menurut Muhammad Yusoff Hasyim (2000)  peradapan Melayu dapat dibagi kepada lima periode besar, yaitu:
1.      Periode awal, dimulai dengan zaman pra-sejarah (zaman Batu dan Zaman Logam).
2.      Periode pengaruh Hindu dan Budha, terutama dalam bentuk sinkretisasi budaza asing dengan budaza setempat.
3.      Periode pengaruh Islam, dalam bentuk pengikisan pengaruh Hindu dan Budha serta perwujudan rasionalisasi pengaruh Islam dengan pengaruh setempat.
4.      Periode pengaruh Asing (Barat dan Timur), yaitu masa penjajahan: Portugis, Belanda, Jepang, Inggris, dll.
5.      Periode setelah Merdeka: di Indonesia mulai tahun 1949, di Malaysia mulai tahun 1957, dan di Brunei Darussalam mulai tahun 1984, dll.

Jika kita perhatikan periodesasi tersebut di atas maka terlihat dengan jelas ternyata Melayu di Asia tenggara telah sangat tua keberadaannya, dan boleh jadi asal mula Melayu “tua” itu sesungguhnya ádalah penduduk paling pertama dan asli yang mendiami wilayah Nusantara dan atau Asia Tenggara itu sendiri.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Muzium Sarawak melaporkan bahwa komunitas pertama yang mendiami pulau Kalimantan ini adalah manusia di gua Niah yang telah hidup sejak 50.000 tahun sebelum Masehi. Gua Niah merupakan satu kawasan studi arkeologi (kajipurba) yang penting di wilayah Serawak, Malaysia timur, dan juga di Asia Tenggara, terletak disekitar 110 km keselatan kota Miri. Goa ini telah diteliti oleh Muzium Sarawak mulai tahun 1954. Banyak barang purba yang ditemukan  didalam goa ini yang mengisyaratkan pernah di huni oleh manusia antara 50.000 – 40.000 tahun sebelum masehi.
Menurut Munawar (2003:5) bahwa Suku Melayu di Kalimantan pada hakekatnya terdiri dari orang Melayu asli yang berasal dari Sumatera atau Semenanjung Malaka dan yang berasal dari orang-orang Dayak (Melayu-Dayak) dari proses Islamisasi. Sekarang antara keduanya tidak lagi dapat dibedakan mana yang asli dan mana yang bukan.
Dalam konteks  Melayu  Sambas pun   hal di atas juga berlaku. Merujuk kepada Bakran Suni, et all (2007:152), bahwa asal usul Melayu Sambas  dapat dibagi kedalam dua golongan, yang pertama adalah yang berasal dari keturunan raja/sultan Sambas dan yang kedua adalah orang-orang dari suku bangsa lain yang memeluk agama Islam dan bertutur dalam bahasa Melayu Sambas. Jadi dengan demikian asal usulnya tidak tunggal dan tidak pun berazaskan keturunan. Yang Azas adalah  beragama Islam  dan berbahasa Melayu Sambas.
Berdasarkan  dua perspektif tadi, yaitu periodesasi Kebudayaan Melayu dan Manusia Gua Niah, dapat disimpulkan bahwa secara biologis suku bangsa Melayu di Kalimantan, termasuk Melayu Sambas, tidak lain adalah penduduk asli Kalimantan itu sendiri, yang pada periode awal mereka hidup sebagai manusia purba baik dalam kulturnya maupun kepercayaannya.
Pada periode kedua peradaban Melayu telah bercorak Hindu-Budha dengan hampir semua kerajaan Melayu tunduk dibawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Ketundukan itu dibuktikan dengan pemberian upeti kepada Majapahit setiap tahun dalam bentuk satu tempayan (gentong) air pinang muda. Periode ini berlangsung hingga abad ke-14 M. Sebagaimana kerajaan lain di Kalimantan Barat, wujud dominasi kerajaan Majapahit di kerajaan yang ada di Sambas adalah dalam bentuk keterlibatan langsung anak keturunan penguasa Majapahit di kerajaan ini. Di dalam naskah Asal Raja-raja Sambas dikemukakan nama-nama penguasa ”Sambas Tua” dan keluarganya seperti Ratu Sepuda’, Mas Ayu Anom Kesukma Yudha, Mas Ayu Bungsu, Pangeran Prabu Kencana dan Pangeran Mangkurat yang semua nama dan gelarnya itu bercorak Hindu-Budha dan Jawa.
Setelah kekuasaan Majapahit runtuh dan poros pengaruh regional nusantara berpindah ke kerajaan Melayu Johor yang terletak di Semenanjung Melayu, kerajaan Sambas juga tunduk dibawah pengaruh Johor, meskipun masih tetap bercorak Hindu-Budha.
Pada periode ketiga Peradaban Melayu yang bercirikan Islam, Sambas telah mengukuhkan dirinya sebagai bagian dari wilayah Islam yang dimulai dengan dideklarasikan kesultanan (Kerajaan Islam) Sambas oleh Raden Sulaiman pada tahun 1040H/1630M. Proses dakwah Islam berikutnya lebih banyak dilakukan dengan pendekatan pembauran, baik dalam bentuk perkawinan maupun dalam bentuk asimilasi antar adat setempat dan agama/kepercayaan yang ada dengan ajaran Islam. Dengan demikian ciri utama kehidupan keagamaan masyarakat Sambas pada masa berikutnya ini ditopang oleh dua penyangga tersebut, yaitu ajaran Islam dan kepercayaan/budaya setempat. Oleh penguasa Sambas ajaran Islam dibakukan dalam bentuk Hukum Kanun sedangkan kepercayaan/budaya setempat dibakukan dalam Hukum Adat. Eksistensi dan saling pengaruh antara kedua hal tersebut melahirkan tiga corak budaya mereka, pertama: Islam dan kepercayaan/adat setempat sama-sama berlaku dengan masing-masingnya berdiri sendiri, Kedua: pengamalan Islam
            Ditinjau dari perjalanan sejarahnya, identitas Melayu Sambas yang terlihat sampai saat ini merupakan hasil interaksi dan akulturasi beberapa kebudayaan besar yang pernah hadir dan memainkan peranannya di Sambas dalam jangka waktu yang cukup lama. Beberapa kebudayaan besar yang memiliki andil dalam pembentukan identitas Melayu Sambas adalah sebagai berikut:
            Pertama: Kebudayaan Pagaruyung, Mingkabau. Diantara komunitas pendatang yang pertama datang ke Sambas adalah para perantau dari Pagaruyung. Pendatang yang terkenal dengan tradisi merantau dan berlayarnya ini sangat berpengaruh kepada semangat merantau dan berlayar pada orang Melayu Sambas sejak jaman dahulu.
            Kedua: Kebudayaan Jawa. Budaya ini dipastikan ada pengaruhnya dalam pembentukan identitas Melayu Sambas. Sebagian besar sistem religi dan kepercayaan (seperti kepercayaan kepada makhluk halus semacam hantu), pola dan sikap hidup (seperti sifat sabar dan mengalah) serta tradisi tertentu (seperti bepapas) mirip dengan budaya Jawa. Pengaruh ini terjadi sebagai akibat dari perjalanan sejarah Sambas yang dalam waktu yang cukup lama, sejak pertengahan abad ke-14, kekuasaan Jawa telah masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sambas. Bahkan dapat dikatakan masa awal perpolitikan dan pemerintahan di Sambas adalah dimulai dan berada di bawah pengaruh langsung kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu/Budha.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Ketiga: Kebudayaan Melayu Brunei dan Melaka. Kebudayaan ini bercorak Islam dan terpusat di Istana. Melayu Sambas pernah besar dengan kesultanannya yang gemilang lebih dari tiga abad (1631-1943). Sejarah kekuasaan di Sambas merupakan simbolisasi kebanggaan yang melegenda, khususnya di Kalimantan Barat kesultanan Sambas adalah satu-satunya kesultanan tua yang masih dapat disaksikan peninggalannya secara utuh sampai dengan saat ini.
Keempat: Kebudayaan Bugis. Eksistensi orang Bugis di Sambas dimulai dengan aktivitas perdagangan mereka ke Sambas dan disediakannya areal pemberhentian mereka di sekitar pelabuhan Sambas yang disebut dengan Kampung Bugis. Di antara kebudayaan Bugis yang diserap oleh Melayu Sambas adalah bahasa, terutama terlihat pada penamaan atau sebutan tertentu dengan tambahan kata ”ng” seperti main = maing, masin = masing, kain = kaing.
Menurut  Husna Asmara, (2002:2), Menyikapi Tekad Mufakat Masyarakat Kalimantan, Pengertian Melayu Sambas ini merujuk kepada eksistensi suku bangsa Melayu yang ada di Sambas sejak berdirinya Kesultanan Sambas (1040H/1631M) sampai dengan sekarang ini. Tanpa menyertakan ”Melayu Tua” seperti yang dikonsepsikan oleh Muhammad Yusoff Hasyim berkenaan dengan Melayu Zaman Pra-sejarah (Zaman Batu dan Zaman Logam) dan Melayu Zaman Pengaruh Hindu dan Budha (1992:2-3), serta yang dikonsepsikan oleh Prof. James T. Collins tentang The Prehistory of Malay dan Early Malay (1998:vii) sehingga olehnya digagas perluasan makna Melayu dengan konsep ”Alam Melayu” (Yusriadi, 2003:vi-vii).

Apabila kemudian kita memadukan berbagai data-data tersebut di atas dengan etnik asli  yang berdiam di wilayah yang sama sebagaimana  yang pernah di rilis oleh ahli-ahli antropologi,  maka kemungkinan besar sebagian besar  etnik Melayu Sambas berasal dari etnik yang sekarang ini disebut sebagai etnik  Selako, etnik Lara, etnik Borneo asli lainnya[1]. Lihat diagram rekonstruksi dibawah ini. 
                                       Diagram 1.
Hibriditas identitas yang terjadi di Sambas ini sebenarnya menarik untuk dikembangkan sebagai wacana multikulturalisme di Sambas. Selama ini masyarakat Sambas dikonstruksi sebagai masyarakat majemuk yang (hanya) terdiri dari tiga suku bangsa dan budayanya yakni Melayu, Dayak dan Cina. Konstruksi ini demikian kuat didukung oleh Pemda Kabupaten Sambas, dalam Gelar Budaya Multietnis di Alun-alun Keraton Alwatzikhoebillah Sambas tanggal 20 Desember 2005 hanya menampilkan kesenian dari tiga suku bangsa tersebut. Sambas sebenarnya lebih kaya akan keberagaman budaya karena ada komunitas-komunitas etnis dan budaya lain yang pantas diperhitungkan seperti Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura dan etnis lain serta bentuk-bentuk budaya hibriditas yang merupakan hasil dari proses akulturasi budaya berbagai kelompok etnis.
             
2.2. Sosio Budaya Melayu


Apabila membicarakan tentang budaya, dua persoalan pokok yang tidak boleh diabaikan ialah cara hidup dan sikap sesebuah masyarakat itu terhadap sesuatu perkara seperti pendidikan, ekonomi, politik, seni dan adat istiadat. Budaya yang masih terpelihara adalah warisan tradisi yang sudah menjadi darah daging seperti kenduri kendara, majlis perkahwinan dan sebagainya yang memerlukan penglibatan saudara mara serta amalan tolong-menolong. Kamus Dewan Edisi Keempat 2005 mendefinisikan sosiobudaya sebagai hubungan masyarakat dengan budaya. Hubungan ini adalah seperti cara hidup, adat istiadat dan lain lain.
Menurut Hannerz (1992:3) menyatakan bahwa…. To study culture is to study ideas, experiences, feelings, as wel as the external forms that such internalities take as they are made public, available to the senses and thus truly social. For culture, in the anthropological view, is the meanings which people create, and which create people, as members of societies. Culture is in some way collective. Selanjutnya Anwar Din (2008:33) menyatakan budaya itu tercakup di dalamnya tentang cara hidup sesuatu masyarakat, tamadun, peradabannya dan kemajuan akal budinya. Dan pengertian cara hidup itu pula, mencakup hal-hal tentang cara berfikir, adat istiadatnya, kesenian dan hal-hal mengenai kehidupan mereka seperti cara berekonomi, cara berpolitik, cara belajar dan lain-lain. Budaya adalah sesuatu nilai dan pegangan hidup, gabungan dua unsur budi (sesuatu yang luhur, murni dan suci) dan daya (keupayaan, kemampuan dan kekuatan yang terangkum di dalam akal, jasmani dan rohani). Kekuatan akal semata-mata tanpa kekuatan jasmani tidak dapat melahirkan bangsa yang maju, positif dan dapat memenuhi perubahan dalam semua aspek kehidupan. Hassan Ahmad (dlm Dewan Budaya, 1996), memberikan pendapatnya tentang budaya. Menurut beliau, mempunyai budaya bererti mempunyai adat, mempunyai peraturan atau sistem hidup, mempunyai moral dan etika. Kebudayaan adalah tanda bahwa manusia boleh berfikir, mempunyai perasaan dan daya cipta.

2.2.1. Kehidupan Masyarakat Melayu Sambas

Dari aspek budaya, masyarakat Melayu Sambas mewarisi budaya yang berasal dari asal suku bangsa yang membangunnya seperti Bugis, Banjar dan suku bangsa lainnya yang beraga Islam dan menyebut dirinya Melayu serta diakui sebagai Melayu. Hal utama yang penting bahwa budaya tersebut adalah berteraskan Islam. Tauhid dan prinsip-prinsip Islam mendasari setiap aspek kehidupan sama ada kehidupan individu, berkeluarga, ekonomi, seni, pendidikan dan lain-lain. Bagaimanapun, terdapat sedikit perbedaan di antara segala jenis gagasan atau idea yang berpunca daripada agama Islam dengan yang berpunca daripada kehidupan tempatan masyarakat Islam sendiri terutama sebagai kesan simbolik ataupun perlambangan terhadap alam ghaib yang ganjil dalam kehidupan. Segala gagasan yang bukan Islam ini dinamakan adat atau kepercayaan (Zainal Keling, 1989:33).
Masyarakat Melayu tradisional di daerah Sambas masih juga mengekalkan amalan yang dianuti oleh golongan tua sejak zaman berzaman. Amalan ini mencakupi pelbagai aspek sosiobudaya yang dianggap unik dan tersendiri.
Masyarakat Melayu Sambas juga mempunyai ikatan kekeluargaan dan kekerabatan antara satu sama lain, sama ada melalui darah keturunan mahu pun melalui perkahwinan. Hasil kajian daripada penduduk kampung Sasak mendapati anak-anak mereka yang sudah berkahwin akan membina rumah secara berdekatan atau berkelompok dengan keluarga mereka yang terdekat. Lagipun pada masa dahulu, perkahwinan dengan sepupu atau dengan  penduduk kampung itu sendiri menjadi amalan dan budaya masyarakat Melayu  di daerah Sambas.
Kaum kerabat merupakan orang yang amat penting dalam kehidupan mereka. Kaum kerabat bukan saja dikenali sebagai kaum keluarga tetapi juga sebagai sahabat karib karena mereka merupakan teman yang paling rapat dan tempat mendapat bantuan sama ada dalam keadaan suka ataupun duka. Misalnya, apabila ada peristiwa yang penting seperti perkahwinan, bersalin, khatam Al-Quran, berkhatan, kematian dan kemalangan. Kaum kerabat akan berkumpul bersama bagi meringankan beban keluarga yang berkenaan. Bantuan dan pengaruh kaum kerabat bukan saja dapat dirasakan pada ketika tertentu, bahkan dapat dirasakan sepanjang hidup seseorang.
Satu lagi aktiviti atau amalan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Melayu Sambas untuk merapatkan lagi hubungan kekeluargaan ialah bersilaturahmi pulang ke kampung halaman. Bersilaturahmi pulang ke kampung  bermaksud menziarahi kaum keluarga atau sahabat handai dalam  jangka masa satu hingga dua hari dan paling tidaknya sempat makan dan minum.

2.2.2. Adat dan Kepercayaan

Agama Islam dan adat tradisi dianggap sama penting dalam kehidupan masyarakat Melayu Sambas. Ketaatan dan kepatuhan kepada kedua-duanya dipercayai dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka baik di dunia mahupun di akhirat. Sebaliknya, ketidakpatuhan terhadap ajaran agama atau adat dipercayai akan mengakibatkan kecelakaan atau malapetaka seperti sial, rezeki berkurangan, wabak penyakit, kemalangan, kemandulan, kematian, gangguan makhluk halus dan sebagainya.
Adat dan kepercayaan masyarakat Melayu Sambas menjangkau berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan agama. Dalam masyarakat Melayu Sambas, adat memainkan peranan yang penting dalam menangani hal ehwal masyarakat Melayu Punca utama adat adalah berupa kaedah-kaedah kehidupan seharian yang muncul secara langsung daripada rasa keadilan yang tertanam di kalangan masyarakat. Oleh itu, Penghulu atau Ketua Kampung dalam penyelesaiannya bukan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi menjelaskan bagaimana keputusannya terhadap perkara tersebut membawa keharmonian dan ketenteraman di dalam masyarakatnya.
Sementara itu, kepentingan aspek keagamaan menjadi pegangan masyarakat Melayu Sambas. Masyarakat Melayu Sambas khususnya telah lama menganut agama Islam iaitu sekitar abad ke-15[2].
Sehingga kini agama Islam mempunyai pengaruh yang kuat dan menebal dalam kehidupan mereka. Prinsip agama Islam dijadikan pedoman hidup dan sebagai masyarakat beragama Islam, mereka bersembahyang lima waktu sehari, berpuasa dalam bulan Ramadhan, membayar zakat dan fitrah, menunaikan fardhu haji, mengaji dan berkhatam Al-Quran, mengharam daging babi dan minuman keras serta menyambut perayaan seperti Hari Raya Puasa, Hari Raya Haji dan Maulidur  Rasul.
Bicara dalam kontek Melayu Sambas tentang upaca ritual adat/keagamaan pada dasarnya lebih dekat pada ajaran, budaya (culture) agama Islam. Hari-hari besar agama Islam merupakan hari-hari besar bagi masyarakat Melayu Sambas. Meskipun dalam implementasinya terdapat pengaruh budaya orang-orang Melayu sebagai budaya murni etnis yang bukan dari ajaran agama. Sehingga dalam pengamalannya memunculkan “gaya atau model” seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (sebagai dua kelompok organisasi keagamaan dalam Islam yang besar). Peringatan bernuansa Islamy yang sering diperingati/dilaksanakan diantaranya adalah peringatan tahun baru Islam ( 1 Muharam), isro’ mi’raj Nabi ,puasa bulan ramadhan, nuzulul qur’an, hari raya 1 syawal dan 10 zulhijjah dan sebagainya. Umumnya peringatan-peringatan bernuansa keagamaan masih diperingati masyarakat Melayu Sambas dengan berbagai model dan pola tersendiri dari berbagai daerah.
Pendek kata, pengaruh agama Islam boleh dirasakan wujud dalam semua peringkat kehidupan khususnya seperti adat perkahwinan, adat bersalin dan kelahiran dan adat kematian. Bagi menjaga kepentingan agama Islam dalam kehidupan mereka , masjid dan surau serta pegawai-pegawai agama dilantik. Pegawai agama, orang alim seperti Imam, Khatib dan Bilal serta Penghulu dan Ketua Kampung diberi penghormatan yang tinggi dan kepada merekalah penduduk bertumpu untuk mendapat penerangan dan penyelesaian agama dan adat istiadat serta masalah kehidupan seharian.
Adat berkhatan juga merupakan tradisi yang diamalkan di daerah ini sedikit masa dahulu. Disebabkan terdapatnya kemudahan kesihatan dan perubatan moden, adat ini semakin dilupakan. Dalam majlis berkhatan, kanakkanak yang hendak berkhatan, hendaklah disuruh mandi di sungai untuk berendam. Berendam adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Melayu Sambas yang bermaksud mandi dalam jangka masa yang agak lama di sungai iaitu tiga hingga empat jam. Upacara ini dilakukan kononnya untuk membina semangat dan sebagai cabaran pertama untuk menempuh alam remaja. Selain itu, upacara ini dilakukan kononnya untuk menghilangkan rasa sakit ketika berkhatan.
Amalan mandi Safar  sangat menebal dikalangan masyarakat Melayu Sambas sekitar tahun 60an hingga tahun 70an. Air yang digunakan  ialah air yang telah direndam dengan ayat-ayat suci Al-Quran dan jampi serapah (ditulis pada kertas putih) yang diberi oleh Imam atau Khatib di kampung tersebut. Upacara mandi ini biasa dilakukan oleh sesebuah keluarga pada sebelah malam purnama bulan Safar. Tujuan mandi ini kononnya untuk menjauhkan segala kecelakaan dan kesialan dalam hidup serta dijauhkan daripada berbagai jenis penyakit dan diberkati dalam hidup.
Kepercayaan dan pengamalan terhadap nilai-nilai setempat tidaklah merata pada seluruh warga kampung. Kepercayaan dan pengamalan warisan tradisi setempat sangat kuat di lingkungan keluarga para pewaris tradisi itu. Dapat dikatakan bahwa, semakin dekatnya hubungan kekeluargaan seseorang dengan pewaris tradisi semakin kuat mereka memegang kepercayaan dan amalan tradisi begitu juga sebaliknya. Bahkan, ada juga penduduk yang hampir seluruhnya meninggalkan kepercayaan dan amalan tradisi; terutama yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu tidak terjadi pertentangan di masyarakat.



RUJUKAN
Abdul Aziz, Rahimah & Mohamed Yusoff Ismail, 2000. Masyarakat, Budaya dan Perubahan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Anwar Din, 2008. Asas Kebudayaan dan Kesenian Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Bakran Suni, et all, 2007. Sejarah Melayu Sambas, Lembaga penelitian Universitas Tanjungpura Pontianak.
Barth, Frederick. 1969. Ethnic Group and Boundaries, Boston:The Little Brown and Company.
Barker, Chris. 1999. Cultural Studies, Teori dan Praktek, Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.
Collins, J.T. & Awang Sariyan, 2006. Borneo and the Homeland of The Malays, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Collins, J.T. ,2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Sejarah Singkat.Obor, Jakarta.
Coomans, Mikhail, 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Dove, Michael R, 1988. The Real and Imagined Role of Culture in Development, case studies from Indonesia, University of Hawaii Press, Honolulu.
Duman, J.1975. Dalam J.U.Lontaan, Sejarah Hukum Adat dan Adat Kebiasaan di Kalimantan Barat, Jakarta: Bumi Restu.
Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de Geographie van Borneo’s Wester afdeeling. Supplement to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap, 1901-03. Leiden : Brill, 1903.
Eriksen, Thomas Hylland, 1995. Small Places, Large Issues An Introduction to Social and Culture Anthropology, Pluto Press, London-Sterling-Virginia.
Geertz, Clifford, 1973. The Interpretation Of Cultures, Basic Books, Inc., Publishers, New York.
Hulten, Herman Josef, 1992,  Hidupku di antara suku Daya, Gramedia, Jakarta
Ishak bin Saat, 2006. Sejarah Sosiobudaya Melayu, Karisma Publication, Shah Alam.
King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo, Blackwell, Oxport & Cambridge.
King, Victor T & Michael Hitchook, 1997.  Images of Malay-Indonesian Identity, Oxport University Press, Oxport-Singapore-New York.
Kuhr, E.L.M, 1995. Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV Uitgeverij, Leiden.
Koentjaranigrat. 2000. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaranigrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: djambatan.
Leahy, Louis. 1985.  Manusia Sebuah Misteri: Suatu  Kajian Tentang Filsafat Manusia , Jakarta: PT. Gramedia.
Madrah, Dalmasius, 1997. LEMU Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq & Tunjung,  Puspa Swara & Yayasan Rio Tinto,  Jakarta.
Maunati, Yekti, 2004,  Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.

Rademacher,J.C.M., 1780, Beschrijving van het Eiland Borneo, voor zo Verre het Zelve,  
               tot nu Toe, Bekend is. VBG 2, p.107-148) in second Batavia ed.(1823),43-69.
Shamsul Amri Baharudin, 2007. Modul Hubungan Etnik, Universiti Teknologi Mara, Shah Alam.
Suni, Bakran, et all, 2007, Sejarah Melayu Sambas,  Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Takdir, Simon. 2003. Suku Dayak Selako, Belum Publikasi
Veth, P.J. Veth. Borneo’s Wester-afdeeling, geographisch, statistisch, historisch,              voorafgegaan door eene algemeene schets des gansch eilands (Zaltbommel:               Joh. Nomanen Zoon, 1854)




4.3.  MENGENAL KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADURA:

       Madura dapat dikatakan identik dengan islam, meskipun tidaksemua penduduk memeluk agama Islam. Di Kabupaten Sumenep pada tahun 2000,  pemeluk islam  sebanyak 968.772 orang, Kristen sebanyak 916 orang, Katolik 947 orang (kabupaten Sumenep dalam angka 2000:98). Namun demikian adat-istiadat orang Madura sangat dipengaruhi agama Islam.
Citra madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Seseorang yang sudah Haji dianggap telah memperoleh kesempurnaan hidup. Hampir setiap rumah orang madura memiliki bangunan langgar atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang islam ketika melaksanakan ibadah sholat (Wiyata, 2002:44).
       Di Madura, sebutan untuk ulama atau kiai seperti diatas adalah Keyae. Seorang kiai adalah  orang yang tinggi pengetahuan agamanya. Biasanya seorang Keyae, memiliki atau memimpin sebuah pondok pesantren. Tetapi, dapat juga karena ia memiliki darah keturunan dari seorang Kiai. Sampai saat ini, unsure  keturunan itu merupakan factor penentu penyebutan seseorang sebagai Kiai. Apalagi factor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang karismatik, maka anak-anaknya, secara otomatis, juga akan disebut oleh masyarakat Madura sebagai kiai. Ia akan mudah mempengaruhi dan mengerakkan masayarakatnya.
       Agama Islam dan ulama di Madura memiliki tempat yang khusus dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebagai suatu kelompok etnik, masyarakat Madura memiliki sentimen keagamaan islam yang tinggi.Identitas keagamaan islam yang kuat dikalangan masyarakat Madura berakar dari proses histeris yang panjang. Proses peng-Islaman penduduk local mulai meluas dan intensif sejak pertengahan abad ke-16 ketika raja-raja local di Madura mulai memeluk agama Islam. Sejalan dengan meningkatnya  perdagangan antarwilayah pada masa lalu, penyebaran agama islam di Madura juga meningkat pesat. Daerah-dareah Madura yang memiliki perkembangan potensi perdagangan yang cukup pesat, seperti Sumenep, tumbuh menjadi daerah islam yang sangat penting jika dibandingkan dengan wilayah Madura yang lain .
       Ulama atau keyae memiliki tempat yang spesifik dalam masyarakat madura, tidak hanya karena proses histories seperti di atas, tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur pemukiman penduduk yang ada. Kondisi-kondisi demikian, kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas ulama. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan, pembangun sentiment kolektif keagamaan, dan penyatu elemen-elemen sosial atau kelompok kekerabatan yang tersebar karena factor-faktor ekologis dan struktur pemukiman tersebut. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan jika ulama atau kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang Madura (Kuntowijoyo, 1993:85-87). Karena kepatuhannya kepada kiai yang sangat kuat, seorang ulama muda dari Bangkalan, KH. Khozim Karim, menyebut masyarakat Madura sebagai “masyarakay kiai”.

“Dalam masyarakat madura, kiai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kiai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kiai akan lebih dihormati kalau ia memiliki charisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan di laksanakan umatnya (orang madura). Pejabat dan orang kaya di sini, masih hormat kepada kiai. Setelah kiai, pejabatlah yang dihormati masyarakat madura. Ia symbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium tangan kiai. Orang kaya dihormati kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, di kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, ilmunya (ilmu dunia), dan baru hartanya.”

       Hubungan kiai dan umatnya sangat dekat, dan kiai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh seorang kiai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak. Masuknya kiai dalam kegiatan politik praktis yang cukup meningkat di Madura pada masa reformasi ini sering memanfaatkan mobilitas umat untuk kepentingan politik praktis mereka.

Madura Barat Vs Madura Timur

       Antara kiai di Madura Barat (Bangkalan) dan kiai di Madura Timur (Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) agak berbeda (Mutmainnah, 2002). Seluruh kiai di Bangkalan masih terikat dalam jaringan kekerabatan yang luas dengan ulama karismatik di Jawa dan Madura, yakni Sjaikhona Kholil. Ia dalah pendiri pondok pesantren Sjaikhona Kholil di Bengkulu pada tahun 1875. Di pesantren itu, pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari atau sesepuh NU, alm. K.H. As’ad Sjamsul Arifin, dan bung karma pernah belajar ilmu agama. Karena aspek histories itu, hubungan antar kiai bersifat hierarkis. Baik secara sosial maupun secara politik (kekuasaan local), kiai memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan masyarakat Bangkalan. Dalam kekuasaan politik local, peranan birokrat dan lembaga legislative local, serta blater bersifat subordinasi terhadap kedudukan kiai.

       Di Madura timur, secara umum, hubungan sosial antar kiai tidak diikat oleh jaringan kekerabatan yang luas seperti di Bangkalan. Hubungan antar kiai tidak bersifat hierarkis. Massing-masing kiai bersifat otonom, khususnya dalam hubungan dengan umatnya dan dengan lembaga sosial yang lain, seperti birokrat dan legislative. Dalam sturktur sosial, kiai memiliki hubungan sosial yang dominant dengan umatnya, tetapi dalam sturktur politik/ kekuasaan local, kiai di Madura Timur merupakan salah satu kekuatan sosial politik, disamping lembaga eksekutif (bupati) dan lembaga legislative (DPRD). Distribusi kekuasaan mereka relative seimbang, tidak saling mendominasi.




BLATER

      Sebagaimana diuraikan di atas, blater merupakan kelompok sosial yang cukup berpengaruh di kalangan masyarakat Madura. Dalam pengertian local, blater adalah orang yang memiliki kecenderungan berperilaku kriminal, seperti mencuri, berjudi, main perepuan, membunuh, dan mabuk-mabukkan (Wiyata, 2002:254). Mereka ditakuti masyarakat karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis, saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic. Tidak sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.

MORALITAS
       Dalam hal moralitas, umat melihat kiai secara konservatif. Pandangan ini, biasanya, berbeda dengan pandangan umum masyarakat di luar pesantren atau di luar orang Madura. “Rata-rata istri kiai di Madura adalah 4 orang. Jarang ada perempuan yang menolak lamaran kiai, tetapi jumlah yang demikian jarang sekali. Dikawini oleh kiai, besar barokahnya bagi orang perempuan. Bagaimana orang perempuan tidak mau? Kiai itu kan memiliki harta benda atau kekayaan yang cukup, dihormati orang, dan apa lagi jika kiai baik dari segi fisik (tampan) dan psikis? Bagi keluarga perempuan, menikah dengan kiai juga untuk mengangkat status sosial keluarganya dimata masyarakat. Banyak istri seorang kiai, tidak mengubah persepsi masyarakat terhadap dirinya”.

       Selain kiai masih memainkan peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai “gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah, seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative masyarakat atau umatnya.  Tidak ada larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal ini adalah kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai itu bertani.Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan memperoleh barokah kiai.

       Jadi, kiai tidak menanggani kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kiai sendiri yang terjun berdagang atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya, jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap martabat kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya petani atau pedagang yang sesungguhnya.



DUKUN

Berdasarkan hasil penelitian Joordan, sebagaimana dikutip Kuntowijoyo (1993:84), menyebutkan bahwa kegiatan pelayanan kesehatan di Puskesmas belum secara optimal di manfaatkan oleh masyarakat Madura karena masih sangat kuat menggunakan system pengobatan medis tradisional yang dilakukan oleh dukun atau kiai. Dukun dan kiai memiliki peranan utama dalam usaha penyembuhan dan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, kegagalan fungsi kelembagaan kesehatan modern itu, secara antropologi, disebabkan para petugas kesehatan kurang memiliki pemahaman yang baik terhadap struktur sosial masyarakat Madura sehingga mereka kurang mendayagunakan potensi sosial (budaya) local untuk mencapai keberhasilan program-program pembangunan di bidang kesehatan masyarakat.

PEMBANGUNAN PEDESAAN

       Dalam perkembangan berikutnya, sejalan dengan perubahan-perubahan sosial (budaya) yang terus berlangsung, kiai telah memainkan peranan yang konstruktif dalam pembangunan pedesaan. Hasil penelitian Mansurnoor (1990) menunjukkan bahwa kiai di daerah pedesaan telah mengambil peranan yang partisipatif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Ia sering dimintai pertimbangan tentang pelaksanaan suatu program pembangunan. Pelibatan partisipasi dan dukungan kiai terhadap pelaksanaan pembangunan sebenarnya bukanlah hal yang sulit jika saja para perencana pembangunan dan birokrat pemerintah memiliki strategi kebudayaan yang tepat dalam menyampaikan program-program tersebut secara jelas dan terbuka kepada kiai.

       Proses kegiatan pembangunan Madura, sampai saat ini, menunjukkan bahwa para kiai sebenarnya, memiliki sikap adaptif yang baik terhadap program pembangunan. Resistensi terhadap pembangunan tidak akan terjadi jika saja tujuan pembangunan tersebut untuk kepentingan kemaslahatan umat dan tetap menjaga sikap agamis masyarakat Madura. Dalam menyikapi gejala pembangunan di Madura, kiai Muhammad dari Bangkalan menyatakan bahwa prinsip utama para kiai adalah dalam rangka amar ma’ruf nabi mungkar, yaitu menyerukan perbuatan kebaikan dan menyingkirkan kemungkaran (Tojjib, 1998:139). Pandangan-pandangan kiai patut dipertimbangkan dalam kebijakan pembangunan Madura, mengingat kedudukan dan peranan sosial yang mereka miliki sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat madura.

       Menurut pandangan orang Madura, pembangunan merupakan suatu hal yang mesti terjadi. Islam sendiri tidak menyukai kemiskinan. Yang mereka harapkan adalah manfaat nyata pembangunan bagi orang Madura. Masyarakat madura dapat menyaksikan dan merasakan sendiri manfaat pembangunan bagi kehidupannya. Jika itu yang terjadi, niscaya mereka tidak akan menolak dilaksanakannya pembangunan di Madura. Mereka percaya bahwa pembangunan memang menguntungkan kehidupannya dengan segenap identitas keislamannya. Dalam perspektif ini, pembangunan Madura adalah pembangunan untuk kepentingan masyarakat madura yang memiliki citra santri sangat kuat, bukan untuk menyingkirkan masyarakat dan kebudayaan madura yang agamis (Islam).

HARGA DIRI
KEDUDUKAN ISTRI DAN PEREMPUAN  DALAM  MASYARAKAT

       Dalam studi tentang carok, Wiyata (2002:170-185) mengungkapkan bahwa harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura, menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya “lebih baik mati daripada hidup menanggung malu” menjadi referensi dan perbuatan carok.

       Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang telah bersuami tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan symbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau perempuan ditapsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.

       Dasar pembela terhadap istri (abilabi binek) tersebut ditemukan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron (1986), dalam ungkapan, “saya kawin dinikahan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya (Islam), sekaligus menginjak-nginjak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan perwujudan dari martabat dan kehormatan suami karena istri adalah landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Wiyata, 2002:173).

       Berikut ini disajikan sebuah petikan peristiwa carok di Bangkalan, Madura, yang disebabkan oleh masalah perempuan, yakni mengganggu istri orang lain (lihat Wiyata, 2002: 89-107).

Di suatu petang menjelang matahari terbenam, atau tepatnya sekitar pukul 17:30 WIB, hari kamis, ketika orang-orang di desa Rombut sedang menunggu saat berbuka puasa, terjadi peristiwa corak antara Mat Tiken (45) dengan dua orang yang masih saudara sepupu, yaitu Kamaluddin (32) dan Mokarram (38). Tiken yang diketahui telah menjalin hubungan cinta dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Kamaluddin sangat cemburu dan marah sehingga berniat harus membunuh Mat Tikan. Untuk melakukan niatnya itu, Kamaluddin minta Bantu MOkarram. Keduanya mendatangi Mat Tiken dan langsung menantang carok. Mat Tiken melayani tentangan itu sehingga terjadilah carok di antara mereka.
Karena Mat Tiken adalah seorang jagoan, corak corak tersebut berakhir dengan kematian Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok di sekujur tubuh mereka, terutama di bagian perut. Usus mereka terburai keluar karena bacokan Mat Tiken tepat mengenai bagian tengah perut memanjang dari arah samping kiri ke samping kanan. Mat Tiken sendiri hanya menderita luka-luka ringan. Pada bahu sebelah kiri terdapat luka bacok sepanjang kira-kira 10 cm melintang dari bagian atas depan ke bagian belakang. Selain itu, jari kelingking tangan kiri hamper putus. Setelah dirawat hamper sebulan luka-luka itu sembuh. Senjata tajam yang dipergunakan oleh Mat Tiken untuk menewaskan Kamaluddin dan Mokarram berupa sebilah celurit dari jenis dang-asok, sedangkan yang dipergunakan oleh Kamaluddin dan Mokarram adalah dari jenis are’takabuwan.

       Kaum perempuan Madura memiliki nilai khusus dalam masyarakat dan kebudayaan Madura. Nilai khusus tersebut berwujud adanya perhatian yang lebih kepada anak-anak perempuan dari pada anak laki-laki. Perhatian yang khusus dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan Madura, seperti struktur pemukimannya, system pewarisan, dan sosialisasi. Integrasi atas unsur-unsur tersebut sekurang-kurangnya dapat dipakai untuk mengidentifikasi kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat Madyra.

PEMUKIMAN
TERKAIT DENGAN PERKAWINAN

       Pola-pola pemukiman tradisional orang Madura terwujud dalam taneyan lanjang (halaman panjang). Deretan rumah yang terbagun dalam kesatuan permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan. Masing-masing penghuninya terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak-anak perempuan itu menikah, suami akan menetap di rumah yang telah disediakan oleh orang tua perempuan (matrilokal). Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah setelah mereka menikah dan menetap dirumah yang telah disediakan oleh orang tua istrinya. Dalam hal ini, anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga mereka atau keluarga intinya (Wiyata, 1989). Struktur pemukiman tradisional itu lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan Madura dalam keluarganya.

PEWARISAN
KEDUDUKAN PEREMPUAN LEBIH TINGGI

       Demikian pula dalam hal pewarisan harta keluarga. Sekalipun orang Madura beragama Islam, norma pewarisan menganut system adat setempat. Harta warisan dibagikan ketika orang tua masih hidup. Pola-pola umum yang berlaku dikalangan masyarakat Madura, hak perolehan harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan sesuai asas se lake’ mekol, se binek nyo’on. Artinya, bagian anak laki-laki sebanyak satu pikulan, sedangkan anak perempuan satu sunggian. Sekurang-kurangnya, bagian anak laki-laki dan perempuan relative sama. Perempuan memang memperoleh bagian rumah dan pekarangannya, sedangkan laki-laki memperoleh bagian tanah pekarangan atau tanah tegalan yang nilainya setara atau lebih banyak daripada bagian yang diperoleh anak perempuan. Jika tidak demikian, dapat mengundang percecokan untuk berebut harta warisan antarkerabat setelah kedua orang tuanya meninggal.


       Dalam studi kasus di Posongsongan, Sumenep, ditemukan fakta bahwa pada umumnya, anak perempuan akan memperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah dan tanah pekarangan, secara umum, diberikan kepada anak perempuan dan tidak boleh dijual kepada siapapun. Tanah lading atau tegalan boleh dijual kepada keluarga sendiri. Dalam pembagian warisan ini, jarang sekali terjadi anak laki-laki diberi bagian lebih banyak. Bagian anak perempuan ini lebih banyak karena perempuan akan menjadi tempat berpulangnya (pamoleanna) saudara laki-lakinya jika terjadi percerayan atau kasus yang lainnya (Sidiq, 1992:49).

       Fakta-fakta di atas merupakan unsur sosial budaya yang dapat di identifikasikan untuk melihat kedudukan penting perempuan dalam masyarakat Madura. Dalam perspektif antropologi simbolik, nilai penting perempuan terkait erat dengan eksistensi kehidupan orang Madura. Mitologi-mitologi tradisional di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, menunjukkan bahwa perempuan simbolisasi dari tanah (bumi), kekayaan, dan kesuburan.
       Interpretasi simbolik atas cerita rakyat Madura tentang kekalahan Dempo Awang dari Raja Sumenep, Joko Tole, telah menunjukan hal yang sama, yakni penghormatan terhadap perempuan Madura. Dalam kanteks cerita tersebut, perempuan merupakan simbolisasi dari negeri, tanah, dan kekayaan alam orang Madura. Jika dalam cerita tersebut Joko Tole berhasil dikalahkan oleh Dempo Awang dan gadis-gadis Madura berhasil direnggut keperawanannya oleh Dempo Awang, hal itu merupakan simbolisasi dari “penaklukan tanah, negeri, kerajaan, dan kekayaan Madura” oleh orang asing. Jika kondisi demikian yang terjadi, niscaya madura dan rakyatnya berada dalam “penjajahan” orang lain. Pembelaan Joko Tole merupakan cerminan untuk menegakkan martabat dan harga diri orang Madura serta sebagai upaya mempertahankan sumber-sumber orang Madura. Oleh karena itu, perempuan harus dijaga kehormatannya dengan mempertaruhkan nyawa.

PANDANGAN TERHADAP TANAH

       Perempuan dalam cerita tersebut tidak dapat dimaknai secara harfiah. Demikian juga, pernyataan penyair D. Zawawi Imron, bahwa focus harga diri orang (suami) Madura terletak  pada  perempuan (istri), tidak dapat dimaknai secara harfiah. Pernyataan itu selalu bermakna simbolik. Makna yang terkandung didalamnya adalah berkaitan dengan tanah dan kesuburan yang menjadi sumber kehidupan orang Madura. Dalam perspektif ini, sekali pun tanah di Madura kurang subur, tandus dan kering, nilai tanah tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomis yang diperoleh dari tanah tersebut. Tanah menjadi tempat bergantung hidup orang Madura, karena tidak ada lagi pilihan harta kekayaan lain dan kelangkaan sumber daya alam sehingga nilai tanah menjadi tinggi atau berharga di mata orang Madura.

       Oleh sebab itu, tanah juga ikut menentukan harga diri oang Madura. Nilai tanah akan semakin besar bagi kehidupan orang madura jika didalam tanah terebut dikubur para leluhur mereka. Di daerah pedesaan madura, leluhur dan kerabat keluarga yang telah meninggal, biasanya, dikubur di sekitar pekarangan rumah. Ikatan kekerabatab yang kuat dimanifestasikan juga dalam ikatan leluhur, yang diwuijudkan dengan menguburkan para kerabat ditanah pekarangan yang dimiliki. Oleh sebab itu, merupakan pantangan besar bagi orang madura menjual tanah pekarangan, tanah tegal, dan rumah kepada orang lain. Selain malu terhadap tetangga, tindakan tersebut dapat mengakibatkan tidak selamat hudupnya (ecapok tola atau keneng tola), anak bisa cacat, sering sakit, atau keluarga tidak akur (Samsu, 1992: 2). Jika rumah dan tanah warisan (tanah sanghkolan) dijual, maka ia akan dicela oleh masyarakat. Tindakan demikian dianggap aib sosial. Masyarakat akan berpikir, “sudah tidak dapat menambahi, harta kekayaan orang tuanya malah dijual”. Para leluhur diyakini masih dapat mempengaruhi kehidupan di dunia. Oleh karena itu, tanah, leluhur, dan kehidupan orang madura memiliki hubungan yang erat (gambaran secara lebih detail disajikan pada subbab tersendiri dalam bab tiga).

       Tanah dimadura merupakan unsur yang dapat menimbulkan konflik sosial atau carok. Konflik demikian itu, biasanya, timbul berkaitan dengan pembagian warisan dalam keluarga. Jika terjadi carok antara kerabat biasanya dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah pembagian warisan keluarga. Sementara itu, konflik-konflik sosial yang melibatkan pihak lain, seperti Negara dan pemerintah, biasanya terjadi karena klaim histories bahwa tanah tersebut merupakan milik leluhur mereka, seperti ditunjukkan dengan adanya kuburan pera leluhur, sebagian terjadi di ladang-ladang garam, karena diatas tanah tersebut terdapat kuburan leluhur sehingga tidak dapat digusur untuk lokasi pembangunan fisik; atau karena nilai ganti rugi yang kecil.

       Seorang informan, Pak Najib (49), warga sumenep, memberikan pandangan tentang bagaimana orang madura memperlakukan para leluhur mereka, seperti berikut ini.

“Yang ada didalam tanah itu adalah keluarga saya atau leluhur saya. Setiap tahun atau setiap saat, saya nyekar dan berdoa sebagai bentuk penghormatansaya kepada ahli kubur. Ini adalah hal yang sacral. Makam ini tidak bisa dipindah karena memindahkan makam sama dengan melakukan penghinaan terhadap harga diri atau martabat keluarga saya. Kalau makam ini terkena proyek pembangunan, seperti pembangunan jalan raya, maka arah jalan itu yang harus dipindahkan, bukan makamnya. Makam tidak bisa dipindah. Tabu itu”.

       Menurut Pak Najib, tradisi nyekar dan membaca doa, seperti surat yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih hidup didunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang di kirimkan itu diyakinkan akan berdampak positif timbale-balik, baik yang masih hidup didunia, maupun yang sidah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang yang masih hidup akan selamat dari siksa dunia dan akhirat, sedangkan yang sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah dan rakhmat allah SWT. Kedua belah pihak saling mendoakan. Dikatakan Pak Najib, berdoa di atas makam lebih berharga (afdol) dari pada mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar. Makan yang pertama, merupakan tempat menyatunya jasad manusia dan tanah, lebih sacral dari pada makam yang baru ditanah lain, tempat tulang belulang itu dipindahkan.


       Sebab-sebab lain yang dapat mengganggu harga diri orang madura selain masalah kehormatan perempuan, tanah, dan leluhur, adalah masalah air, penghinaan terhadap agama, dan pelecahan terhadap anggota keluarga, apa lagi jika hal itu dilakukan di tempat umum (dibandingkan juga, Wiyata, 2002:89-168; Kusumah, 1992:7). Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, air merupakan sumber daya alam yang sangat langka (scarcity resources) di madura. Air memiliki makna simbolik dan kedudukan sosial yang penting sebagai sumber kehidupan orang madura. Secara simbolik, air adalah identik dengan eksistensi kehidupan orang madura. Oleh sebab itu, gangguan terhadap air merupakan ancaman terhadap eksistensi kehidupan mereka. Dalam perspektif simbolik, perempuan, tanah, leluhur, dan air merupakan kesatuan integral dan menjadi sumber kehidupan utama masyarakat.

       Masalah air menjadi perhatian utama orang madura ketika musim kemarau tiba. Kebutuhan air akan meningkat karena pada musim ini air bukan hanya dipakai untuk konsumsi keluarga, melainkan juga untuk ternak dan penunjang pertanian tembakau. Oleh sebab itu, perebutan air sering terjadi di kawasan yang dapat diakses oleh public, seperti sungai dan mata air. Akibat lebih jauh dari perebutan tersebut adalah timbulnya konflik sosial dalam bentuk carok.

       Agama menjadi sumber konflik sosial karena kedudukannya yang penting sebagai salah satu unsure pembentuk identitas etnik madura. Sebagai unsure identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang madura. Oleh karena itu, pelecehan terhadap agama atau perilaku yang tidak sesuai dengan agama, seperti menganggu kehormatan perempuan dan mengkritik kiai serta mengkritik kerilaku keagamaan orang madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang madura.

       Gambaran tentang hubungan antara keagamaan dan penghormatan terhadap kiai yang sekaligus mencermunkan hadga diri orang madura, dapat disimak dari penjelasan Pak Yusron (55), warga sumenep, berikut ini.

Kejadian di suatu desa yang berada diwilayah kecamatan Blito, sumenep. Sebelumnya, memang sudaj ada masalah politik antara orang NU dengan orang PAN. Orang NU kan kebanyakan masuk PKB. Orang Muhammadiyah masuk PAN. Bagi orang madura, khususnya yang awam, orang muhammadiyah itu dianggap bukan muslim. Pak Hasyim, disamping sebagai orang muhammadiyah, juga aktif di PAN. Ia sering mengkritik kiai dalam kehidupan beragama orang madura. Pada saat ranting PAN dibentuk, rumah Pak Hasyim itu dilempari batu, kotoran orang, kotoran kambing, dan pohon mangga yang ada didepan rumahnya ditebang oleh masyarakat setempat.
Sebelumnya, memang sudah ada masalah dengan masyarakat setempat, yakni ketia nenek Pak Hasyim meninggal dunia. Pada saat itu, sepetlah pemakaman, Pak Hasyim mengumumkan dengan berbagai alasan sosial-agama kepada para pelayat yang masih ada di kuburan, kalau neneknya itu tidak ditablili dan dibacakan surat yasin. Masyarakat kaget mendengar ucapan tersebut dan tersinggung harga dirinya, yang terkait dengan identitas keagamaan mereka. Apa lagi di rumah Pak Hasyim ada pernyataan, “Islam agamaku dan Muhammadiyah gerakanku”. Bagi masyarakat madura, kiai jangan dikritik macam-macam dan agama islam yang benar bagi orang madura adalah agama islam berfaham ahlussunnahwal jama’ah yang dipraktikkan oleh orang-orang NU. Selain paham tersebut, orang madura sulit menerima paham lain sebagai ajaran agama islam.

       Menjaga nama baik keluarga juga merupakan bagian dari menjaga harga diri orang madura. Setiap orang madura tidak dapat menerima jika ia menyaksikan salah satu atau lebih anggota kerabatnya dipermalukan atau dianiaya orang lain, apalagi jika hal itu dilakukan ditempat umum. Tindakan seperti itu dianggap sebagai penghinaan terhadap harga diri orang madura. Oleh sebab itu, dengan segala cara orang madura akan menegakkan harga dirinya, jika menghadapi perilaku orang lain yang dapat melukai perasaannya.

       Pak Najib bercerita bahwa pada bulan agustus tahun 2002 yang lalu, ia sedang panen tembakau. Harga tembakau pada panen tahun ini sangat merugikan petani, padsahal kualitas tembakau sangat baik. Suatu hari, seseorang datang kerumahnya dan merniat membeli tembakau tersebut. Pak Najib menawarkan harga tembakau per kg Rp 8.000,00. Pedagang menawarkan harga Rp 7.000,00. Setelah berlangsung tawar-menawar, akhirnya disepakati harga pembelian Rp 7.000,00. Tanpa berpikir panjang tembakau yang dimiliki Pak Najib dijual semua kepedagang tersebut.

       Penjualan tembakau tersebut tanpa sepengetahuan dan berkonsultasi dengan istri.
Ketika itu, istrinya sedang keluar rumah berkunjung ke kerabatnya. Setelah tahu bahwa tembakau dijual dengan harga Rp 7.000,00, istrinya marah-marah dan membacok tangan Pak Najib singga keluar darah. Keduanya terlibat percecokkan yang mengundang para kerabat dan tetangganya. Istri menuntut diperhatikan dalam transaksi penjual tembakau, karena ia juga berjasa dalam proses produksi kegiatan pertanian tembakau. Istri dan kaum perempuan adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyirami dan menyiangi tanaman tembakau.

       Tindakan istri yang menganiaya suaminya seperti yang dialami keluarga Pak Najib tersebut telah memancing kemarahan dari kerabat Pak Najib. Mereka merasa dihina oleh istri Pak Najib dan terjadi pertengkaran yang seru dan hampur berujung pada perceraian. Berkat kesigapan keluarga dan akan-anak Pak Najib, akhirnya peristiwa tersebut dapat didamaikan. Jika peristiwa tersebut tidak dapat didamaikan, menurut Pak Najib, akan terjadi carok antar keluarga.

       Ikatan kerabat yang erat merupakan salah satu unsure yang ikut mendasari pembelaan orang madura terhadap anggota keluarganya yang disakiti atau dihina oleh orang lain. Pembelaan itu tidak hanya ada dalam lingkup suami-istri seperti kasus Pak Najib tersebut, tetapi juga dalam lingkup kerabat yang lebih luas. Jika seorang keponakan disakiti atau dihina oleh orang lain, niscaya para kerabatnya juga akan membelanya. Pembelaan itu tidak semata-mata untuk menjaga ikatan kekerabatan, tetapi juga untuk menjunjung tinggi martabat keluarga.




C. Tanah, Makam, Leluhur, dan kekerabatan
        Sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutabing ludira, demikian pepatah (jawa) lama yang dikiranya sangat tepat untuk mengabarkan arti penting sejengkal tanah. Orang akan mempertahankannya dengan taruhan nyawa. Tanah memang mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, terutma pada masyarakat agraris. Tanah memeiliki nilai produktif dan nonproduktif. Tanah produktif, biasanya, berupa tanah-tanah sawah dan tegalan yang digarap dan dijadikan sumber pendapatan keluarga. Tanah nonproduktif, pada umumnya, berupa tanah pekarangan untuk tempat mendirikan rumah sebagai tempat tinggal, disamping ada pula yang dibuat makam bagi keluarganya.
       Kondisi tanah dimadura, pada umumnya, kurang menguntungkan untuk dioleh. Selain sarana irigasi masih sangat minim, tanah di madura termasuk tanah kapur bercampur lempung yang menyerap air (higroskopis), serupa dengan tanah perbukitan kapur disepanjang pantai utara pulau Jawa yang secara geologis masih satu deretan (De Jonge, 1989:5-6). Dengan demikian, tanah pertanian dimadura lebih banyak berupa tegalan yang ditanami palawija, seperti singkong, kacang-kacangan, kedelai, dan umbi-umbian.
       Secaya umum tanah dimadura tidak memiliki produktivitas tinggi. Akibat sumber daya alam yang terbatas itu, sebagaimana telah dideskripsikan pada bab 2, banyak orang madura memilih melakukan migrasi dan bertempat tinggal diluar pulau madura. Akibat arus migrasi yang deras tersebut, timbul spekulasi pendapat disebagian orang luar madura bahwa orang madura tidak mementingkan tanah. Namun, pada kenyataannya tidak demikian, Orang madura memiliki pandangan tertentu terhadap tanah. Pada kenyataannya, dalam kehidupan orang madura, tanah mempunyai dimensi yang amat luas, sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam kehidupannya. Tanah tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi, tetapi juga dilihat dari nilai-nilai lain yang menyertainya seperti nilai religius dan nilai kekerabatan yang terkait satu sama lain. Gambaran keseluruhan mengenai pandangan orang madura terhadap tanah, pada dasarnya, merupakan gambaran kosmologi yang terkait dengan segala aspek kehidupan yang lebih luas.

1.Tanah dan Leluhur

       Masyarakat madura sebagaimana telah dideskripsikan pada subbab A bab 3, dikenal sebagai pemeluk agama islam yang kuat. Dapat dikatakan bahwa islam merupakan identitas orang madura (Maulana, 1992). Agama islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial, seperti tampak pada cara berpakaian. Mereka (Kaum lelaki) selalu mengenakan songko’ (kopiah) dan sarung, terutama pada saat menghadiri upacara ritual, sholat jumat, bepergian, atau menerima tamu yang belum dikenal. Menonjolnya cirri keislaman orang madura itu ditandai pula oleh banyaknya pondok pesantren, dan lembaga itu menjadi tujuan utama adalah menuntut pendidikan keagamaan. Namun, dalam kategori tertentu, islam dimadura tidak dianggap islam murni, tetapi disebut “islam local” (Woodward, 1989: 69-70), yaitu islam yang bercampur adat, seperti abangan atau agama Adam di Jawa (Geertz, 1989).

       Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang madura mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh kiai, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.

       Orang madura pada dasarnya berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam. Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak terpisah dari dunia gaib. Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang teratur dan harmonis.

       Tanah mempunyai ikatan dengan roh nenek moyang (leluhur) dan lebih dari itu, tanah merupakan bagian dari kekuasaannya. Menurut kepercayaan orang madura, roh nenek moyang datang pada setiap malam jumat untuk melihat keadaan rumah, tanah pekarangan, tanah tegalan. Roh itu datang tiga kali dalam satu malam, yaitu pada saat menjelang magrib, pukul satu, dan pukul tiga dinihari. Saat pergantian siang dan malam (sorop are atau para’ cumpet are) segala roh halus keluar, termasuk yang jahat. Oleh karena itu, anak-anak tidak boleh keluar rumah, terutama bagi giginya belum tanggal, karena dianggap sangat berbahaya. Melalui permohonan kepada roh nenek moyang diharapkan segala ganguan gaib itu dapat ditangkal. Untuk menyambut kedatangan roh leluhur mereka, dupa dibakar menjelang magrib, boleh dilakukan oleh orang laki-laki ataupun perempuan. Pembakaran dupa dapat dilakukan dihalaman rumah (taneam) dan didalam rumah, yang penting asap pembakaran dupa itu merata di seluruh bagian tersebut. Didalam rumah pembakaran dupa dilakukan di salah satu tiang (sesaka) yang terletak ditimur laut (mordhaja). Biasanya, diatasnya diletakkan pusaka atau kitab suci Al-Qur’an.

       Tujuan dari pembakaran dupa pada tempat-tempat tersebut, pertama adalah untuk memohon berkah dari roh leluhur yang menjaga tanah yang mereka tempati. Kedua, berkah diharapkan dari orang yang membuat pusaka yang diletakkan disalah satu tiang rumah, karena pembuatannya pasti yang sakti. Ketiga, Agar dapat berkah dari kanjeng nabi Muhammad SAW. Doa yang disampaikan adalah doa selamat agar seluruh keluarganya senantiasa mendapat perlindungan dari-Nya.

       Pada dasarnya, secara gaib tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh nenek noyang yang dulu memiliki tanah itu. Orang Madura sangat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah. Oleh karena itu, orang yang menguasai tanah harus mengetahui asal-usul tanah itu, karena hal itu berkaitan pengiriman doa dan permohonan berkah. Secara nyata tanah itu dimiliki oleh seseorang, tetapi secara gaib roh nenek moyang menyatu di dalam tanah itu dan sekaligus mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut.

       Hubungan tanah dengan roh leluhur juga terlihat dalam kebiasaan orang madura mengubur jenazah. Setiap keluarga luas (extended family) pada umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Kuburan itu biasanya, terletak pada bagian timur tanah pekarangan atau ditanah tegalnya. Menurut cerita masyarakat, pada zaman dahulu biasanya orang menguburkan jenazah di dalam rumah. Kemudian, dalam perkembangannya jenazah dikubur di pekarangan dan, sekarang pada umumnya dibagian dari tanah tegalnya. Namun, semua itu tidak menutup kemungkinan untuk mengubur orang yang telah meninggal di tanah kuuran orang lain, tentunya setelah memohon izin kepada pemilik tanah.

       Karena hubungan tanah dengan roh leluhur yang begitu erat, penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama halnya dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu, pantang bagi mereka untuk menjual tanah pekarangan maupun tanah tegalan kepada orang luar (bukan saudara). Selain malu terhadap tetangga, penjualan tanah tersebut dapat mengakibatkan ecapok tola atau kenning tola (tidak selamat atau sial). Jika salah seorang anggota keluarga ingin menjual tanahnya, sebagai pembeli biasanya adalah salah seorang anggota keluarga batihnya. Seandainya tidak ada, saudara sepupu atau dua sepupu juga boleh, yang penting pembeli tersebut masih ada hubungan darah. Di dalam melakukan transaksi tidak menggunakan istilah membeli tetapi mengganti. Semua itu untuk menetralisasi keadaan, baik terhadap tetangga maupun yang lebih penting terhadap nenek moyang. Aturan penjualan tanah tegalan lebih lunak bila dibandingkan dengan tanah pekarangan. Hal itu dikarenakan, tanah pekarangan dipandang mempunyai ikatan hubungan emosional yang lebih kuat, mengingat ditempat itu didirikan rumah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, secara rasional, adanya bagian kuburan pada tanah tegalan atau pekarangan akan mengakibatkan penjualan tanah, yang menurut adat, pantang untuk dilakukan. Mereka biasanya, menjual tanah untuk menambah biaya naik haji.

       Hubungan antara tanah dan roh leluhur tampak pada upacara ritual pembuatan sumur. Perlengkapan yang diperlukan untuk upacara tersebut adalah tajin (bubur) tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam, serta air kopi dan dupa. Tajin putih melambangkan kesucian niat orang yang membuat sumur, tajin hijau adalah lambing wana air itu ditujukan kepada Nabi Qidlir (juga Khidlir atau Khaidir) sebagai penguasa air, dan tajin warna hitam diartikan sebagai penolak bala. Adapun air kopi dan dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang yang menjaga tanah yang akan digali agar mendapat perlindungan.

       Hubungan antara tanah dan leluhur tampak lagi dalam upacara pembuatan rumah. Sebelum pondasi dipasang, sebuah upacara selamatan diselenggarakan yang dipimpin oleh seorang kiai atau pemika agama. Selamatan diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang turut membantu bekerja. Doa yang diucapkan kiai selaku pemimpin upacara ditujukan kepada tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar mendapatkan berkah dan tidak mendapatkan kangguan apa pun terhadap rumah yang sedang dibangun.

       Berdasarkan pandangan orang madura, rumah dan tanah merupakan sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan karena diatas tanah tersebut rumah berdiri. Begitu pula hubungan rumah dengan manusia .

.           Keberadaan makam yang kecil-kecil dan tersebar dipekarangan rumah penduduk banyak diketemukan, khususnya didaerah pedesaan. Apalagi tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa jenazah harus dikubur disuatu tempat yang sudah ditentukan. Alasan yang paling mendasar mengenai pemakaman jenazah di tanah sendiri adalah agar arwah (roh) orang yang meninggal dapat mnyatu dengan tanah sehingga keberadaannya lebih tenang dan tidak bergentayangan.

       Masyarakat madura memandang bahwa antara ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama islam dan melestarikan kepercayaan asli dapat berjalan secara bersama. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu dan lingkungannya. Roh leluhur dapat dihubungi untuk maksud tertentu, seperti membuka lahan baru untuk areal pertanian ataupun mendirikan rumah baru. Bahkan, orang yang akan pergi keluar daerah, baik mencari pekerjaan ataupun belajar, biasanya terlebih dahulu, mendatangi makam leluhurnya untuk memohon doa restu dan perlindungan.

       Makam dan kuburan keramat mempunyai persamaan, yakni ditempat tersebut terdapat jenazah yang dikubur. Namun, secara spesifik, diantara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal jenazah siapa yang tertaman disitu. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur adalah angora keluarga biasa. Meskipun makamnya setiap malam jumat dikunjungi ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tapi semasa hidupnya dia tidak memiliki kelebihan dalam ilmu kanuragan atau bidang lain yang bermanfaat bagi hajad hidup orang banyak. Adapun kuburan kemamat, arwah (roh) yang bersemayam disitu dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli rawisnya, tetapi juga diperlukan untuk melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut buju’ yang “kesaktiannya” sangat diperlukan bagi kepentingan public (public fungcation).

       Kepercayaan orang madura terhadap buju’ cukup tinggi. Hampir di setiap kampung (dusun) terdapat jubu’, yang sangat fungsional (sebagai axis powers) untuk menjaga keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat setempat. Mengenai kesaktian buju’ di masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan melalhi legenda atau cerita rakyat (folklore). Isi legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh tersebut merupakan pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal atau pembabat desa, atau dapat pula sebagai orang yang sakti ketika hidup, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah orang sembarangan.

       Roh penjaga buju’ dipercaya oleh masyarakat madura sebagai arwah orang mati swecara suci, yang dipanggil oleh tihan untuk melawan kekuasaan jahat. Dengan demikian, roh tersebut diharapkan melindungi manusia dari pengaruh roh-roh jahat. Kuburan orang seperti tiu, biasanya sering dikunjungi oleh ahli warisnya untuk dimintai pertolongan dan perlindungan dalam kehidupannya. Jika roh didalam kubur itu diyakini memiliki kekuatan yang besar, maka roh itu juga menjadi milik masyarakat luas, meskipun bukan keluarganya sehingga fungsinya pun lebih luas, yakni diyakini dapat melindungi penduduk setempat. Roh leluhur seperti itu disebut bangotowa, yaitu roh leluhur yang melindungi sebuah wilayah. Ada pun kuburannya disebut buju’, yaitu kuburan yang dikeramatkan oleh warga suatu wilayah yarena diyakini dapat memberikan perlindungan kepada sekluruh warga di wilayah itu. Bangotowa ini di Jawa sering disebut punen (kuburan leluhur) dan keberadaannya disana sering menjadi satu dengan danyang (penunggu gaib). Roh leluhur penghuni buju’ biasanya merupakan tokoh masyarakat yang pada masa hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi kehidupan masyarakat. Kebesaran tokoh itu, kemudian dilegitimasi melalui cerita legenda atau folklore secara turun-temurun sehingga pada generasi berikutnya difigurkan sebagai tokoh yang karismatik dan kesaktian yang ia miliki dipercayai masih menyatu dengan kuburannya.

       Terdapat bermacam-macam bentuk legitimaasi tentang kuburan keramat yang terdapat di madura. Semuanya tergantung kepada spesfikasi ketokohan arwah yang dikeramatkan atau respons masyarakat terhadap lingkungannya dalam mempertahankan hidupnya. Misalnya, kuburan itu dikeramatkan karena suatu ketika mengeluarkan cahaya terang pada malam hari. Cahaya itu sering diartikan dengan pulung yang identik dengan wahyu, yakni sebagai tanda-tanda alam yang dapat membawa berkah dari tuhan berupa kesejahteraan hidup bagi suatu warga, tempat cahaya itu berada. Namun, ada pula makam yang dikeramatkan karena terdapat salah seorang warga yang ditemui oleh roh penunggu buju’ melalui peristiwa mimpi (wangst).

       Menurut jenisnya, kuburan keramat yang terdapat dimadura dapat dibedakan menjadi emapt macam, yaitu: 1) makam keturunan raja, 2) makam para wali atau tokoh penyebar agama islam, 3) makam pembabat desa, dan 4) makam orang sakti, termasik didalamnya mereka yang ketika hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.

a. Makam keturunan raja

       Makam keturunan raja mendapat sebutan khusus yang berbeda dengan istilah kuburan keramat yang lain, yang biasa disebut buju’, di sumenep, misalnya, makam keturunan raja disebut asta tinggi. Makam keturunan raja mendapat tempat yang khusus, selain terletak di tempat yang tiggi di sebuah perbukitan. Asta tinggi sumenep tertanam jenazah keluarga raja-raja sumennep, seperti Pangeran pulag jiwo, pageran sepuh pageran room, pageran jimat, R.A. tirtonegoro, bindere soad, dan pangeran somolo. Masing-masing tokoh yang dimakamkan di dalam asta dianggap memiliki kelebihan semasa hidupnya dan kelebihannya itu tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat luas melalui legenda khususnya di Sumenep. Atas kelebihan itu, oleh orang-orang tertentu, arwahnya dipuja melalui ziarah pada setiap malam jumat dengan harapan agar mendapatkan berkah darinya.

       Sebagai salah satu contoh tokoh Bindere Soad, yang tidak lain adalah suami R.A. Tirtonegoro, memiliki kelebihan bahwa ketika masih berada dalam kandungan ia dapat memberikan jawaban (menyahut) kepada ayahnya ketika memanggil ibunya yang sedang sholat. Kiai Abdullah, ayah Bindere Saod, merasa heran atas jawaban anak yang masih berada di dalam kandungan. Kebesaran Bindere Saod terkulir juga akibat ia berhasil menikahi R.A. Tirtonegoro, ratu terakhir Kerajaan Sumenep, dengan selamat.  Diceritakan bahwa setiap kali R.A. Tirtonegoro menikah, suaminya selalu meni9nggal. Akan tetapi, ketika dinikahi Bindere Soad, hal seperti itu tidak terjadi. Hal itu mengindikasikan bahwa ia adalah orang yang sakti. Kasaktiannya, waktu itu diperolah melalui betapa di gua Pajudan yang terletak sekitar 35 km ka arah barat dari kota Sumenep. Hingga bsaat ini gua tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sebagai tempat menepi (bertapa) bagi siapa saja yang mempunyai keinginan tetapi belum terkabul. Di samping itu, ada pula orang yang menganggapnya sebagai keturunan Nabi Muhammad S.A.W, malalui garis ibu yaitu garis keturunan Sayyidina Husen dan Susuhunan Kudus.

b. Makam para wali atau tokoh penyebar agama islam

       Di sumenep, tepatnya didesa Talago, dekat pantai barat pulau Poteran terdapat makam Sayyid Yusuf, yang sangat dikenal sebagai penyebar agama islam pertama di desa itu. Posisi makam berada di dekat laut sehingga membuat makam tersebut lebih bertuah. Berdasarkan kepercayaan para peziarah, ketika perjalanan menuju ke makam tersebut disaksikan oleh Nabi Qidir (penguasa air) karena harus menyeberang selat yang hanya panjang sekitar 2 km, dengan menggunakan sampan atau perahu kecil.

       Makam tersebut pertama kali ditemukan oleh salah seorang raja Sumenep, yang ketika itu sedang melakukan perjalanan menuju ke Bali. Ketika melewati tempat tersebut, sang raja melihat sebuah sinar yang memancar seperti tiang api ditengah hutan kegelapan. Karena tertarik, sang raja berusaha mencari letak sumber sinar tersebut. Setelah ditemukan ternyata berasal dari sebuah kuburan. Sejak saat itu, banyak orang yang berziarah ke makam tersebut, terutama dalam kaitannya dengan kunjungan terhadap makam para wali di Jawa yang kemudian diteruskan kemakam-makam penyebar agama islam di Madura.

       Hari yang dianggap baik untuk berziarah ke makam itu adalah malam selasa dan jumat kliwon. Ada pun yang menjadi tujuan para peziarah sangat beragam, tetapi yang paling menonjol adalah yang berkaitan dsengan urusan jabatan dan meningkatkan tarap hidup. Walaupun banyak dikunjungi orang, keberadaan makam Sayyid Yusuf hingga saat ini masih misteri, karena ada yang beranggapan bahwa yang berada dimakam itu hanyalah roh atau sukma atau hamya berupa petilasan, sedangkan jasadnya ada yang mengatakan berada dibanten, ada pula yang mengatakan berada di pontianak, dan ada lagi yang menganggap berada di Afrika Selatan.

c. Makam pembabat desa

       Di lihat dari konteksnya, jenis makam ini paling banyak dimadura, karena hamper disemua tempat (dusun) terdapat buju’ sebagai tempat yang dikeramatkan, yakni sebagai cikal bakal desa. Mengenai kesaktian yang dimiliki sang tokoh sangat beragam, misalnya buju’ Anggasuta atau yang juga dikenal dengan buju’ Gubang, terletak didesa Kebondadap Timur. Kecamatan seronggi, kabupaten sumenep. Tempat itu juga disebut gubang (berarti lubang), karena dulunya merupakan rawa yang banyak hubungannya. Dengan mengerahkan segala kekuatannya ia menutup lubang-lubang itu untuk dijadikan makam.

       Menurut kepercayaan masyarakat, Anggasuta adalah orang pertama yang memperkenalkan cara membuar garam dikawasan Kalianget (sumenep), yang hingga kini sangat dikenal sebagai daerah produksi garam berkualitas tinggi. Untuk mengenang jasanya, maka makam Anggasuta bersama anggota keluarganya dikeramatkan sebagai buju’, disebut buju’ atau anggota Anggasuta yang terletak didesa Panggirpapas, kecamatan kalianget. Bentuk upacaya yang paling besar disebut upacara nyadar (berarti nazar: janji berbuat sesuatu juka niatnya tercapai), yakni sebuah puacara yang dilakukan panggirpapas untuk memuja leluhur mereka, Anggasuta, yang dianggap penemu garam pertama dan yang mengislamkan masyarakat sekiratnya. Waktu penyelenggaraannya dikaitkan dengan peringatan Mailid Nabi, tepatnya setelah tanggal 12 Maulid dan paling terakhir tanggal 19 Maulid, pada hari sabtu.

       Cerita yang berkembang dimasyarakat Panggirpapas mengambarkan bahwa Anggasuta adalah Brawijaya V, yanki raja majapahit yang melarikan ridi ke madura setelah ia ditaklukkan oleh Raden Patah dari kerajaan Demak. Walau pun mengakui bahwa agama islam suatu kebenaran, tetapi sebagai raja besar dari kerajaan Hindu, tidak mungkin hal itu dilakukan. Oleh karena itu, ia menyamar sebagai Syeh Anggasuta dan mengasingkan diri di Penggirpapas dengan membuka lembaran hidup baru ditempat pinggiranyang penduduknya miskin sambil mengajar agama islam.

       Wujud penghormatan terhadap leluhur Anggasuta tidak hanya pada saat upacara nyadar, tetapi juga pada ritus-ritus along life cicle (lingkaran hidup manusia), seperti acara khitanan, perkawinan dan kematian. Sebagai masyarakat yang pendapatan utamanya sebagai petani garam, kebesaran nama Anggasuta sebagai penemu garam selalu melekat dalam hati sanubari masyarakat setempat.

       Kebesaran Anggasuta di bidang lainnya, yaitu keberaniannya melindungi sisa-sisa pasukan kerajaan bali yang tertinggal setelah diusir oleh kerajaan sumenep dari madura. Hingga saat ini, sisa-sisa budaya hindu bali masih tampak dalam kehidupan budaya masyarakat di Panggirpapas. Misalnya, dalam upacara nyadar, orang yang memasak, termasuk menanak nasi adalah orang laki-laki dengan berpakaian warna hitam. Demikian pula dalam hal bentuk rumah tradisional, penataan ruangannya terpengaruh corak budaya bali, yakni dipekarangan terdapat regol kecil sebagai pintu gerbang masuk halaman rumah. Adapun dibidang religi, masyarakat panggirpapas memiliki magic yang kuat, baik yang berupa white magic maupun black magic. Corak budaya seperti itu berbeda sekali dengan budaya madura ditempat lain yang menunjukkan corak keislaman yang kuat.



d. Makam orang sakti

       Diantara sekian banyak buju’ yang bermitologi sebagai makam orang sakti di madura, certia tentang Joko Tole sangat popular dikawasan madura, terutama di kabupaten sumenep. Bahkan, kendaraan Joko Tole, yakni seekor kuda terbang yang bernama megaremeng, dipakai sebagai symbol pemerintah kabupaten sumenep. Buju’ Joko Tole terletak di desa lancu, kecamatan manding, sekitar 15 km kearah utara dari kota sumenep. Pada setiap malam jumat kliwon dan selasa kliwon banyak orang datang menepi di buju’ ini.

       Oleh masyarakat sumenep, Joko Tole dianggap tokoh legendaries dengan kesaktian yang luar biasa, terutama ketika berhasil mengalahkan Dempo Awang, seorang pelaut ulung datang ke madura untuk merampok dan memperkosa keperawanan semua perempuan madura. Joko Tole sebagai seorang pemuda yang berilmu tinggi dengan gagah berani menunggang kuda terbang berhasil membinasakan Dempo Awang hingga perahunya hancur berantakan.

       Atas keberhasilannya melindungi kaum perempuan madura dari kejahatan Dempo Awang, maka, buju’ Joko Tole banyak dikunjungi oleh kaum perempuan, baik tua maupun muda, untuk berziarah, dengan harapan agar mendapatkan berkah dari arwahnya. Permintaan yang paling menonjol bagi perempuan muda yang belum berkeluarga adalah memohon agar segera mendapatkan jodoh yang ideal. Adapun untuk perempuan yang sudah berkeluarga, pada umumnya, memohon agar suaminya tidak berselingkuh atau terhindar dari perceraian. Berbeda dari kaun perempuan, untuk peziarah laki-laki pemujaannya lebih tertuju kepada peralatan perang Joko Tole, yang dianggap mempunyai kekuatan sakti. Yakni buju’ Gedhugan, yang terletak didesa ketawang karay, kecamatan ganding, sekitar 22 km ke arah barat dari kota sumenep, juga dikeramatkan.

3, Tanah danKekerabatan

       Sisitem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan sebagai variasi, yang mengambarkan bagaimana bentuk jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan, kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer, yakni mulai dari keturunan, ikatan perkawinan, system pewarisan, sampai system religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat.

       Sistem kekerabatan orang madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertical maupun horizontal. Namun, jika dilihat dari system pewarisan, terutama yang berupa tanah pekarangan dan rumah, terjadi ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat madura adalah matrilokal genealogis. Hal itu tampak pada pola pemukiman ideal yang berlaku di madura, yang disebut tanean lanjang (berarti ‘halaman panjang’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean lajang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan didepan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun, dibagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk menerima tamu yang belum dikenal.

       Pola pemukiman yang berupa tanean lajang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang tinggal didalam tanean lajang. Penghuni tanean lajang adalah anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya. Pola permukiman semacam itu masih tampak jelas di madura, terutama didaerah pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai dengan pola berjajar ideal sebagaimana digambarkan dalam permukiman tanean lajang (Wiyata, 1989). Yang jelas, pengelompokkan rumah tangga yang membentuk keluarga luas masih tampak sekali. Sebagai contoh, letak rumah tidak beraturan sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak lagi memanjang.

       Pola pemukiman tanean lajang yang masih itu memberikan gambaran bahwa system pewarisan tanah dimadura masih sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Dalam pembagian warisan menurut adat madura memang terdapat perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sesuai dengan adat menetap setelah kawin yang matrilokal, seorang suami mengikuti istrinya dan keluar dari keluarga batihnya sendiri. Oleh karena itu, hanya anak perempuan yang memperoleh bagian dari tanah pekarangan. Kemudian, karena anak perempuan itu nantinya juga akan menerima suami dari luar setelah ia kawin, maka konsekuensinya ia juga harus menyediakan rumah untuk tempat tinggal suaminya. Pola pemukiman seperti itu menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan dimadura lebih kuat pada kaum perempuan.

       Sistem pembagian warisan yang berupa tanah pekarangan secara sepintas tidak seimbang, karena anak laki-laki tidak memperoleh bagian dan harus keluar dari keluarga batihnya setelah ia menikah. Keadaan itu, ternyata, berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak laki-laki di madura pada usia menjelang akhil baliq. Mereka tidak betah tinggal di rumah dan lebih cenderung bergabung dengan anak laki-laki lain yang sebaya kalau tidak mondok di pesantren. Keadaan itu, hamper sama dengan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.

       Cara pembagian warisan tanah telagan tidak sama dengan tanah pekarangan. Dalam pembagian tanah telagan antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama. Hubungan kekerabatan yang terbentuk ikatan pewaris yang berupa tanah tegal itu, tampaknya, tidak sekuat ikatan pewaris tanah pekarangan. Apa lagi jika tanah tegal yang diwariskan itu letaknya jauh dari tempat tinggalnya, maka pengaruhnya terhadap ikatan kekerabatan juga bertambah lemah.

       Dalam membagi warisan kepada anak-anaknya, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, tempak orang tua cukup kompromis. Maksudnya, walaupun pembagiannya tidak seratus persen sama, anak-anak tetap menerimanya jika hal itu sudah menjadi kehendak orang tua. Mereka pantang sekali berselisih gara-gara masalah tanah warisan dan, cekcok semacam itu, membuat mereka malu terhadap tetangga. Sikap kompromis ini, dipengaruhi beberapa hal, yaitu pertama, mungkin, ada kaitannya dengan masih tebalnya mitos masyarakat bahwa tanah adalah sama dengan nenek moyang (leluhur). Sementara itu, roh nenek moyang sendiri dianggap selalu mengawasi keadaan rumah dan ranah. Kedua, karena besarnya wibawa orang tua terhadap anak-anaknya, dan sebaliknya, besarnya sikap hormat terhadap orang tua karena besarnya tanggung jawab dalam membina anak, mulai membesarkan, sampai mencarikan jodoh, dan bahkan, sampai dapat hidup mandiri, masih menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, ada perasaan takut dan segan anak terhadap orang tua, bahkan orang tua pula pihak yang kali pertama harus dihormati dalam falsafah buppa’-bhabhu’, ghuru, rato (lihat subbab A bab 3).

       Persoalan keluarga akan muncul jika secara kebetulan sebuah rumah tangga tidak memiliki anak perempuan. Jika demikian, pembagian warisan, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, dibagi rata sesuai jumlah anaknya. Jika menerapkan system matrilokal secara konsekuen, akibatnya rumah induk akan kosong karena semua anak-anaknya mengikuti istri masing-masing. Dalam hal ini, biasanya, orang tua menghendaki salah satu anaknya tinggal bersamanya. Mengenai siapa yang harus tinggal bersama orang tua memang tidak ada ketentuan. Pada dasarnya, semua itu, dipertimbangkan beberapa hal menurut ketentuan. Pada dasarnya, semua itu, dipertimbangkan menurut beberapa hal, antara lain siata yang paling dicocoki, keluarga istri dari anak yang mana yang sekiranya dianggap kurang mampu sehingga tidak dapat disediakan fasilitas rumah seperti diharapkan, dan yang lebih penting lagi siapa yang sanggup merawat orangtuanya nantinya. Caranya dimusawarahkan sedemikian rupa sehinghga ditemukan pilihan yang terbaik. Yang penting, rumah induk itu tidak boleh dikosongkan dan harus ada yang menempati. Mengosongkan rumah induk dianggap menelontarkan roh leluhur penjaga rumah dan tanah.

       Secara umum, tanah merupakan pengikat utama hubungan kekerabatan. Tanah pekarangan (tanean) berdiri beberapa rumah tinggal keluarga matrilokal yang berfungsi sebgai pengikat hubungan kerumahtanggaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kebersamaan antar rumah tangga tampak sekali, mulai dari bercakap-cakap, masak-memasak, sampai membicarakan masalah keluarga dari masing-masing rumah tangga. Lain halnya dengan tanah tegalan. Sesuai dengan fungsinya, tanah tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam budaya pertanianh, terutama kebersamaan dalam bekerja mengolah tanah yang pada umumnya dikerjakan secara bergotong royong.. bentuk ikatan gotong royong, biasanya, berdasarkan kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan itu, biasanya masih satu keluarga sataretan (saudara kandung), hasil dari pembagian warisan (sangkolan).

       Fenomena diatas dapat diartikan bahwa tanah pekarangan mempunyai ikatan yang lebih kuat dan mempunyai pengaruh hubungan keluarga lebih intensif jika dibandingkan dengan tanah tegalan yang hanya sebatas hubungan kerja. Perdesaan yang lain, tanah pekarangan mengikat hubungan keluarga matrilokal, sedangkan tanah tegalan lebih luas lagi, yakni termasuk juga keluarga dari saudara laki-laki.

       Oleh karena tanah mempunyai daya pengikat hubungan keluarga yang kuat, maka ada pantanganb bagi masyarakat untuk menjual tanah dengan dibumbui mitos-mitos yang berupa resiko yang dapat berakibat fatal bagi yang melanggarnya. Terutama yang berupa tanah pekarangan karena telah membentuk kelompok primodial keluarga dalam tanean lajang, jelas sangat tertutup untuk dimasuki oleh orang dari luar keluarga luasnya.

D. Ulama dan Politik

       Telah dipaparkan di subbab sebelumnya bahwa islam dan ulama sangat dekat dengan identitas cultural masyarakat madura sehingga ulama menempati tempat istimewa. Agama islam secara intensif masuk kemadura sekitar abad XV, seiring dengan mulai memudarnya pengaruh kerajaan maja pahit di jawa timur. Pada masa tersebut, ajaran islam sedikit demi sedikit mulai tertanam pada masyarakat madura. Menurut berbagai berbagai pemberitaan pada abad XV, datanglah dijawa seorang ulama islam dari Campa, merupakan penganjur agama yang bernama Rakhmat dan diriwayatkan merupakan ipar kemenakan raja maja pahit. Oleh pacat tanda terung, yang waktu itu berkuasa diwilayah Surabaya, ia diberi izin bermukim di Ampel Denta. Karena keberhasilannya menyebarkan agama islam. Ia lalu terkenal dengan nama Sunan Ampel dan merupakan salah seorang wali sanga yang sangat berpengaruh di jawa. Orang-orang mdura kemudian sangat memuliakannya dan sampai sekarang makamnya di Masjid Ampel menjadi tujuan ziarah yang ramai (Rifai, 1993:21-22).

       Peran ulama di madura, tampaknya,tidak dapat di lepaskan dari sejarah perkembangan agama islam di mandura sejak terjadi kontrak perdagangan antara mandura dengan pusat-pusat islam di pesisir utara jawa.oleh karena itu,perdagang dan pelaut mandura di duga termasuk salah satu kelompok awal penganut ajaran islam di madura. Perkembangan islam di mandura semakin meningkat ketika kontran antara mandura dengan mekah semakin intensif melalui jemaah haji. Pada waktu itu, banyak pedagang kaya,yang sekaligus pembuka agama,melaksanakan ibadah haji dan,pulangnya membawa tambahan ilmu keanamaan yang diperolehnya dari negeri asal agama islam. Pada tahun 1880,di pulau madura terdapat 896 orang haji dan sepuluh tahun kemudian berkembang menjadi 1.364 orang. Hsil yang paling nyata dari kehadiran para haji ini adalah semakin bersihnya ajaran dari pengaruh local, semakin banyak jumlah orang yang menunaikan ibadah haji di suatu daerah, semakin semarak pula syiar islam dengan institusi-institusinya dan yang paling menonjol serta berpengaruh besar terhadap perkembangan islam di sekitarnya adalah pesantren (tim peniliti PMB-LIPI, 1995:49).

       Setelah historis,ulama,terutama dalam masyarakat islam teradisional (NU)telah menjadi panutan masyarakat,baik mengenai masalah keagamaan maupun masyarakat. Seperti di katakan Dhofier (1993:45):
“keberadaan seorang ulama sebagai pemimpin pesantren,di tinjau dari tugas dan fungsinya,dapat di pandang sebagai penomena kepentingan yang unik sebab ulama di samping sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan pesantren juga sebagai pemimpin masyarakat “.

       Ternyata Dhofier tersebut menunjukan bahwa ulama memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup luas, baik di dalam pesantern maupu masyarakat.bahkan,di dalam pesanteren seorang ulama dapat di ibaratkan sebagai seorang raja dalam sebuah kerajaan kecil dengan kekuasaan dan kewenangan yang absolut. Menurut Dhofier (1982:58), kekuasaan dan kewenangan ulama di dalam pesantrennya nyaris mutlak, karena santri,umumnya,mengangap “ulama adalah pemilik,guru,pemimpin,dan penguasa tunggal” di dalam pesantrennya. Selainn itu,kekuasaan dan kewenangan ulama juga dapat masyarakat sekitar pesantren,terutama berwujud pengaruh dan peranan dalam mobilisasi masyarakat (dhofier,1982:58, effendi,1990:1;tojjoib,1998:111). Tigkat kepatuhan masyarakat kepada seorang ulama di antaranya dimanifestasikan dalam bentuk dukungan moril dan matril (berupa pemberian uang maupun barang-barang lain). Misalnya,ketika anggota masyarakat berkunjung ke rumah seorang ulama,atau wali santri berkunjung ke pondok pesanteren untuk menjenguk anaknya,hampir dapat di pastikan memberikan uang (nyabis) atau membawa barang-barang bawaan.

       Anggapan kerajaan di atas dapat di pahami setidak-tidaknya di lihat dari anggapan para santri dan masyarakat bahwa seorang ulama adalah pemimpin duniawi sekaligus ukhrowi,atau dengan kata lain sebagai wakil tuhan di dunia. Hal itu,tidak jauh berbeda dengan anggapan masyarakat pada massa lalu bahwa seorang raja adalah symbol kekuasaan mikrokosmos dan makrokosmos. Raja dalam kosmologi jawa di percayai sebagai seseorang yang memperoleh bisikan langit sehingga dirinya memiliki kesempurnaan,kesaktian,dan kekuatan maha besar untuk menjalankan kekuasaan,yakni menjaga keadaan tata tentrem kerta dahaja  mulai tergangun (Anderson,1972:19). Barang kali,kita dapat membayangkanya sebagai pintu air yang menampung air seluruh sungai dan bagi tanahyang lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan (magkis-suseno,1984:100).
       Dengan kelebihan pengetahuan dan penghayatan di bidang keagamaan islam,ulama dianggap memiliki kewenangan khusus dibidang keagamaan. Karena agama di anggap sebagai acuan nilai,moral,dan norma yang di yakini dan di anut oleh masyarakat,maka ulama pun sekaligus di sebut sebagai pemimpin oleh sebab itu, kekuasaan (autlhoroty) ulama dianggap mempunyai makna sacral betapapun kecil dimensi makrokosmos (Effendy, 1990:2). Bahkan, lebih dipertegas lagi seoerang ulama sering dikaitkan dengan fenomena kekuasaan, yakni sebagai pewaris risalah kenabian yang bersifat supranatural. Figure ulama dianggap sebagai seorang yang mampu memberikan saran sesuai dangan petunjuk tuhan dari hasil istikhoro (Mansurnoor, 1990:211-233). Sebagai seorang tokoh, sering kali kalangan ulama melakukan istikhoro untuk meminta petunjuk tuhan. Fenomena itu telah menyebabkan peran ulama menjadi sangat diperhitungkan, tidak hanya menyangkut masalah-masalah keagamaan, tetapi juga masalah sosial dan politik. Secara tegas, Hiroko Horikoshi (1987:76) menyatakan bahwa ulama menguasai pendidikan islam di madrasah, memegang kekuasaan tertinggi dalam penafsiran Qur’an dan Hadits, dan sering pula muncul sebagai pemimpin sosial politik
     Ulama menjadi panutan masyarakat, disamping karena dianggap menguasai masalah keagamaan, juga dianggap memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan, yakni kesaktian. Para ulama umumnya dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu berupa kajunela atau kasekten, terutama ketika yang bersangkutan hendak membuka “daerah baru” yang masih belum santri. Perjalanan kiai Kholil yang sangat terkenal dan sekarang mewariskan pondok pesantren besar dimadura, ketika mulai membuka pesantrennya di bangkalan pada permulaan abad XIX, tidak terlepas dari kasaktian yang dimilikinya (tim peneliti PMB-LIPI, 1995:44).
       Dalam kehidupan sosial, masyarakat madura sendiri lebih berorientasi kepada ulama daripada kepada birokrasi. Namun, ulama dimadura, seperti juga di jawa, selalu tumbuh dikalangan elite ekonomi dan sekaligus politik setempat. Posisi ulama yang begitu sentral itu sejajar dengan kemampuan ekonomi mereka yang ham-pir pasti bersifat elitis. Ini, pertama-tama, berkaitan dengan latar belakang keluarga, tempat ulama itu ditumbuhkan. Ulama di jawa dan madura selalu tumbuh dari keluarga berada dan terhormat. Seperti yang dikatakan oleh Effendy (1989:5) bahwa ulama sebagai pendiri pesantren tidak satupunyang berasal dari keluarga kurang mampu. Akibat berbagai posisi yang dimiliki ulama tersebut tercipta pola hubungan yang bersifat paternalitis, yang menem[patkan ulama sebagai patron dan maasyarakat sebagai klien. Kondisi hubungan dengan paternalitik inilah yang membuat ulama sebagai panutan atau acuan sikap masyarakat, terutama dalam urusan sosial politik.
       Islamisasi di madura, seperti pada umumnya di daerah lain, pada awalnya berjalan dengan birokrasi. Para Da’I yang melakukan islamisasi awal berdampingan secara histories dengan para birokrat tradisional. Bahkan, dapat ditemukan beberapa ulama yang memiliki hubungan darah dengan penguasa terdisional atau justru berasal dari kalangan kaum ningrat yang dapat dipastikan sebagai keluarga pejabat pada zaman pemerintahan terdisional. Sejumlah ulama terkenal di bangkalan, seperti KH. Fuad Amin Imron, sampai sekarang masih memakai gelar bangsawan “raden” (tim peneliti PMB-LIPI, 1995:46-47). Hal itu, menunjukkan bahwa kemunculan elite kiai tidak berasal dari orang kebanyakan atau masyarakat biasa, tapi lahir dari kalangan elite yang sudah mapan, baik secara ekonomi maupun politik.
       Keterlibatan ulama dalam politik praktis (dalam pengertian politik modern) sudah berlangsung baik sejak zaman penjajahan, masa revolusi kemerdekaan, maupun sesudah masa kemerdekaan. Sebagai contoh, pada masa penjajahan dan revolusi kemerdekaan banyak ulama yang menggabungkan diri ke dalam barisan Hisbullah atau Sabilillah, bahkan sebagian besar menjadi komandan dan pemimpinnya. Oleh karena itu, banyak santri diantara yang terlibat atau dilibatkan dalam barisan itu. Akibatnya, banyak pula pesantren yang akhirnya berkembang menjadi markas Hisbullah, atau Sabilillah, yang karena banyak pula pesantren yang terganggu pendidikan dan pengajarannya karena ulama dan santrinya bergerilya di daerah (Effendy, 1990:10). Berikutnya, ulama justru menempati posisi penting dalam pergerakan nasional. Tidak sedikit organisasi modern kaum pribumi yang didirikan dan dipimpin ulama. Bahkan, menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam pergerakan nasional (Shiraishi, 1997).
      Selanjutnya, pada masa kemerdekaan, peranan ulama dalam penggung politik masih terus berlangsung. Bahkan, pada masa-masa awal kemerdekaan semakin besar dan intensif. Keterlibatan KH. Wahlid Hasyim dari pesantren Tebuireng, KH. Abdulhalim dari pesantren Majalengka dan sebaginya dalam konstituante untuk merumuskan dasar negera Indonesia pada dasawarsa lima puluhan adalah salah satu contohnya (Effendy, 1990:11).
       Tampilnya ulama dalam panggung politik, terutama dalam organisasi politik, semakin dominant ketika NU (Nahdlatul Ulama) berubah menjadi partai politik. Karena ulama telah menajadi panutam masyarakat, NU sebagai partai yang didukung oleh ulama tradisional relative tidak sulit untuk meraup suara yang cukup besar. Bahkan, NU pada pemilu 1971 menduduki posisi terbesar dalam perolehan suara dimadura: NU memperoleh 67%, PSII 4,9%, Parmusi 2,0%, Golkar 25,5%, dan Partai Nasional 0,5% (De Jongle, 1989:275). Padahal, menjelang pemilau 1971 berlangsung, rezim orde baru sudah mempersiapkan diri untuk memenangkan Golkar, diantaranya melalui sekretatian Bersama Golongan Karya (Sekber Glokar). Bahkan, pemerintah orde baru telah mengeluarkan peraturan mengenai kehidupan politik para pegawai megeri dengan melarang Keikutsertaan sejumlah kecil pegawai negeri untuk bergabung dalam suatu partai dan meminta kepada yang lainnya untuk melaksanakan “monoloyalitas”, yang maksudnya meereka harus setia kepada Golkar saja (Reeve, 1985:188; Feillard, 1999:117-118).  

MENGENAL
PULAU MADURA

Dari sudut pandang latar belakang etnis, komposisi demografis penduduk dimadura menunjukkan dominasi suku madura. Namun, kelompok penduduk non madura dapat dijumpai pula, sekalipun secara kuantitatif merupakan minoritas. Pengamatan secara langsung membenarkan realitas itu, meskipun sacara absolute tidak dapat dipastikan jumlahnya karena data sensus penduduk pada periode pascakolonial cenderung meniadakan informasi penduduk berdasarkan latar belakang etnisitas. Disamping kelompok suku madura secara mayoritas, dimadura juga dijumpai penduduk dengan identitas etnis Jawa, Mandar, Bugis, Melayu, Cina, dan kelompok minoritas Eropa juga ditemui keberadaannya.

Keberadaan kelompok masyarakat non-madura justru lebih mudah diketahui pada periode colonial, karena data sensus penduduk menurut asal-usul etnis. Pada tahun 1900, jumlah keseluruhan penduduk madura mencapai 1.758.000 jiwa, dengan tiga kelompok minoritas utama, yakni penduduk Eropa (747 jiwa), Cina (4.381 jiwa), Arab (1.774 jiwa), dan lainnya (111 jiwa). Tiga puluh tahun kemudian, penduduk Eropa menjadi berjumlah 1.051 jiwa dan Cina berjumlah 5.029 jiwa, sedangkan data untuk orang Arab tidak diketahui (Kuntowijoyo, 1980:82). Angka itu menunjukkan bahwa, secara kuantitatif, penduduk non-madura memang merupakan minoritas. Kelompok minoritas terbesar adalah Cina, disusul kelompok Arab pada urutan kedua.

Pada tahun 1930, Residen madura, W.H. Ockers (dalam kartodirdjo, 1978:CLXX), melaporkan bahwa orang bugis dan madura bermukim terutama di madura kepulauan, seperti Kangean, Selambu, dan Bawean. Ockers juga menyebutkan adanya pusat pemukiman orang Kambang dari Sulawesi di Pulau Sapekan. Laporan bupati sumenep pada tahun 1950 juga menyebutkan keberadaan komunitas Bugis di pulau Masalembu (Djawatan Penerangan, 1951:33). Lebih lanjut, kajian Vredenbregt (1990:15) memperlihatkan keberadaan kelompok orang Palembang di pulau Bawean. Seperti umumnya ditemui pada masa sekarang, pada masa lalu orang Cina dan Arab bertempat tinggal diwilayah perkotaan. Komunitas-komunitas non-madura itu dikepalai oleh orang Arab, sedangkan orang Cina dikepalai oleh wijkmeester. Puluhan orang India juga bermukim di Sumenep (Memori Residen Madura F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et al, ed, 1978: CXXXVIII).

Tidak ada data yang secara khusus menunjukkan bagaimana pertumbuhan masing-masing kelompok etnis yang bermukim di madura pada era kemerdekaan. Akan tetapi, secara umum, diketahui bahwa jumlah penduduk madura terus bertambah dalam perjalanan waktu. Menurut kalkulasi Kuntowijoyo (1980:79), berdasarkan data penduduk 1850-1930, pertumbuhan penduduk madura rata-rata mencapai 2,7 persen pertahun, sedangkan tingkat pertumbuhan untuk Jiwa secara umum hanya sebesar 1,9 persen pertahun. Namun, pada periode pendudukan jepang dan Perang kemerdekaan, penduduk madura mengalami pertumbuhan negative. Dalam periode 1941-1950 jumlah penduduk madura berkurang sekitar 400.000 jiwa, sedangkan penduduk jawa bertambah sebesar 2 juta jiwa (De Jogle, 1989:22).

Memasuki periode kemerdekaan, pertumbuhan penduduk madura dilampui oleh tingkat pertumbuhan penduduk di jawa timur. Dalam periode 1980-2000, penduduk madura bertambah dari 2.687.000 jiwa menjadi 3.118.000 jiwa. Dalam periode 20 tahun, rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk madura mencapai 0,83% pertahun tahun (jawa timur dalam angka 2000, 2001:51; Niehof, 1985: 26).

Menurut dikotomi wilayah desa-kota, tingkat pertumbuhan penduduk di madura tidaklah bersifat seragam. Menurut Kuntowijoyo (1993:62) atas dasar pengamatan di kabupaten Bangkalan, pertumbuhan penduduk diwilayah pedesaan madura lebih lambat daripada wilayah perkotaan. Penjelasan terhadap fenomena tersebut adalah daya dukung ekonomi wilayah pedesaan yang lebih kecil karena katergantungan kepada sector agraris yang sudah mencapai titik jenuh dibandingkan dengan perkotaan yang masih mungkin menyandarkan aktivitasnya pada sector non-pertanian, khususnya sector perdagangan. Dengan kata lain, wilayah perkotaan dimadura, sekalipun dari arti yang terbatas, masih dapat memberikan dukungan ekonomis lebih besar daripada wilayah pedesaan, termasuk dengan melakukan urbanisasi.

2. Kepadatan

Jika dilihat dari sidut kepadatan penduduk (population density), pda tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk madura mencapai 588 jiwa/ km2. selama periode 1995-2000, secara konsisten, kabupaten pamekasan menempati urutan tertinggi dari segi tingkat kapadatan penduduk, yakni sebesar 804 jiwa/km2 pada tahun 1995 dan 851 jiwa/km2 pada tahun 2000. secara konsisten pula, urutan kadua ditempati kabupaten bangkalan, disusul kabupaten Sampang, dan kabupaten Sumenep pada urutan berikutnya. (lihat Tabel 2.3).

Kepadatan penduduk madura menurut kabupaten 1995 dan 2000
Kabupaten
1995
2000
Bangkalan
573
605
Sampang
572
580
Pamekasan
804
851
Sumenep
463
483
Total Madura
564
588
Jawa Timur
703
732
Sumber: jawa dalam angka 2000 (Surabaya: BPS Provinsi Jawa TImur, 2001), hlm. 45.

Tingkat kepadatan penduduk madura tampak tidak selalu parallel dengan besar jumlah penduduk. Hal itu, tentu saja, juga tergantung pada luas territorial masing-masing kabupaten. Kabupaten Pamekasan, yang secara absolute mempunyai jumlah penduduk terendah, ternyata memmpunyai tingkat kepadatan yang tinggi. Sebaliknya, kabupaten Sumenep mempunyai tingkat kepadatan terendah, sekalipun jumlah penduduknya terbesar di antara semua kabupaten di madura.

Di daerah lairan sungai yang mungkin praktik budidaya pertanian pada musim penghujan merupakan daerah yang paling padat penduduk. Di daerah inilah pada masa lalu berdiri pusat-pusat kekuasaan (keraton) yang kemudian pada era kemerdekaan berkembang menjadi berapa ibu kota kabupaten di madura. Hanya daerah semacam itulah yang berpeluang besar mampu menyangga kepadatan penduduk yang tinggi dan memungkinkan berkembangnya kelompok-kelompok masyarakat dengan aktivitas ekonomi non-agraris (De Jogle, 1989). Contoh yang dapat disebut disini adalah Bangkalan dan Arosbaya di kabupaten Bangkalan, Pamekasan dan Bundar di kabupaten Pamekasan, serta Sumenep di Kangean di kabupaten Sumenep.

Kepadatan penduduk yang tinggi juga terdapat didaerah pesisir pantai selatan. Produksi pertanian didaerah ini adalah ketela dan jagung dan, sebenarnya, dibandingkan dengan padi tidak banyak mendukung terjadinya konsentrasi penduduk dalam jumlah besar. Kepadatan kawasan sepanjang pantai selatan hanya dimungkinkan berkat berkembangnya aktivitas penangkapan ikan dan perdagangan yang terjalin dengan kota-kota lain di pantai utara jawa. Tjiptoatmodjo (1989), secara komprehensif, telah menggambarkan ramainya aktivitas perdagangan dikota-kota selat madura hingga pertengahan abad ke-19. sumber tradisional,Babad Sumenep, juga menyebutkan adanya aktivitas pedagang dari jawa di kota-kota madura (Werdisastra, 1996:22).

Berkebalikan dengan kawasan sepanjang pantai selatan, disepanjang kawasan pantai utara madura tingkat kepadatan penduduk lebih rendah. Menurut De Jogle (1989:19), hal itu tidak terlepas dari ketergantungan yang lebih besar dapa aktivitas pokok penangkapan ikan. Kondisi perairan yang bergelombang besar dan teknologi pelayaran yang sederhana rupanya tidak memungkinkan mereka melakukan penangkapan ikan ditempat-tempat yang jauh dari laut jawa. Penangkapan ikan pun hanya dilakukam di musim timur. Kalaupun di masa lalu aktivitas perdagangan juga telah terjalin dengan beberapa kota pantai di jawa. Sulawesi, dan Kalimantan, intensitasnya lebih kecil dan bahkan semakin berkurang pada era kemerdekaan.

Tingkat kepadatan penduduk paling rendah ditemukan di daerah-daerah yang lebih tinggi dengan kondisi alam yang sebagian besar tersusun atas bantuan karang (De jonge,1989:19). Sekalipun kegiatan pertanian tetap di lakukan di kawasan itu, hasilnya jelas tidaklah memadai karena lahan yang tersedia sangat terbatas dan produkvitas lahan pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan kawasan madura lainya yang mempunyai sistem irigasi relative lebih baik,khususnya pada musim penghujan.

Secara umum,dibandingkan dengan jawa dan daerah di Indonesia,pulau madura termaksud kategori daerah padat penduduk (density populated region). Bahkan, pada massa kolonial belanda,pulau ini,mempunyai tingkat kepadatan penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di jawa pada umumnya. Pada tahun 1815,misalnya,kepadatan penduduk madura adalah 41,2 jiwa per km 2  ,sedangkan kepadatan penduduk di jawa baru mencapai 33,9 jiwa per km 2.dalam priode 1867-1940, kepadatan penduduk madura selalu lebih tinggi di bandingkan dengan jawa.pada tahun 1940,kepadatan penduduk madura meningkat menjadi 414,8 jiwa km 2, sedangkan kepadatan penduduk di jawa hanya 357,2  jiwa per km 2,(De jonge,1989:21).

Pada periode kemerdekaan,kepadatan penduduk di jawa terus berada di atas angka kepadatan penduduk madura yang turun drastis pada priode pendudukan jepang.pada tahun 1955,angka kepadatan penduduk madura berkurang, yaitu 328 jiwa per km 2,sedangkan kepadatan penduduk di jawa secara keseluruhan mencapai 409 jiwa per km 2.pada tahun yang sama,tingkat kepadatan penduduk untuk jawa timur adalah 394 jiwa per km 2 (Reksohadiprodjo dan Hadisapoetro, 1986:319). Meskipun kepadatan penduduk di mdura terus bertambah, dalam kenyataanya,laju pertumbuhan kepadatan penduduk tetap lebih lambat.pada tahun 1971,angka kepadatan di madura adalah 458 jiwa per km 2,sedangkan untuk jawa besar 561 jiwa per km 2 (De jonge,1989:21).sementara itu,pada tahun 2000,kepadatan penduduk madura mencapai 588 jiwa per km 2,sedangkan angka kepadatan untuk jawa timur sebesar 732 jiwa per km 2.

Secara absolute,tingkat kepadatan penduduk madura memang lebih rendah,tetapi terkanan sosial ekonomi penduduk di madura jauh lebih besar5. tetapi hal itu terkait dengan fakta bahwa daya dukung alam madura lebih rendah daripada jawa karena kondisi alamnya yang gersang dan tandus tidak dapat diingkari,produktivitasi lahan pertanian di madura lebih kecil dari pada tingkat produktivitasi lahan pertanian di jawa,seperti tampak jelas, misalnya dalam produksi padi per kapita.sebagai ilustrasi, misalnya,pada priode 1950-1955 di ketahui bahwa produksi besar per kapita di madura rata-rata hanya 39,86 kg per tahun,sedangkan untuk jawa timur saja mencapai 143,14 kg (Reksohadiprodijo dan Hadisapoetro,1986:324). Keadan alam yang gersang dan tandus merupakan penyabab utama rendah tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat madura (Wiyata,2002:35).

Rendah tingkat kehidupan sosial-ekonomi tercemin pula dari tingkat pendidikan yang dapat di nikmati masyarakat madura. Dapat di tingkatkan bahwa sampai saat ini tingkat pendidikan di kalangan masyarakat madura masih rendah.berdasarkan data sensus tahun 1971 di ketahui bahwa proporsi jumlah penduduki yang buta hurup (tidak dapat menulis dan membaca)di kalangan masyarakat madura mencapai persentase sangat tinggi,yaakni 68% dengan rincian:69.3% di Bangkala,72,1% di sampang,64,4%di pamekasan,dan 66,5% di sumenep (Niehof,1985>32).berbagai upaya yang telah di tempuh selama priode Orde Baru untuk memajukan pendidikan di madura masih perlu di tingkatkan karena, ternyata,jumlah penduduk yang buta hurup masih tinggi.pada tahun 1995, di kabupaten sampang misalnya,proporsi jumlah penduduk buta hurup masih sangat tinggi, yakni sekitar 53%,lebih besar dibandingkan jumlah penduduk yang bisa baca-tulis (47%) (Suyanto,et al., 1997:21).

Memang benar bahwa pada massa kemerdekaan tingkat kesejahteraan masyarakat madura terus msngalami peningkatan, seperti di tunjukan oleh peningkatan pendapatan per kapita kurang lebih sepuluh kali lipat antara tahun 1970 dan 1990. Namun, secara umum, tingkat pendapatan per kapita penduduk madura kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita penduduk indoinesia (De jonge,1989:43; De jonge,1990:21). Beratnya tekanan kehidupan sosial-ekonomi merupakan faktor pendorong (push factor) yang menggerakkan orang madura melakukan migrasi ke tempat lain di luar madura dan, permasalahan ini, akan di paparkan secara lebih mendalam dalam bagian berikut ini.

C. Madura dalam perubahan zaman

Dalam rentangan sejarah jangka panjang, tidak duragukan bahwa madura dan masyarakatnya mengalami berbagai dinamika, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Masyarakat madura yang sekarang adalah masyarakat hasil teransformasi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam prose situ dapat disaksikan bukan hanya serangkaian perubahan, melainkan juga sejumlah kesinambungan sejarah masih dapat ditemukan. Dalam konteks ini, cukup releven menengok pemikiran sejarawan besar aliranAnnales, Braudel, yang membedakan sejarah dalam tiga lapisan, yakni lapisan panjang (longe duree, struktur, geografi), lapisan menengah (moyenneduree, kunjunktur, ekonomi), dan lapisan pendek (counte duree, peristiwa, politik) (Braudel, 1972-1973; Ankersmit, 1987:281-283).

Bertolak dari pemikiran Braudel tersebut, mulai dengan lapisan ketiga, counte duree, yang terkait dengan dimensi politik, tampak bahwa madura menampilkan irama perubahan cepat. Hal itu, jelas jika menilik perkembangan sejarah madura mulai dari era prakolonial yang diwarnai dengan perebutan hegemoni antara berbagai pusat kekuasaan local madura, aliansi, dan resistensi terhadap penetrasi terhadap kekuasaan luar, khususnya yang berpusat dijawa dan bali, integrasi dalam kekuasaan colonial belanda, pendudukan jepang, pembentukkan Negara madura, hingga integrasi ke dalam Negara kesatuan republic Indonesia.

Dalam periode kerajaan-kerajaan Nusantara, madura berurut-turut dibawah kekuasaan Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, dan mataram (Rifai, 1993:7-40). Penguasaan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terntu saja mempunyai pengaruh bagi madura, adapun pengaruh yang paling terasa hungga saat ini adalah yang ditinggalkan oleh kerajaan Mataram. Di bawah kekuasaan mataram, pengaruh budaya jawa semakin mengakar, terutama dengan ditempatkannya panglima pasukan jawa, Tumenggung Anggadipa sebagai penguasa di sumenep dan penerimaan rakyat semenep terhadap kepemmpinannya (Riafi, 1993:52).

Perbedaan antara masyarakat madura barat dan madura timur yang masih dikenali hingga dewasa ini sampai tingkat tertentu merupakan konsekuensi dari dinammika politik di madura pada masa lampau. Dari sudut pandang jarak geografis, agak mengherankan bahwa madura timur yang relative lebih jauh dari pusat-pusat politik dijawa, khususnya kerajaan mataram, justru lebih banyak mendapat pengaruh budaya jawa. Hal itu, tampak jelas jika dilihat dari sudut pandang linguistic. Masyarakat madura timur mengenal adanya tingkatan bahasa (kasar-halus), mirip seperti pola yang berlaku dalam bahasa jawa. Sebaliknya, dimadura barat cemacam itu tidak banyak ditemukan karena bahasa yang digunakan dalam masyarakat madura barat ternyata masih egaliter, yang agaknya mengesankan bahwa masuarakat madura barat lebih kuat mencerminkan budaya rakyat madura kebanyakan. Bahkan, sampai paruh kedua abad ke-19, nama madura memang hanya merujuk pada bagian barat pulau tersebut, yang sekarang merupakan kabupaten Bangkalan dan sampang (Niehof, 1985:23; De Jogle, 1990:3).

Penetrasi kekuasaan belanda ke madura diawalai oleh permintaan bantuan dari penguasa sumenep untuk membebaskan diri dari kekuasaan Mataram. VOC yang menjadi embrio pemerintah kolonoal belanda memandang madura penting semata-mata dengan pertimbangan keamanan aktivitas perdagangan yang mereka lakukan, padipada ketertarikkan pada potensi ekonomi yang dimiliki madura (Rifai, 1993:41). Keberhasilan VOC memadamkan pemberontakan Ke Lesap yang berlangsung beberapa decade berikutnya semakin memperkuat kedudukan belanda di madura. Di bawah kekuasaan VOC, pengelolaan madura barat dan timur dilakukan dengan cara berbeda. Pemekasan dan Sumenep (madura timur) dikelola sebagai daerah swapraja sehingga pengangkatan bupati dilakukan melalui pendatanganan kontrak ikatan politik. Sebaliknya, madura barat diperlakukandengan pendatanganan janji syarat (Rifai, 1993:46).

Namun, pada paruh ekdua abad ke-19, pemerintah kolonial belanda berangsur-angsur menghapus swapraja di madura, dengan diwakili dari Pemekasan (1858). Pengelola wilayah madura secara langsung ditangani sendiri oleh pemerintah colonial hindia belanda sehingga akhir kekuasaannya dengan membentuk madura sebagai daerah keresidenan (Abdurrachman, 1971:57). Dalam mengelola wilayah, residen madura dibantu oelh beberapa orang asisten residen yang wilayah kerjanya tumpang-tindih dengan daerah kekuasaan bupati. Konsekuensi reformasi administratif tersebut adalah menguatkan hak-hak ekonomi belanda di satu sisi dan hilangnya privilege yang sebelumnya memiliki kaum ningrat madura, misalnya menyangkut penarikan pajak, upeti, percaton, dan pancen (Kuntowijoyo, 1993:89-94).

Bagi masyarakat kebanyakan,reorganisasi admistrasi pemerintahan madura dinilai membawa banyak dampak positif. Penghapusan kerajaan mengurangi konflik antar penguasa lokal madura sehingga kesengsaraan rakyat berkurang. Rakyat biasa tidak segan membuka lahan pertanian baru karena tidak ada kekuatiran bahwa lahan yang dibuka dengan susah payah akan diklaim oleh raja seperti masa sebelumnya (Rifai, 1993:59). Dengan kata lain, dibawah pemerintahan langsung, hak milik individual atas tanah yang mereka peroleh, baik lewat hak waris tertentu maupun hak yasan, diakui dan dikodifikasikan menurut hukum barat sehingga lebih terjamin. Disamping itu, secara langsung, rakyat biasa akan merasakan beban mereka menjadi lebih ringan berkat digantikannya pajak tanah dan pajak rumah tangga oleh iuran baru yang lebih ringan, termasuk penghapusan kerja wajib (pancen) yang dahulu diberikan para keluarga bangsawan (De Jogle, 1990:12-13).

Dalam lapisan sejarah madura jangka menengah (menyangkut dimensi ekonomi), irama perubahan berlangsung lebih lambat. Pandangan demikian, setidak-setidaknya, menemukan pembenaran dalam gambaran umum mengenai masyarakat madura bahwa karakteristik masyarakat agraris masih tetap melekat. Meskipun dalam proporsi yang berubah, kenyataannya masyarakat penduduk madura masih menguntungkan kehidupannya, baik secara keseluruhan maupun sebagian besar, pada sector pertanian (De Jogle, 1998b). masih dominannya sifat agraris seakan mengilustrasikan betapa lama rentang waktu yang panjang masyarakat madura tidak banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Bahasa Kuntowijoyo (1993:62), “madura sekarang ini masih merupakan daerah masa lalu”.

Data sensus tahun 1971 menggungkapkan sekitar 80% dari total angkatan kerja dimadura, sebesar 911.000, mengeluti sector agraris (termasuk nelayan) untuk menopang kehidupannya. Persentase tertinggi terdapat dikabupaten Pamekasan, yakni 88,2%, sehingga diketiga kabupeten lainnya masing-masing: Sampang (77,4%), Sumenep (78,2%), dan Bangkalan (76,9%) (Niehof, 1985:19).Data struktur penduduk menurut mata pencaharian di madura tahun 1992 menyebutkan bahwa 64% penduduk berkerja di sector pertanian,di susul kelompok penduduk dengan mata pencaharian di sector perdagangan sebesar 11%,dan industri kurang lebih 9%  (jawa timur membangun,1993). Secara lebih mendetail,sekitar 60% penduduk pamekasan adalah petani dan buruh tani,sedangkan di kabupaten sampang,211.000 orang (sekitar 85%) dari 261.000 orang jumlah angkatan kerja bermata pencaharian sebagai petani (tim LIPI,1995:17).
Sebagai perbandingan,pada akhir abad ke-19 residen madura,luplink weddik,mencatat bahwa sector pertanian merupakan tulang pungung kehidupan  mayoritas masyarakat madura (niehof,1985:28).
Dalam kegiatan pertanian,tanah merupakan factor penting karena menjadi pondasi bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut. Perubahan yang terjadi menyangkut persediaan dan cara lahan pertanian digunakan merupakan petunjuk penting mengenai arah perkembangan sector pertanian. Data statistic mengenai areal tanah pertanian madura paling tua yang berhasil di peroleh adalah sejak tahun 1886. untuk periode sebelumnya, data tidak tersedia. Namun ,secara umum,dapat di duga bahwa areal tanah pertanian pada priode sebelumnya cendrung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berdasarkan pada data yang tersedia, dapat di tampilkan secara kronologis perkembangan lahan pertanian di madura pada era colonial.
Berbeda dengan jawa, yang pertanianya secara dominant di lakukan pada lahan sawah pertanian madura sebagian besar dilakukan pada lahan tegalan. Dominasi tegalan dalam pertanian boleh di katakana belum beriubah. Meskipun selama priode pemerintahan orde baru dengan di lancarkan kebijakan pertanian yang popular dengan sebutan revolusi hijau di antaranya melalui pembangunan sistem irigasi lahan sawah dengan irigasi teknis di madura tetap sama saja,sempit, dan terbatas. Program revolusi hijau dengan target peningkatan produksi beras ternyata tidak membawa pengaruh besar terhadap sector pertanian madura,khususnya dalam hal produksi padi. Hal itu,di sebabkan program tersebut lebih di rancang untuk menerapkan di daerah-daerah dengan sector pertanian sawah dari pada ekosistem yang lain. Seperti  di kemukakan Palte (1989:12). Terdapat bias sawah dalam kebijakan pemertitah orde baru di sector partanian. Dengan demikian,program tersebut kurang cocok, baik bagi pertanian di daerah dataran tinggi maupun di daerah dengan karaktistik fisik berupa ekologi tegalan, seperti madura.
Mengacu pada pikiran Braudel mengenai sejarah lapisan jangka panjang, secara structural,madura tidak banyak berubah. Ekologi tegalan masih mempengaruhi cara kegiatan-kegiatan ekonomi di lakukan. Dengan dominanya lahan tegalan aktivitas pertanian padi hanya dapat dilakukan di areal tanah yang relatif terbatas. Kalaupun aktivitas penanaman padi di selengarakan,sebagian besar penanam hanya di lakukan setahun sekali,yakni saat musim penghujan.hal tersebut untuk menjamin tercukupinya kebutuhan irigasi dengan pertimbangan sangat terbatasnya persediaan air irigasi di daratan madura. Sehubungan dengan itu,tanaman pertanian yang lebih dominant dalam ekologi tegalan madura adalah jagung,tenaman yang tengkat kebutuhan irigasinya lebih kecil dari pada tanaman padi. Namun,selain jagung masih mdi jumpai pula berbegai jenis tanaman lainya,seperti ketela, kacang-kacangan, kedelai, umbi-umbian dan tembakau.
Lebih dominanya tanaman jagung di bandingkan dengan padi dalam pertanian di madura secara eksplisit tercemin dalam luas areal penanaman. Data statistic colonial untuk tahun 1920 menunjukan bahwa total penanaman padi hanya mencapai 81.100 hektar,sedangkan penanaman jagung mencapai 371.900 hektar. Pada tahun 1940,area pananaman padi,meningkat sedikit menjadi 86.300 hektar,sedangkan untuk penanaman jagung terjadi peningkatan lebih besar,yakni menjadi 309.700 hektar (boomgaard dan van zanden, 1990:96-97). Pada tahun 2000,luas panen padi di seluruh madura sebesar 120.000 hektar, sedangkan luas panen jagung mencapai 377.800 hektar (jawa timur dalam angka 2000,2001:140,144).
Akibatnya,meskipun mempunyai corak agraris,dalam segi pemenuhan kebutuhan pangan, madura sangat tergantung pada impor beras dari luar pulau. Kekurangan dalam persediaan kebutuhan bahan pangan,khususnya beras,harus di tutup mendatangkan dari daerah lain, baik dari jawa maupun bali,yang secara histories di kenal sebagai daerah lumbung padi,termasuk di antaranya adalah keresidenan besuki. Tidak mengherangkan,inpor beras bagi madura merupakan fenomena yang mencolok dan sudah berlangsung lama. Pada tahun 1866, dilaporkan bahwa pamekasan mendatangkan beras sebesar 41.119 pikul beras dan 98.178 pikul padi ( kuntowijoyo, 1980:98) dapat di duga bahwa kegiatan memasukan beras dan padi dari luar terus berlangsung sepanjang tahun karena penduduk madura juga terus bertambah. Besarnya infor berfluktuasi dengan di jadikanya bahan pengan non beras, utamanya jagung,sebagai salah satu bahan makanan pokok. Bagi masyarakat madura,konsumsi jagung sebagai bahan pangan pokok merupakan kebiasan yang mempunyai akar histories panjang dan sebagian bentuk adaptasi cultural dengan kondisi limgkungan fisik yang mereka hadapi di madura ( manggistan, 1986:99).
Bukti kualitatif juga banyak menggambarkan adanya impor beras dari luar ke madura. Sumber-sumber arsip colonial, khususnya memori residen madura, selalu menyebutkan adanya impor beras. Residen betten (dalam kartodirdjo, et al, ed., 1978:CXLI) pada tahun 1923 menulis bahwa madura setiap tahun harus mendatangka beras dari jawa. Demikian pula, kontrolir Sampang, Van Mourik (dalam Kartodirdjo, et la, ed., 1978:CLXXVI), pada tahun 1924 menyebutkan bahwa setiap tahun harus didatangkan bahan pangan beras dalam jumlah cukup besar. Residen madura pada era kemerdekaan, R. Soeharto Hadiwidjojo, pada tahun 1951 menyatakan bahwa produksi bahan pangan di madura hanya mencukupi untuk periode 7,8 bulan hingga kekurangannya harus dipecahkan  dengan mendatangkan dari daerah lain (madura membangu, 1951:18).
Pada periode orde baru, ketergantungan terhadap beras yang didatangkan dari luar pulau tampaknya semakin bertabah besar, karena disamping jumlah penduduk terus meningkat, dikalangan masyarakat madura telah terjadi peralihan bahan makanan pokok secara signifikan dari jagung ke beras, bahkan di Bangkalan hal ini sangat dianjurkan (Bangkalan Ceria, 1993: 106). Kecenderungan yang sama juga berlangsung didaerah-daerah lain di Indonesia, sebagaimana ditengarai oleh Van Der Eng (Van der Eng, 1996:205; Subaharianto dan Nawiyanto, 2002:C). dengan semakin merosotnya ketahanan pangan seperti ditunukkan dengan pentingnya katan impor beras dewasa ini, serangkaian upaya ditepuh di madura untuk mendorong msyarakat madura menguangi ketergantungan pada bahan pangan beras dan menganjurkan mereka kembali mengkonsumsi bahan pangan jagung lebih banyak.
Komoditas pertanian di madura yang mempunyai arti paling penting secara komersial hanyalah tembakau. Posisi strategis tembakau bagi perekonomian masyarakat madura baru mulai terjadi terutama sejak decade pertama abad ke-20. perluasan budidaya tenaman tembakau tidak terpisahkan dari sepak terjang kaum migrant madura yang bekerja di perkebunan tembakau di jawa, khususnya di Besuki, sebagai salah satu dari tiga pusat perkeunan tembakau terpenting pada era Indonesia colonial, selain Deli Sumatera Utara dan Vortenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Pada saat kembali kemadura dari siklus migrant musiman, mereka mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam penanaman tembakau pada lahan yang mereka miliki. Tanaman itu dibudidayakan pada lahan-lahan kering yang sebelumnya tidak pernah ditanami pada saat musim kemarau (De Jogle, 1990:15).
Perluasan tanaman tembakau di madura semata-mata merupakan bentuk usaha pertanian rakyat yang di9lakukan dalam skala kecil dan meibatkan banyak keluarga petani, daripada merupakan usaha dalam skala besar yang dikembangkan oleh para pengusaha swasta barat. Dari beberapa rintisan usaha perkebunan, madura dianggap tidak memberikan keuntungan secara memadai sehingga para pengusaha barat tidak tertarik melakukan investasi lebih lanjut. Rintisan usaha perkebunan yang dilakukan pun pada akhirnya ditinggalkan (Kuntodirdjo, 1980:59-6).
Produksi tembakau hanya sebagian kecil digunakan di madura, sebagian besar produksi tembakau di jual ke jawa sebagai tembakau rajangan atau tembakau kerosok (Memory Residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed. 1978:CXLI). Produk tembakau y7ang dihasilkan di madura sebagian dibeli oleh pabrik-pabrik rokok yang banyak berdiri diberbagai kota di jawa, sebagian lagi diekspor ke laur negeri (Memory Residen J.G. van Heyst, dalam Kartodirdjo, et la, ed. 1978:CXLVI). Meningkatnya persaingan dalam pasar tembakau membuat sebagian pengusaha pabrik terpaksa membeli bahan baku tembakau dari wilayah marginal yang harganya lebih murah. Factor inilah yang mempengaruhi penerimaan tembakaumadura yang dari segi kualitas sebenarnya jauh dibawah tembakau jawa (Vleming, 1925:167).
Sejak tahun 70-an, areal penanaman tembakau mengalami peningkatan secara signifikan dengan jangkauan pasar yang semakin luas dan melibatkan jaringan pedagang yang semakin banyak (De Jogle, 1990:21). Kekacauan yang berlangsung di daerah produsen tembakau di jawa sesudah proklamasi sebagai akibat kasus-kasus sengketa tanah antara perkebunan dan petani memungkinkan tembakau madura masuk ke pasar tembakau secara lebih cepat. Dalam decade berikutnya, areal penanaman terus menunjukkan kacenderungan kearah perluasan. Tembakau madura merupakan salah satu baku penting bagi industri rokok di Indonesia, khususnya rokok kretek (Hartodi, 1990:1). Meningkatnya permintaan bahan baku, seiring dengan ekspansi industri rokok pada era kemerdekaan memberikan rangsangan bagi petani madura untuk memperluas penanaman tembakau. Seperti tampat dalam tabel 2.6, areal penanaman tembakau meluas secara signifikan dari 19.400 hektar pada tahun 1975 menjadi 37.000 hektar pada tahun 2000.
Tabel 2.6 luas penanaman tembakau di madura
Tahun
Area (Ha)
1900
2.593
1920
3.551
1935
5.507
1965
13.241
1975
19.402
1995
32.050
2000
37.079
Sumber: jawa timur dalam angka 2000.
Berdasarkan data luas area penanaman seperti tampak dalam tabel 1.6, daerah produksi tembakau yang terpenting dimadura adalah kabupaten Pamekasan, diikuti oeh kabupaten Sumenep. Dalam area yang lebih kecil, penanaman juga dilakukan di kabupaten Sampang, sedangkan dikabupaten Bangkalan secara praktis dapat dikatakan tidak signifikan. Demikian juga, secara umum, tembakau lebih penting bagi perekonomian masyarakat di madura timur daripada di madura barat. Penjelasan itu menyangkut perbedaan kondisi tanah dan kalim antara kedua bagian wilayah, karena tanaman tembakau tidak dapat ditanam di sembarang tempat. Untuk mendapatkan tanaman tembakau yang berkualitas diperlukan sejumlah persyarakat khusus menyangkut kondisi tanah dan iklim karena tembakau termasuk tanaman yang sangat rentan dan beresiko tinggi.
Abel 2.7 areal penanaman tembakaudi madura, 1995-2000 (dalamhektar)
Kabupaten
Tahun
1995
2000
Bangkalan
-
20
Sampang
4.185
6.035
Pamekasan
18.032
18.347
Sumenep
9.833
12.617
Total Madura
32.050
37.019
Jawa Timur
93.603
98.380
Sumber: jawa timur dalam angka 2000
Di laur aktivitas sector pertanian, sebagian penduduk madura menyandarkan kehidupannya pada sktor perdagangan,peternakan, dan maritime, khususnya perikanan, dan garam. Perkembangan sector non-pertanian merupakan salah satu konsekuensi dari keterbatasan dan ketidakmampuan sector pertanian di madura dalam menjamin kehidupan seluruh penduduk madura. Perdagangan dari madura terutama terkait dengan berbagai hasil bumi yang dihasilkan di wilayah itu. Di samping itu, selain terkait dengan produk-produk pertanian, ternak khususnya lembu,juga merupakan barang daganganyang menonjol dari daerah madura (memory residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed., 1978:CXLI).
Peternakan lembu memberikan konstribusi sangat signifikan bagi perekonomian masyarakat madura, karena banyak ternak lembu dikirim ke luar daerah terutama Jawa untuk diprdagangkan, baik aebagai sapi pemancek maupun untuk pemenuhan kebutuhan pasar daging. Pada era colonial, diperkirakan madura mengirim puluhan ribu lembu sebagai lembu potong. Pada tahun 1926, misalnya, dikirim hamper 80.000 ekor lembu potong, sedangkan pata dahun 1927 sebanyak 70.000 ekor (memory residen J.G. van Heyst, dalam Kartodirdjo, 1978:CLXIII). Begitu pentingnya sapi bagi orang madura, bukan saja tercermin dari segi ekonomis melainkan juga dalam aspek sosiologis. Bagi orang madura, sapi juga merupakan symbol status dan karapan sapi melekat sebagai salah satu identitas masyarakat madura hingga sekarang (Robnson, 1977: 22-23).
Sector perikanan juga telah lama dan secara tradisional digeluti sorang madura. Laporan colonial menyebutkan bahwa madura mengirim sejumlah besar ikan asin ke jawa dan bali. Disamping itu, produk ikan asin, sector perikanan madura juga menghasilkan tripang dan terasi. Terasi  terutama dikirim ke bali, sedangkan tripang dikirim kesingaura. Sector ikan dan sector garam di madura merupakan dua usaha yang saling melengkapi. Pasa saat musim penghujan, tampak dan talangan terndam air sehingga yang mengring dipergunakan untuk areal pembuatan garam.
Industri garam di madura agaknya jauh lebih menonjol daripada sector perikanan. Hal itu, setidak-tidaknya, tercermin dari atribut yang telah lama dilekatkan pada madura sebagai pulau garam. Produksi garam di madura tersebar diberbagai tempat, baik di Pamekasan, Sampang, maupun Sumenep (memory residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed, 1978:CXLII-CXLV). Garam di madura tidak hanya dihasilkan oleh pemerintah, tetapi juga diproduksi oleh rakyat. Posisi garam akyat sangat penting seperti diindikasikan oleh kualitas produksinya, sampai-sampai pemerintah colonial merasa perlu untuk melakukan pembatasan terhadapgaram rakyat. Bahkan, kemudian, pemerintah colonial melakukan monopoli garam (memory kontrolir sampang, F. van Mourik,dalam Kartidirdjo, et al, ed., 1978: CLXXXVI).
Terlepas dari beberapa potensi ekonomi tersebut, jumlah penduduk madura yang padat dan lahan pertanian yang terbatas serta kurang suburmembuat beban kehidupan penduduk menjadi semakin berat. Peluangmenjadikan sector pertanian sebagai andalan untuk menopang kesejahteraan masyarakat madura dapat dikatakantertutup. Hal itu sjajar dengan kesimpulan ahan (1996:147-28) bahwa kondisi tanah yang kering dan pemilikan lahan yang semakin sempit tidak akan mampu memberikan penghidupan yang layak bagi rumah tangga petani madura, sedangkan industrialisasi, khususnya yang mempunyai kapasitas menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, merupakan satu-satunya pilihan untuk membangun kehidupan masyarakat madura yang lebih baik. Diabaikannya pilihan ini hanya akan melestarikan wajah muram adura sebagai asalah satu daerah miskin dan terbelakang di Indonesia.

 
      
4.4. MENGENAL  BATAK KARO DI SUMATERA UTARA 

Bahasan ini mengenai etnis Batak Karo yang berdomisili di Kecamatan Namo Rambe, di luar tanah Karo yang masih memiliki keterikatan dengan daerah Karo. Subyek penelitian adalah masyarakat muslim Karo yang tinggal di Kecamatan Namo Rambe Kabupaten Deli Serdang. Secara kuantitatif di kecamatan ini terdapat 12.460 jiwa penduduk Muslim (sekitar 40% dari 29.726 jiwa), namun yang termasuk dalam kelompok muslim karo hanya berjumlah 2.321 jiwa. Jumlah kira-kira 15% dari penduduk dari etnis Karo yang ada di sana. Mereka ini tersebar pada 36 desa di seluruh kecamatan.
Dahulu ada pendapat umum di lingkungan masyarakat Karo: "bahwa masuk agama Islam atau menjadi muslim berarti keluar dari suku Karo". Istilah senada berkembang pula di Namorambe, yang menyatakan bahwa "masuk Islam berarti menjadi orang Jawa.  Pernyataan ini mengesankan Islam adalah suatu sistem yang sama sekali baru dan bertolak belakang dengan budaya Karo. Alasan yang digunakan yang mendukung pendapat umum ini adalah dikarenakan materi ajaran Islam itu sendiri, misalnya soal bahwa haram memakan daging babi atau ketika seseorang meninggal dunia mestilah segera dikebumikan, dan lain sebagainya. Tetapi sikap sosial serupa tidak hanya terhadap Islam. Sebab, seperti dikemukakan oleh Pdt. Dr. Ginting Suka, bahwa sesungguhnya kasus konversi dalam masyarakat Karo, bukan hanya Islam saja yang dianggap sebagai pemecah kekeluargaan dalam masyarakat Karo, agama Kristen pun pada masa penjajahan dulu demikian, bahwa "masuk Kristen berarti sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai orang Karo".
Belakangan, terutama setelah banyak orang Karo yang menjadi ustaz atau pendeta, kasus "pobia" terhadap Islam dan Kristen oleh masyarakat Karo pada umumnya, sudah tidak terjadi lagi pada kurun waktu 15 tahun terakhir, karena mayoritas orang Karo telah melakukan konversi dari kepercayaan pemena ke salah satu agama besar, khususnya Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Hindu.
Suatu hal yang menarik adalah sikap sosial dan pemahaman komunitas Muslim Karo yang cenderung moderat. Dalam kasus Namorambe, sikap "moderat" ini diwakili oleh gerakan dakwah organisasi muslim Karo (KAMKA). Salah satu implikasi sikap moderat ini adalah sikap terhadap adat-budaya Karo. Mereka menyatakan dalam sikap dan perilaku bahwa "agama Islam" bukanlah musuh "adat" Karo. Menurut pengakuan salah seorang pengurus KAMKA, Erwin Tarigan, bahwa kini agama Islam bagi masyarakat Karo bukanlah menjadi halangan untuk melakukan adat-istiadat. Terkait dengan isu bahwa Islam menghalangi masyarakat untuk "beradat", justru dibantah oleh Erwin Tarigan, dengan mengutarakan satu contoh bahwa sesungguhnya kini Islam malah menjadi agama alternatif bagi masyarakat yang secara adat dianggap menayalahi, seperti kawin semarga.
Menurut pengakuan salah seorang pengurus KAMKA, bahwa faktor perkawinan, menjadi faktor penting masuk Islamnya masyarakat Karo. Konversi dengan motif perkawinan dianggap justru lebih kuat mentaati agama baru daripada konversi massal karena otoritas. Mereka yang telah menjadi muslim karena latar belakang perkawinan lebih serius pada agamanya yang baru itu. Cara seperti ini sangat berhasil dilakukan dalam proses Islamisasi dengan damai dan tanpa paksaan.
Salah seorang pemuka masyarakat yang dulu pernah menjabat sebagai Kepala desa Namo Pinang, kecamatan Namorambe, menceritakan bahwa dirinya adalah salah seorang dari banyak masyarakat Namorambe yang memeluk Islam pada masa Haji Baharoeddin Siregar sebagai Bupati Deli Serdang. Bagaimana perhatian Bupati dan mesranya kawan-kawan yang baru muslim ketika itu saat diundang makan bersama oleh seorang Bupati diceritakan olehnya. Sungguh ia bukan menjadi muslim yang taat karena tidak belajar Islam secara serius setelah "bersyahadat" namun ia tidak memakan daging babi sedikitpun. Pantangan ini bukan karena syariat Islam, atau pantangan "sila tengka", tetapi disebabkan adanya larangan dari roh halus yang masuk kepada istri beliau, dan roh halus itu mengaku sebagai Haji Halim. Anehnya justru beliau secara perlahan menjauh dan keluar dari Islam karena takut kepada para leluhur, menurut beliau para leluhur "marah" kepadanya. Banyak kisah yang diceritakan terkait dengan kekuatan "magis" yang diartikan sebagai pencegahan agar beliau tidak berada sebagai seorang muslim. Akan tetapi beliau tidak menceritakan bagaimana kepercayaan kepada kekuatan magis itu ketika kini beliau menjadi muslim kembali. Alasan mengapa menjadi muslim adalah karena sebahagian anak-anak beliau yang telah merantau sudah menjadi muslim, "ada rasa malu" kepada anak-anak, dan demi anak-anak, akhirnya beliau merasa enak berada bersama gerakan organisasi KAMKA.
Gelombang kedua masuk Islamnya masyarakat Namorambe, yang terkait dengan faktor "penguasa" sungguhpun tidak ada bukti adanya unsur memobilisasi kekuatan besar ditambah dengan intimidasi dan paksaan, terjadi pada masa Tenteng Ginting, sebagai Bupati Deli Serdang yang ke VIII (3 Maret 1979 s/d 3 Maret 1984). Salah seorang tokoh masyarakat mengenang peristiwa bagaimana ia memeluk Islam ketika itu, ia menceritakan betapa bangganya menjadi seorang muslim karena salah seorang putra terbaik Deli Serdang adalah orang Karo dan beragama Islam pula. Akan tetapi sangat disayangkan, karena ternyata dari sekitar 50 orang yang ketika itu bersayahadat menjadi muslim, justru sampai kini hanya satu orang saja yang bertahan dalam agama Islamnya, itupun mungkin karena ianya tidak berada lagi di Namorambe karena merantau.
Terjadinya konversi agama menjadi muslim di Namorambe lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis dan sosiologis, misalnya disebabkan karena merasa terlindungi oleh kuatnya solidaritas keislaman di masyarakat dalam bentuk organisasi dan LSM, faktor malu sebagaimana kasus mantan kepala desa Namo Pinang, faktor  perkawinan semarga yang disahkan dalam Islam, faktor cinta/perkawinan dan lebih banyak terjadi pada generasi belakangan disebabkan oleh faktor keturunan, karena orangtuanya sudah menjadi muslim, maka merekapun mestilah muslim. Sedangkan faktor teologis yakni masuk Islam karena "hidayah" sulit untuk dibuktikan, terjadi di daerah Namorambe.   
 
Modus Konversi(pindah agama).
            Hubungan masyarakat Karo dengan agama Islam, diduga sudah terjadi sejak lama, yakni awal abad ketujuh belas, karena pada masa itu "datanglah gelombang invasi dari berbagai marga dari arah Dairi dan Toba yaitu Barus, Lingga dan Sitepu dan lain-lain yang menurut suku "Karo" itu bukan asli Karo sehingga dinamakannya Karo-Karo. Mereka itu lalu menetap dan membuat perkampungan (kuta) sampai di dataran rendah dekat Deli Tua dan Binjai. Marga Tarigan datang dari Dolok dan Simalungun dan juga dari Lehe (Dairi) berjalan menuju Nagasaribu dan Jupar. Satu cabang mereka pergi turun ke pesisir (Ale-Deli dekat Pulau Brayan) dan bahkan sampai ke Siak. Masa itu juga Guru Patimpus mendirikan perkampungan-perkampungan (Kuta-Kuta) sampai di Medan sekarang".  Sementara itu di wilayah "Dusun" (pedalaman/di bawah kaki bukit Barisan) ada suatu suku yang menyebut dirinya Karo (atau Haro di Asahan) yang kini sisanya masih tinggal di kampung Siberraya (dekat di atas Deli Tua) dan disebut bahwa mereka marga Karo Sekali (asli)  Mereka inilah (yang Islam) yang bercampur baur dengan orang-orang Melayu pesisir yang menjadikan penduduk kerajaan Haru (Deli).
            Kerajaan Haru yang Islam berpusat di Deli. Sejak akhir abad ke 16 nama Haru telah berubah menjadi Ghuri dan kemudian diawal abad ke 17 menjadi Deli. Ketika Raja Haru bernama Raja Pahlawan dihina oleh raja Pasai sehingga terbitlah peperangan. Akibatnya Pasai diduduki Haru tetapi Pasai kemudian dibantu Malaka sehingga Malaka yang amenjadi musuh Haru. Dalam suatu perundingan di Pangkalan Dungun delegasi Haru dipimpin oleh Serbanyaman Raja Purba dan Raja Kembat. Nama-nama ini berbau Karo. Bila Haru di Deli adalah Islam maka tidak mustahil orang-orang Karo sudah sangat dekat atau menjadi muslim pada masa itu karena memang  penduduk Haru itu berasal dari penduduk Karo Sekali (asli).
            Kedekatan masyarakat Karo dengan penguasa di tanah Deli mungkin sudah ditakdirkan Tuhan, sehingga konversi menjadi muslim dengan latar belakang kekuasaan menjadi senaluri dengan masyarakat Karo. Sosialisasi bahwa agama Islam itu mengajarkan kebersihan dan merasionalisi bahwa ajaran Islam itu sesuai dengan kodrat kemanusiaan, tampak membuahkah hasil yang memadai. Lebih dari itu tokoh-tokoh muda yang mempunyai wawasan "luas" dan tentunya "moderat" dan "rasional" menjadi pendorong yang membuat masyarakat "bergairah" melakukan konversi menjadi muslim.
            Masyarakat Karo yang menjadi muslim karena "keturunan" tentu lebih banyak dibandingkan kepada faktor penyebab yang lain. Menurut Massa Sembiring, bahwa ketika ada pengabdian masyarakat dari mahasiswa, pernah didata sekitar 1500 keluarga masyarakat Karo muslim yang ada di Namorambe. Dari jumlah tersebut terdapat sedikit yang muslim karena menyadari bahwa Islam adalah agama yang "benar" dan diridhai Tuhan. Kebenaran agama Islam disadari setelah lama mereka menjadi muslim, biasanya mereka yang muslim sejak kecil karena orang tua mereka lebih dulu menjadi muslim, lalu mereka belajar agama Islam melalui sekolah dan ada yang sampai ke perguruan tinggi; mereka inilah yang keislamannya "dalam", keimanannya "kokoh" dan beberapa di antara mereka inilah yang kemudian menjadi pengajar Islam dan pengembang Islam di tengah-tengah masyarakat di Namorambe.
            Konversi agama menjadi muslim karena menikah dengan wanita atau lelaki muslim termasuk faktor terbanyak kedua setelah faktor keturunan. Menurut salah serorang pengurus KAMKA bahwa konversi agama menjadi muslim akibat perkawinan ini dapat terjadi mereka yang berasal dari pemeluk agama Kristen maupun mereka yang berasal dari penganut kepercayaan nenek moyang yaitu "pamena". Apabila mereka berasal dari pemeluk Kristen, maka tantangan dirasakan lebih keras, dibanding mereka yang berasal dari "pamena".           

Respon Sosial Terhadap Konversi Agama.
Adalah pengalaman seorang yang dulunya beragama Kristen, tapi belakangan jatuh cinta dan menikah dengan seorang wanita yang sejak kecil sudah menjadi muslim karena orang tuanya sudah lama muslim. Beliau mengaku mendapat teror dari pihak keluarganya, karena ia adalah satu-satunya dalam keluarga yang keluar dari Kristen kemudian menjadi muslim karena perkawinan. Bentuk teror dan ancaman itu bermacam modelnya, pertama tentunya diboikot dan dianggap tidak lagi keluarga sehingga dalam kurun waktu tertentu tidak diajak bicara dalam hal apapun yang terjadi dalam keluarga. Tetapi belakangan teror itu berubah menjadi upaya untuk menarik kembali ke dalam agama Kristen tentunya dengan berbagai cara pula, antara lain dengan mengupayakan agar ianya datang dan akrab dengan keluarga, sehingga ketika ada upacara pesta disuguhkan makanan yang dilarang oleh agama Islam, "daging babi" misalnya. Kini pasangan itu hidup serasi dan sudah mempunyai keturunan. Keluarga mereka terlihat taat beribadah dan mengakui bahwa teror keluarga yang masih Kristen itu berhenti ketika mereka mempunyai anak yang pertama, kini anak mereka sudah tiga orang.
Sepanjang sejarah konversi masyarakat Karo, menjadi muslim, respon sosial hanya sebatas tekanan psikologis. Hukuman dalam bentuk adat hampir dikatakan tidak terjadi terutama pada masa belakangan ini, karena sungguhpun ia adalah seorang muslim, tetapi pembagian harta warisan misalnya masih menggunakan adat dan istiadat Karo. Ungkapan bahwa masuk Islam berarti menjadi orang Jawa, tidak berarti bahwa mereka yang menjadi muslim lantas dilakukan adat Jawa kepadanya. Sikap sosial masyarakat Karo yang non-muslim terhadap keluarganya atau masyarakat lainnya yang menjadi muslim sangat interaktif. "Silatengka" atau larangan memakan makanan tertentu semisal "daging babi" bagi masyarakat Karo, telah membuat masyarakat Karo yang non-muslim tidak sakit hati atau tersinggung kepada saudara mereka yang muslim ketika tidak mau ikut makan bersama dengan mereka yang sedang memakan daging babi. Ternyata bukan hanya mereka yang muslim berpantang makan daging babi tetapi yang beragama Kristen juga banyak yang berpantang makan daging babi. Adanya larangan dan pantangan yang juga terdapat dalam adat istiadat masyarakat Karo terutama dalam soal makanan itu, tumbuh menjadi tenggang rasa dan saling menghargai terhadap kepercayaan dan agama yang berbeda dalam masyarakat Karo.
Pesta adat setahun sekali yang disebut "pesta tahun", salah satu upacara yang masih dilakukan oleh masyarakat Karo, adalah menjadi salah satu perekat kekeluargaan dan budaya masyarakat Karo, baik yang beragama Islam maupun yang non-muslim. Karena persoalan makanan dan minuman, interaksi sosial sedikit terganggu, akan tetapi tidak pernah menjadi persoalan yang mengarah kepada perpecahan dan keterbelahan yang abadi dalam kekeluargaan masyarakat Karo. Sungguhpun sampai kini ada beberapa kasus bahwa keluarga yang menjadi muslim tidak mau datang berkunjung ke rumah saudaranya yang masih belum muslim dengan alasan "soal makanan dan minuman", atau bahkan masih ada diantara mereka yang tidak mau menghadiri pesta adat setahun sekali itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya di sebuah warung kecil kepunyaan orang Karo yang muslim, banyak orang minum kopi dan teh manis sambil bercerita bersama, padahal di antara pengunjung yang singgah di warung kopi itu beberapa di antaranya adalah orang Karo yang non-muslim. Dalam hal kunjung mengunjungi ketika terjadi kematian pun mereka interaktif. Untuk mengatasi ketegangan psikologis karena isu bahwa Islam itu menolak adat dalam hal "kematian", maka masyarakat Karo muslim mengupayakan untuk datang segera ke rumah duka bila yang meninggal itu berasal dari keluarga atau masyarakat yang non-muslim. Sikap seperti ini menghasilkan respon yang baik dan bahkan kini sudah dapat diterima oleh masyarakat bila orang Islam punya aturan seperti itu, bukan karena tidak lagi mau menjadi orang Karo.
Masyarakat Karo, dikatakan mempunyai watak mudah tersinggung dan keras, namun dalam soal agama dan konversi termasuk masyarakat yang paling mudah berpindah agama atau keyakinan. Entah mengapa sebabnya akan tetapi sikap seperti itu menjadi modal utama dalam persoalan bertoleransi, sehingga "agama" bukan menjadi hambatan dalam berinteraksi antara keluarga dan masyarakat. Mereka tetap melakukan interaksi baik dalam kekerabatan, adat budaya, ekonomi maupun dalam bidang politik.

Interaksi dalam Kekerabatan
Seperti etnis Batak pada umumnya, suku Karo sangat menjunjung tinggi kekerabatan. Dalam kehidupan Orang Karo, kekerabatan menjadi unsur terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan kekerabatan ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari hubungan kekerabatan ini merujuk pada hubungan darah dan perkawinan. Kelompok kekerabatan yang paling kecil disebut jabu (keluarga). Istilah jabu dapat juga menunjuk kepada kelompok sada bapa (satu ayah) yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri atas para pria sekandung yang telah menikah, dan kelompok sada nini (satu kakek) yang masih dapat diketahui garis silsilahnya. Kelompok kekerabatan yang terbesar adalah merga (marga, klen).
Satu hal paling penting dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo adalah bahwa kekerabatan itu merupakan hubungan sosial terbatas yang diikat oleh hubungan yang spesifik. Konsep kekerabatan pada suku ini terbentuk atas dasar hubungan darah (garis keturunan; geneologis, agnata) dan perkawinan (affina). Dengan hubungan darah orang Karo menjadi sangat dekat, sedangkan dengan perkawinan, pihak pria dihubungkan dengan pihak wanita, kedua belah pihak menjadi berkerabat. Bila selama ini telah terjadi hubungan kekerabatan, maka dengan terjadinya perkawinan, kekerabatan itu semakin dieratkan, dan bila selama ini belum terjadi hubungan kekerabatan, maka dengan terjadinya perkawinan ini, menambah anggota kerabat. Berdasarkan hubungan agnata dan affina yang terus berkembang di lingkungan suku Karo tercipta pola hubungan atau sistem kekerabatan atau kekeluargaan yang meluas. Dari konsep merga dan bere-bere terbentuk pola hubungan kekeluargaan bertingkat (sifat kedekatannya).
Dari dua faktor ini, orang Karo memiliki dua identitas sekaligus, yaitu merga dan bere-bere. Merga merupakan warisan yang tetap yang diterima dari jalur keturunan ayah (geneologis), sedangkan bere-bere diperoleh melalui jalur perkawinan (garis keturunan ibu). Merga  disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru disandang di belakang nama seseorang. Lain hal dengan bere-bere, sebutan ini tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan ditanya dalam kegiatan ertutur, untuk mengetahui hubungan kekeluargaan seseorang.
Dalam istilah Karo, kekerabatan disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade. Pengertian kekerabatan dalam sistem budaya Karo sangat luas, jika diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan yang menyangkut semua orang Karo. Ini bermakna bahwa -- jika dicari silsilahnya, setiap orang Karo memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain. Kekerabatan itu bersambung-sambung antara yang satu dengan yang satu lainnya, bagaikan jaringan rantai jala.
Masyarakat Karo dengan seluruh adat-istiadatnya tidak bisa dilepaskan dari peranan sangkep si telu/daliken si telu dalam ikatan kekeluargaan. Hubungan kelompok sosial dalam sistem kekerabatan ini membentuk pola-pola relasi sosial, baik tutur sapa maupun struktur sosial dalam adat. Fungsi-fungsi ini lebih jelas terlihat dalam kegiatan adat masyarakat Karo seperti upacara perkawinan, kemalangan, memasuki rumah baru, ndilo wari udan (memanggil hari hujan), perumah begu (memanggil arwah leluhur/nenek moyang), ngaleng tendi (memanggil roh yang meninggalkan badan/jasad karena terkejut, sehingga orang itu sering sakit), erpangir kulau (berlangir untuk membersihkan diri atau menolak kemungkinan malapetaka karena mimpi buruk), porpor sage (upacara saling memaafkan antara keluarga yang bertikai), ngulihi tudung (mengambil pakaian perempuan yang baru kawin dari rumah orang tuanya), mukul (upacara makan bersama pengantin), ngembah manuk mbur (upacara 7 bulanan istri untuk anak yang pertama, ngelandekkan galoh (upacara mengingat dan berterima kasih kepada arwah nenek moyang/leluhur), dan mere buah huta-uta (memberi jamuan kepada penjaga tempat yang dianggap keramat).
Daliken Si Telu pada etnis Karo terbentuk berdasarkan hubungan perkawinan antara merga-merga. Merga adalah identitas geneologis yang terbentuk menjadi clan (klan) khusus dan dengan nama tertentu. Setiap orang Karo tahu garis keturunannya sampai beberapa generasi ke atas sampai ke merga induk atau klan besar. Ertutur itu penting untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di dalam masyarakat Karo. Ertutur (bertutur) adalah salah satu ciri orang Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa. Biasanya proses menmukan tutur diawali dengan menanyakan marga, kemudian bere-bere (marga ibu) seseorang yang juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka kenal, bahkan mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk mengetahui tingkat kekerabatan tersebut25. Menurut Henry Guntur Tarigan, tutur adalah sebuah pemeo Karo yang berbunyi “Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe”, (kalau tidak pandai bertutur, takkan ada tempat ke mana pun). Pemeo ini lebih terasa pada masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan.
Pola kekerabatan yang diatur dalam adat Karo, seperti diutarakan di atas memiliki implikasi ke dalam pola interaksi sosial. Implikasi dimaksud berkenaan dengan tanggung jawab sosial dan budaya, serta pola-pola hubungan antarindividu. Pertama, implikasi sosial-budaya dari pola kekerabatan itu berkaitan dengan posisi dan fungsi seseorang terhadap yang lain. Dalam hal ini, terdapat dua aturan pokok; (1) orang yang berposisi sebagai anakberu harus hormat, takzim, dan patuh kepada kalimbubu, serta selalu siap melaksanakan tugas-tugas pengabdian kepada kalimbubu; dan (2) orang yang berposisi sebagai junior, seperti kelas anak atau adik, harus menghormati dan mematuhi kelas bapak atau abang. Kedua, implikasi dalam interaksi sosial dari pola kekerabatan itu adalah adanya pola hubungan-hubungan yang bersifat khusus antara satu sama lain. Dalam konteks ini, terdapat beberapa kategori pola hubungan, dua di antaranya yang bersifat ekstrim adalah; (1) pola hubungan yang akrab, seperti antara senina, antara dua laki-laki dan perempuan yang berimpal, antara senina siparibanen atau sipemeren, dan antara seseorang dengan mami; dan (2) pola hubungan terbatas bahkan sangat terbatas (rebo; hubungan yang ditabukan), seperti antara pemuda-pemudi yang erturang, antara seorang laki-laki dengan isteri iparnya, antara anak dengan mertua (lain jenis; antara permen dengan mertua laki-laki, atau antara menantu laki-laki dengan mertua perempuan). Pola hubungan yang bersifat rebo ini sangat ketat dalam budaya Karo, sehingga interaksi di antara mereka boleh dikatakan tidak ada, walau dalam bentuk komunikasi biasa.  

Interaksi Sosial Kekerabatan di Namo Rambe
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa masyarakat Karo sama dengan masyarakat Jawa; kedua masyarakat ini tidak mengenal "pembelahan budaya". Bilamana, dalam masyarakat Aceh, Mandailing, Minang, Bali, Melayu, dan Toba dikenal "pembelahan budaya" berdasarkan agama --seperti Aceh, Mandailing, Melayu, Minang identik dengan Islam, Bali identik dengan Hindu, sedangkan Toba identik dengan Kristen-- maka pada masyarakat Karo dan Jawa sama sekali tidak identik dengan salah satu agama. Masyarakat Karo tidak identik dengan agama dan budaya Hindu, tidak dengan agama dan budaya Kristen dan tidak pula dengan agama dan budaya Islam. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Karo termasuk kelompok etnis yang plural dari sisi agama, tetapi bersifat genuin dan homogen dalam aspek budaya.
Sebagai etnik yang plural dalam agama dan homogen dalam adat-budaya, dalam sistem sosial suku Karo tidak mempersoalkan perbedaan agama, pekerjaan, organisasi, dan afiliasi politik tetapi sangat konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya. Prinsip yang dipegang orang Karo adalah semua orang yang termasuk dalam jaringan daliken si telu adalah saudara dekat yang harus diperlakukan sesuai dengan tata aturan adat. Karena itu, jika orang-orang Karo melaksanakan upacara adat atau terjadi perjumpaan antara dua orang atau lebih Karo, maka yang utama adalah hubungan kekerabatan (ertutur). Setiap orang harus menjalankan fungsi sosialnya dalam melaksanakan adat, tanpa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Di dalam pergaulan juga, setiap pihak anakberu harus menunjukkan sikap dan perilaku hormat kepada kalimbubu, demikian pula seterusnya setiap orang dari generasi yang lebih muda (dilihat dari silsilah keturunan) harus hormat kepada yang generasi yang lebih tua, sekalipun generasi yang lebih muda lebih tua usianya dari generasi yang lebih tua. Semua itu dilakukan dengan penuh kesadaran, tanpa dibebani oleh perbedaan keyakinan (agama).
Jadi yang mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri.
Berdasarkan penegasan di atas, pada umumnya orang-orang Karo di Kecamatan Namo Rambe lebih mengedepankan norma-norma adat dalam pergaulan sosial antara mereka yang berkerabat. Hal ini memberi makna bahwa ikatan daliken si telu atau rakut si telu merupakan dasar utama dalam interaksi sosial antara mereka yang masuk ke dalam jaringan kekerabatan.
Bagaimanapun dalam persintuhan budaya tidak dapat dihindari adanya pergeseran tradisi etnik, termasuk di lingkungan masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe. Dengan semakin meluasnya jaringan pergaulan ke luar batas-batas etnik, tentu dengan sendirinya terjadi penetrasi kebudayaan secara gradual. Terlebih lagi di kalangan masyarakat Karo Namo Rambe, yang dalam kategori budaya Karo disebut sebagai Karo Jahe, yang sejak lama telah banyak mengadopsi budaya Melayu Deli. Mungkin pada konteks inilah perlu dicermati lebih jauh pergeseran pola interaksi kekerabatan di lingkungan masyarakat Karo.
Pada dasarnya jiwa dan tujuan perlakuan orangtua sebagai anak laki-laki dan perempuan dalam masalah pewarisan dapat disimpulkan sebgai berikut: anak laki-laki sebagai pewaris keluarga (marga) mewarisi harta benda yang mewarisi marga yang menjadi marga yang menjadi tanda (lambang) keluarga (marga) terutama tanah dan barang-barang yang tidak bergerak lainnya. Anak perempuan mendapat pembagian harta benda yang adil untuk kepentingannya sendiri dan rumah tangganya kemudian dan hal ini harus dianggap sebagai haknya. Jadi, menurut adat Karo bahwa seorang anak perempuan tetap memperoleh warisan yang ditinggalkan oleh orang tuannya yang diambil dari harta lain yang tidak melambangkan kekuasaan marga. Adat istiadat ini masih dipegang teguh sebagai jiwa suatu masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, tidak perlu diubah secara radikal, jika ada yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman dapat dimodifikasi, tanpa mengurangi nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya. Dalam masyarkat Karo hak dan kewajiban, tugas dan kedudukan pria dengan wanita berbeda, tapi harus di ingat perbedaan tersebut bukan berarti wanita lebih rendah dari seorang laki-laki.
Hukum waris semacam ini telah berlaku sejak lama di Tanah Karo, tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana asal usulnya terjadi, kemungkinan sama tuanya dengan sejarah orang Karo, masalah waris tersebut sendiri kenyataannya adat istiadat orang Karo masih dipegang teguh komunitas Masyarakat yang mendiami dataran tinggi itu. Adat istiadat ini pulalah salah satu pengikat yang terbukti mampu memelihara keutuhan, kesejahteraan, kebudayaan, dan persaudaraan dikalangan masyarakat Karo, kekuatan spirituil adat terbukti hasilnya tentang kemampuan menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan infobesar dalam lingkungan kemasyarakatan sehari-hari. Hukum waris tersebut terjadi pada masa lampau ketika masyarakat masih jauh berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang.

Interaksi dalam Adat-budaya
Secara sosiologis upacara adat dalam peresmian perkawinan merupakan dasar dan titik tolak untuk memperoleh pengakuan dari kerabat dan masyarakat sekitar sebagai anggota dalam sistem adat-budaya. Orang-orang muda, belum dibenarkan ikut campur dalam soal-soal adat. Kaum muda dikerahkan sebagai pekerja. Menurut adat Karo, orang dari luar suku Karo pun dapat dimasukkan ke dalam komunitas adat, jika yang bersangkutan telah diberi marga Karo melalui pesta adat. Jika diberikan marga dengan upacara adat, maka secara adat dia telah diakui dalam setiap kegiatan adat, tetapi jika tidak pernah diadati maka ia tidak memiliki tempat duduk di acara adat.
Berkenaan dengan interaksi sosial antara penganut agama Islam dengan penganut agama lainnya dalam adat-budaya di lingkungan masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe, perlu terlebih dahulu diberi pembatasan domain interaksi yang menjadi perhatian penelitian ini. Domain dimaksud adalah interaksi sosial dalam upacara adat, baik yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban maupun dalam keterlibatan kelompok-kelompok sosial dalam mempersiapkan dan melaksanakan upacara adat.
Mungkin orang akan menduga-duga bahwa hidangan (makanan) menjadi persoalan kritis yang dapat menjadi faktor pemisah antara kelompok Muslim dan non-muslim dalam upacara pesta. Tetapi ternyata dugaan tersebut tidak menjadi persoalan penting bagi masyarakat Karo, sebab sudah sejak lama orang-orang Karo memiliki tatacara yang elegan untuk mengatasinya. Tatacara dimaksud adalah tradisi silatengka; yaitu model hidangan khusus (special foods) yang sengaja disiapkan untuk orang-orang yang tidak bisa memakan hidangan utama dalam pesta. Hidangan khusus itu biasanya dipersiapkan secara tersendiri oleh orang-orang Muslim, baik bahan maupun proses pemasakannya. Hidangan khusus ini tidak hanya dinikmati oleh orang-orang Muslim saja, tetapi juga non-muslim yang berpantang pada makanan tertentu yang biasa dihidangkan dalam upacara pesta. Dengan demikian, faktor makanan bukanlah faktor pemisah bagi orang Muslim dengan non-muslim dalam interaksi antar komunitas dalam kegiatan pesta di lingkungan masyarakat Karo.
Sekalipun pada masyarakat Karo ada tradisi hidangan silatengka, namun dalam pelaksanaannya sebagian orang-orang Islam masih merasa ada ganjalan psikologis. Ganjalan dimaksud timbul dari perasaan ragu atas peralatan yang digunakan untuk memasak, sebab dalam proses penyediaan hidangan khusus tersebut belum tersedia peralatan khusus yang higenis dari kemungkinan bercampurnya dengan makanan yang tidak halal. Ini tentu akan dapat diatasi jika orang-orang Islam di sana telah mempersiapkan peralatan khusus (milik khusus umat Islam) yang terbebas dari kemungkinan percampuran dengan peralatan lain yang kurang higenis.

Interaksi dalam Bidang Ekonomi
            Interaksi sosial masyarakat beda agama pada etnis Karo di Kecamatan Namorambe dapat dilihat pada tiga aspek, yakni Aron, Koperasi, pekan, dan pajak pagi. Sejalan dengan profesi pertanian yang menjadi pekerjaan utama masyarakat Karo, aron, koperasi, pekan, dan pajak pagi memiliki nilai strategis dan penting dalam konteks interaksi sosial masyarakat.
1.       Aron.
Aron merupakan salah satu aktivitas tradisi kegiatan ekonomi pertanian yang ada di lingkunan etnis Karo, yakni aktivitas mengerjakan lahan pertanian yang dilakukan secara` bersama-sama dan dilakukan secara bergiliran antar anggota masyarakat dalam suatu desa. Aktivitas ini dimulai sejak dimulainya penyiapan lahan pertanian, proses penanaman, perawatan hingga pemanenan. Dalam istilah lain, tradisi ekonomi pertanian seperti ini dapat disamakan dengan apa yang di daerah lain disebut dengan gotong royong khususnya pada etnis Jawa. Tidak jelas kapan kegiatan aron ini dimulai. Akan tetapi, diperkirakan sejarah timbulnya aron ini sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat etnis Karo. Seperti diketahui bahwa masyarakat etnis Karo sebagian besar tinggal di daerah dataran tinggi (bukit barisan) yang sumber mata pencaharian pokoknya adalah bertani dan berternak.
            Kegiatan pertanian merupakan profesi yang memerlukan banyak tenaga kerja,  apalagi lahan yang akan ditanamai sangat luas. Oleh sebab itu diperlukan anggota keluarga lain untuk mengerjakannya. Dalam konteks inilah aron diperlukan, yakni untuk menyahauti keterbatasan tenaga kerja. Aron biasanya melibatkan lebih kurang 10 orang, laki-laki dan perempuan. Meskipun dalam kenyataannya kaum perempuan lebih banyak terlibat daripada kaum laki-laki. Karena dalam masyarakat Karo tumpuan pekerjaan pertanian lebih banyak dikerjakan kaum wanita daripada kaum laki-laki. Hingga saat ini, tradisi aron, meskipun variasi jenis industry alat-alat pertanian semakin berkembang dan mempermudah pengerjaan pertanian, tradisi aron masih terus hidup di kalangan masyarakat Karo, khsusnya di kecamatan  Namorambe. Meskipun harus diakui bahwa ada sedikit perubahan dalam tingkat kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini sejalan dengan dinamika perubahan masyarakat yang mengarah kepada penggunaan teknologi canggih semakin dominan, termasuk dalam kegiatan ekonomi yang berbasis pertanian dan peternakan seperti yang ada di kecamatan.Namorambe.
Selain itu, tradisi aron berkembang didasarkan juga atas pertimbangan-pertimbangan masa tanam, masa panen yang jika terlewatkan akan mengganggu seluruh proses produksi. Misalnya tanaman jagung dan padi harus dikerjakan pada waktu-waktu tertentu. Biasa dikaitkan dengan musim penghujan. Dalam hal inilah penting dikerjakan bersama-sama secara massal secara bergiliran untuk mengejar masa tanam dan panen tersebut. Bersamaan hal itu pula cara pertanian dengan menggunakan tradisi aron ini juga dapat mengurangi onkos produksi. Biaya pengeluaran pertanian yang banyak dapat ditekan ke dalam tingkat yang paling rendah, dengan cara mengerjakan lahan secara bersama-sama.
            Di atas hal itu semua, sebenarnya ada dimensi lain yang lebih tinggi dari tradisi aron, yakni memperkuat ukuhuwah atau tali kekeluargaan antar anggota masyarakat. Kebersamaan mengerjakan lahan pertanian secara bersama-sama, kemudian juga diikuti dengan acara makan bersama ketika istrirahat untuk makan siang, pulang dan pergi ke lahan pertanian secara bersama-sama, ini secara langsung maupun tidak langsung dipandang semakin memperteguh ikatan persauadaraan warga desa.bahkan secara lebih luas tradisi aron ini dipandang turut member andil yang besar bagi upaya-upaya mempertahankan ikatan persaudaran warga di tengah ancaman konflik antar suku, ras, dan agama. Karena tradisi aron sebagaimana juga yang ada di lokasi penelitian dilakukan oleh masyarakat tanpa memertimbangkan agama dan etnis. Hal inilah yang membuat tradisi aron memiliki nilai penting dikaitkan atau dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas lain sebagai salah satu bentuk interaksi sosial masyarakat. Dengan ungkapan lebih tegas dapat dikatakan bahwa tradisi aron di lingkungan masyarakat Karo Kecamatan Namorambe merupakan suatu bentuk system ekonomi tradisional yang memiliki nilai-nilia modern sekaligus. Disebut tradisional karena tradisi ini sebagai wahana melestarikannilai-nilai local. Disebut modern karena tradisi ini dapat menekan tingkat cost/biaya produksi yang juga menjadi pertimbangan system ekonomi modern.
2.       Koperasi
Bidang lainnya sebagai penunjang kegiatan ekonomi di Kecamatan Namorambe adalah koperasi. Meskipun baru didirikan sejak 2006 yang lalu, akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan koperasi di Kecamatan namorambe  memperlihatkan perkembangan ke arah yang sangat positif. Hal ini dapat diukur dari beberapa hal. Pertama, dilihat dari sisi modal awal. Sejak didirikannya koperasi ini hanya memiliki modal awal 17, 4 juta, akan tetapi dalam perjalanannya yang masih berusia lebih kurang setahun, modalnya telah berkembang menjadi 50 juta rupiah.  Kedua dilihat dari sisi bidang usaha, berawal dari system simpan pinjam, kini koperasi telah merambah ke bidang usaha yang lebih luas yang meliputi bidang jasa, seperti: biro jasa (pengurusan SIM, STNK, passport, dan lain-lain). Ketiga, sejalan dengan bidang garapan koperasi, maka kini, jumlah pengurus koperasipun semakin ditingkatkan. Awalnya jumlah pengurus koperasi 20 orang, kini jumlah tersebut meningkat menjadi 59 orang.
Sejalan dengan dinamika koperasi tersebut, masyarakat Islam Namorambe memperlihatkan intensitas komunikasi dan interaksi sosial yang semakin berkualitas lewat koperasi ini. Apalagi sebagian pengurus koperasi ini juga warga non-muslim. Dalam arti kata koperasi di Namorambe menjadi instrument atau mediator proses sosial melalui kegiatan ekonomi. Karena latar belakang primordial seperti agama tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kegiatan ekonomi, khususnya koperasi.
3.       Tiga (Pekan)
Aspek perekonomian lain yang juga tidak kalah pentingnya di Namorambe adalah apa yang disebut dengan Tiga  atau ertiga yang berarti jualan atau berjualan. Dalam kosa kata Indonesia istilah tiga ini lebih dekat dengan pekan. Jadi tiga atau ertiga dalam istilah Karo adalah kegiatan jual-beli yang dilaksanakan dalam waktu tertentu. Biasanya kegiatan tiga atau pekan adalah seminggu sekali, yakni hari Senin. Pada hari inilah masyarakat Namorambe dan sekitarnya melakukan aktivitas ekonomi secara lebih khusus.
Sebagian masyarakat menjual hasil ladang dan ternak mereka, seperti coklat, ayam, kembiri, gula aren dan lain sebagainya. Sementara sebagian besar yang lain menjadikan hari pekan ini sebagai hari libur atau menghentikan aktivitas ke ladang untuk belanja ke pekan memenuhi segala kebutuhan mereka yang berkaitan dengan sembilan bahan pokok. Sebaliknya dalam hari pekan ini pula masyarakat luar membawa barang dagangan seperti sayuran dan buah-buahan yang tidak ditemui di Namorambe. Demikian juga Pedagang luar membawa kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang menyangkut sandang, sepatu dan peralatan rumah tangga lainnya. 
Dengan demikian kegiatan tiga atau pekan bagi masyarakat Namorambe merupakan alemen penting bagi wahana interaksi sosial secara lebih luas. Karena di hari tiga atau pekan inilah berbagai latar belakang masyarakat melakukan kegiatan ekonomi tanpa memandang latar belakang primordial, seperti agama, etnis dan sebagainya.
4.       Pajak pagi
Kegiatan perekonomian yang lain yang juga tetap eksis di masyarakat Namorambe adalah Pajak pagi. Pajak pagi adalah kegiatan ekonomi sebagaian masyarakat Namorambe dengan cara mengumpulkan barang dagangan local untuk dibawa ke luar Namorambe,termasuk ke pajak-pajak pagi yang ada di kota Medan. Cara yang biasa ditempuh dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut. Pada waktu siang hari hingga sore masyarakat Namorambe yang menggeluti profesi sebagai orang pajak ini pergi ke berbagai pelosok daerah Namorambe untuk mencari dan mengumpulkan barang dagangan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Kemudian pada malam harinya, barang-barang dagangan tersebut dibawa ke pajak-pajak untuk didistribusikan atau dijual ke berbagai pajak di luar Namorambe. Mereka ini umumnya adalah kaum ibu.
Demikianlah kegiatan sebagian masyarakat Namorambe yang berprofesi sebagai orang pajak pagi sebagai sebutan bagi kegiatan ekonomi seperti itu. Pelaku-pelaku ekonomi seperti ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang beragama non-Islam, tetapi juga mereka yang beragama Islam. Dalam proses ekonomi seperti ini mereka juga tidak melihat latar belakang primordial seperti suku dan agama sebagai landasan bekerja. Hal-hal sepertri ini mereka lupakan. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana roda ekonomi dapat berjalan. Sekali lagi bahwa profesi ekonomi sebagai orang pajak yang dilakukan oleh sebagian masyarakat membuktikan bahwa proses interaksi sosial melalui kegiatan ekonomi seperti ini berjalan secara alamiah sejak dahulu hingga sekarang, tanpa hambatan-hambatan yang berarti.

Interaksi dalam Aspek Politik
Interaksi sosial masyarakat beda agama pada etnis Karo di Namorambe dapat dilihat dari aspek sejarah berdirinya kuta-kuta (kampung). Karena dari pendirian kampung inilah kemudian melahirkan system kepemimpinan di dalam masyarakat Karo. Oleh sebab itu untuk menyoroti aspek politik atau kepemimpinan masyarakat Karo di namorambe harus dimulai dari sejarah pembentukan suatu kampung. Untuk memulai kajian ini sejarah awal munculnya masyarakat Karo secara singkat akan disinggung terlebih dahulu.
Dalam suatu sumber disebutkan bahwa masyarakat karo berasal dari suatu daerah yang cukup jauh yang datangnya secara bergelombang. Kemudian di antara mereka ada yang membangun suatu pemukiman (manteki kuta). Pemukiman yang dibangun tersebut awalnya sangat sederhana, yakni berupa rumah gubuk yang kecil (sopo) agar dapat dihuni. Orang atau sosok yang pertamakali membuka/membuat kampung melalui pendirian sebuah sopo inilah yang kemudian disebut sebagai pendiri kampung (si manteki kuta).
            Setelah bangunan tempat tinggal didirikan, pendiri kampung ini kemudian mendorong keluarganya untuk pindah ke tempat itu. Hal ini untuk menjaga kemungkinan adanya ketakutan dari ancaman-ancaman yang bakal muncul. Oleh sebab itulah rumah-rumah yang dibangun seiring dengan ramainya orang yang datang, system perumahan karo dibangun secara berkelompok (rembak) dan memanjang (ergedang). Seiring dengan perjalanan waktu, pemukiman-pemukian yang berkelompok itupun semakin banyak. Setiap jenis kelompok pemukiman inilah kemudian yang disebut dengan kesain, dan masing-masing kelompok ini dikepalai oleh seorang kepala kelompok yang disebut dengan pengulu. Yang berhak menjadi kepala kelompok (kesain) ini adalah orang pertama kali membangun rumah di suatu pemukiman. Demikianlah seterusnya, sehingga banyaknya kelompok-kelompok pemukiman inilah yang kemudian menjadi wilayah yang disebut dengan kuta.
Jadi, kuta dengan demikian dapat terdiri dari beberapa kelompok pemukiman (kesain),tetapi juga dapat terdiri dari satu kelompok perumahan. Kuta atau kampung yang kecil mungkin bisa terdiri dari satu kelompok pemukiman (kesain), dan yang menjadi pengulu-nya adalah orang pertama kali membangun kampung itu. Bisa jadi kalau yang mendirikan suatu kelompok pemukiman (kesain) itu merga Ginting, maka pengulunya harus merga Ginting dan seterusnya. Demikianlah system kepemimpinan yang ada di masyarakat Karo yang dimulai dari pendirian sebuah pemukiman (kuta).
            Sejalan dengan perkembangan masyarakat Karo, system kepemimpinannyapun juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam pada itu, terdapat empat jenis kepemimpinan di dalam masyarakat Karo:
1.       Pengulu, yakni sosok yang mengepalai seluruh warga kampung.
2.       Guru Sibaso, yakni sosok yang mampu meramal hari yang tiga puluh berikut gerakan-gerakannya. Jadi ia merupakan tokoh yang mampu sebagai perantara hubungan antara manusia dengan sosok kuasa-kuasa super natural, demikian juga sosok yang dapat meramu obat. (pen.dukun).
3.       Pande, yakni sosok yang mampu bertukang, seperti ahli teknik.
4.       Si erjabaten, yakni orang yang ahli dalam hal alat music Karo.
Demikianlah sejarah terbentuknya suatu kampung (kuta) di dalam masyarakat Karo yang kemudian melahirkan suatu kepemimpinan dalam adat-istiadat Karo. Jika dikaitkan dengan konteks sekarang, khususnya di Kecamatan Namorambe, system kepemimpinan seperti ini murni tentu tidak ada. Karena masyarakat karo Namorambe seperti halnya juga masyarakat lain sudah hidup dalam kesatuan yang lebih besar, yakni Negara. Oleh sebab itu kepemimpinan di suatu desa atau wilayah didasarkan pada ketentuan Negara, yakni apa yang dikenal sekarang dengan kepala desa.
Meskipun demikian, dalam hal yang berkaitan dengan adat-istiadat Karo, masyarakat karo Namorambe tetap menjadikan kepemimpinan adat sebagai sumber rujukan, sumber penyelesaian masalah. Apa bila terjadi perselisihan antar warga dalam suatu persoalan, biasanya terlebih dahulu diselesaikan secara`adat. Kemudian apabila secara adat sulit untuk diselesaikan baru diselesaikan secara hokum kenegaraan, yakni pengadilan. Berdasakan pengamatan yang dilakukan, kepemimpinan adat ini masih berjalan efektif di tengah-tengah masyarakat Karo, baik yang beragama Islam maupun yang beragama non-Islam. Bahkan hingga sekarang masyarakat Karo Namorambe tetap memberi apresiasi atau penghargaan kepada keturunan/anak cucu yang dianggap sebagai pendiri kampung (Si manteki Kuta) dengan berbagai cara. Artinya anak-anak keturunannya tetap dihargai atas jasa-jasa orang tua atau opungnya sebagai pendiri kampung.
Jika dikaitkan dengan perhelatan politik atau pemilihan kepala desa, dan seterusnya. Sekarang ini telah terjadi perubahan-perubahan. Akan tetapi perubahan-perubahan tersebut tidak begitu signifikan. Artinya masyarakat Karo tetap saja menjadikan hubungan adat sebagai salah satu dasar dalam meilih pimpinan. Sementara faktor agama tidak begitu menjadi bahan pertimbangan utama.
Dalam hal lain, khususnya dalam kepemimpinan, masyarakat Karo termasuk suku yang menganut system kepemimpinan Patrilineal, yakni system yang menjadikan Bapak sebagai asal garis keturunan.

Penutup
1.      Kesimpulan
Masyarakat etnis Karo di Kecamatan Namo Rambe masih kuat mempertahankan adat-istiadat lokal. Hal ini menjadi indikasi bahwa adat-istiadat menjadi parameter utama untuk mengukur loyalitas seseorang terhadap kekaroan. Ini menandakan bahwa identitas lain yang datang kemudian, seperti agama, profesi, tempat tinggal—bukanlah faktor pemisah antara orang-orang Karo, sepanjang  identitas baru itu tidak mengurangi kesetiaan pada adat Karo. Atas dasar itu lah makanya orang-orang Karo, termasuk dari komunitas Muslim, tetap setia menerima dan melaksanakan adat-budayanya melebihi kesetiaan pada yang lainnya. Dengan demikian, perbedaan agama bukan menjadi faktor pemisah bagi etnis Karo yang sama-sama setia mempertahankan tradisi kekaron.
Sekalipun adat-istiadat menjadi faktor penentu dalam mempererat interaksi sosial di kalangan etnis Karo, namun konversi agama tidaklah begitu saja diterima masyarakat. Masalahnya, dalam budaya Karo juga ada “agama” warisan nenek-moyang mereka. Karena itu, pada awalnya, perpindahan (konversi) agama menjadi Kristen atau Muslim, dipandang sebagai bagian dari “pembangkangan” terhadap adat-istiadat itu. Tetapi kemudian, pandangan ini menjadi berubah karena berbagai faktor, seperti semakin meningkatnya persintuhan antara sebagian orang-orang Karo dengan masyarakat luar yang sudah beragama Kristen atau Islam. Berdasarkan realitas ini kemudian orang-orang Karo semakin mempersempit definisi adat-istiadat sebagai sistem sosial dan sistem budaya dalam arti upacara (srimonial) tanpa dibebani oleh unsur kepercayaan. Dengan demikian, penerimaan terhadap perbedaan kepercayaan bagi orang Karo muncul belakangan setelah menyadari pentingnya pergaulan sosial yang lebih luas dengan masyarakat di luar etnis.
Hal yang paling menarik dari pola interaksi yang tercipta pada masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe adalah mengkristalnya kesadaran pluralitas agama, tetapi tetap dalam bingkai adat lokal Karo. Kesadaran ini tidak hanya dimiliki oleh komunitas penganut agama tertentu, melainkan semua komunitas dari berbagai penganut agama, termasuk komunitas Muslim. Dalam pandangan dan praktek keseharian yang ditunjukkan orang-orang Karo, hal-hal yang berkaitan dengan pergaualan sosial, hubungan kekerabatan, kerjasama ekonomi, dan afiliasi politik tidak boleh dibatasi oleh sekat-sekat agama. Sepertinya terdapat pendapat yang kuat dalam diri orang-orang Karo, bahwa agama itu adalah urusan pribadi kepada Tuhan, sementara interaksi sosial harus dijalankan secara normal tanpa membeda-bedakan identitas keagamaan.
Orang-orang Muslim sendiri, tentunya setelah melewati sejarah yang panjang, berusaha untuk menjadi Muslim yang taat dengan tetap setia pada adat-istiadat Karo. Dalam banyak hal, orang-orang Karo Muslim berusaha menjalankan inti pokok budaya Karo dengan beberapa modifikasi yang tidak menyolok. Hasilnya, komunitas Muslim tetap diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Karo. Jadi, berdasarkan proses sosial yang pajang tersebut, konversi agama ke Islam tidak lagi menjadi “peristiwa sosial” yang harus dipersoalkan dalam lembaga adat --  sekalipun masih sering menjadi persoalan dalam keluarga, sebab kesadaran pluralitas sudah menjadi milik bersama masyarakat Karo.

Pustaka Acuan
Drs. Soelaiman Joesoe dan Drs. Noer Abijono, Pengantar Psychologi Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 25. 

Gintings, Pdt. E.P. Adat Istiadat Karo: Kinata Berita Si Meriah I Bas Masyarakat Karo, Toko Buku & Percetakan GBKP Abdi Karya, Kabanjahe, 1995.
http://van-odin.net/blog/2007/07/11/sistem-kekerabatan-masyarakat-karo/

Jalaluddin Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Manula, Ismail. Mengenal Batak, (Medan: CV. Kiara, 1985).

Pasaribu, Rudolf Agama Suku dan Batakologi,(Medan: Pieter, 1988).



4.5. Suku Jawa

Transmigrasi di Indonesia dilaksanakan sejak tahun 1905. Kala itu masih dalam pemerintahan kolonial Belanda. Program transmigrasi itu dinamakan kolonisasi. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah kemiskinan dan kekurangan lahan usaha pertanian di Jawa, Bali, Madura dan Lombok, yang sekaligus mengurangi kepadatan penduduk di pedesaan daerah tersebut. Menurut Rukmadi Warsito dan beberapa peneliti transmigrasi lainnya, pemindahan penduduk di Indonesia itu merupakan usaha yang besar dan berat bahkan merupakan usaha pemindahan penduduk terencana yang paling besar di dunia dengan melibatkan tenaga dan dana sangat banyak.
Di Kalbar program transmigrasi gencar digalakkan sejak tahun 1970/1980/1990 -an. Di daerah Kalbar yang paling sering disoroti oleh para peneliti adalah lokasi Rasau Jaya, Sungai Kakap Kab. Pontianak dan Parindu Kab. Sanggau (PIR Tran Sawit). Berikut ini jumlah transmigran di Kalbar sejak tahun 1980-an
            Kesan adanya pembedaan antara orang Jawa Blora dan orang Jawa Kebumen, bahwa yang pertama lebih agamis dari yang kini tidak lagi setajam di masa sebelum dekade 1970-an. Dimaklumi, kelompok warga Jawa Blora, sesuai dengan letak geografis asal migrasi, secara kultural relatif lebih Islamis (Islam puritan) dari kelompok lainnya yang sisi kehidupan keagamaan amat sinkretis. Daerah Blora dalam pengelompokan kebudayaan Jawa tergolong ke dalam kebudayaan pesisir, sedang daerah Kebumen masuk dalam kebudayaan Jawa Bagelen (Koentjaraningrat, 1984: 25-26).

            Tingginya semangat kerja orang Jawa, di sisi lain, juga dapat di amati  pada lahan-lahan perkarangan mereka tanam di lahan-lahan itu. Namun, yang cukup mencolok adalah buah rambutan. Jenis buah ini ditanam nyaris di setiap rumah orang Jawa. Sedemikian meratanya tanaman itu di pemukiman orang Jawa, sehingga ada kesan orang Jawa kaya karena buah rambutan. Kesan tentang kondisi ekonomi rata-rata orang Jawa yang relatif baik tampak bukan sekedar basa-basi. Dalam komentarnya, Rasyid, sekretaris daerah, mengatakan, ”Kali pertama datang, rumah orang Jawa persis seperti kandang sapi. Namun, kini, mereka rata-rata memiliki TV berwarna.”
            Pada dasarnya pandangan ideal orang Jawa menghendaki agar seseorang mampu mengendalikan diri, hati-hati namun tetapbersikap anggun yang flegmatis, sesuai dengan peribahasa ”aja ngaya” atau ”aja ngangsa” yang bermakna sama ”jangan bersusah payah”. Namun, pada saat-saat tertentu untuk menggugah semangat kerja sama dan gotong royong, orang Jawa pun memiliki ungkapan ”rawe-rawe rantas malang-malang putung” yang artinya, ”segala yang merintangi harus disibakkan, dan segala yang merintangi harus di patahkan” (Koentjaraningrat, 1984:438). Sangat mungkin, karena suasana ”keterjepitan” kehidupan orang-orang Jawa selaku migran yang penuh tantangan, sehingga ungkapan semboyan tadi amat berpengaruh dalam mendorong semangat kerja sekaligus pemacu untuk meraih kehidupan masa depan yang mereka cita-citakan.
            Sejumlah aparat daerah menilai, orang-orang Jawa dikenal taat menjalankan program-program pemerintah. Indikasi itu terlihat mulai dari kegiatan ibu-ibu PKK, program KB, proyek-proyek peremajaan karet hingga pembayaran pajak tanah PBB. Pada masa orde baru lalu, orang-orang Jawa adalah anggota GOLKAR yang setia. Perilaku orang Jawa sedemikian itu sama sekali tidak mengherankan. Dengan orientasi nilai budaya yang vertikal, orang Jawa merasa sangat tergantung pada bantuan dan restu pada orang-orang penting dan berpangkat, tidak terkecuali, dalam hal ini, para pejabat pemerintah. Di sisi lain, orang Jawa juga memiliki orientasi nilai budaya kolateral (Koentjaraningrat, 1984:441). Dalam hal ini, mereka merasa berkewajiban menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga dekat, dengan berbagai rasa baik dalam keadaan senang atau susah. Dalam pandangan orang Jawa, tetanggalah orang terdekat yang paling mungkin untuk dimiliki budaya lentur yang menjadikan mereka banyak dihargai. Dengan budaya itu, mereka mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, namun tanpa kehilangan identitas kejawaannya.
            Dari sisi mata pencaharian, sebagian besar orang Jawa adalah petani dan pedagang, lainnya menekuni beragam jenis profesi, mulai dari tukang kayu, tenaga buruh, karyawan hingga pegawai negeri. Dibandingkan dengan warga-warga suku bangsa lain, nyaris tidak ada orang Jawa yang ambil bagian di kegiatan-kegiatan usaha dan industri kecil di Kalimantan Barat, baik sebagai tenaga buruh atau karyawan, kecuali hanya beberapa orang, maupun sebagai pengusahanya sendiri. Namun, di profesi pegawai negeri, terutama guru, prosentase orang Jawa amat tinggi melampaui kalangan suku-suku bangsa lain. Ini terjadi, oleh karena kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di kalangan orang Jawa relatif unggul. Pada mulanya, secara ekonomis orang Jawa tidak berarti apa-apa. Namun, mereka dengan cepat mengalami perubahan-perubahan dalam kualitas kehidupan berkat semangat pendidikan yang sudah tertanam kuat dalam tata budaya mereka.
            Tidak berlebihan di sini untuk menilai, suku Jawa, lebih-lebih generasi tuannya, amat menyadari posisi mereka sebagai pendatang dan sebagai perantau yang membawa kenangan tentang kesempitan hidup di daerah yang mereka tinggalkan. Kesadaran itulah yang memacu semangat untuk meretas hidup di negeri yang mereka diami kini. Mereka juga ulet, sabar, memiliki rasa kebersamaan, keterbukaan dan berfikir ke depan. Penampilan lembut yang tidak jarang ”dimanfaatkan”, misalnya sebagai sasaran pencurian dan perampokan, meski bercitra kurang positif, namun hal itu, sekurang-kurangnya tidak mengurangi posisi ”tengah” mereka di antara suku-suku yang ada, terutama antara suku-suku Dayak dan Madura serta Melayu dan Madura. Sebagaimana diketahui, warga suku-suku bangsa tadi dalam beberapa tahun terakhir terlibat dalam sejumlah pertikaian di beberapa tempat di Kalimantan Barat (lihat daftar peristiwa tentang hal ini di daftar lampiran). Pada umumnya suku Dayak memandang suku Jawa sebagai saudara tua, sementara orang Jawa sendiri tidak memiliki masalah, baik dengan orang Melayu ataupun orang Madura.


4.6. Suku-suku Bugis, Banjar

            Tidak mudah untuk menbedakan identitas anggota kedua suku bangsa ini di Kalimantan Barat. Dari segi bahasa di kalangan generasi muda, pakaian, model rumah dan bahkan warna kulit pun tidak berbeda; begitu juga dengan jenis pekerjaan dan lokasi pemukiman. Seorang pendatang, oleh karena itu, tidak segera dapat membedakan jenis suku bangsa orang-orang tersebut. Kecuali dari pengakuan yang bersangkutan, maka untuk mengetahuinya diperlukan keterlibatan diri dalam kehidupan keseharian mereka. Memang terdapat keluarga-keluarga Bugis yang menggunakan bahasa suku bangsanya di lingkungan anggota serumah. Namun, jumlah mereka tidak banyak.
            Secara umum terlihat bahwa sebagai hasil dari proses interaksi sosial antara warga Bugis dan warga suku-suku bangsa lain di daerah ini, selama lebih dari seabad, telah terjadi proses akulturasi budaya. Banyak nilai budaya Bugis yang terserap ke dalam budaya setempat, terutama budaya Melayu. Dalam rangka penyesuaian itu, tidak sedikit nilai-nilai budaya Bugis, seperti siri ma siri, yang hilang. Tidak sedikit pula anak Bugis yang dilahirkan di Kalimantan Barat, dalam beberapa dekade terakhir, dipandang atau pada saat tertentu malah memandang diri sebagai orang Melayu.
            Identitas yang masih tersisa yang menjadi warisan budaya ketiga suku ini terdapat pada kegiatan ritual yang berkaitan dengan peringatan daur hidup seseorang. Di kalangan suku Bugis, lazim terselenggara ”Naik Tojang” untuk merayakan kelahiran bayi berumur 7-40 hari. Sementara, untuk peringatan yang sama di kalangan suku Banjar di sebut ”Naik Ayun”, dan ”Gunting Rambut” di lingkungan suku Melayu. Upacara-upacara yang menggunakan bermacam peralatan, perlengkapan, berjenis makanan dan bahkan jenis hewan tertentu, sebagai lambang, pada intinya memiliki makna dan tujuan yang tidak jauh beda. Yakni, terselipnya harapan akan kesehatan dan kesejahteraan sang bayi dalam mengarungi kehidupan kedepan. Berbeda dengan yang lain, acara gunting rambut lebih bernuansa ke-Islaman.
            Upacara prosesi pernikahan dengan warna dan ciri budaya masing-masing dari ketiga suku bangsa tersebut juga masih tetap bertahan di Kalimantan Barat.
            Khusus di kalangan sementara suku Bugis, terdapat upacara ritual magis yang berlkaitan dengan roh leluhur yang disebut Lasuji. Sedang di lingkungan orang Melayu lazim di selenggarakan upacara robo-robo. Upacara ini tampaknya telah memasyarakat, karena pada kenyataannya telah pula diikuti oleh sekalian warga suku bangsa lain yang muslim. Tentang kedua upacara ini telah dijelaskan di bab II.
            Meski tidak setinggi prosentase penduduk Dayak, namun jumlah ketiga suku ini, lebih-lebih suku Banjar, yang berdiam di dan dekat sungai cukup besar. Maka tidak jauh berbeda dengan suku Dayak, warga suku Bugis dan suku Banjar dalam hal mata pencaharian lebih banyak bergulat di sekitar sungai. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha pengangkutan air, barang ataupun penumpang, dan usaha penggergajian serta perdagangan kayu merupakan lahan mata pencaharian mereka. Sedang warga Melayu terbagi secara  seimbang dalam mata pencaharian, antara pertanian, wira usaha dan perburuhan.
            Diantara ketiga suku bangsa tersebut, suku Bugis tetap terdepan dalam penguasaan terhadap sumber-sumber daya di daerah, terutama lahan perkarangan dan kebun. Betapapun, banyak di antara pemilik lahan itu tidak lagi tinggal di , dan sudah tidak menjadi penduduk, Kalimantan Barat. Kecenderungan suku ini untuk pindah ke Pontianak di masa lalu dan yang tetap berlangsung hingga kini, menimbulkan dugaan tentang kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Yakni, sekurang-kurangnya, makin menciutnya kuantitas mereka secara berarti.
            Uraian diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa suku Bugis memiliki ikatan amat longgar dengan dengan tanah kelahiran. Orientasi mereka yang kuat pada keuntungan material, menjadikan kebun bukan sebagai lahan pertanian melainkan sebagai ajang untuk mewujudkan orientasinya itu. Oleh karena itu, meski tinggal di daerah, memiliki kebun luas, namun tidak banyak di antara orang Bugis itu yang menjadi petani penggarap; mereka sebenarnya adalah pedagang. Banyak kalangan muda suku Bugis dan suku Banjar, yang makin kemelayu-melayuan, kini tampak kehilangan orientasi, tidak ingin menjadi petani namun belum siap dengan pekerjaan lain.
            Kenyataan-kenyataan yang dikemukakan tadi agaknya tidak dapat menolak begitu saja penilaian sebagai pengamat, bahkan suku Melayu sebagai kurang disiplin dalam pemenuhan janji dan penghargaan terhadap waktu erta rendah semangat kerjanya. Kelompok suku ini juga dikatakan, tidak hemat alias suka menghambur-hamburkan uang (Alatas, 1991:141). Suku Melayu dalam konteks ini termasuk suku-suku Bugis dan Banjar yang tinggal di Kalimantan Barat. Sudah tentu, keluarga sederhana seperti Hasyim, suku Melayu asli tinggal di RT. 02/I, dan Kasim, suku Bugis tinggal di RT. 02/II, merupakan pengecualian. Kedua nama tadi berserta anak-anaknya tergolong orang-orang ulet, hemat dan pekerja keras. Dua orang putera dari yang tersebut pertama dan tiga orang putera-puteri dari keluarga kedua saat ini sedang menempuh kuliah diperguruan tinggi negeri dan swasta di Pontianak. Banyak warga yang tinggal dekat dengan kedua keluarga tadi sama mengetahui bahwa beberapa orang putera dari salah seorang keluarga tadi, di samping kuliah juga berkebun sayur dan menjualnya sendiri ke Pontianak. Beberapa orang putera dari keluarga lainnya, dalam menunjang biaya kuliah, juga bekerja sebagai tukang parkir dan pekerjaan-pekerjaan serabutan lain.
            Penilaian lebih jauh terhadap suku-suku Banjar dan Melayu, lebih-lebih yang terakhir, tidak mudah diberikan, mengingat jumlah mereka yang tidak banyak dan tinggal terpencar.

4.7. Suku Cina (Tionghoa)

Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.
      Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
      Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
      Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.

      Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
      Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
      Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting.
Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
      Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak.
Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
      Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
     
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong.
Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
      Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
    Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak.  Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
      Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
      Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat
      Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.
      Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
      Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.

Larangan Pedagang Cina di Pedesaan

Pada tahun 1959 adalah saat yang sangat menyedihkan bagi warga Cina di Indonesia, khususnya di Kalbar. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1959 tentang larangan orang-orng melakukan usaha perdagangan di pedesaan. Jelas PP tersebut ditujukan bagi warga Cina yang nota bene kegiatan hari-hari mereka adalah berdagang. Karena merasa tidak bebas, maka mereka melakukan pemberontak dengan tidak mentaati PP tersebut. Sementara jumlah orang Cina semakin bertambah dan merambah sampai ke berbagai pedalaman di Kalbar.

Karena begitu uletnya warga Cina menguasai daerah pedalaman dengan membuka lahan hutan yang kemudian dijadikan tempat pertanian dan perkebunan serta pemukiman, maka tidak heran banyak tempat dimana bekas mereka berada diberi nama seperti di Mandor yang dikendalikan oleh suku Thiau Cu yang melakukan pekerjaan pertambangan emas. Nama-nama daerah tersebut adalah; Pat Khu Chin, Lohabang, Taynam, Sinam, Pat Meong Thio, Fa Jin Tan, Sya Kok, Lo Nam Kok, Chap Kha La, Ta Kong dan sebagainya.

            Meski telah menjalin hubungan dekat dengan suku-suku bangsa lain dan bahkan secara ras sudah banyak tercampur akibat perkawinan, khususnya, dengan suku Dayak, namun sebagian besar orang Tionghoa di Kalimantan Barat masih menggunakan bahasa Tionghoa sebagai alat komunikasi dalam keluarga dan dengan sesamanya. Sesuai dengan golongan bahasa sub suku-bangsanya, maka terdapat mereka yang berbahasa Tiociu, jumlah mayoritas, sebagian lainnya berbahasa Khek dan lainnya Kanton.
Pengelompokan orang-orang Tionghoa ke dalam tiga sub suku bangsa ini, dalam keseharian, kenyataannya bukan saja dapat diidenfikasi dari segi bahasa melainkan juga  dari sisi mata pencaharian. Sebagian besar golongan Tiociu di daerah ini bermatapencaharian sebagai pedagang dan pengusaha, sebagaimana juga golongan Kanton, sedangkan golongan Khek lebih banyak menjadi petani.
Terdapat kelaziman di kalangan warga Tionghoa, yang di Kalimantan Barat tinggal mengelompok di pinggir sungai dan nyaris terisolasi ini, untuk melakukan pemujaan kepada leluhur, baik dari garis ayah maupun ibu. Hubungan sosial kekerabatan dari kedua garis orang tua tadi mereka jalin secara akrap.
Sejauh pengamatan langsung di lokasi-lokasi pemukimannya, orang-orang Tionghoa di daerah ini menggunakan bahasa setempat dan menjalin hubungan baik dengan warga sekitar, lebih-lebih dengan aparat daerah, terutama kepala daerah. Hanya saja, sarana hubungan itu lebih banyak terbatas pada kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya soal bisnis dan soal-soal menyangkut pengurusan formalitas. Berbeda dengan warga sekitar, banyak di antara mereka amat menaruh curiga terhadap pendatang baru atau orang yang belum mereka kenal.
Terdapat indikasi kuat bahwa kalangan muda ”suku” ini yang keluar dari daerah untuk tinggal dan bekerja atau, bahkan menetap, di Pontianak. Oleh karena itu, bukan hal aneh bahwa yang tinggal di daerah ini banyak terdiri dari orang dewasa, orang tua dan anak-anak.


[1] Bandingkan dengan cerita ini, masuknya Islam membuat corak baru yang membedakan antara Kaharingan dan Banjar di Kalimantan Selatan. Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Banjar dan menggunakan bahasa Banjar sementara Dayak yang masih menganut Kaharingan tetap menyebut diri mereka sebagai Dayak dan menggunakan bahasa asli mereka (Akh. Fauzi Aseri, 1990:7).

[2] . Merujuk kepada Pabali Musa (2003:1)Informasi yang agak jelas tentang keberadaan Islam di kawasan pantai barat Kalimantan barat ketika berdiri kerajaan Islam sambas. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Sulaiman (1009-1081 H/ 1601-1670). Kerajaan inilah antara lain yang memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Kalimantan Barat, khususnya di Sambas.

0 comments:

Post a Comment