Kesukubangsaan
Seorang dalam melakukan
interaksi dengan sesama dalam kehidupan sosial dipengaruhi, antara lain, oleh
identitas kesukubangsaannya. Dengan identitas kesukubangsaan tertentu, yang
ditentukan baik untuk mengkaterogikan diri sendiri atau orang lain, seseorang
dapat mengaktifkan ikatan kelompok sesama suku bangsa. Ikatan itu nantinya dapat membentuk pola
tersendiri dalam hubungan interaksi dengan sesama. Itu terjadi, karena didalam
ikatan kesukubangsaan bukan saja terlekat ciri budaya (Barth, 1988: 12),
melainkan juga tatanan sosial dan nilai-nilai dasar (Barth, 1988: 14 dan 15)
yang terbawa sejak lahir.
Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar
merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan Melayu. Dayak adalah
rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang karena bidang usahanya ekonomi, maka
cenderung ‘pandai-pandai’ bermain dengan kelompok yanag sedang berkuasa,
umumnya mereka mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif.
Sebagaimana Dayak, Madura adalah rakyat biasa, yang seakan menjadi budak bagi
kelompok etnik lainnya. Namun tidak seperti Dayak, kelompok etnik pendatang ini
harus menghambakan dirinya bukan hanya pada satu, melainkan juga kelompok etnik
lainnya, hal ini terjadi karena migran Madura yang pertama masuk kalbar adalah
yang berpendidikan rendah bahkan tidak
berpendidikan. Usaha mereka pada saat masuk kalbar adalah buruh dan pekerja
sektor informal.
Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan
hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan
masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan
pendidikan yang besar kepada etnik Cina dan Dayak. Secara sadar atau tidak,
Belanda ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak.
Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor
membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan
karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat
Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan
pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah
berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik (Partai
Persatuan Dayak) dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian
mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa.
Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa
mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi
kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai
penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat
Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan
juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Sedangkan Madura
dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan usaha sendiri dalam
bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal.
Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan
pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat
membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan
menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha
mengadakan koptasi, namun gagal.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan
bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik,
melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang
relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara
perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah.
Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki
posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus
memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah
terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.
Orde Baru adalah masa “kuliah Politik Identitas” bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka
berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan
perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai
Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap
sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi
sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan
tersebut berhasil mentransformasikan
dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman
kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya
terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang
Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung,
berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan
oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu
tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam.
Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun setelah
kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat
Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan
hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok
etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian
bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan
tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli,
mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah
saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya.
Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan
hukum adat Melayu.
Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian
terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus
Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu
menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan
tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah
dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah
jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif
seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan
gubernur pada akhir 2002.
Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih
leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut
Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala
besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Lebih dari itu, ia
juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama
Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah
terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi,
mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan
konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik
internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil
menjadi bupati di Sanggau.
Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan dalam politik.
Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih sebagai anggota DPRD
tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai Golkar yang berkuasa
atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam, dan/atau NU atau PKB
pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik secara berurutan
dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha mendekatkan diri
secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada hukum adat, sedangkan
secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai nasional dan Islam yang
umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja tidak sepenuhnya dapat
menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang harus terpaksa
menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu.
Pemaparan berikut ini
merupakan gambaran tentang kultur identitas
masing-masing kelompok suku bangsa di Kalimantan Barat.
4.1.
MENGENAL ETNIK DAYAK
PENGANTAR
Ave dan King
(1986) memperkirakan bahwa jumlah orang Dayak dikalimantan adalah sekitar tiga
juta orang, sedangkan sellato (1986) menyebutkan sekitar enam juta orang (jika
orang dayak sudah menjadi orang melayu karena memeluk agana islam masuk hitungan). Mengenai jumlah
orang Dayak ini, sempai sekarang memang belum ada data yang pasti. Namun, pada
tahun 1990 diperkirakan bahwa jumlahnya minimal berkisar sepertiga jumlah
penduduk pulau tersebut (MacKinnon, dkk., 1996).
Orang Dayak dianggap sebagai
penduduk asli (indigenous
people)pulau Kalimantan Suku Dayak,menurut asal- usulnya,adalah imigran
dari daratan Asia,yakni Yunan di cina selatan .kelompok imigran yang pertama
kali masuk adalah kelompok rasNegrid dan Weddid(coomans,1987)yang kini tidak
ada lagi,serta ras Aurtaloid (Mackinnon,1996).selanjutnya adalah kelompok
imigran melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM.kelompok imigran terakhir
adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras
Mongologid (Coomans,1987;sellato,1989;Rousseau1990).Mackinnon mencatat,larer waves of migrants,tbemongoloids,brought rice cultivation from mainland asia
about 5,000 year ago(glover,1979).permanent settlement and rice barvesting
necessi tated tbe claring of field. A system of sbifting cultivation evolved”(1996:356).
Sejarah perjalanan suku ini selalu diwarnai sebagai “Objek” dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya
menghasilkan generasi yang berbeban psikologis berat. Dayak Kanayatn seperti
halnya suku-suku Dayak Lainnya di Kalimantan
selalu menjadi objek misalnya saja objek “ pembangunan” yang cerita
tentang ini sudah demikian jelasnya, lalu sebagai objek” penelitian” yang latar
belakangnya karena suku ini terbelakang, bodoh, primitif, dll yang apabila
hasil kajiannya ditampilkan akan membuat pembaca menjadi kasihan, miris,
prihatin, dll . dari perjalanan yang penuh “objek” ini, orang Dayak untuk “setara” saja dengan orang lain, harus
berjuang berat. Contoh kasus terakhir di
Kalbar tentang pemilihan Gubernur, persentasi Dayak yang mencalonkan diri
menjadi Gubernur 4 : 19 , dan lebih dari 80% hanya berani mencalonkan dirinya
menjadi Wakil Gubernur.
Sebelum abad ke 19, bahkan sampai
tahun 1894 Daerah Kalimantan ini disebut
Terra incognita (lihat Nieuwenhuis
perjalanan borneo 1894) cerita suku ini masih sangat sedikit. Baru
ketika kolonial belanda masuk, catatan-catatan tentang suku ini mulai tersedia.
Salah satu sebab mengapa proses belajar antar generasi suku ini sulit adalah
karena budaya”lisan” yang mewarnai kehidupan sehari-harinya. Adapun bangsa
eropa yang awal abad ke-19 masuk kedaerah ini membawa budaya tulisan, maka
hanya merekalah yang membuat tulisan tentang suku ini. Menurut cerita jika
ingin belajar tentang Dayak, sebaiknya anda pergi ke negeri Belanda, disana
tersedia sangat banyak dokumentasi tentang suku ini.
Bayangkan, orang Dayak untuk
belajar tentang dirinya saja, mereka harus pergi kenegeri yang jauh dimana
untuk pergi kesana hanya sedikit orang
yang bisa,karena persoalan ekonomi .
KEBUDAYAAN DAYAK
Tidaklah mudah
untuk berbicara tentang kebudayaan Dayak (Fridolin Ukur), yang mencakup lebih
dari 450 suku yang tersebar di seluruh Kalimantan ini, termasuk mereka yang ada
di Negara tetangga seperti Malaysia. Namun banyak penelitian yang telah
diadakan mengenai suku-susku dayak di Kalimantan ini kita berkesimpulan bahwa
tidak ada pulau besar lain di Indonesia ini yang dapat dikatakan memiliki
semacam kesatuan budaya seperti Kalimantan .
Asal-Usul Penamaan Suku Dayak
Secara harfiah, kata “Dayak”
berarti orang ayang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang
Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga
merupakan nama kolektig bagi banyak kelompok susku dikalimantan dan Borneo . Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat
kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya,
seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsure budaya
lainnya (Nieuwenhuis, 1990; Mallinckrodt, 1928; Stohr, 1959; Hudson, 1966,
1967, 1972; Kennedy, 1974; King, 1979, 1994; Sellato, 1986; Rousseau, 1990).
Teori yang
secara umum diterima bahwa suku-suku pribumi penduduk Kalimantan berasal dari
daratan Asia, dari wilayah Cina Selatan (Propinsi Yunan) yang ikut dalam arus
perpindahan (migrasi) besar-besaran antara tahun 3000-1500 sebelum masehi. Dari
rombongan yang tida di Indonesia ,
mereka termasuk rombongan yang pertama (disebut Proto Melayu). Ada
teori yang mengatakan bahwa perjalanan tersebut terbagi dua arah: yang satu
bergerak melalui Indo Cina dan terus ke jasirah Malaysia
dan terus ke Kalimantan; sedangkan rombongan lainnya melalui Taiwan dan Filipina.
Pada waktu
penyeberangan ke Kalimantan dimudahkan karena
permukaan air laut pada jaman es turun secara drastic. Namun ada pula teori
yang mengatakan bahwa pada waktu itu Kalimantan masih belum berwujud pulau,
tetapi menyatu dengan Sumatera dan daratan Asia .
Hal ini dibuktikan dengan jenis ikan sungai yang terdapat di Kalimantan
hamper semuanya terdapat di Sumatera.
Tentang
pemakaian istilah “Dayak” untuk menandai suku-suku pribumi di Kalimantan
ini terdapat beberapa teori. Ada
yang berpebdapat, karena tersebut dupergunakan karena memang sudah ada dalam
bahasa Iban berarti manusia; dalam
bahasa Tanjung dan Benua, kata itu berarti hulu
sungai seperti umpamanya Mahakam Dayak berarti Hulu Mahakam. Di Kalimantan
Timur ada suku yang bernama Lun Daye, yang berarti orang dari daerah hulu. Di
dalam bahasa Ngaju ada jenis padi yang bernama “parei dayak”, yang pohonnya
lebih rendah dari padi yang biasa.
Orang Dayak
yang kenudia memeluk agama Islam tidak lagi menyebut dirinya orang Dayak tetapi
menjadi orang Melayu, demikian pula bahasa yang digunakanpun bukan lagi bahasa
Dayak, tetapi bahasa Melayu. Jadi sebenarnya di antara orang Melayu itu banyak
terdapat orang Dayak. Di sini kita melihat bahwa penduduk yang asalnya serumpun
itu bisa menjadi berbeda karena agama dan bahasa baru yang diikuti dan
diamutnya. Ada
kesan pada waktu itu bahwa kata Dayak itu mengandung nada ejekan atau hinaan
terhadap mereka yang dianggap masih belum maju.
Lambat laun
kesan negative tadi kian menghilang terutama setelah sebagian besar penduduk
sudah mengecap pendidikan, ditambah pula dengan berkembangnya kesadaran
kebangsaan. Hal ini nampak di tahun tigapuluhan dengan lahirnya Pakat
Dayak, suatu organisasi social budaya masyarakat Dayak yang berpusat di
Banjarmasin ,
yang anggotanya terdiri dari semua penganut agama-agama. Lebih terasa lagi
kemudia di tahun limapuluhan, ketika terbentuk Partai Dayak yang berpusat di Pontianak
dengan cabang-cabangnya di seluruh Kalimantan .
Penamaan ini diterima sebagai identitas bersama secara social budaya.
Dari segi
penulisan, terdapat 3 bentuk: Dayak,
kedua Daya dan Dyak. Yang terakhir ini yaitu bentuk Dyak biasanya dijumpai dalam
literature bahasa Inggris terutama tulisan-tulisan mengenai suku-suku di
Malaysia Timur. Ada
sementara kalangan yang enggan memakai kata Dayak (dengan huruf k) karena katanya penulisan tersebut
mengandung makna kurang baik. Mengingat ada perkataan di salah satu suku di Indonesia ,
yaitu kata “dayak-dayakan” yang
berarti gila-gilaan atau yang senada. Menurut hemat saya alas an ini terlalu
naïf, karena terlalu banyak kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti yang
sangat berbeda di dalam bahasa lainnya. Kata yang serupa dalam bahasa Ngaju
(dayak-dayakan atau dadayakan) berarti berjalan sempoyongan, seperti anak kecil
yang baru belajar berjalan. Ini bisa saja diartikan secara negative tetapi juga
positif. Kalau kita secara objektif menilai semua ini, rasanya tidak ada alas an
untuk menolak penulisan tersebut, seperti Ensklopedia Indonesia .
Pengelompokan suku-suku dayak
Di kalangan ahli sejarah orang
Dayak di Kalimantan dan Borneo,memang belum ada kesepakatan mengenai datum histori yang pasti perihal
kedatangan kelompok imigran di kepulauan tersebut .yang disepakati halnya bahwa
orang Dayak merupakan imigran dari daratan Asia (sellato,1992).latar belakang
historis inilah yang pernah dipergunakan oleh pemerintah untuk menyatakan bahwa
orang Dayak bukanlah penduduk asli Kalimantan dan Borneo.Oleh karena itu,dalam
pandangan tersebut,mereka tidak mempunyai hak tradisional atas tanah dan hutan
di Kalimantan (singarimbun, 1994,1996).
Masyarakat Dayak di kepulauan tersebut terdiri dari
kelompok-kelompoksuku besar dan sub-sub suku kecil.ada beberapa pendapat yang
mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai
450-an(Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993;sellato,1989;Rousseau,1990).selain
itu,dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak,juga terhadap beraneka
ragam versi.berdasarkan hukum adat,Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928)mengklasifikasikan suku Dayak
kedalam enam subsuku besar yang disebutnya
stammenras, yaitu
(1)kenyah-kenyah-bahu;(2)Ot danum;(3)Iban;(4)murut;(5)kelamantan;dan(6)punan .
Lain halnya dengan W.Stohr (“Das
Totenritual der Dajak”,dalam etbnologia,Koln:1959)
yang membagi suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu
(1)kenyah-kenyah bahu,(2)Ot danum (Ot
danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan);(3)Iban;(4)Murut (dasun,murut, kalabit ;(5)
klemantan (kilemantan,Dayak Darat );dan(6) punan.sedangkan Hudson(1967)membagi
suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam
mubyarto,dkk.1991;31-32).
Lain lagi dengan sellato
(1989).ia mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok
besar,yaitu(1)orang melayu;(2)orang iban ;(3)kelompok
baito(Ot-danum,siang,murung,luangan,ma’anyan,benuag,bentian,dan
tujung);(4)kelompok Barat;(5)kelompok timur laut;(6)kelompok Kenyan dan
kanyahyang tnggal di Kalimantan timur da npedalaman seraak;(7)kelompok utara
tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan,seperti orang kelabit,lun
Dayeh,lun bawang dan murut bukit,orang kajang,Berawang,dan melanin di sebelah
barat Kalimantan.dalam kelompok
ini,hanya orang kelabit danlun dayeh yang bersawah;dan(8)suku penan
(bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di kelimantan
(singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon
dkk.,1996:356-363;sellato,1989).klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan
alasan-alasan (1)aliran sungai;(2)geografis,etnografis,dan budaya
material;(3)bahasa yaitu bahasa austronesia,bahasa Filipina,bahasa
melayu,bahasa di sulawesi selatan,dan bahasa madagaskar;(4)cara dan tempat
penguburan orang meninggal;(5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata
pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).
Sebagaimana dikutip singarimbu
(1996:260),masalah klasifikasi suku Dayak ini ditanggapi oleh kingsebagai
berikut:
The people of borneo present major difficulities to scbolars interested
in formulating compre bensive etbnic classification.ti is an awesome task to
sort uot tbe varied and often conflicting terms used ti refer to a category or
grouping of people.Our predicament is also compounded webn we realize tbat,in
boneo,tbere are very few neatly bounded etbnic. Looking specifi-cally at tbe
upper kapuas regtion, it is clear tbat from tbe limited bistorical and oral
materials which we bave at our disposal, a situation of in stability existed in
tbe past with, on tbe one band, a significance ndegree of fission and cultural
dif-ferentiation of originally similar grouping, and on tbe otber band, tbe
fusion and cultural interpretation of different grouping.
Atas klasifikasi di atas,ave
danking (1986:13)berpendapat bahwa salah satu ciri penting
dari masyarakat Dayak adalah berladang .atas dasar
itu,mereka tidak memasukan orang punan ke dalam kelompok suku Dayak,karena
terutama hidup dari berburu dan meramu (dikutip dari singarimbun,1996:226).
Sedangkan hoffman(1985)berpendapat bahwa orang punan remasukorang Dayak
juga,namun kelompok ini memilih spesialisasi sebagai pengumpul hasil-hasil
hutan dengan cara mengambar di hutan. Klasfikasi trsebut dibuat berdasarkan
alasan-alasan ,seperti (1)aliran sungai;(2)gegorafis,etnografis ,dan budaya
material;(3)bahasa, yaitu bahasa austonesia;bahasa filifina, bahasa
melayu,bahasa di sulawesei selatan, bahasa di madagaskar; (4) cara dan tempat
penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi sosisl; dan (6)mata
pencaharian hidup,dan lain-lain (sellato,1989:58-62).dalam teori antropologi
dan hukum adat,metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas,telah di
lakukan oleh beberapa ahli sejak lama.
Misalnya,pertama-tama adalah van vollehoven (1918)yang mencitakan konsep
“daerah huku adat”(recbtskring).
Menurutnya,di Indonesia terdapat 19 daerah hukum adat,dan salah satunya adalah
Kalimantan atau boneo.kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area”
.selanjutnya ,J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang
diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963),Hildred Geesrtz
(komunitas budaya),dan koentjaraningrat (1971).Akhirnya,Ave (1970 yang
memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu
(1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan
teknologi.ketiganya disebut mode of
production (Marzali,1997:141-147).
Dove (1988) berpendapat bahwa klasifikasi etnis Dayak dan
suku-suku lain di Indonesia, bahkan di dunia, yang di dasarkan pada
bentuk-bentuk mata pencaharian hidup adalah akibat dari strategi adaptasi
setiap kelompok terhadap lingkunganya. Perspektif ini di sebut ekologi
kebudayaan (Tsing,1984,1993,1998).lihat peta suku Dayak di Kalimantan dan Borneo .
Suku-suku Dayak
yang tersebar di seluruh pulau Kalimantan ini
memang cukup banyak jumlahnya, ada yang besar, sedang ataupun kecil. Keadaan
dan geografi dan demografi telah mengakibatkan suku-suku ini terisolasi dan
terpisah, sehingga walaupun semula merupakan satu runpun tetapi setelah ribuan
tahun tampaknya seolah-olah tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Tidak
heran kalau ada yang berpendapat bahwa nama umum “Dayak” tidak boleh dijadikan
alas an untuk memandang semua suku Dayak itu sebagai satu kesatuan antropologis
dan cultural. Tetapi menurut pendapat saya justru digunakannya nama Dayak itu
untuk memberikan identitas bersama, karena memang ada raut dasar yang menunjuk
kepada kesamaan.
Untuk
memudahkan memperoleh gambaran yang lebih memadai telah diusahakan membuat
pengelompokan suku-suku Dayak ini berdasarkan pada kesamaan-kesamaan tertentu,
seperti kesamaan hokum adapt, ritus-ritus, bahasa, dsb. Sampai sekarang ada 3
(tiga) pengelompokan yang telah ditampilkan pada penelitian ilmiah yang cukup
dapat diandalkan. Pertama, yang diadakan oleh H.J.Mallinckrodt, berdasarkan kesamaan hokum adapt (Het Adatrecht van Borneo, Leiden, 1928).
Ia membedakan enam rumpun suku yang disebutnya Stammanras: (1)
Kenya-Kayan-Bahau, (2) Ot Danum,
(3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan, (6)
Punan. Kedua, diadakan oleh W.Stohr (Das Totenritual der Dajak, Ethnologica,, Koln.1959) dengan
melihat dari segi ritus kematian. Ia memang bertolak dari pembagian yang telah
dilakukan oleh Mallinckrodt, lalu mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan sesuai
dengan criteria yang di pakai, yaitu ritus kematian. Menurut Stohr ada 6
kelompok besar: (1) Kenya-Kayan-Bahau,
(2) Ot Danum, yang dibagi menjadi: a. Ot Danum-Ngaju, b. Maanyan-Lawangan, (3) Iban,
(4) Murut, yang mencakup: Dusun Murut-Kelabit, (5) Klemantan, meliputi: a. Klemantan, b. Dayak Darat (Land Dajak), (6) Punan.
Ketiga, diadakan oleh A.D.Hudson yang membaginya menurut
bahasa. Penelitian hanya terbatas pada suku-suku yang berada dikalimantan
tengah dan selatan serta sebagian di Kalimantan
timur yang berbatasan dengan Kalteng. Ia mengambil batasan wilayah kesebelah utara
sampai pegunungan Schwaner-Muller dengan sungai-sungai busang, murung dan
mahakam; ke sebelah barat di daerah sungai mentaya dan sebelah selatan dan
timur sampai ke daerah pantai di laut jawa dan selat makasar. Wilayah ini
dihuni oleh kelompok Ot Danum (kalau kita lihat versi Mallinckrodt dan Stohr,
pen.). menurut Hudson ,
kelompok ini secara bahasa ia golongkan sebagai keluarga Barito (Language of
the Barito Family).
Cirri-ciri pokok kebudayaan dayak
Adanya
pembagian suku-suku dayak dalam kelompok-kelompok besar berdasarkan kesamaan
hokum adapt, bahasa ataupun ritus kematian memperlihatkan adanya keragaman yang
cukup alami mengingat kondisi geografis dan demografis Kalimantan .
Namun kita dapat menelusiri beberapa ciri pokok yang sifatnya khas yang
memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan.
1. Rumah panjang (lamin,
betang, balai, lawu hante)
Pada umumnya, pola kediaman orang
Dayak adalah rumah panjang (longhouse),
yang memiliki nama berbeda-beda sesuai dengan bahasa local masing-masing
kelompok suku (Alexander, 1993; Helliwell, 1993; Sather, 1993).
Semua suku
dayak, kecuali suku punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam di
rumah-rumah panjang yang disebut lamin,
betang, balai, lewu hante, dsb. Cirri-ciri khas rumah panjang ini: dibangun
diatas tiang-tiang yang cukup tinggi; didalamnya selalu terdapat ruangan yang
luas yang digunakan untuk kepentingan bersama, seperti upacara adapt, tempat
tamu bermalam dsb. ; masing-masing keluarga menempati satu kamar, sedangkan
jejaka yang belum menikah tidur diruangan umum. Pasangan yang baru menikah
dapat membangun kamar tambahan pada rumah panjang itu. Itu sebabnya rumah
panjang ini bisa berkembang dan menjadi semakin panjang.
Rumah panjang ini berfungsi sebagai:
-
tempat perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari
binatang buas maupun dari musuh-musuh lainnya;
-
pusat seluruh kehidupan suku, karena disitulah semua
upacara, baik yang menyangkut kehidupan pisik maupun rohani, diselenggarakan;
dari situ mereka berangkat mencari nafkah dan kesitu mereka membawa rejeki;
-
lambang kehidupan komunal yang harmonis; di rumah
panjang tidak ada yang kekurangan dan tidak ada yang kelebihan; keseluruhan
penghuni bertanggungjawab memelihara kesejahteraan bersama;
-
pusat pendidikan dan pembinaan kaum muda. Di dalam
bahasa maayan, balai ini disebut sebagai “balai mantawara, jaru mantaajar” yang
artinya balai pendidikan, tempat pengajaran. Dalam penguraiannya dikatakan:
“jika gadis-gadis belum bisa mengayam para jejaka belum bisa membuat tali dan
menempa tombak, naiklah kebalai pendidikan dan ruang pengajaran, supaya si
cantik manis pandai mengayam si pria gagah mamapu membuat tombak.”.
2. senjata : Mandau dan Sumpitan
Senjata yang
khas dan dimiliki oleh semua suku Dayak adalah Mandau, yang tidak dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia.
Sejenis pisau yang panjang, dibagian pangkal kecil tebal, kemudia kian melebar
dan sedikit melengkung. Di bagian ujung melancip. Di sepanjang alur pisau
dihiasi dengan ukiran dan kadang-kadang diisi perak atau kuningan. Kepala atau
hulu mandau ini terbuat dari kayu atau tanduk, juga diukir. Demikian pula
sarung pisau terbuat dari kayu berukir, dan kadang-kadang dari kulit binatang.
Yang sangat unik dari mandau ini, ialah apabila ia diikatkan dipinggang, maka
mata pisau yang tajam itu selalu terarah keatas/kedalam dan tidak kebawah
seperti halnya pada senjata-senjata jenis pisau lainnya. Dan ini hanya terjadi
pada mandau. Ini memberi petunjuk pada cara penggunaan praktis dalam ilmu
pertempuran. Dengan sekali mencabut langsung menyerang, dengan tidak
menggunakan gerakan mengayun tangan dari atas ke bawah.
Sumpitan juga merupakan senjata khas
Dayak, yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) yang sangat keras demi
mempertahankan daya tahan kelurusannya. Senjata ini digunakan untuk berburu dan
berperang dangan mempergunakan Damak.
Damak ini ada yang beracun dan ada pula yang tidak. Racunnya pun ada bebagai
jenis, dari sifatnya sekedar sebagai pembius sampai pada mematikan langsung.
Mengenai senjata sumpitan ini saya tidak mengetahui secara pasti apakah juga
dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia. Tetapi yang pasti semua suku Dayak
memiliki dan mengenal senjata sumpitan ini. Ketika senjata api sebagai alat
berburu ditarik masyarakat, kita melihat bagaimana sumpitan berfingsi lagi.
3. anyaman
Kerajinan rumah
tangga yang berupa anyaman (khususnya dari rotan) terdapat dari semua suku
Dayak. Yang unik adri anyaman ini nampak dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: a. tikar
tidur dan tikar upacara, dan b. keranjang angkut yang bertali bahu. Tikar tidur
dan tikar upacara pada umumnay dianyam dengan janinan rotan halus dengan
motif-motif yang diambil dari mitologi suku. Tiap-tiap motif mempunyai nama dan
makna sendiri.
Sedangkan
keranjang rotan, khususnya keranjang angkut yang diberi bertali untuk bahu,
menurut saya unik dimiliki oleh suku dayak. Keranjang angkut ini fungsi dan
kegunaannya bermacam-macam, ada untuk pakaian, padi, kayu baker, dsb.
Kegunaannya itu nampak dalam bentuk halus-kasarnya pembuatannya, demikian pula
besa-kecilnya keranjang tersebut.
4. tembikar
Bejana,
tempayan, belangan tembikar sejak ribuan tahun merupakan bagian dari tradisi
suku-suku dayak di Kalimantan . Fungsi bejana
ini pun beraneka ragam, dari tempat penyimpanan beras, tuak dan benda-benda
lainnya sampai kepada tempat penyimpanan mayat. Bentuk dan motif yang ada pada
bejana ini pun bermacam-macam pula yang menentukan penggunaannya. Ia juga
merupakan lambang kekayaan dan status social seseorang. Di kalangan suku-suku
tertentu bejana merupakan salah satu syarat sebagai “mas kawin”.
5. system perladangan
Bennett
(1976;247) melihat bahwa adaptasi merupakan perilaku responsive manusia
terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat menata
system-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya agar dapat
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut
berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan
tertentu dan kemudia membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk
menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan
suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun social (Alland, Jr,
1975; Alland, Jr dan McCay, 1973; Moran, 1982, 1983). Sebagai suatu proses
mengatasi suatu perubahan, hal ini dapat berakhir dengan sesuatu yang
diharapkan. Oleh karena itu, strategi adaptasi merupakan suatu system interaksi
yang terus-menerus antara manusia serta antara manusia dengan ekosistemnya
(bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 76-77; Abdoellah, 1997:51-53).
Menurut McElroy dan Townsend
(1989), kemampuan suatu kategori individu untuk beradaptasi mempunyai nilai dan
makna bagi kelangsungan hidupnya. Semakin besar kemampuan adaptasi makhluk
hidup, semakin besar pula kelangsungan hidup makhluk tersebut. Sejalan dengan
pandangan ini, Sahlins (1968) berpebdapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses
dimana siatu kategori individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya. Oleh
karena itu, baik Sahlins maupun Anderson
(1973) berpebdapat bahwa adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang
berkesinambungan dan tidak akan pernah berakhir dengan kesempurnaan. Jadi
adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, karena lingkungan dan
populasi manusia selalu berubah (Hardesty, 1977 via Abdoellah, 1997).
Berdasarkan konsep adaptasi ini,
hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya harus bersifat sirkuler.
Artinya, tingkah laku manusia (kebudayaan) dapat mengubah suatu lingkungan, dan
sebaliknya lingkungan yang berubah itu memerlukan adaptasi yang selalu di dapat
diperbaharui agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di
lingkungan tempat tinggalnya (bdk. Rimbo G, dkk., 1998: 75-76). Oleh karena itu,
adalah releven apa yang dikatakan oleh Alland Jr (1975: 70), yaitu bahwa to combine the study of bebavioral
adaptation as human ecology (external adaptation) with the investigation of
mental structures (internal adaptation) and their manifestation in actual
behavioral system. Inilah yang disebut ekologi structural di mana ada
interaksi antara mind, behavior, and
ecological adaptation (1975:59).
Sementara itu, para pengikut
posibilisme kebudayaan berpandangan bahwa lingkungan selalu bersifat memberi kemungkinan
dan pembatasan-pembatasan bagi terbentuknya suatu bentuk kebudayaan tertentu
sebagai akibat dari proses adaptasi manusia terhadap lingkungan alam ataupun
lingkungan social budayanya (bdk. Sahlins, 1968). Pandangan ini merupakan
reaksi terhadap determinisme kebudayaan (bdk. Kaplan dan Manners, 1999; Ellen,
1991). Penganut determinisme lingkungan dan paradigma positivisme linear
berpandangan bahwa lingkungan menjadi penentu kebudayaan manusia (bdk. F.
Barth, 1968; Kaplan dan Manners, 1999; Ellen, 1991). Sedeangkan positivisme
memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan
fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, dimanipulasi, dan
digeneralisasi sehingga gejala didepan bias diprediksikan. Ilmu-ilmu social
yang menganut paham ini harus mengunakan metode ilmiah yang objektif dan bebas
nilai. Dengan perkataan lain, positivisme masyarakat pemisahan fakta dengan
nilai dalam rangka pemahaman objektif atas realitas social. Implikasinya adalah
bahwa proses perkembangan masyarakat dianalogikan secara linear (bdk. Rimbo G.
dkk., 1998).
Sisten
perladangan (berpindah) adalah budaya yang merata di kalangan penduduk asli Kalimantan . Walaupun ini tidak dapat dikatakan khas
dayak, karena system perladangan ini terdapat dimana-mana di Indonesia ini,
namun ada segi-segi yang khas dapat dikategorikan sebagai budaya suku dayak.
Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan adapt berladang:
-
permintaan izin dari kepala suku/kepala adapt;
-
pencarian hutan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan
tertentu, baik dari segi pengetahuan tentang alam, maupun dari segi kepercayaan
apakah hutan yang akan digarap itu akan mendatangkan kebahagiaan atau
kecelakaan;
-
upacara membuka hutan dan penggarapan selanjutnya
seperti tebang, bakar dan pembersihan;
-
penanaman padi dengan system “menugal” yaitu mengunakan
tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih
padi;
-
pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembukaan awal dan
penugalan biasanya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh penduduk;
pekerjaan ini dilakukan secara bergiliran ditiap-tiap lading. Dengan demikian
kebutuhan akan tenaga kerja dapat diatasi bersama;
-
kerja menuaipun dilakukan lagi secara gotong-royong;
-
peristiwa menugal dan menuai dianggap peristiwa
kegembiraan, dan sebab itu hamper selalu dibarengi dengan nyanyian dan
tari-tarian.
Walaupun ada
diantara suku-suku Dayak ini yang telah mempergunakan system persawahan, dengan
irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti dikalangan suku-suku Lun Daye di Karayam – Kaltim
dan suku Kalabit, namun pada umumnya
semua terbiasa dengan system perladangan. System perladangan ini sudah
memeperhitungkan siklus rotasi tanaman, dengan menanam kembalii bekas
perladangan dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi, karet dan pohon
buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar
kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudia
setelah masa daur 4-6 tahun baru diharap kembali. Oleh sebab itu perladangan (berpindah) tidak bisa
dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.
6. kedudukan wanita dalam masyarakat
System geologis
dalam masyarakat Dayak adalah parental, di mana garis keturunan ayah-ibu
dianggap sama. Ini berbeda dengan system patrilineal (garis keturunan
ayah/lelaki) ataupun system matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Karena
itu dalam masyarakat dayak pada hakekatnya kaum wanita mempunyai kedudukan yang
sama dengan kaum pria. Baik dalam kehidupan social maupun kehidupan religius
kaum wanita cukup menonjol peranannya. Bila dibandingkan dengan agama-agama
lain seperti Kristen yang memerlukan waktu yang panjang sekali untuk
membangkitkan wanita menjadi pendeta. Maka dalam masyarakat dayak sudah sejak
semulanya kaum wnaita berperan sebagai balian
(imam, prietress). Di kalangan suku Maayan umpamanya, jabatan balian kematian (wadian matei) hanya dijabat kau wanita.
Kedudukan saa
kaum wanita ii dijamin dalam hokum adapt, seperti dalam hokum adapt perkawinan.
Pada dasarnya perkawinan di kalangan susku dayak bersifat monogamy. Adanya
poligami adalah suatu keadaan yang tidak normal, keadaan yang luar biasa atau
diluar kebiasaan. Bila hal tersebut terjadi ada ketentuan adapt yang memberikan
keunggulan kepada istri pertama. Bila terjadi perjinahan, ada sanksi-sanksi
yang tegas dalam hokum adapt. Biasanya pengaturannya cukup rinci, seperti:
-
perjinahan dengan wanita yang sudah bersuami; inipun
dibedakan lagi antara wanita yang sudah punya anak dengan yang belum punya anak.
-
Perjinahan yang dilakukan oleh lelaki yang sudah
beristri hukumnya berbeda dengan lelaki yang belum beristri; dan banyak lagi
ketentuan-ketentuan adapt yang pada dasarnya hendak menjamin kedudukan wanita.
7. seni tari
Dalam
masyarakat tradisional, tdilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan
seremonial. Namun ada juga tarian yang diadakan pada kesempatan umum, seperti
pada waktu gotong-royong menanam padi dan waktu menuai. Tarian pada dasarnya
merupakan seleberasi kehidupan. Oleh sebab itu sejauh saya mengetahui, hokum
adapt dikalangan suku dayak melarang diadakannya tari-tarian selama masa
tertentu setelah peristiwa kematian. Pada akhir ritus kematian, yang menandakan
kembali ke kehidupan, diadakanlah pesta tari-tarian yang meriah.
Tarian
dikalangan suku dayak tidak dikhususkan kepada kaum spesialis penari, tetapi
pada dasarnya selalu merupakan tarian rakyat, di mana setiap orang,
laki-perempuan, tua-muda ikut berpartisipasi. Falsafah tarian itu selalu
menunjuk kepada perayaan kehidupan, kelepasan dari ketakutan terhadap maut
serta segala rasa duka pribadi; ia melukiskan klimaks dramatis dari suatu
transisi dari kematian ke kehidupan.
Sebagai tarian
rakyat, walaupun ada pola gerak tarian itu, namun setiap peserta bebas
mengadakan improvisasi-improvisasi menurut variasinya sendiri. Tidak ada gerak
yang didiktekan oleh bentuk tarian tersebut. Semua tarian dikalangan suku dayak
memperluhatkan wajah tarian popular, artinya tidak merupakan ungkapan feudal,
seperti tarian keratin dan sejenisnya. Kebebasan mengadakan inprovasisasi dalam
tarian memperlihatkan adanya aspek-aspek kompetitif yang kreatif.
Masa kini
sebagai akibat tuntutan kemoderenan, apa lagi dalam proses melakukan
parawisata, maka gerakan-gerakan bebas itu telah dikoreografikan menjadi
gerakan kelompok, yang dilakukan oleh para penari menurut pola geometris dengan
gerak-gerak bersama. Masalahnya tentu bagaimana menemukan jalan agar kekuatan
vital dan orisinalitas tarian itu dapat dilanjutkan dan dipertahankan.
ADAT
Orang Dayak juga sangat berpegang
teguh pada hokum adat atau adat-istiadat tradisional nenek moyang mereka yang
diwariskan turun-temurun (Schaerer, 1963; Ukur, 1971; Garang, 1974; Coomans,
1993; Schiller, 1997).
. “Sistem adat” sebenarnya merupakan satu keseluruhan sistem
yang berisi pengetahuan mengenai sifat-sifat
alam, pengetahuan mengenai moralitas dan etika manusia, pengetahuan
mengenai keterbatasan manusia, dan pengetahuan tentang bagaimana perilaku
manusia, kecenderungan-kecenderungan yang jahat dapat melukai manusia lain
sekaligus melukai alam, bersandar pada moralitas
keseimbangan.(Bagus S). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kata
“adat” yang sering dipergunakan oleh masyarakat Dayak tidak menunjuk pada
sesuatu yang monolitik atau sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih
besar, melainkan menunjuk pada suatu keseluruhan yang mungkin terwakili oleh
sesuatu yang merupakan bagian. Pada konteks-konteks tertentu kata adat dapat menunjuk pada aturan, ritual atau
sistem religi, namun secara keseluruhan pengertian mengenai adat adalah
kesatuan yang utuh dari semua itu.
Kepeimpinan lokal
Pada zaan dahulu,suatu benua
dipimin oleh kepala adat Besar yang
disebut Mangku,sedangkan luug dipimpin oleh kepal adat keci
(let-let mangku)dan petinggi atau kepala kamug menurut struktur kepemimpinan lokal.kepala adat kampung
memperhatikan soal-soal adat,hukum adat,peradilan adat di kampung,sedangkan
petinggi memperhatikan hah-hal di luar bidang adat tersebut.
Asal-usul sistem kepemimpinan tersebut bisa dijelaskan
dengan melihat asal-usul pembukaan suatu kampung atau pemungkiman .perintis
pertama dan para pengikutnya dalam membuka ladang di hutan primer biasanya
didirikan suatu lug atau perkampungan. Kemudian ,perintis diangkat oleh
pengikutnya menjadi kepala lug dan di beri gelar merbajag,sedangkan seluruh kerabat dan keturunanya di sebut
bajig.selain merbajag,ada penggawag ,yaitu pengawal merbajag dan fungsionaris lain yang
disebut mantig tatau yang bertugas
memperhatikan kepentingan dan kesejahteran warga benua atau lug.ada pula yang
disebut pemanuk yang berfungsi
sebagai penglima dan pemimpin perang suku (balaag).ada
lagi yang disebut pemancarang yang
dipilih dari kalangan bajig untuk
mengatur kehidupan adat dan peradilan adat(besarag-besagig).dalam
struktur kepemimpinan ini,ada orang secara khusus memperhatikan perladangan
warga kampung,yang disebut kepala padang
DAYAK KANAYATN
Terminologi untuk memberi nama
pada suku ini Dayak Kanayatn, sampai sekarang pada tataran peneliti antropologi
dan sebagian besar masyarakat akar rumput masih dipertanyakan. Penyebabnya
adalah bagi masyarakat akar rumput mereka menamai dirinya BAAHE, adapula yang
menamai dirinya Dayak Bukit, dan sebutan-sebutan berdasarkan aliran sungai.
Sedangkan pada tataran ilmiah (peneliti) tidak terdapatnya sebutan Dayak
Kanayatn pada dokumen-dokumen tentang suku-suku penghuni Kalimantan. Dari
berbagai dokumen hasil penelitian asal- muasalnya yang bisa diterima adalah
pada rumpun Dayak Selako . Sejarah sebutan Dayak Kanayatn masih menarik untuk ditelusuri,
terutama bagi generasi Dayak yang menyebut dirinya Kanayatn itu sendiri.
Dasar Pemikiran bahwa mereka
(baahe,bajare,banana’) juga Dayak Salako, menurut Simon Takdir adalah premis bahwa mereka yang berbahasa
baahe/banana’ dan ba ngape adalah Dayak Salako antara lain persamaan antara
praktek agama tradisional dan bahasanya.
Menurut
orang tua-tua duhulu,dan bahkan menurut orang yang berbahasa bakati sendiri
bahwa kanayatn itu adalah mereka yang berbahasa bakati;banyadu,bainyam,dan
dialek serumpun lainya. Proses pengambilan nama oleh Dayak Salako kabupaten
Pontianak (kabupaten yang dulu) terhadap nama kanayatn (kandayan) barang kali
berpatokan dari buku karangan seorang Missionaris (bukan antropolog) Pastor
Donatus Dunselman Ofm Cap,yang berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van DeTaal En
Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo (1949)
Penelitian
Dunselman banyak dilakukan di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu.saya tahu bahwa
daerah Tiang Tanjung dekat dengan desa-desa orang
bakati’(Jirak,Sebangki,Timpurukng) dan desa-desa orang
banyadu’(pentek,semade,perigi).kontak antara komunitas dalam hal
bahasa,pertukaran barang,perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang
Tanjung.barangkali Dunselman bertanya seperti ini “urakng ahe ba kita’ nian?”
Informan ini menjawab”Aku nian urakng Kanayatn”.Tanpa mengorek informasi lebih
jauh lagi Dunselman langsung mematenkan informasi itu.saya menduga informan itu
mengatakan kalau dirinya dulu orang kanayatn yang berbahasa bakati’/nyadu’tapi
sekarang menikah dan tinggal di Tiang Tanjung sehingga menjadi komunitas Tiang
Tanjung dan berbahasa baahe/banana’menurut saya disinilah letak kekeliruan itu
sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah.
Bukti
lain dari kekeliruan itu adalah artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas
Putra (1997) mereka mengatakan :
“
menurut beberapa sumber,pada tahun 1948 orang-rang yang berdialeg bakati’dan
banyadu’yang sekolah di Nyarumkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang
dari samalantan dan pahuman.menurut orang Dayak Bukati Talaga orang kanayatn
itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’mereka
misalnya tidak mampu mngucapkan kata-kata yang berakiran dengan:
utn.atn-ikng,-ukng-ekng,secara baik dan benar.dan yang tidak fasi berbahasa
ahe/banana itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek
Mpape,-banyadu’ dan balangin
Secara etnik dapat disimpulkan
bahwa mereka yang tidak fasih berbahasa baahe/banana adalah mereka yang
non-baahe/non-banana’yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak dapat
seperti penutur asli)dalam ucapan baahe/banana’-nya.jadi mereka non baahe/non
banana’ adalah Kanayatn.dengan demikian yang fasih berarti bukan kanayatn
(kandayan).
Agama Tradisional
Praktek
agama tradisional antara wilayah membagian Kabupaten yang dulu yaitu Kabupaten
Sambas dan Kabupaten Pontianak adalah sama secara umum.misalnya,mithos
Ne’Kulup,kosa kata untuk perangkat persembahan (Nyangahatn) misalnya
tumpi’poe’,apar,buis,pabayo,pantak,soor (salor),dan tempat-tempat mistis
seperti bukit Bawakng, Nek Bancina Tanyukng Bunga (bukit sungai Raya/Pasir
Panjang ) berada dikabupaten Sambas.
Bagi suku Dayak, Nyangahathn berarti
melantunkan mantra kepada Jubata, yang
merupakan bagian
dari rangkaian kegiatan religius mereka. Dalam tesisnya berjudul “Mantra
In Baliathn In The Dayak Kanayathn Siciety” Regina menulis
bahwa “ Baliathn in the DK
(Dayak) Society is the speech event in which a series of activity are done,
such bayanyai’, (discussing), nyangahathn (saying prayer), singing the mantra
by the shaman and his/her assistent, batarang mata (giving information) babatak
lala’ (telling that something ia taboo to be done or to be eaten) and basene’ ayo (returning the human’s spirit
at the closing of the ceremony) (1997:27). Dari kutipan ini dapat dikemukakan
bahwa Nyangahathn diterjemahkan
sebagai Saying Prayer, yang
berarti melantunkan doa atau berdoa.
Selain itu dari kutipan di atas juga terungkap bahwa dalam Baliathn, sebelum memulai membaca mantra
(singing the mantra), terlebih dahulu dilakukan Nyangahathn. Perbedaan
tahapan antara Baliatn dan
Nyangahatn, secara eksplisit menunjukkan
bahwa melantunkan mantra sebagai Nyangahatn, berbeda dengan melantunkan mantra
untuk tujuan Baliathn. Sedangkan menurut
Bahari Dinju, Dkk, Nyangahathn adalah wujut upacara religius. Ia mengatakan untuk mewujudkan kepercayaan
tersebut masyarakat Dayak Binua kaca’
selalu melaksanakan dalam bentuk
upacara religius. Dalam bentuk yang paling sederhana ungkapan religius ini dinamakan BABAMAKNG, yaitu ungkapan kepercayaan dalam pernyataan pendek
tanpa atau dengan kurban sederhana, yaitu nasi’ dua’ gare’ (nasi dan garam,
atau sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau dan rokok daun nipah). Sedangkan bentuk yang besar disebut
Nyangahathn.
Pengertian Nyangahatn sebagai tindakan saying mantra atau pelantunan
mantra, cenderung hanya memberikan
tekanan pada perlakuan terhdap unsur lisan dari
kegiatan tersebut. Padahal
kenyataannya tindakan melantunkan mantra hanyalah bagian dari keseluruhan
kegiatan, dan hanya dapat dilaksanakan apabila seluruh syarat dipenuhi yang
meliputi : sajian, tempat, waktu serta kemampuan khas tokoh atau petugas
nyangahatn yang disebut Panyangahatn.
Berdasar kenyataan tersebut,
istilah Nyangahatn tidak hanya menekankan pada pelentunan unsur lisannya,
melainkan melingkupi keseluruhan
kegiatan dan syarat yang mendukung dilaksanakan kegiatan Nyangahatn. Dengan
demikian Nyangahatn dapat dijelaskan sebagai tatacara melantunkan atau
menyampaikan ungkapan yang khas Dayak yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa
syukur, mohon rejeki perlingdungan dan
keselamatan kepada Awa pama (roh leluhur) dan Jubata (Subjek yang illahi), yang
disertai penyerahan kurban (palantar) dengan tatacara yang seragam, yang telah
ditetapkan oleh adat.
Berdasar penjelasan di atas, maka
istilah Nyangahatn dapat disejajarkan bersinonim dengan istilah upacara dalam bahasa Indonesia. Sesuai Kamus Bahasa
Indonesia, kata upacara memiliki
pengertian peralatan; tindakan atau
rangkaian perbuatan yang terikat peraturan adat atau agama. Sedangkan
Nyangahathn adalah rangkaian tindakan yang terikat pada adat suku Dayak. Dengan
demikian istilah Nyangahatn memiliki pengertian yang identik dengan upacara. Sedangkan unsur lisan yang dibacakan atau
dilantunkan disebut Sangahatn.
Dalam rangkaian kegiatan berladang suku Dayak, dikenal paling tidak
18 tahapan
Nyangahatn (upacara adat) sebagaimana
terlihat pada gambar mengenai Kronologis Kegiatan dan Upacara Adat perladangan Suku Dayak kanayatn
Kalimantan Barat berikut ini:
KEGIATAN NON
UPACARA KEGIATAN
BERUPA UPACARA
Baburukng
Ka’
Pantak
Pilih lahan
Ngawah (+ toto’ Pangalabur)
Nebas
Mengistirahatkan mata besi
Dan
mengeringkan tebasan
Nyangahatn Raba
Membakar
Balabuh Ka’ Pabanihan (atau
Balabuh Padapm Api
Nugal
Muakng Tabut
Ngamalo Lubakng Tugal
Ngiliratn (Muang Baho)
Merumput
Nyiakng Buntikng Laki (padi 3 bln)
Dan
Nyiakng Buntikng Bini (4 bln)
Persiapan/pakarangan
Macah Talo’ Padi Mampar
Ngikat/ngabat
Pihawakng (siap
Ngetam
Marantika (Penyerahan Panen
Perdana)
Ngarantuk (sentuhan pemberkatan)
Matahatn (Pesta)
Panen
Mabut Pihawakng
(membawa semangat padi pulang
ke dango- tempat menyimpan padi).
Naik Dango
(Herman Ivo, dkk.,1999:3)
Catatan:
Upacara Ngikat dilaksanakan pagi hari, dilanjutkan dengan
penetaman padi untuk keperluan persiapan pelaksanaan Upacara marantika pada
subuh keesokan harinya, yang dilanjutkan dengan Upacara Ngarantuk. Upacara
Matahatn, dilaksanakan beberapa hari setelah
Ngarantuk, agar masyarakat
memiliki waktu cukup melaksanakan pesta ini secara bersama.
Bahasa
Secara
isoglos ( garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata dalam
bahasa serumpun) menunjukan bahwa bahasa ba’ahe/banana’ dan bahasa
badameo/bajare adalah berasal dari satu rumpun. Secara umum kosa kata adalah
sama namun perbedaan ucapan dan beberapa kosa kata lainya karena hasil dari
penyesuaian terhadap lingkungan.saya membagi bahasa Salako ini menjadi tiga
ragam dialek (isolek) yaitu
Dialek Badameo/badamea/jare
|
Dialek Ahe /Jare
|
Ahe/janya
|
Bahasa Indonesia
|
|
Daerah
|
Binuo Bantanan,
Binuo Sakawokng
|
Sawak,Gajekng
|
Mampawah/Sa’iri
Sangah dan Menyuke
|
|
Kata/Kalimat
|
Dameo/Damea
Sio/sia
Na’un
|
Ahe jare
Sia
Naun
|
Ahe janya,Ape
Keatn,kea
Naung,naun
|
Apa katanua
Sini
Sana
|
Adanya dua hal yang sama diatas
menunjukan bahwa mereka berasal dari satu titik sentral,yaitu dari daerah
salako (austronesia) di kabupaten Sambas.
Perbedaan yang ada dalam praktek
agama tradisional dalam bahasa (isolek) karena hasil proses adaptasi terhadap
lingkungan serta kontak budaya (alkurturasi) dengan dunia luar.
Kontak
budaya dengan dunia luar telah terjadi antara daerah Pakana (Karangan) di
Mempawah Hulu dengan kerajaan Majapahit pada pertengahan tahun 1300 M.ketika
itu Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta yang dibantu oleh Patih Gajah Mada dan
membawa Majapahit ke jaman keemasaan. Perluasan daerah terjadi sampai ke
Kalimantan Barat yaitu kerajaan Sidiniang di Karangan. disini Gumantar dalam
mengenang Raja pendiri Majapahit,Raden Wijaya yang bergelar Kertajasa
Jayawardana (1293-1309) memberi nama putri nya Dara Irakng (Dara
Hitam).Kertajasa selain menikahi empat putri Kertanegara (Raja Singosari) juga
menikahi Dara Jingga yang bergelar Sjri Indresjwari,seorang putri dari kerajaan
Melayu yang dibawa Panglima kerajaan Singosari sebagai upeti.pada waktu telah
terjadi pengaruh ucapan bahasa dari bahasa Kawi (jawa kuno) kebahasa daerah
setempat.Misalnya
Bhs.Kawi
|
Dialek Ahe/Janya
|
Dialek Dameo/Jare
|
Bahasa Indonesia
|
1.Pahoman
2.Walu
3.Tineget/tenget
4.Marga
5.Walyan
6.Sunsang
|
Pahuman
Balu
Teget
Maraga
Baliatn
Sunsakng
|
Pahauman
Bau
Teget
Marago
Baiyotn
Sunsokng
|
Tempat sidang
Duda
Tolak
Jalan
Belian
Kepala kebawah
|
Daerah Kabupaten Sambas
(kabupaten yang dulu) mempunyai dialek dengan fonem/o/ dalam contoh 4 dan
6.dialek ini muncul karena barang kali pengaruh kerajaan Sriwijaya di Palembang
lebih kuat,Dialek tersebut lebuh mirip dengan bahasa Palembang,misalnya :ngpo
(ngapa),kamano (kemana,dst.
4.2. MENGURAI
IDENTITAS ETNIK MELAYU SAMBAS
Sosio Historis
Melayu sesungguhnya meliputi seluruh suku
bangsa yang ada di Nusantara . Tapi dalam perkembangan selanjutnya Melayu adalah orang yang beragama Islam dan
berbahasa Melayu. Merujuk pada Anwar Din
(2008:13-15),
Orang Melayu terbentuk
daripada gabungan pelbagai kumpulan etnik. Sebagahgiannya terdiri daripada
masyarakat watan di Semenanjung Tanah Melayu, iaitu orang Kelantan, orang
Terengganu, orang Kedah, orang Pahang, orang Johor, orang perak dan orang
Melaka. Sebahagian lagi berasal dari keturunan Jawa, Sunda, Bugis-Makasar,
Minangkabau, Banjar, mandailing, Krinci, Riau, Boyan, acheh dan Jambi. Selain
itu, terdapat komuniti-komuniti lain seperti orang Arab, India, Siam, Cina, dan
erofah beragama Islam yang menjadi Melayu. Asas penyatuan Melayu ialah agama
Islam dan bahasa melayu.
Teori tentang asal usul orang Melayu yang
agak relevan telah diberikan oleh Stamford Raffles sejak awal abad ke-19 lagi
(Anwar Din, 2008:15). Merujuk Anwar Din, Stamford Raffles begitu cemburu dengan
Islam, namun beliau mengakui sumbangan Islam dalam pembentukan orang Melayu. Menurut
beliau :
The most
obvious and natural theory on the malay origin is that they did not exist as a
separate and distinct nation until the arrival of the Arabians in the Eastern Seas . At the present day they seem to
differ from the more original nations, from which they sprung in about the same
degree, as the Chuliahs of Kiling differ from Tamil and Telinga nations on the
Coromandel coast, or the Mapillas of Malabar differ from the Nairs, both which
people appear in like manner with the Malays, to have been gradually formed as
nations, and separated from their original stock by the admixture of Arabian
blood, and the introduction of the Arabic language and Moslem religion.
…. I
cannot but consider the Malayu nation as one people, speaking one language,
though spread over so wide a space, and preserving their character and customs,
in all the maritime states lying berween the Sulu
Seas and the Southern Oceans, and
bounded longitudinally by Sumatra and the western side of Papua or New Guinea
(Raffles, 1816 : 103)
Dapat
kita rumuskan dari uraian tersebut bahwa Raffles telah mempunyai gambaran yang
jelas tentang ‘sempadan fizikal/batas wilayah’ kawasan penempatan bangsa
Melayu, yang kemudiannya kita kenal sebagai ‘alam Melayu’, ‘Dunia Melayu’, atau
‘Nusantara’.
Selain
dari konsep bahasa itu, Raffles juga menambahkan dengan memasukan konsep sejarah untuk bangsa Melayu. Kosepnya itu ialah Salalatus-Salatin
(Peraturan segala Raja-raja) sebagai sejarah Melayu. Selengkapnya Syamsul AB dalam Yusuf Ismail dan Rahimah, 2000: 194-195
mengatakan
“ Boleh kita rumuskan bahwa
Raffles, sebagai sarjana perintis, telah meletakan batu asas dan kerangka
epistemologi ilmu kolonial Melayu, bersendikan skema klasifikasi dan teori
sosial Erofah, melalui konsep ’bangsa Melayu berasaskan bahasa’,’konsep wilayah
Melayu’,’konsepsi sejarah Melayu’ dan ’konsep ras melayu’. Ringkasnya, apa yang
telah dilakukannya ialah mengasaskan sebuah ’ paradigma Raffles’.
Dalam
pengertian umum, berdasarkan kepada konstitusi Negara Malaysia , ”Melayu” adalah seseorang
yang berbicara serta berbudaya melayu dan beragama Islam (one who speaks Malay habitually, practices Melayu culture, and is a
muslim). Secara geografis suku bangsa muslim yang berbicara dan berbudaya
melayu adalah penduduk dari berbagai suku yang mendiami kawasan Asia Tenggara
yang membentang dari selatan siam, seluruh Malaysia, Brunei Darussalam, seluruh
kawasan Indonesia, dan sebagian Filipina Selatan termasuk Kepulauan Sulu.
Selain itu ada pengertian Melayu yang
lebih luas dan universal lagi dari pada pengertian Melayu secara agama, geografis
dan etnis. Konsep itu adalah ”Alam Melayu”
seperti yang dikemukakan oleh James T. Collins. Menurutnya konsep Alam
Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan pada peranan bahasa Melayu dalam
batas geografi Asia Tenggara. Dalam konsep ini melayu tidak hanya sebatas etnis
dan agama (Islam) melainkan semua komponen semua penduduk Asia Tenggara yang
bahasanya dipertuturkan dengan bahasa Melayu.
Dari konsep ini dapat ditarik kesimpulan umum bahwa orang-orang dari
etnis apapun di Asia Tenggara ini, sekalipun tidak beragama Islam, termasuk
kedalam keluarga besar Melayu asalkan mereka berbahasa Melayu. Melayu ini dapat
dikategorikan sebagai Melayu ”tua”.
Banyak perbincangan yang menyoalkan apakah
Melayu merupakan penduduk asli pulau Kalimantan. Untuk mengkritisi masalah ini
ada baiknya kita identifikasikan suku bangsa Melayu melalui tahapan
perkembangan kebudayaannya. Menurut Muhammad Yusoff Hasyim (2000) peradapan Melayu dapat dibagi kepada lima
periode besar, yaitu:
1. Periode awal, dimulai dengan zaman
pra-sejarah (zaman Batu dan Zaman Logam).
2. Periode pengaruh Hindu dan Budha, terutama
dalam bentuk sinkretisasi budaza asing dengan budaza setempat.
3. Periode pengaruh Islam, dalam bentuk
pengikisan pengaruh Hindu dan Budha serta perwujudan rasionalisasi pengaruh
Islam dengan pengaruh setempat.
4. Periode pengaruh Asing (Barat dan Timur),
yaitu masa penjajahan: Portugis, Belanda, Jepang, Inggris, dll.
5. Periode setelah Merdeka: di Indonesia
mulai tahun 1949, di Malaysia mulai tahun 1957, dan di Brunei Darussalam mulai
tahun 1984, dll.
Jika kita perhatikan periodesasi tersebut
di atas maka terlihat dengan jelas ternyata Melayu di Asia tenggara telah
sangat tua keberadaannya, dan boleh jadi asal mula Melayu “tua” itu
sesungguhnya ádalah penduduk paling pertama dan asli yang mendiami wilayah
Nusantara dan atau Asia Tenggara itu sendiri.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh
Muzium Sarawak melaporkan bahwa komunitas pertama yang mendiami pulau Kalimantan
ini adalah manusia di gua Niah yang telah hidup sejak 50.000 tahun sebelum
Masehi. Gua Niah merupakan satu kawasan studi arkeologi (kajipurba) yang
penting di wilayah Serawak, Malaysia timur, dan juga di Asia Tenggara, terletak
disekitar 110 km keselatan kota Miri. Goa ini telah diteliti oleh Muzium
Sarawak mulai tahun 1954. Banyak barang purba yang ditemukan didalam goa ini yang mengisyaratkan pernah di
huni oleh manusia antara 50.000 – 40.000 tahun sebelum masehi.
Menurut Munawar (2003:5) bahwa Suku Melayu di Kalimantan pada hakekatnya
terdiri dari orang Melayu asli yang berasal dari Sumatera atau Semenanjung
Malaka dan yang berasal dari orang-orang Dayak (Melayu-Dayak) dari proses
Islamisasi. Sekarang antara keduanya tidak lagi dapat dibedakan mana yang asli
dan mana yang bukan.
Dalam konteks Melayu
Sambas pun hal di atas juga
berlaku. Merujuk kepada Bakran Suni, et all (2007:152), bahwa asal usul Melayu
Sambas dapat dibagi kedalam dua
golongan, yang pertama adalah yang berasal dari keturunan raja/sultan Sambas
dan yang kedua adalah orang-orang dari suku bangsa lain yang memeluk agama
Islam dan bertutur dalam bahasa Melayu Sambas. Jadi dengan demikian asal usulnya
tidak tunggal dan tidak pun berazaskan keturunan. Yang Azas adalah beragama Islam dan berbahasa Melayu Sambas.
Berdasarkan dua perspektif tadi, yaitu periodesasi
Kebudayaan Melayu dan Manusia Gua Niah, dapat disimpulkan bahwa secara biologis
suku bangsa Melayu di Kalimantan, termasuk Melayu Sambas, tidak lain adalah
penduduk asli Kalimantan itu sendiri, yang pada periode awal mereka hidup
sebagai manusia purba baik dalam kulturnya maupun kepercayaannya.
Pada periode kedua peradaban Melayu telah
bercorak Hindu-Budha dengan hampir semua kerajaan Melayu tunduk dibawah
pengaruh kekuasaan Majapahit. Ketundukan itu dibuktikan dengan pemberian upeti
kepada Majapahit setiap tahun dalam bentuk satu tempayan (gentong) air pinang
muda. Periode ini berlangsung hingga abad ke-14 M. Sebagaimana kerajaan lain di
Kalimantan Barat, wujud dominasi kerajaan Majapahit di kerajaan yang ada di
Sambas adalah dalam bentuk keterlibatan langsung anak keturunan penguasa
Majapahit di kerajaan ini. Di dalam naskah Asal
Raja-raja Sambas dikemukakan nama-nama penguasa ”Sambas Tua” dan
keluarganya seperti Ratu Sepuda’, Mas Ayu Anom Kesukma Yudha, Mas Ayu Bungsu,
Pangeran Prabu Kencana dan Pangeran Mangkurat yang semua nama dan gelarnya itu
bercorak Hindu-Budha dan Jawa.
Setelah kekuasaan Majapahit runtuh dan
poros pengaruh regional nusantara berpindah ke kerajaan Melayu Johor yang
terletak di Semenanjung Melayu, kerajaan Sambas juga tunduk dibawah pengaruh
Johor, meskipun masih tetap bercorak Hindu-Budha.
Pada periode
ketiga Peradaban Melayu yang bercirikan Islam, Sambas telah mengukuhkan dirinya
sebagai bagian dari wilayah Islam yang dimulai dengan dideklarasikan kesultanan
(Kerajaan Islam) Sambas oleh Raden Sulaiman pada tahun 1040H/1630M. Proses
dakwah Islam berikutnya lebih banyak dilakukan dengan pendekatan pembauran,
baik dalam bentuk perkawinan maupun dalam bentuk asimilasi antar adat setempat
dan agama/kepercayaan yang ada dengan ajaran Islam. Dengan demikian ciri utama
kehidupan keagamaan masyarakat Sambas pada masa berikutnya ini ditopang oleh
dua penyangga tersebut, yaitu ajaran Islam dan kepercayaan/budaya setempat.
Oleh penguasa Sambas ajaran Islam dibakukan dalam bentuk Hukum Kanun sedangkan kepercayaan/budaya setempat dibakukan dalam Hukum Adat. Eksistensi dan saling
pengaruh antara kedua hal tersebut melahirkan tiga corak budaya mereka, pertama: Islam dan kepercayaan/adat
setempat sama-sama berlaku dengan masing-masingnya berdiri sendiri, Kedua: pengamalan Islam
Ditinjau
dari perjalanan sejarahnya, identitas Melayu Sambas yang terlihat sampai saat
ini merupakan hasil interaksi dan akulturasi beberapa kebudayaan besar yang
pernah hadir dan memainkan peranannya di Sambas dalam jangka waktu yang cukup
lama. Beberapa kebudayaan besar yang memiliki andil dalam pembentukan identitas
Melayu Sambas adalah sebagai berikut:
Pertama: Kebudayaan Pagaruyung, Mingkabau.
Diantara komunitas pendatang yang pertama datang ke Sambas adalah para perantau
dari Pagaruyung. Pendatang yang terkenal dengan tradisi merantau dan
berlayarnya ini sangat berpengaruh kepada semangat merantau dan berlayar pada
orang Melayu Sambas sejak jaman dahulu.
Kedua: Kebudayaan Jawa. Budaya ini
dipastikan ada pengaruhnya dalam pembentukan identitas Melayu Sambas. Sebagian
besar sistem religi dan kepercayaan (seperti kepercayaan kepada makhluk halus
semacam hantu), pola dan sikap hidup (seperti sifat sabar dan mengalah) serta
tradisi tertentu (seperti bepapas)
mirip dengan budaya Jawa. Pengaruh ini terjadi sebagai akibat dari perjalanan
sejarah Sambas yang dalam waktu yang cukup lama, sejak pertengahan abad ke-14,
kekuasaan Jawa telah masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sambas.
Bahkan dapat dikatakan masa awal perpolitikan dan pemerintahan di Sambas adalah
dimulai dan berada di bawah pengaruh langsung kerajaan Majapahit yang bercorak
Hindu/Budha.
Ketiga: Kebudayaan Melayu Brunei dan Melaka. Kebudayaan
ini bercorak Islam dan terpusat di Istana. Melayu Sambas pernah besar dengan
kesultanannya yang gemilang lebih dari tiga abad (1631-1943). Sejarah kekuasaan
di Sambas merupakan simbolisasi kebanggaan yang melegenda, khususnya di
Kalimantan Barat kesultanan Sambas adalah satu-satunya kesultanan tua yang
masih dapat disaksikan peninggalannya secara utuh sampai dengan saat ini.
Keempat: Kebudayaan Bugis. Eksistensi orang Bugis
di Sambas dimulai dengan aktivitas perdagangan mereka ke Sambas dan
disediakannya areal pemberhentian mereka di sekitar pelabuhan Sambas yang
disebut dengan Kampung Bugis. Di antara kebudayaan Bugis yang diserap oleh
Melayu Sambas adalah bahasa, terutama terlihat pada penamaan atau sebutan
tertentu dengan tambahan kata ”ng”
seperti main = maing, masin = masing,
kain = kaing.
Menurut
Husna Asmara, (2002:2), Menyikapi
Tekad Mufakat Masyarakat Kalimantan, Pengertian Melayu Sambas ini merujuk
kepada eksistensi suku bangsa Melayu yang ada di Sambas sejak berdirinya
Kesultanan Sambas (1040H/1631M) sampai dengan sekarang ini. Tanpa menyertakan
”Melayu Tua” seperti yang dikonsepsikan oleh Muhammad Yusoff Hasyim berkenaan
dengan Melayu Zaman Pra-sejarah (Zaman Batu dan Zaman Logam) dan Melayu Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha (1992:2-3), serta yang dikonsepsikan oleh Prof. James
T. Collins tentang The Prehistory of
Malay dan Early Malay (1998:vii)
sehingga olehnya digagas perluasan makna Melayu dengan konsep ”Alam Melayu”
(Yusriadi, 2003:vi-vii).
Apabila kemudian kita memadukan berbagai
data-data tersebut di atas dengan etnik asli
yang berdiam di wilayah yang sama sebagaimana yang pernah di rilis oleh ahli-ahli
antropologi, maka kemungkinan besar
sebagian besar etnik Melayu Sambas
berasal dari etnik yang sekarang ini disebut sebagai etnik Selako, etnik Lara, etnik Borneo asli lainnya[1].
Lihat diagram rekonstruksi dibawah ini.
Diagram
1.
Hibriditas identitas yang
terjadi di Sambas ini sebenarnya menarik untuk dikembangkan sebagai wacana
multikulturalisme di Sambas. Selama ini masyarakat Sambas dikonstruksi sebagai
masyarakat majemuk yang (hanya) terdiri dari tiga suku bangsa dan budayanya
yakni Melayu, Dayak dan Cina. Konstruksi ini demikian kuat didukung oleh Pemda
Kabupaten Sambas, dalam Gelar Budaya Multietnis di Alun-alun Keraton
Alwatzikhoebillah Sambas tanggal 20 Desember 2005 hanya menampilkan kesenian
dari tiga suku bangsa tersebut. Sambas sebenarnya lebih kaya akan keberagaman
budaya karena ada komunitas-komunitas etnis dan budaya lain yang pantas
diperhitungkan seperti Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Madura dan etnis lain serta
bentuk-bentuk budaya hibriditas yang merupakan hasil dari proses akulturasi
budaya berbagai kelompok etnis.
2.2. Sosio Budaya Melayu
Apabila membicarakan tentang budaya, dua persoalan pokok yang tidak boleh
diabaikan ialah cara hidup dan sikap sesebuah masyarakat itu terhadap sesuatu
perkara seperti pendidikan, ekonomi, politik, seni dan adat istiadat. Budaya
yang masih terpelihara adalah warisan tradisi yang sudah menjadi darah daging seperti
kenduri kendara, majlis perkahwinan dan sebagainya yang memerlukan penglibatan
saudara mara serta amalan tolong-menolong. Kamus Dewan Edisi Keempat 2005
mendefinisikan sosiobudaya sebagai hubungan masyarakat dengan budaya. Hubungan
ini adalah seperti cara hidup, adat istiadat dan lain lain.
Menurut Hannerz (1992:3)
menyatakan bahwa…. To study culture is to study ideas, experiences, feelings,
as wel as the external forms that such internalities take as they are made
public, available to the senses and thus truly social. For culture, in the
anthropological view, is the meanings which people create, and which create
people, as members of societies. Culture is in some way collective. Selanjutnya
Anwar Din (2008:33) menyatakan budaya itu tercakup di dalamnya tentang cara
hidup sesuatu masyarakat, tamadun, peradabannya dan kemajuan akal budinya. Dan
pengertian cara hidup itu pula, mencakup hal-hal tentang cara berfikir, adat
istiadatnya, kesenian dan hal-hal mengenai kehidupan mereka seperti cara
berekonomi, cara berpolitik, cara belajar dan lain-lain. Budaya adalah sesuatu
nilai dan pegangan hidup, gabungan dua unsur budi (sesuatu yang luhur, murni
dan suci) dan daya (keupayaan, kemampuan dan kekuatan yang terangkum di dalam
akal, jasmani dan rohani). Kekuatan akal semata-mata tanpa kekuatan jasmani
tidak dapat melahirkan bangsa yang maju, positif dan dapat memenuhi perubahan
dalam semua aspek kehidupan. Hassan
Ahmad (dlm Dewan Budaya, 1996), memberikan pendapatnya tentang budaya. Menurut
beliau, mempunyai budaya bererti mempunyai adat, mempunyai peraturan atau sistem
hidup, mempunyai moral dan etika. Kebudayaan adalah tanda bahwa manusia boleh
berfikir, mempunyai perasaan dan daya cipta.
2.2.1.
Kehidupan Masyarakat Melayu Sambas
Dari aspek budaya, masyarakat Melayu Sambas mewarisi budaya yang berasal
dari asal suku bangsa yang membangunnya seperti Bugis, Banjar dan suku bangsa
lainnya yang beraga Islam dan menyebut dirinya Melayu serta diakui sebagai
Melayu. Hal utama yang penting bahwa budaya tersebut adalah berteraskan Islam.
Tauhid dan prinsip-prinsip Islam mendasari setiap aspek kehidupan sama ada
kehidupan individu, berkeluarga, ekonomi, seni, pendidikan dan lain-lain.
Bagaimanapun, terdapat sedikit perbedaan di antara segala jenis gagasan atau
idea yang berpunca daripada agama Islam dengan yang berpunca daripada kehidupan
tempatan masyarakat Islam sendiri terutama sebagai kesan simbolik ataupun
perlambangan terhadap alam ghaib yang ganjil dalam kehidupan. Segala gagasan
yang bukan Islam ini dinamakan adat atau kepercayaan (Zainal Keling, 1989:33).
Masyarakat Melayu tradisional di daerah Sambas masih juga mengekalkan
amalan yang dianuti oleh golongan tua sejak zaman berzaman. Amalan ini
mencakupi pelbagai aspek sosiobudaya yang dianggap unik dan tersendiri.
Masyarakat Melayu Sambas juga mempunyai ikatan kekeluargaan dan kekerabatan
antara satu sama lain, sama ada melalui darah keturunan mahu pun melalui
perkahwinan. Hasil kajian daripada penduduk kampung Sasak mendapati
anak-anak mereka yang sudah berkahwin akan membina rumah secara berdekatan atau
berkelompok dengan keluarga mereka yang terdekat. Lagipun pada masa dahulu,
perkahwinan dengan sepupu atau dengan
penduduk kampung itu sendiri menjadi amalan dan budaya masyarakat
Melayu di daerah Sambas.
Kaum kerabat merupakan orang yang amat penting dalam kehidupan mereka. Kaum
kerabat bukan saja dikenali sebagai kaum keluarga tetapi juga sebagai sahabat
karib karena mereka merupakan teman yang paling rapat dan tempat mendapat
bantuan sama ada dalam keadaan suka ataupun duka. Misalnya, apabila ada
peristiwa yang penting seperti perkahwinan, bersalin, khatam Al-Quran,
berkhatan, kematian dan kemalangan. Kaum kerabat akan berkumpul bersama bagi
meringankan beban keluarga yang berkenaan. Bantuan dan pengaruh kaum kerabat
bukan saja dapat dirasakan pada ketika tertentu, bahkan dapat dirasakan
sepanjang hidup seseorang.
Satu lagi aktiviti atau amalan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Melayu
Sambas untuk merapatkan lagi hubungan kekeluargaan ialah bersilaturahmi pulang
ke kampung halaman. Bersilaturahmi pulang ke kampung bermaksud menziarahi kaum keluarga atau
sahabat handai dalam jangka masa satu
hingga dua hari dan paling tidaknya sempat makan dan minum.
2.2.2.
Adat dan Kepercayaan
Agama Islam dan adat tradisi dianggap sama penting dalam kehidupan
masyarakat Melayu Sambas. Ketaatan dan kepatuhan kepada kedua-duanya dipercayai
dapat menjamin keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka baik di dunia mahupun
di akhirat. Sebaliknya, ketidakpatuhan terhadap ajaran agama atau adat
dipercayai akan mengakibatkan kecelakaan atau malapetaka seperti sial, rezeki
berkurangan, wabak penyakit, kemalangan, kemandulan, kematian, gangguan makhluk
halus dan sebagainya.
Adat dan kepercayaan masyarakat Melayu Sambas menjangkau berbagai aspek
kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan agama. Dalam masyarakat
Melayu Sambas, adat memainkan peranan yang penting dalam menangani hal ehwal
masyarakat Melayu Punca utama adat adalah berupa kaedah-kaedah kehidupan
seharian yang muncul secara langsung daripada rasa keadilan yang tertanam di
kalangan masyarakat. Oleh itu, Penghulu atau Ketua Kampung dalam
penyelesaiannya bukan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi
menjelaskan bagaimana keputusannya terhadap perkara tersebut membawa
keharmonian dan ketenteraman di dalam masyarakatnya.
Sementara itu, kepentingan
aspek keagamaan menjadi pegangan masyarakat Melayu Sambas. Masyarakat Melayu Sambas khususnya telah lama
menganut agama Islam iaitu sekitar abad ke-15[2].
Sehingga kini agama Islam mempunyai pengaruh yang kuat dan menebal dalam
kehidupan mereka. Prinsip agama Islam dijadikan pedoman hidup dan sebagai
masyarakat beragama Islam, mereka bersembahyang lima waktu sehari, berpuasa
dalam bulan Ramadhan, membayar zakat dan fitrah, menunaikan fardhu haji,
mengaji dan berkhatam Al-Quran, mengharam daging babi dan minuman keras serta
menyambut perayaan seperti Hari Raya Puasa, Hari Raya Haji dan Maulidur Rasul.
Bicara
dalam kontek Melayu Sambas tentang upaca ritual adat/keagamaan pada dasarnya
lebih dekat pada ajaran, budaya (culture) agama Islam. Hari-hari besar agama
Islam merupakan hari-hari besar bagi masyarakat Melayu Sambas. Meskipun dalam
implementasinya terdapat pengaruh budaya orang-orang Melayu sebagai budaya
murni etnis yang bukan dari ajaran agama. Sehingga dalam pengamalannya memunculkan
“gaya atau model” seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (sebagai dua kelompok
organisasi keagamaan dalam Islam yang besar). Peringatan bernuansa Islamy yang
sering diperingati/dilaksanakan diantaranya adalah peringatan tahun baru Islam
( 1 Muharam), isro’ mi’raj Nabi ,puasa bulan ramadhan, nuzulul qur’an, hari
raya 1 syawal dan 10 zulhijjah dan sebagainya. Umumnya peringatan-peringatan
bernuansa keagamaan masih diperingati masyarakat Melayu Sambas dengan berbagai
model dan pola tersendiri dari berbagai daerah.
Pendek kata, pengaruh agama Islam boleh dirasakan wujud dalam semua
peringkat kehidupan khususnya seperti adat perkahwinan, adat bersalin dan
kelahiran dan adat kematian. Bagi menjaga kepentingan agama Islam dalam
kehidupan mereka , masjid dan surau serta pegawai-pegawai agama dilantik. Pegawai
agama, orang alim seperti Imam, Khatib dan Bilal serta Penghulu dan Ketua
Kampung diberi penghormatan yang tinggi dan kepada merekalah penduduk bertumpu
untuk mendapat penerangan dan penyelesaian agama dan adat istiadat serta
masalah kehidupan seharian.
Adat berkhatan juga merupakan tradisi yang diamalkan di daerah ini sedikit
masa dahulu. Disebabkan
terdapatnya kemudahan kesihatan dan perubatan moden, adat ini semakin
dilupakan. Dalam majlis berkhatan, kanakkanak yang hendak berkhatan, hendaklah
disuruh mandi di sungai untuk berendam. Berendam adalah istilah yang
digunakan oleh masyarakat Melayu Sambas yang bermaksud mandi dalam jangka masa
yang agak lama di sungai iaitu tiga hingga empat jam. Upacara ini dilakukan
kononnya untuk membina semangat dan sebagai cabaran pertama untuk menempuh alam
remaja. Selain itu, upacara ini dilakukan kononnya untuk menghilangkan rasa
sakit ketika berkhatan.
Amalan mandi Safar sangat
menebal dikalangan masyarakat Melayu Sambas sekitar tahun 60an hingga tahun
70an. Air yang digunakan ialah air yang telah direndam
dengan ayat-ayat suci Al-Quran dan jampi serapah (ditulis pada kertas putih)
yang diberi oleh Imam atau Khatib di kampung tersebut. Upacara mandi ini biasa
dilakukan oleh sesebuah keluarga pada sebelah malam purnama bulan Safar. Tujuan
mandi ini kononnya untuk menjauhkan segala kecelakaan dan kesialan dalam hidup
serta dijauhkan daripada berbagai jenis penyakit dan diberkati dalam hidup.
Kepercayaan
dan pengamalan terhadap nilai-nilai setempat tidaklah merata pada seluruh warga
kampung. Kepercayaan dan pengamalan warisan tradisi setempat sangat kuat di
lingkungan keluarga para pewaris tradisi itu. Dapat dikatakan bahwa, semakin
dekatnya hubungan kekeluargaan seseorang dengan pewaris tradisi semakin kuat
mereka memegang kepercayaan dan amalan tradisi begitu juga sebaliknya. Bahkan,
ada juga penduduk yang hampir seluruhnya meninggalkan kepercayaan dan amalan
tradisi; terutama yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun
begitu tidak terjadi pertentangan di masyarakat.
RUJUKAN
Abdul
Aziz, Rahimah & Mohamed Yusoff Ismail, 2000. Masyarakat, Budaya dan
Perubahan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Anwar Din, 2008. Asas
Kebudayaan dan Kesenian Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Bakran Suni, et all, 2007.
Sejarah Melayu Sambas, Lembaga penelitian Universitas Tanjungpura Pontianak.
Barth, Frederick . 1969. Ethnic Group and Boundaries, Boston :The
Little Brown and Company.
Barker,
Chris. 1999. Cultural Studies, Teori
dan Praktek, Jogjakarta: PT Bentang Pustaka.
Collins, J.T. & Awang Sariyan, 2006. Borneo and the Homeland of
The Malays, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur .
Collins, J.T. ,2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Sejarah Singkat.Obor,
Jakarta .
Coomans, Mikhail, 1987.
Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
Dove, Michael R, 1988. The
Real and Imagined Role of Culture in Development, case studies from Indonesia , University
of Hawaii Press , Honolulu .
Duman, J.1975. Dalam J.U.Lontaan, Sejarah
Hukum Adat dan Adat Kebiasaan di Kalimantan Barat, Jakarta : Bumi Restu.
Enthoven, J.J.K. Bijdragen tot de Geographie van Borneo ’s
Wester afdeeling. Supplement to Tijdschrift Aardrijkskundig Genootschap,
1901-03. Leiden
: Brill, 1903.
Eriksen, Thomas Hylland, 1995. Small Places, Large Issues An
Introduction to Social and Culture Anthropology, Pluto Press,
London-Sterling-Virginia.
Geertz, Clifford,
1973. The Interpretation Of Cultures, Basic Books, Inc., Publishers, New York .
Hulten,
Herman Josef, 1992, Hidupku di antara
suku Daya, Gramedia, Jakarta
Ishak bin Saat, 2006.
Sejarah Sosiobudaya Melayu, Karisma Publication, Shah Alam.
King, Victor T. 1993. The Peoples of Borneo ,
Blackwell, Oxport & Cambridge.
King, Victor T & Michael Hitchook, 1997. Images of Malay-Indonesian Identity, Oxport University
Press, Oxport-Singapore -New York .
Kuhr, E.L.M, 1995.
Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV Uitgeverij, Leiden .
Koentjaranigrat.
2000. Kebudayaan mentalitas dan
pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaranigrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Jakarta: djambatan.
Leahy, Louis. 1985. Manusia
Sebuah Misteri: Suatu Kajian Tentang
Filsafat Manusia , Jakarta: PT.
Gramedia.
Madrah, Dalmasius, 1997.
LEMU Ilmu Magis Suku Dayak Benuaq & Tunjung, Puspa Swara & Yayasan Rio Tinto, Jakarta.
Maunati, Yekti, 2004, Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan, LkiS, Yogyakarta.
Rademacher,J.C.M., 1780,
Beschrijving van het Eiland Borneo, voor zo Verre het Zelve,
tot nu Toe, Bekend
is. VBG 2, p.107-148) in second Batavia
ed.(1823),43-69.
Shamsul Amri Baharudin,
2007. Modul Hubungan Etnik, Universiti Teknologi Mara, Shah Alam.
Suni, Bakran, et all, 2007,
Sejarah Melayu Sambas, Universitas
Tanjungpura, Pontianak.
Takdir, Simon. 2003. Suku
Dayak Selako, Belum Publikasi
Veth, P.J. Veth. Borneo’s
Wester-afdeeling, geographisch, statistisch, historisch, voorafgegaan door eene algemeene
schets des gansch eilands (Zaltbommel: Joh. Nomanen Zoon, 1854)
4.3. MENGENAL KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADURA:
Madura dapat dikatakan identik dengan
islam, meskipun tidaksemua penduduk memeluk agama Islam. Di Kabupaten Sumenep
pada tahun 2000, pemeluk islam sebanyak 968.772 orang, Kristen sebanyak 916
orang, Katolik 947 orang (kabupaten
Sumenep dalam angka 2000:98). Namun demikian adat-istiadat orang Madura
sangat dipengaruhi agama Islam.
Citra madura
sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Seseorang yang sudah Haji dianggap
telah memperoleh kesempurnaan hidup. Hampir setiap rumah orang madura memiliki
bangunan langgar atau surau sebagai
tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur
halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang islam ketika melaksanakan ibadah
sholat (Wiyata, 2002:44).
Di Madura, sebutan untuk ulama atau kiai
seperti diatas adalah Keyae. Seorang
kiai adalah orang yang tinggi
pengetahuan agamanya. Biasanya seorang Keyae, memiliki atau memimpin sebuah
pondok pesantren. Tetapi, dapat juga karena ia memiliki darah keturunan dari
seorang Kiai. Sampai saat ini, unsure
keturunan itu merupakan factor penentu penyebutan seseorang sebagai
Kiai. Apalagi factor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang
karismatik, maka anak-anaknya, secara otomatis, juga akan disebut oleh
masyarakat Madura sebagai kiai. Ia akan mudah mempengaruhi dan mengerakkan
masayarakatnya.
Agama Islam dan ulama di Madura memiliki
tempat yang khusus dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebagai suatu kelompok
etnik, masyarakat Madura memiliki sentimen keagamaan islam yang
tinggi.Identitas keagamaan islam yang kuat dikalangan masyarakat Madura berakar
dari proses histeris yang panjang. Proses peng-Islaman penduduk local mulai
meluas dan intensif sejak pertengahan abad ke-16 ketika raja-raja local di
Madura mulai memeluk agama Islam. Sejalan dengan meningkatnya perdagangan antarwilayah pada masa lalu,
penyebaran agama islam di Madura juga meningkat pesat. Daerah-dareah Madura
yang memiliki perkembangan potensi perdagangan yang cukup pesat, seperti
Sumenep, tumbuh menjadi daerah islam yang sangat penting jika dibandingkan
dengan wilayah Madura yang lain .
Ulama atau keyae memiliki tempat yang
spesifik dalam masyarakat madura, tidak hanya karena proses histories seperti
di atas, tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur pemukiman penduduk
yang ada. Kondisi-kondisi demikian,
kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas
ulama. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan,
pembangun sentiment kolektif keagamaan, dan penyatu elemen-elemen sosial atau
kelompok kekerabatan yang tersebar karena factor-faktor ekologis dan struktur
pemukiman tersebut. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan jika ulama atau
kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan memiliki pengaruh yang besar dalam
kehidupan orang Madura (Kuntowijoyo, 1993:85-87). Karena kepatuhannya kepada
kiai yang sangat kuat, seorang ulama muda dari Bangkalan, KH. Khozim Karim,
menyebut masyarakat Madura sebagai “masyarakay kiai”.
“Dalam masyarakat madura, kiai paling dihormati
dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kiai memiliki harta dan
penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kiai akan lebih dihormati kalau ia
memiliki charisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu
agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan di laksanakan umatnya (orang
madura). Pejabat dan orang kaya di sini, masih hormat kepada kiai. Setelah kiai,
pejabatlah yang dihormati masyarakat madura. Ia symbol keberhasilan sukses
duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena
kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat
akan mencium tangan kiai. Orang kaya dihormati kalau ia baik. Artinya, kekayaan
yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik.
Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, di
kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap
seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, ilmunya (ilmu dunia), dan
baru hartanya.”
Hubungan kiai dan umatnya
sangat dekat, dan kiai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa
yang dikatakan oleh seorang kiai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan
kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak. Masuknya
kiai dalam kegiatan politik praktis yang cukup meningkat di Madura pada masa
reformasi ini sering memanfaatkan mobilitas umat untuk kepentingan politik
praktis mereka.
Madura Barat Vs Madura Timur
Antara kiai di Madura Barat
(Bangkalan) dan kiai di Madura Timur (Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) agak
berbeda (Mutmainnah, 2002). Seluruh kiai di Bangkalan masih terikat dalam
jaringan kekerabatan yang luas dengan ulama karismatik di Jawa dan Madura,
yakni Sjaikhona Kholil. Ia dalah pendiri pondok pesantren Sjaikhona Kholil di
Bengkulu pada tahun 1875. Di pesantren itu, pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari atau
sesepuh NU, alm. K.H. As’ad Sjamsul Arifin, dan bung karma pernah belajar ilmu
agama. Karena aspek histories itu, hubungan antar kiai bersifat hierarkis. Baik
secara sosial maupun secara politik (kekuasaan local), kiai memainkan peranan
yang dominan dalam kehidupan masyarakat Bangkalan. Dalam kekuasaan politik
local, peranan birokrat dan lembaga legislative local, serta blater bersifat subordinasi terhadap
kedudukan kiai.
Di Madura timur, secara umum,
hubungan sosial antar kiai tidak diikat oleh jaringan kekerabatan yang luas
seperti di Bangkalan. Hubungan antar kiai tidak bersifat hierarkis.
Massing-masing kiai bersifat otonom, khususnya dalam hubungan dengan umatnya
dan dengan lembaga sosial yang lain, seperti birokrat dan legislative. Dalam
sturktur sosial, kiai memiliki hubungan sosial yang dominant dengan umatnya,
tetapi dalam sturktur politik/ kekuasaan local, kiai di Madura Timur merupakan
salah satu kekuatan sosial politik, disamping lembaga eksekutif (bupati) dan
lembaga legislative (DPRD). Distribusi kekuasaan mereka relative seimbang,
tidak saling mendominasi.
BLATER
Sebagaimana diuraikan di atas, blater merupakan kelompok sosial yang
cukup berpengaruh di kalangan masyarakat Madura. Dalam pengertian local, blater adalah orang yang memiliki
kecenderungan berperilaku kriminal, seperti mencuri, berjudi, main perepuan,
membunuh, dan mabuk-mabukkan (Wiyata, 2002:254). Mereka ditakuti masyarakat
karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis,
saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic.
Tidak sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun
mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.
MORALITAS
Dalam hal moralitas, umat
melihat kiai secara konservatif. Pandangan ini, biasanya, berbeda dengan
pandangan umum masyarakat di luar pesantren atau di luar orang Madura.
“Rata-rata istri kiai di Madura adalah 4 orang. Jarang ada perempuan yang
menolak lamaran kiai, tetapi jumlah yang demikian jarang sekali. Dikawini oleh
kiai, besar barokahnya bagi orang perempuan. Bagaimana orang perempuan tidak
mau? Kiai itu kan memiliki harta benda atau kekayaan yang cukup, dihormati
orang, dan apa lagi jika kiai baik dari segi fisik (tampan) dan psikis? Bagi
keluarga perempuan, menikah dengan kiai juga untuk mengangkat status sosial
keluarganya dimata masyarakat. Banyak istri seorang kiai, tidak mengubah
persepsi masyarakat terhadap dirinya”.
Selain kiai masih memainkan
peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai
“gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada
pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam
ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah,
seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative
masyarakat atau umatnya. Tidak ada
larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal
ini adalah kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha
ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai
itu bertani.Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh
santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang
lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan
memperoleh barokah kiai.
Jadi, kiai tidak menanggani
kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kiai sendiri yang terjun berdagang
atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya,
jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang
lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap
martabat kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima
seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya
petani atau pedagang yang sesungguhnya.
DUKUN
Berdasarkan hasil penelitian Joordan, sebagaimana
dikutip Kuntowijoyo (1993:84), menyebutkan bahwa kegiatan pelayanan kesehatan
di Puskesmas belum secara optimal di manfaatkan oleh masyarakat Madura karena
masih sangat kuat menggunakan system pengobatan medis tradisional yang
dilakukan oleh dukun atau kiai. Dukun dan kiai memiliki peranan utama dalam
usaha penyembuhan dan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, kegagalan fungsi
kelembagaan kesehatan modern itu, secara antropologi, disebabkan para petugas
kesehatan kurang memiliki pemahaman yang baik terhadap struktur sosial
masyarakat Madura sehingga mereka kurang mendayagunakan potensi sosial (budaya)
local untuk mencapai keberhasilan program-program pembangunan di bidang kesehatan
masyarakat.
PEMBANGUNAN PEDESAAN
Dalam perkembangan berikutnya,
sejalan dengan perubahan-perubahan sosial (budaya) yang terus berlangsung, kiai
telah memainkan peranan yang konstruktif dalam pembangunan pedesaan. Hasil
penelitian Mansurnoor (1990) menunjukkan bahwa kiai di daerah pedesaan telah
mengambil peranan yang partisipatif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Ia
sering dimintai pertimbangan tentang pelaksanaan suatu program pembangunan.
Pelibatan partisipasi dan dukungan kiai terhadap pelaksanaan pembangunan
sebenarnya bukanlah hal yang sulit jika saja para perencana pembangunan dan
birokrat pemerintah memiliki strategi kebudayaan yang tepat dalam menyampaikan
program-program tersebut secara jelas dan terbuka kepada kiai.
Proses kegiatan pembangunan
Madura, sampai saat ini, menunjukkan bahwa para kiai sebenarnya, memiliki sikap
adaptif yang baik terhadap program pembangunan. Resistensi terhadap pembangunan
tidak akan terjadi jika saja tujuan pembangunan tersebut untuk kepentingan kemaslahatan
umat dan tetap menjaga sikap agamis masyarakat Madura. Dalam menyikapi gejala
pembangunan di Madura, kiai Muhammad dari Bangkalan menyatakan bahwa prinsip
utama para kiai adalah dalam rangka amar
ma’ruf nabi mungkar, yaitu menyerukan perbuatan kebaikan dan menyingkirkan
kemungkaran (Tojjib, 1998:139). Pandangan-pandangan kiai patut dipertimbangkan
dalam kebijakan pembangunan Madura, mengingat kedudukan dan peranan sosial yang
mereka miliki sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat madura.
Menurut pandangan orang
Madura, pembangunan merupakan suatu hal yang mesti terjadi. Islam sendiri tidak
menyukai kemiskinan. Yang mereka harapkan adalah manfaat nyata pembangunan bagi
orang Madura. Masyarakat
madura dapat menyaksikan dan merasakan sendiri manfaat pembangunan bagi
kehidupannya. Jika itu yang terjadi, niscaya mereka tidak akan menolak
dilaksanakannya pembangunan di Madura. Mereka percaya bahwa pembangunan memang
menguntungkan kehidupannya dengan segenap identitas keislamannya. Dalam perspektif
ini, pembangunan Madura adalah pembangunan untuk kepentingan masyarakat madura
yang memiliki citra santri sangat kuat, bukan untuk menyingkirkan masyarakat
dan kebudayaan madura yang agamis (Islam).
HARGA DIRI
KEDUDUKAN ISTRI DAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT
Dalam studi tentang carok, Wiyata (2002:170-185)
mengungkapkan bahwa harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik
jika ia dipermalukan (malo) atau
dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura, menanggung beban malu merupakan
pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok
merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan
kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya “lebih baik
mati daripada hidup menanggung malu” menjadi referensi dan perbuatan carok.
Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah
satu penyebab carok yang potensial
adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang telah bersuami
tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan
perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan symbol
kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau
perempuan ditapsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.
Dasar pembela terhadap istri (abilabi binek) tersebut ditemukan oleh
penyair Madura, D. Zawawi Imron (1986), dalam ungkapan, “saya kawin dinikahan
oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan
agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya
(Islam), sekaligus menginjak-nginjak kepala saya”. Karena itu, martabat dan
kehormatan istri merupakan perwujudan dari martabat dan kehormatan suami karena
istri adalah landasan kematian (bantalla
pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama
dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Wiyata, 2002:173).
Berikut ini disajikan sebuah
petikan peristiwa carok di Bangkalan,
Madura, yang disebabkan oleh masalah perempuan, yakni mengganggu istri orang
lain (lihat Wiyata, 2002: 89-107).
Di suatu petang menjelang matahari terbenam, atau tepatnya sekitar pukul
17:30 WIB, hari kamis, ketika orang-orang di desa Rombut sedang menunggu saat
berbuka puasa, terjadi peristiwa corak
antara Mat Tiken (45) dengan dua orang yang masih saudara sepupu, yaitu
Kamaluddin (32) dan Mokarram (38). Tiken yang diketahui telah menjalin hubungan
cinta dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Kamaluddin sangat cemburu dan
marah sehingga berniat harus membunuh Mat Tikan. Untuk melakukan niatnya itu,
Kamaluddin minta Bantu MOkarram. Keduanya mendatangi Mat Tiken dan langsung
menantang carok. Mat Tiken melayani
tentangan itu sehingga terjadilah carok
di antara mereka.
Karena Mat Tiken adalah seorang jagoan,
corak corak tersebut berakhir dengan
kematian Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok
di sekujur tubuh mereka, terutama di bagian perut. Usus mereka terburai keluar
karena bacokan Mat Tiken tepat mengenai bagian tengah perut memanjang dari arah
samping kiri ke samping kanan. Mat Tiken sendiri hanya menderita luka-luka
ringan. Pada bahu sebelah kiri terdapat luka bacok sepanjang kira-kira 10 cm
melintang dari bagian atas depan ke bagian belakang. Selain itu, jari kelingking tangan kiri hamper
putus. Setelah dirawat hamper sebulan luka-luka itu sembuh. Senjata tajam yang
dipergunakan oleh Mat Tiken untuk menewaskan Kamaluddin dan Mokarram berupa
sebilah celurit dari jenis dang-asok,
sedangkan yang dipergunakan oleh Kamaluddin dan Mokarram adalah dari jenis are’takabuwan.
Kaum perempuan Madura memiliki
nilai khusus dalam masyarakat dan kebudayaan Madura. Nilai khusus tersebut
berwujud adanya perhatian yang lebih kepada anak-anak perempuan dari pada anak
laki-laki. Perhatian yang khusus dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan
Madura, seperti struktur pemukimannya, system pewarisan, dan sosialisasi.
Integrasi atas unsur-unsur tersebut sekurang-kurangnya dapat dipakai untuk
mengidentifikasi kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat Madyra.
PEMUKIMAN
TERKAIT DENGAN PERKAWINAN
Pola-pola pemukiman
tradisional orang Madura terwujud dalam taneyan
lanjang (halaman panjang). Deretan rumah yang terbagun dalam kesatuan
permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan. Masing-masing
penghuninya terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak-anak perempuan itu
menikah, suami akan menetap di rumah yang telah disediakan oleh orang tua perempuan
(matrilokal). Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah setelah mereka
menikah dan menetap dirumah yang telah disediakan oleh orang tua istrinya.
Dalam hal ini, anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga
mereka atau keluarga intinya (Wiyata, 1989). Struktur pemukiman tradisional itu
lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan Madura dalam
keluarganya.
PEWARISAN
KEDUDUKAN PEREMPUAN LEBIH TINGGI
Demikian pula dalam hal
pewarisan harta keluarga. Sekalipun
orang Madura beragama Islam, norma pewarisan menganut system adat setempat.
Harta warisan dibagikan ketika orang tua masih hidup. Pola-pola umum yang
berlaku dikalangan masyarakat Madura, hak perolehan harta warisan antara anak
laki-laki dan anak perempuan sesuai asas se
lake’ mekol, se binek nyo’on. Artinya, bagian anak laki-laki sebanyak satu pikulan, sedangkan anak perempuan satu sunggian. Sekurang-kurangnya, bagian anak laki-laki dan perempuan
relative sama. Perempuan memang memperoleh bagian rumah dan pekarangannya,
sedangkan laki-laki memperoleh bagian tanah pekarangan atau tanah tegalan yang
nilainya setara atau lebih banyak daripada bagian yang diperoleh anak
perempuan. Jika tidak demikian, dapat mengundang percecokan untuk berebut harta
warisan antarkerabat setelah kedua orang tuanya meninggal.
Dalam studi kasus di
Posongsongan, Sumenep, ditemukan fakta bahwa pada umumnya, anak perempuan akan
memperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah
dan tanah pekarangan, secara umum, diberikan kepada anak perempuan dan tidak
boleh dijual kepada siapapun. Tanah lading atau tegalan boleh dijual kepada
keluarga sendiri. Dalam pembagian warisan ini, jarang sekali terjadi anak
laki-laki diberi bagian lebih banyak. Bagian anak perempuan ini lebih banyak
karena perempuan akan menjadi tempat berpulangnya (pamoleanna) saudara laki-lakinya jika terjadi percerayan atau kasus
yang lainnya (Sidiq, 1992:49).
Fakta-fakta di atas merupakan
unsur sosial budaya yang dapat di identifikasikan untuk melihat kedudukan
penting perempuan dalam masyarakat Madura. Dalam perspektif antropologi
simbolik, nilai penting perempuan terkait erat dengan eksistensi kehidupan
orang Madura. Mitologi-mitologi tradisional di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia,
menunjukkan bahwa perempuan simbolisasi dari tanah (bumi), kekayaan, dan
kesuburan.
Interpretasi simbolik atas
cerita rakyat Madura tentang kekalahan Dempo Awang dari Raja Sumenep, Joko
Tole, telah menunjukan hal yang sama, yakni penghormatan terhadap perempuan
Madura. Dalam kanteks cerita tersebut, perempuan merupakan simbolisasi dari
negeri, tanah, dan kekayaan alam orang Madura. Jika dalam cerita tersebut Joko
Tole berhasil dikalahkan oleh Dempo Awang dan gadis-gadis Madura berhasil direnggut
keperawanannya oleh Dempo Awang, hal itu merupakan simbolisasi dari “penaklukan
tanah, negeri, kerajaan, dan kekayaan Madura” oleh orang asing. Jika kondisi
demikian yang terjadi, niscaya madura dan rakyatnya berada dalam “penjajahan”
orang lain. Pembelaan Joko Tole merupakan cerminan untuk menegakkan martabat
dan harga diri orang Madura serta sebagai upaya mempertahankan sumber-sumber
orang Madura. Oleh karena itu, perempuan harus dijaga kehormatannya dengan
mempertaruhkan nyawa.
PANDANGAN TERHADAP TANAH
Perempuan dalam cerita
tersebut tidak dapat dimaknai secara harfiah. Demikian juga, pernyataan penyair
D. Zawawi Imron, bahwa focus harga diri orang (suami) Madura terletak pada
perempuan (istri), tidak dapat dimaknai secara harfiah. Pernyataan itu
selalu bermakna simbolik. Makna yang terkandung didalamnya adalah berkaitan
dengan tanah dan kesuburan yang menjadi sumber kehidupan orang Madura. Dalam
perspektif ini, sekali pun tanah di Madura kurang subur, tandus dan kering,
nilai tanah tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomis yang diperoleh dari
tanah tersebut. Tanah menjadi tempat bergantung hidup orang Madura, karena
tidak ada lagi pilihan harta kekayaan lain dan kelangkaan sumber daya alam
sehingga nilai tanah menjadi tinggi atau berharga di mata orang Madura.
Oleh sebab itu, tanah juga
ikut menentukan harga diri oang Madura. Nilai tanah akan semakin besar bagi
kehidupan orang madura jika didalam tanah terebut dikubur para leluhur mereka.
Di daerah pedesaan madura, leluhur dan kerabat keluarga yang telah meninggal,
biasanya, dikubur di sekitar pekarangan rumah. Ikatan kekerabatab yang kuat
dimanifestasikan juga dalam ikatan leluhur, yang diwuijudkan dengan menguburkan
para kerabat ditanah pekarangan yang dimiliki. Oleh sebab itu, merupakan
pantangan besar bagi orang madura menjual tanah pekarangan, tanah tegal, dan
rumah kepada orang lain. Selain malu terhadap tetangga, tindakan tersebut dapat
mengakibatkan tidak selamat hudupnya (ecapok
tola atau keneng tola), anak bisa
cacat, sering sakit, atau keluarga tidak akur (Samsu, 1992: 2). Jika rumah dan
tanah warisan (tanah sanghkolan)
dijual, maka ia akan dicela oleh masyarakat. Tindakan demikian dianggap aib
sosial. Masyarakat akan berpikir, “sudah tidak dapat menambahi, harta kekayaan
orang tuanya malah dijual”. Para leluhur diyakini masih dapat mempengaruhi
kehidupan di dunia. Oleh karena itu, tanah, leluhur, dan kehidupan orang madura
memiliki hubungan yang erat (gambaran secara lebih detail disajikan pada subbab
tersendiri dalam bab tiga).
Tanah dimadura merupakan unsur
yang dapat menimbulkan konflik sosial atau carok.
Konflik demikian itu, biasanya, timbul berkaitan dengan pembagian warisan dalam
keluarga. Jika terjadi carok antara
kerabat biasanya dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah pembagian
warisan keluarga. Sementara itu, konflik-konflik sosial yang melibatkan pihak
lain, seperti Negara dan pemerintah, biasanya terjadi karena klaim histories
bahwa tanah tersebut merupakan milik leluhur mereka, seperti ditunjukkan dengan
adanya kuburan pera leluhur, sebagian terjadi di ladang-ladang garam, karena
diatas tanah tersebut terdapat kuburan leluhur sehingga tidak dapat digusur
untuk lokasi pembangunan fisik; atau karena nilai ganti rugi yang kecil.
Seorang informan, Pak Najib
(49), warga sumenep, memberikan pandangan tentang bagaimana orang madura
memperlakukan para leluhur mereka, seperti berikut ini.
“Yang ada didalam tanah itu adalah keluarga saya atau leluhur saya. Setiap
tahun atau setiap saat, saya nyekar dan
berdoa sebagai bentuk penghormatansaya kepada ahli kubur. Ini adalah hal yang
sacral. Makam ini tidak bisa dipindah karena memindahkan makam sama dengan
melakukan penghinaan terhadap harga diri atau martabat keluarga saya. Kalau
makam ini terkena proyek pembangunan, seperti pembangunan jalan raya, maka arah
jalan itu yang harus dipindahkan, bukan makamnya. Makam tidak bisa dipindah.
Tabu itu”.
Menurut Pak Najib, tradisi nyekar dan membaca doa, seperti surat
yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih
hidup didunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang di
kirimkan itu diyakinkan akan berdampak positif timbale-balik, baik yang masih
hidup didunia, maupun yang sidah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang
yang masih hidup akan selamat dari siksa dunia dan akhirat, sedangkan yang
sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah
dan rakhmat allah SWT. Kedua belah pihak saling mendoakan. Dikatakan Pak Najib,
berdoa di atas makam lebih berharga (afdol)
dari pada mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar. Makan yang pertama,
merupakan tempat menyatunya jasad manusia dan tanah, lebih sacral dari pada
makam yang baru ditanah lain, tempat tulang belulang itu dipindahkan.
Sebab-sebab lain yang dapat
mengganggu harga diri orang madura selain masalah kehormatan perempuan, tanah,
dan leluhur, adalah masalah air, penghinaan terhadap agama, dan pelecahan
terhadap anggota keluarga, apa lagi jika hal itu dilakukan di tempat umum
(dibandingkan juga, Wiyata, 2002:89-168; Kusumah, 1992:7). Dengan kondisi alam
yang tandus dan kering, air merupakan sumber daya alam yang sangat langka (scarcity resources) di madura. Air
memiliki makna simbolik dan kedudukan sosial yang penting sebagai sumber
kehidupan orang madura. Secara simbolik, air adalah identik dengan eksistensi
kehidupan orang madura. Oleh sebab itu, gangguan terhadap air merupakan ancaman
terhadap eksistensi kehidupan mereka. Dalam perspektif simbolik, perempuan, tanah,
leluhur, dan air merupakan kesatuan integral dan menjadi sumber kehidupan utama
masyarakat.
Masalah air menjadi perhatian
utama orang madura ketika musim kemarau tiba. Kebutuhan air akan meningkat
karena pada musim ini air bukan hanya dipakai untuk konsumsi keluarga,
melainkan juga untuk ternak dan penunjang pertanian tembakau. Oleh sebab itu,
perebutan air sering terjadi di kawasan yang dapat diakses oleh public, seperti
sungai dan mata air. Akibat lebih jauh dari perebutan tersebut adalah timbulnya
konflik sosial dalam bentuk carok.
Agama menjadi sumber konflik
sosial karena kedudukannya yang penting sebagai salah satu unsure pembentuk
identitas etnik madura. Sebagai
unsure identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang
madura. Oleh karena itu, pelecehan terhadap agama atau perilaku yang tidak
sesuai dengan agama, seperti menganggu kehormatan perempuan dan mengkritik kiai serta mengkritik kerilaku keagamaan
orang madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang madura.
Gambaran tentang hubungan
antara keagamaan dan penghormatan terhadap kiai
yang sekaligus mencermunkan hadga diri orang madura, dapat disimak dari
penjelasan Pak Yusron (55), warga sumenep, berikut ini.
Kejadian di suatu desa yang berada diwilayah kecamatan Blito, sumenep. Sebelumnya, memang sudaj ada masalah
politik antara orang NU dengan orang PAN. Orang NU kan kebanyakan masuk PKB.
Orang Muhammadiyah masuk PAN. Bagi orang madura, khususnya yang awam, orang
muhammadiyah itu dianggap bukan muslim. Pak Hasyim, disamping sebagai orang
muhammadiyah, juga aktif di PAN. Ia sering mengkritik kiai dalam kehidupan beragama orang madura. Pada saat ranting PAN
dibentuk, rumah Pak Hasyim itu dilempari batu, kotoran orang, kotoran kambing,
dan pohon mangga yang ada didepan rumahnya ditebang oleh masyarakat setempat.
Sebelumnya, memang sudah ada masalah dengan
masyarakat setempat, yakni ketia nenek Pak Hasyim meninggal dunia. Pada saat
itu, sepetlah pemakaman, Pak Hasyim mengumumkan dengan berbagai alasan
sosial-agama kepada para pelayat yang masih ada di kuburan, kalau neneknya itu
tidak ditablili dan dibacakan surat
yasin. Masyarakat kaget mendengar ucapan tersebut dan tersinggung harga
dirinya, yang terkait dengan identitas keagamaan mereka. Apa lagi di rumah Pak
Hasyim ada pernyataan, “Islam agamaku dan Muhammadiyah gerakanku”. Bagi
masyarakat madura, kiai jangan
dikritik macam-macam dan agama islam yang benar bagi orang madura adalah agama
islam berfaham ahlussunnahwal jama’ah
yang dipraktikkan oleh orang-orang NU. Selain paham tersebut, orang madura
sulit menerima paham lain sebagai ajaran agama islam.
Menjaga nama baik keluarga
juga merupakan bagian dari menjaga harga diri orang madura. Setiap orang madura
tidak dapat menerima jika ia menyaksikan salah satu atau lebih anggota
kerabatnya dipermalukan atau dianiaya orang lain, apalagi jika hal itu
dilakukan ditempat umum. Tindakan seperti itu dianggap sebagai penghinaan
terhadap harga diri orang madura. Oleh sebab itu, dengan segala cara orang
madura akan menegakkan harga dirinya, jika menghadapi perilaku orang lain yang
dapat melukai perasaannya.
Pak Najib bercerita bahwa pada
bulan agustus tahun 2002 yang lalu, ia sedang panen tembakau. Harga tembakau
pada panen tahun ini sangat merugikan petani, padsahal kualitas tembakau sangat
baik. Suatu hari, seseorang datang kerumahnya dan merniat membeli tembakau
tersebut. Pak Najib menawarkan harga tembakau per kg Rp 8.000,00. Pedagang
menawarkan harga Rp 7.000,00. Setelah berlangsung tawar-menawar, akhirnya
disepakati harga pembelian Rp 7.000,00. Tanpa berpikir panjang tembakau yang
dimiliki Pak Najib dijual semua kepedagang tersebut.
Penjualan tembakau tersebut
tanpa sepengetahuan dan berkonsultasi dengan istri.
Ketika itu, istrinya sedang keluar rumah berkunjung ke kerabatnya. Setelah
tahu bahwa tembakau dijual dengan harga Rp 7.000,00, istrinya marah-marah dan
membacok tangan Pak Najib singga keluar darah. Keduanya terlibat percecokkan
yang mengundang para kerabat dan tetangganya. Istri menuntut diperhatikan dalam
transaksi penjual tembakau, karena ia juga berjasa dalam proses produksi
kegiatan pertanian tembakau. Istri dan kaum perempuan adalah pihak yang paling
bertanggung jawab untuk menyirami dan menyiangi tanaman tembakau.
Tindakan istri yang menganiaya suaminya
seperti yang dialami keluarga Pak Najib tersebut telah memancing kemarahan dari
kerabat Pak Najib. Mereka merasa dihina oleh istri Pak Najib dan terjadi
pertengkaran yang seru dan hampur berujung pada perceraian. Berkat kesigapan
keluarga dan akan-anak Pak Najib, akhirnya peristiwa tersebut dapat didamaikan.
Jika peristiwa tersebut tidak dapat didamaikan, menurut Pak Najib, akan terjadi
carok antar keluarga.
Ikatan kerabat yang erat
merupakan salah satu unsure yang ikut mendasari pembelaan orang madura terhadap
anggota keluarganya yang disakiti atau dihina oleh orang lain. Pembelaan itu
tidak hanya ada dalam lingkup suami-istri seperti kasus Pak Najib tersebut,
tetapi juga dalam lingkup kerabat yang lebih luas. Jika seorang keponakan
disakiti atau dihina oleh orang lain, niscaya para kerabatnya juga akan
membelanya. Pembelaan itu tidak semata-mata untuk menjaga ikatan kekerabatan,
tetapi juga untuk menjunjung tinggi martabat keluarga.
C. Tanah, Makam, Leluhur, dan kekerabatan
Sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutabing
ludira, demikian pepatah (jawa) lama yang dikiranya sangat tepat untuk
mengabarkan arti penting sejengkal tanah. Orang akan mempertahankannya dengan
taruhan nyawa. Tanah memang mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, terutma pada masyarakat agraris. Tanah memeiliki nilai produktif
dan nonproduktif. Tanah produktif, biasanya, berupa tanah-tanah sawah dan
tegalan yang digarap dan dijadikan sumber pendapatan keluarga. Tanah
nonproduktif, pada umumnya, berupa tanah pekarangan untuk tempat mendirikan
rumah sebagai tempat tinggal, disamping ada pula yang dibuat makam bagi
keluarganya.
Kondisi tanah dimadura, pada
umumnya, kurang menguntungkan untuk dioleh. Selain sarana irigasi masih sangat
minim, tanah di madura termasuk tanah kapur bercampur lempung yang menyerap air
(higroskopis), serupa dengan tanah perbukitan kapur disepanjang pantai utara
pulau Jawa yang secara geologis masih satu deretan (De Jonge, 1989:5-6). Dengan
demikian, tanah pertanian dimadura lebih banyak berupa tegalan yang ditanami
palawija, seperti singkong, kacang-kacangan, kedelai, dan umbi-umbian.
Secaya umum tanah dimadura
tidak memiliki produktivitas tinggi. Akibat sumber daya alam yang terbatas itu,
sebagaimana telah dideskripsikan pada bab 2, banyak orang madura memilih
melakukan migrasi dan bertempat tinggal diluar pulau madura. Akibat arus
migrasi yang deras tersebut, timbul spekulasi pendapat disebagian orang luar
madura bahwa orang madura tidak mementingkan tanah. Namun, pada kenyataannya
tidak demikian, Orang madura memiliki pandangan tertentu terhadap tanah. Pada
kenyataannya, dalam kehidupan orang madura, tanah mempunyai dimensi yang amat
luas, sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam kehidupannya. Tanah
tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi, tetapi juga dilihat dari nilai-nilai
lain yang menyertainya seperti nilai religius dan nilai kekerabatan yang
terkait satu sama lain. Gambaran keseluruhan mengenai pandangan orang madura
terhadap tanah, pada dasarnya, merupakan gambaran kosmologi yang terkait dengan
segala aspek kehidupan yang lebih luas.
1.Tanah dan Leluhur
Masyarakat madura sebagaimana
telah dideskripsikan pada subbab A bab 3, dikenal sebagai pemeluk agama islam
yang kuat. Dapat dikatakan bahwa islam merupakan identitas orang madura
(Maulana, 1992). Agama islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial,
seperti tampak pada cara berpakaian. Mereka (Kaum lelaki) selalu mengenakan songko’ (kopiah) dan sarung, terutama
pada saat menghadiri upacara ritual, sholat jumat, bepergian, atau menerima
tamu yang belum dikenal. Menonjolnya cirri keislaman orang madura itu ditandai
pula oleh banyaknya pondok pesantren, dan lembaga itu menjadi tujuan utama
adalah menuntut pendidikan keagamaan. Namun, dalam kategori tertentu, islam
dimadura tidak dianggap islam murni, tetapi disebut “islam local” (Woodward,
1989: 69-70), yaitu islam yang bercampur adat, seperti abangan atau agama Adam
di Jawa (Geertz, 1989).
Selain melaksanakan ajaran
agama dengan taat, orang madura mempertahankan kepercayaan asal yang
mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan
perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara
keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam
melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman
kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh kiai, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau
tanah tegalnya.
Orang madura pada dasarnya
berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri
sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang
bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam
transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup
lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh
berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam.
Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak
terpisah dari dunia gaib. Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta
segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang
teratur dan harmonis.
Tanah mempunyai ikatan dengan
roh nenek moyang (leluhur) dan lebih dari itu, tanah merupakan bagian dari
kekuasaannya. Menurut kepercayaan orang madura, roh nenek moyang datang pada
setiap malam jumat untuk melihat keadaan rumah, tanah pekarangan, tanah
tegalan. Roh itu datang tiga kali dalam satu malam, yaitu pada saat menjelang
magrib, pukul satu, dan pukul tiga dinihari. Saat pergantian siang dan malam (sorop are atau para’ cumpet are) segala roh halus keluar, termasuk yang jahat.
Oleh karena itu, anak-anak tidak boleh keluar rumah, terutama bagi giginya
belum tanggal, karena dianggap sangat berbahaya. Melalui permohonan kepada roh
nenek moyang diharapkan segala ganguan gaib itu dapat ditangkal. Untuk menyambut
kedatangan roh leluhur mereka, dupa dibakar menjelang magrib, boleh dilakukan
oleh orang laki-laki ataupun perempuan. Pembakaran dupa dapat dilakukan
dihalaman rumah (taneam) dan didalam
rumah, yang penting asap pembakaran dupa itu merata di seluruh bagian tersebut.
Didalam rumah pembakaran dupa dilakukan di salah satu tiang (sesaka) yang terletak ditimur laut (mordhaja). Biasanya, diatasnya
diletakkan pusaka atau kitab suci Al-Qur’an.
Tujuan dari pembakaran dupa
pada tempat-tempat tersebut, pertama adalah untuk memohon berkah dari roh
leluhur yang menjaga tanah yang mereka tempati. Kedua, berkah diharapkan dari
orang yang membuat pusaka yang diletakkan disalah satu tiang rumah, karena
pembuatannya pasti yang sakti. Ketiga, Agar dapat berkah dari kanjeng nabi
Muhammad SAW. Doa yang disampaikan adalah doa selamat agar seluruh keluarganya
senantiasa mendapat perlindungan dari-Nya.
Pada dasarnya, secara gaib
tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh nenek noyang
yang dulu memiliki tanah itu. Orang Madura sangat percaya bahwa roh-roh orang
yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah. Oleh karena itu, orang yang
menguasai tanah harus mengetahui asal-usul tanah itu, karena hal itu berkaitan
pengiriman doa dan permohonan berkah. Secara nyata tanah itu dimiliki oleh
seseorang, tetapi secara gaib roh nenek moyang menyatu di dalam tanah itu dan
sekaligus mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut.
Hubungan tanah dengan roh
leluhur juga terlihat dalam kebiasaan orang madura mengubur jenazah. Setiap
keluarga luas (extended family) pada
umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Kuburan itu biasanya, terletak pada
bagian timur tanah pekarangan atau ditanah tegalnya. Menurut cerita masyarakat,
pada zaman dahulu biasanya orang menguburkan jenazah di dalam rumah. Kemudian,
dalam perkembangannya jenazah dikubur di pekarangan dan, sekarang pada umumnya
dibagian dari tanah tegalnya. Namun, semua itu tidak menutup kemungkinan untuk
mengubur orang yang telah meninggal di tanah kuuran orang lain, tentunya
setelah memohon izin kepada pemilik tanah.
Karena hubungan tanah dengan
roh leluhur yang begitu erat, penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama
halnya dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu, pantang bagi mereka untuk menjual
tanah pekarangan maupun tanah tegalan kepada orang luar (bukan saudara). Selain
malu terhadap tetangga, penjualan tanah tersebut dapat mengakibatkan ecapok tola atau kenning tola
(tidak selamat atau sial). Jika salah seorang anggota keluarga ingin menjual
tanahnya, sebagai pembeli biasanya adalah salah seorang anggota keluarga
batihnya. Seandainya tidak ada, saudara sepupu atau dua sepupu juga boleh, yang
penting pembeli tersebut masih ada hubungan darah. Di dalam melakukan transaksi tidak menggunakan
istilah membeli tetapi mengganti. Semua itu untuk menetralisasi keadaan, baik
terhadap tetangga maupun yang lebih penting terhadap nenek moyang. Aturan penjualan tanah tegalan lebih lunak
bila dibandingkan dengan tanah pekarangan. Hal itu dikarenakan, tanah
pekarangan dipandang mempunyai ikatan hubungan emosional yang lebih kuat,
mengingat ditempat itu didirikan rumah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian,
secara rasional, adanya bagian kuburan pada tanah tegalan atau pekarangan akan
mengakibatkan penjualan tanah, yang menurut adat, pantang untuk dilakukan.
Mereka biasanya, menjual tanah untuk menambah biaya naik haji.
Hubungan antara tanah dan roh
leluhur tampak pada upacara ritual pembuatan sumur. Perlengkapan yang
diperlukan untuk upacara tersebut adalah tajin
(bubur) tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam, serta air kopi dan dupa. Tajin putih melambangkan kesucian niat
orang yang membuat sumur, tajin hijau
adalah lambing wana air itu ditujukan kepada Nabi Qidlir (juga Khidlir atau
Khaidir) sebagai penguasa air, dan tajin warna hitam diartikan sebagai penolak
bala. Adapun air kopi dan dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang yang
menjaga tanah yang akan digali agar mendapat perlindungan.
Hubungan antara tanah dan
leluhur tampak lagi dalam upacara pembuatan rumah. Sebelum pondasi dipasang,
sebuah upacara selamatan diselenggarakan yang dipimpin oleh seorang kiai atau
pemika agama. Selamatan diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang turut
membantu bekerja. Doa yang diucapkan kiai selaku pemimpin upacara ditujukan
kepada tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar mendapatkan berkah
dan tidak mendapatkan kangguan apa pun terhadap rumah yang sedang dibangun.
Berdasarkan pandangan orang
madura, rumah dan tanah merupakan sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan
karena diatas tanah tersebut rumah berdiri. Begitu pula hubungan rumah dengan
manusia .
. Keberadaan makam yang
kecil-kecil dan tersebar dipekarangan rumah penduduk banyak diketemukan,
khususnya didaerah pedesaan. Apalagi tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa
jenazah harus dikubur disuatu tempat yang sudah ditentukan. Alasan yang paling
mendasar mengenai pemakaman jenazah di tanah sendiri adalah agar arwah (roh)
orang yang meninggal dapat mnyatu dengan tanah sehingga keberadaannya lebih
tenang dan tidak bergentayangan.
Masyarakat madura memandang
bahwa antara ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama islam dan melestarikan
kepercayaan asli dapat berjalan secara bersama. Mereka percaya bahwa roh orang
yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu dan
lingkungannya. Roh leluhur dapat dihubungi untuk maksud tertentu, seperti
membuka lahan baru untuk areal pertanian ataupun mendirikan rumah baru. Bahkan,
orang yang akan pergi keluar daerah, baik mencari pekerjaan ataupun belajar,
biasanya terlebih dahulu, mendatangi makam leluhurnya untuk memohon doa restu
dan perlindungan.
Makam dan kuburan keramat
mempunyai persamaan, yakni ditempat tersebut terdapat jenazah yang dikubur.
Namun, secara spesifik, diantara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal
jenazah siapa yang tertaman disitu. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur
adalah angora keluarga biasa. Meskipun makamnya setiap malam jumat dikunjungi
ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tapi semasa hidupnya dia tidak
memiliki kelebihan dalam ilmu kanuragan atau bidang lain yang bermanfaat bagi
hajad hidup orang banyak. Adapun kuburan kemamat, arwah (roh) yang bersemayam
disitu dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu
tidak hanya bermanfaat bagi ahli rawisnya, tetapi juga diperlukan untuk
melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut
buju’ yang “kesaktiannya” sangat
diperlukan bagi kepentingan public (public
fungcation).
Kepercayaan orang madura
terhadap buju’ cukup tinggi. Hampir
di setiap kampung (dusun) terdapat jubu’,
yang sangat fungsional (sebagai axis
powers) untuk menjaga keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat
setempat. Mengenai kesaktian buju’ di
masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan
melalhi legenda atau cerita rakyat (folklore).
Isi legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh
tersebut merupakan pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian
menjadi cikal bakal atau pembabat desa, atau dapat pula sebagai orang yang
sakti ketika hidup, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah orang
sembarangan.
Roh penjaga buju’ dipercaya oleh masyarakat madura
sebagai arwah orang mati swecara suci, yang dipanggil oleh tihan untuk melawan
kekuasaan jahat. Dengan demikian, roh tersebut diharapkan melindungi manusia
dari pengaruh roh-roh jahat. Kuburan orang seperti tiu, biasanya sering
dikunjungi oleh ahli warisnya untuk dimintai pertolongan dan perlindungan dalam
kehidupannya. Jika roh didalam kubur itu diyakini memiliki kekuatan yang besar,
maka roh itu juga menjadi milik masyarakat luas, meskipun bukan keluarganya
sehingga fungsinya pun lebih luas, yakni diyakini dapat melindungi penduduk
setempat. Roh leluhur seperti itu disebut bangotowa,
yaitu roh leluhur yang melindungi sebuah wilayah. Ada pun kuburannya disebut buju’, yaitu kuburan yang dikeramatkan
oleh warga suatu wilayah yarena diyakini dapat memberikan perlindungan kepada
sekluruh warga di wilayah itu. Bangotowa
ini di Jawa sering disebut punen
(kuburan leluhur) dan keberadaannya disana sering menjadi satu dengan danyang (penunggu gaib). Roh leluhur
penghuni buju’ biasanya merupakan
tokoh masyarakat yang pada masa hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan
banyak berjasa bagi kehidupan masyarakat. Kebesaran tokoh itu, kemudian
dilegitimasi melalui cerita legenda atau folklore
secara turun-temurun sehingga pada generasi berikutnya difigurkan sebagai tokoh
yang karismatik dan kesaktian yang ia miliki dipercayai masih menyatu dengan
kuburannya.
Terdapat bermacam-macam bentuk
legitimaasi tentang kuburan keramat yang terdapat di madura. Semuanya
tergantung kepada spesfikasi ketokohan arwah yang dikeramatkan atau respons
masyarakat terhadap lingkungannya dalam mempertahankan hidupnya. Misalnya,
kuburan itu dikeramatkan karena suatu ketika mengeluarkan cahaya terang pada
malam hari. Cahaya itu sering diartikan dengan pulung yang identik dengan wahyu, yakni sebagai tanda-tanda alam
yang dapat membawa berkah dari tuhan berupa kesejahteraan hidup bagi suatu
warga, tempat cahaya itu berada. Namun, ada pula makam yang dikeramatkan karena
terdapat salah seorang warga yang ditemui oleh roh penunggu buju’ melalui peristiwa mimpi (wangst).
Menurut jenisnya, kuburan
keramat yang terdapat dimadura dapat dibedakan menjadi emapt macam, yaitu: 1)
makam keturunan raja, 2) makam para wali atau tokoh penyebar agama islam, 3)
makam pembabat desa, dan 4) makam orang sakti, termasik didalamnya mereka yang
ketika hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.
a. Makam keturunan raja
Makam keturunan raja mendapat
sebutan khusus yang berbeda dengan istilah kuburan keramat yang lain, yang biasa
disebut buju’, di sumenep, misalnya,
makam keturunan raja disebut asta tinggi.
Makam keturunan raja mendapat tempat yang khusus, selain terletak di tempat
yang tiggi di sebuah perbukitan. Asta
tinggi sumenep tertanam jenazah keluarga raja-raja sumennep, seperti
Pangeran pulag jiwo, pageran sepuh pageran room, pageran jimat, R.A.
tirtonegoro, bindere soad, dan pangeran somolo. Masing-masing tokoh yang
dimakamkan di dalam asta dianggap
memiliki kelebihan semasa hidupnya dan kelebihannya itu tersosialisasikan
dengan baik kepada masyarakat luas melalui legenda khususnya di Sumenep. Atas
kelebihan itu, oleh orang-orang tertentu, arwahnya dipuja melalui ziarah pada
setiap malam jumat dengan harapan agar mendapatkan berkah darinya.
Sebagai salah satu contoh
tokoh Bindere Soad, yang tidak lain adalah suami R.A. Tirtonegoro, memiliki
kelebihan bahwa ketika masih berada dalam kandungan ia dapat memberikan jawaban
(menyahut) kepada ayahnya ketika memanggil ibunya yang sedang sholat. Kiai
Abdullah, ayah Bindere Saod, merasa heran atas jawaban anak yang masih berada
di dalam kandungan. Kebesaran Bindere Saod terkulir juga akibat ia berhasil
menikahi R.A. Tirtonegoro, ratu terakhir Kerajaan Sumenep, dengan selamat. Diceritakan bahwa setiap kali R.A. Tirtonegoro
menikah, suaminya selalu meni9nggal. Akan tetapi, ketika dinikahi Bindere Soad,
hal seperti itu tidak terjadi. Hal itu mengindikasikan bahwa ia adalah orang
yang sakti. Kasaktiannya, waktu itu diperolah melalui betapa di gua Pajudan
yang terletak sekitar 35 km ka arah barat dari kota Sumenep. Hingga bsaat ini
gua tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sebagai tempat menepi (bertapa) bagi siapa saja yang mempunyai keinginan tetapi
belum terkabul. Di samping itu, ada pula orang yang menganggapnya sebagai keturunan
Nabi Muhammad S.A.W, malalui garis ibu yaitu garis keturunan Sayyidina Husen
dan Susuhunan Kudus.
b. Makam para wali atau tokoh penyebar agama islam
Di sumenep, tepatnya didesa
Talago, dekat pantai barat pulau Poteran terdapat makam Sayyid Yusuf, yang
sangat dikenal sebagai penyebar agama islam pertama di desa itu. Posisi makam
berada di dekat laut sehingga membuat makam tersebut lebih bertuah. Berdasarkan
kepercayaan para peziarah, ketika perjalanan menuju ke makam tersebut
disaksikan oleh Nabi Qidir (penguasa air) karena harus menyeberang selat yang
hanya panjang sekitar 2 km, dengan menggunakan sampan atau perahu kecil.
Makam tersebut pertama kali
ditemukan oleh salah seorang raja Sumenep, yang ketika itu sedang melakukan
perjalanan menuju ke Bali. Ketika melewati tempat tersebut, sang raja melihat
sebuah sinar yang memancar seperti tiang api ditengah hutan kegelapan. Karena
tertarik, sang raja berusaha mencari letak sumber sinar tersebut. Setelah
ditemukan ternyata berasal dari sebuah kuburan. Sejak saat itu, banyak orang
yang berziarah ke makam tersebut, terutama dalam kaitannya dengan kunjungan
terhadap makam para wali di Jawa yang kemudian diteruskan kemakam-makam
penyebar agama islam di Madura.
Hari yang dianggap baik untuk
berziarah ke makam itu adalah malam selasa dan jumat kliwon. Ada pun yang
menjadi tujuan para peziarah sangat beragam, tetapi yang paling menonjol adalah
yang berkaitan dsengan urusan jabatan dan meningkatkan tarap hidup. Walaupun
banyak dikunjungi orang, keberadaan makam Sayyid Yusuf hingga saat ini masih
misteri, karena ada yang beranggapan bahwa yang berada dimakam itu hanyalah roh
atau sukma atau hamya berupa petilasan,
sedangkan jasadnya ada yang mengatakan berada dibanten, ada pula yang mengatakan
berada di pontianak, dan ada lagi yang menganggap berada di Afrika Selatan.
c. Makam pembabat desa
Di lihat dari konteksnya,
jenis makam ini paling banyak dimadura, karena hamper disemua tempat (dusun)
terdapat buju’ sebagai tempat yang
dikeramatkan, yakni sebagai cikal bakal desa. Mengenai kesaktian yang dimiliki
sang tokoh sangat beragam, misalnya buju’
Anggasuta atau yang juga dikenal dengan buju’
Gubang, terletak didesa Kebondadap Timur. Kecamatan seronggi, kabupaten
sumenep. Tempat itu juga disebut gubang
(berarti lubang), karena dulunya merupakan rawa yang banyak hubungannya. Dengan
mengerahkan segala kekuatannya ia menutup lubang-lubang itu untuk dijadikan
makam.
Menurut kepercayaan
masyarakat, Anggasuta adalah orang pertama yang memperkenalkan cara membuar
garam dikawasan Kalianget (sumenep), yang hingga kini sangat dikenal sebagai
daerah produksi garam berkualitas tinggi. Untuk mengenang jasanya, maka makam
Anggasuta bersama anggota keluarganya dikeramatkan sebagai buju’, disebut buju’ atau
anggota Anggasuta yang terletak didesa Panggirpapas, kecamatan kalianget.
Bentuk upacaya yang paling besar disebut upacara nyadar (berarti nazar: janji berbuat sesuatu juka niatnya
tercapai), yakni sebuah puacara yang dilakukan panggirpapas untuk memuja
leluhur mereka, Anggasuta, yang dianggap penemu garam pertama dan yang
mengislamkan masyarakat sekiratnya. Waktu penyelenggaraannya dikaitkan dengan
peringatan Mailid Nabi, tepatnya setelah tanggal 12 Maulid dan paling terakhir
tanggal 19 Maulid, pada hari sabtu.
Cerita yang berkembang
dimasyarakat Panggirpapas mengambarkan bahwa Anggasuta adalah Brawijaya V,
yanki raja majapahit yang melarikan ridi ke madura setelah ia ditaklukkan oleh
Raden Patah dari kerajaan Demak. Walau pun mengakui bahwa agama islam suatu
kebenaran, tetapi sebagai raja besar dari kerajaan Hindu, tidak mungkin hal itu
dilakukan. Oleh karena itu, ia menyamar sebagai Syeh Anggasuta dan mengasingkan
diri di Penggirpapas dengan membuka lembaran hidup baru ditempat pinggiranyang
penduduknya miskin sambil mengajar agama islam.
Wujud penghormatan terhadap
leluhur Anggasuta tidak hanya pada saat upacara nyadar, tetapi juga pada ritus-ritus along life cicle (lingkaran hidup manusia), seperti acara khitanan,
perkawinan dan kematian. Sebagai masyarakat yang pendapatan utamanya sebagai
petani garam, kebesaran nama Anggasuta sebagai penemu garam selalu melekat
dalam hati sanubari masyarakat setempat.
Kebesaran Anggasuta di bidang
lainnya, yaitu keberaniannya melindungi sisa-sisa pasukan kerajaan bali yang
tertinggal setelah diusir oleh kerajaan sumenep dari madura. Hingga saat ini,
sisa-sisa budaya hindu bali masih tampak dalam kehidupan budaya masyarakat di
Panggirpapas. Misalnya, dalam upacara nyadar,
orang yang memasak, termasuk menanak nasi adalah orang laki-laki dengan
berpakaian warna hitam. Demikian pula dalam hal bentuk rumah tradisional,
penataan ruangannya terpengaruh corak budaya bali, yakni dipekarangan terdapat regol kecil sebagai pintu gerbang masuk
halaman rumah. Adapun dibidang religi, masyarakat panggirpapas memiliki magic yang kuat, baik yang berupa white magic maupun black magic. Corak budaya seperti itu berbeda sekali dengan budaya
madura ditempat lain yang menunjukkan corak keislaman yang kuat.
d. Makam orang sakti
Diantara sekian banyak buju’ yang bermitologi sebagai makam
orang sakti di madura, certia tentang Joko Tole sangat popular dikawasan
madura, terutama di kabupaten sumenep. Bahkan, kendaraan Joko Tole, yakni
seekor kuda terbang yang bernama megaremeng, dipakai sebagai symbol pemerintah
kabupaten sumenep. Buju’ Joko Tole
terletak di desa lancu, kecamatan manding, sekitar 15 km kearah utara dari kota
sumenep. Pada setiap malam jumat kliwon dan selasa kliwon banyak orang datang menepi di buju’ ini.
Oleh masyarakat sumenep, Joko
Tole dianggap tokoh legendaries dengan kesaktian yang luar biasa, terutama
ketika berhasil mengalahkan Dempo Awang, seorang pelaut ulung datang ke madura
untuk merampok dan memperkosa keperawanan semua perempuan madura. Joko Tole
sebagai seorang pemuda yang berilmu tinggi dengan gagah berani menunggang kuda
terbang berhasil membinasakan Dempo Awang hingga perahunya hancur berantakan.
Atas keberhasilannya
melindungi kaum perempuan madura dari kejahatan Dempo Awang, maka, buju’ Joko Tole banyak dikunjungi oleh
kaum perempuan, baik tua maupun muda, untuk berziarah, dengan harapan agar
mendapatkan berkah dari arwahnya. Permintaan yang paling menonjol bagi
perempuan muda yang belum berkeluarga adalah memohon agar segera mendapatkan
jodoh yang ideal. Adapun untuk perempuan yang sudah berkeluarga, pada umumnya,
memohon agar suaminya tidak berselingkuh atau terhindar dari perceraian.
Berbeda dari kaun perempuan, untuk peziarah laki-laki pemujaannya lebih tertuju
kepada peralatan perang Joko Tole, yang dianggap mempunyai kekuatan sakti.
Yakni buju’ Gedhugan, yang terletak
didesa ketawang karay, kecamatan ganding, sekitar 22 km ke arah barat dari kota
sumenep, juga dikeramatkan.
3, Tanah danKekerabatan
Sisitem kekerabatan yang berlaku pada setiap
kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan sebagai variasi, yang mengambarkan
bagaimana bentuk jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan,
kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer,
yakni mulai dari keturunan, ikatan perkawinan, system pewarisan, sampai system
religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat.
Sistem kekerabatan orang
madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat
dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertical maupun
horizontal. Namun, jika dilihat dari system pewarisan, terutama yang berupa
tanah pekarangan dan rumah, terjadi ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang
berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak
perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat madura adalah matrilokal genealogis. Hal itu tampak
pada pola pemukiman ideal yang berlaku di madura, yang disebut tanean lanjang (berarti ‘halaman
panjang’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean lajang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur
sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan didepan rumah tersebut terdapat
halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun,
dibagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai
tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk
menerima tamu yang belum dikenal.
Pola pemukiman yang berupa tanean lajang menunjukkan adanya
hubungan yang erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang
tinggal didalam tanean lajang.
Penghuni tanean lajang adalah
anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya.
Pola permukiman semacam itu masih tampak jelas di madura, terutama didaerah
pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai dengan pola berjajar ideal
sebagaimana digambarkan dalam permukiman tanean
lajang (Wiyata, 1989). Yang jelas, pengelompokkan rumah tangga yang
membentuk keluarga luas masih tampak sekali. Sebagai contoh, letak rumah tidak
beraturan sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak
lagi memanjang.
Pola pemukiman tanean lajang yang masih itu memberikan
gambaran bahwa system pewarisan tanah dimadura masih sesuai dengan aturan adat
yang berlaku. Dalam pembagian warisan menurut adat madura memang terdapat
perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sesuai dengan adat
menetap setelah kawin yang matrilokal, seorang suami mengikuti istrinya dan
keluar dari keluarga batihnya sendiri. Oleh karena itu, hanya anak perempuan
yang memperoleh bagian dari tanah pekarangan. Kemudian, karena anak perempuan
itu nantinya juga akan menerima suami dari luar setelah ia kawin, maka
konsekuensinya ia juga harus menyediakan rumah untuk tempat tinggal suaminya.
Pola pemukiman seperti itu menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan
dimadura lebih kuat pada kaum perempuan.
Sistem pembagian warisan yang
berupa tanah pekarangan secara sepintas tidak seimbang, karena anak laki-laki
tidak memperoleh bagian dan harus keluar dari keluarga batihnya setelah ia
menikah. Keadaan itu, ternyata, berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak
laki-laki di madura pada usia menjelang akhil
baliq. Mereka tidak betah tinggal di rumah dan lebih cenderung bergabung
dengan anak laki-laki lain yang sebaya kalau tidak mondok di pesantren. Keadaan
itu, hamper sama dengan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat.
Cara pembagian warisan tanah
telagan tidak sama dengan tanah pekarangan. Dalam pembagian tanah telagan
antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama. Hubungan
kekerabatan yang terbentuk ikatan pewaris yang berupa tanah tegal itu,
tampaknya, tidak sekuat ikatan pewaris tanah pekarangan. Apa lagi jika tanah
tegal yang diwariskan itu letaknya jauh dari tempat tinggalnya, maka
pengaruhnya terhadap ikatan kekerabatan juga bertambah lemah.
Dalam membagi warisan kepada
anak-anaknya, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, tempak
orang tua cukup kompromis. Maksudnya, walaupun pembagiannya tidak seratus
persen sama, anak-anak tetap menerimanya jika hal itu sudah menjadi kehendak
orang tua. Mereka pantang sekali berselisih gara-gara masalah tanah warisan
dan, cekcok semacam itu, membuat mereka malu terhadap tetangga. Sikap kompromis
ini, dipengaruhi beberapa hal, yaitu pertama,
mungkin, ada kaitannya dengan masih tebalnya mitos masyarakat bahwa tanah
adalah sama dengan nenek moyang (leluhur). Sementara itu, roh nenek moyang
sendiri dianggap selalu mengawasi keadaan rumah dan ranah. Kedua, karena besarnya wibawa orang tua terhadap anak-anaknya, dan
sebaliknya, besarnya sikap hormat terhadap orang tua karena besarnya tanggung
jawab dalam membina anak, mulai membesarkan, sampai mencarikan jodoh, dan
bahkan, sampai dapat hidup mandiri, masih menjadi tanggung jawabnya. Dengan
demikian, ada perasaan takut dan segan anak terhadap orang tua, bahkan orang
tua pula pihak yang kali pertama harus dihormati dalam falsafah buppa’-bhabhu’, ghuru, rato (lihat
subbab A bab 3).
Persoalan keluarga akan muncul
jika secara kebetulan sebuah rumah tangga tidak memiliki anak perempuan. Jika
demikian, pembagian warisan, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah
tegalan, dibagi rata sesuai jumlah anaknya. Jika menerapkan system matrilokal
secara konsekuen, akibatnya rumah induk akan kosong karena semua anak-anaknya
mengikuti istri masing-masing. Dalam hal ini, biasanya, orang tua menghendaki
salah satu anaknya tinggal bersamanya. Mengenai siapa yang harus tinggal
bersama orang tua memang tidak ada ketentuan. Pada dasarnya, semua itu,
dipertimbangkan beberapa hal menurut ketentuan. Pada dasarnya, semua itu,
dipertimbangkan menurut beberapa hal, antara lain siata yang paling dicocoki,
keluarga istri dari anak yang mana yang sekiranya dianggap kurang mampu
sehingga tidak dapat disediakan fasilitas rumah seperti diharapkan, dan yang
lebih penting lagi siapa yang sanggup merawat orangtuanya nantinya. Caranya
dimusawarahkan sedemikian rupa sehinghga ditemukan pilihan yang terbaik. Yang
penting, rumah induk itu tidak boleh dikosongkan dan harus ada yang menempati.
Mengosongkan rumah induk dianggap menelontarkan roh leluhur penjaga rumah dan
tanah.
Secara umum, tanah merupakan
pengikat utama hubungan kekerabatan. Tanah pekarangan (tanean) berdiri beberapa rumah tinggal keluarga matrilokal yang
berfungsi sebgai pengikat hubungan kerumahtanggaan. Dalam kehidupan
sehari-hari, kebersamaan antar rumah tangga tampak sekali, mulai dari bercakap-cakap,
masak-memasak, sampai membicarakan masalah keluarga dari masing-masing rumah
tangga. Lain halnya dengan tanah tegalan. Sesuai dengan fungsinya, tanah
tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam budaya pertanianh, terutama
kebersamaan dalam bekerja mengolah tanah yang pada umumnya dikerjakan secara
bergotong royong.. bentuk ikatan gotong royong, biasanya, berdasarkan
kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan itu,
biasanya masih satu keluarga sataretan
(saudara kandung), hasil dari pembagian warisan (sangkolan).
Fenomena diatas dapat
diartikan bahwa tanah pekarangan mempunyai ikatan yang lebih kuat dan mempunyai
pengaruh hubungan keluarga lebih intensif jika dibandingkan dengan tanah
tegalan yang hanya sebatas hubungan kerja. Perdesaan yang lain, tanah
pekarangan mengikat hubungan keluarga matrilokal, sedangkan tanah tegalan lebih
luas lagi, yakni termasuk juga keluarga dari saudara laki-laki.
Oleh karena tanah mempunyai
daya pengikat hubungan keluarga yang kuat, maka ada pantanganb bagi masyarakat
untuk menjual tanah dengan dibumbui mitos-mitos yang berupa resiko yang dapat
berakibat fatal bagi yang melanggarnya. Terutama yang berupa tanah pekarangan
karena telah membentuk kelompok primodial keluarga dalam tanean lajang, jelas
sangat tertutup untuk dimasuki oleh orang dari luar keluarga luasnya.
D. Ulama dan Politik
Telah dipaparkan di subbab
sebelumnya bahwa islam dan ulama sangat dekat dengan identitas cultural
masyarakat madura sehingga ulama menempati tempat istimewa. Agama islam secara
intensif masuk kemadura sekitar abad XV, seiring dengan mulai memudarnya
pengaruh kerajaan maja pahit di jawa timur. Pada masa tersebut, ajaran islam
sedikit demi sedikit mulai tertanam pada masyarakat madura. Menurut berbagai
berbagai pemberitaan pada abad XV, datanglah dijawa seorang ulama islam dari
Campa, merupakan penganjur agama yang bernama Rakhmat dan diriwayatkan
merupakan ipar kemenakan raja maja pahit. Oleh pacat tanda terung, yang waktu
itu berkuasa diwilayah Surabaya, ia diberi izin bermukim di Ampel Denta. Karena
keberhasilannya menyebarkan agama islam. Ia lalu terkenal dengan nama Sunan
Ampel dan merupakan salah seorang wali
sanga yang sangat berpengaruh di jawa. Orang-orang mdura kemudian sangat
memuliakannya dan sampai sekarang makamnya di Masjid Ampel menjadi tujuan
ziarah yang ramai (Rifai, 1993:21-22).
Peran ulama di madura,
tampaknya,tidak dapat di lepaskan dari sejarah perkembangan agama islam di
mandura sejak terjadi kontrak perdagangan antara mandura dengan pusat-pusat
islam di pesisir utara jawa.oleh karena itu,perdagang dan pelaut mandura di
duga termasuk salah satu kelompok awal penganut ajaran islam di madura.
Perkembangan islam di mandura semakin meningkat ketika kontran antara mandura
dengan mekah semakin intensif melalui jemaah haji. Pada waktu itu, banyak
pedagang kaya,yang sekaligus pembuka agama,melaksanakan ibadah haji
dan,pulangnya membawa tambahan ilmu keanamaan yang diperolehnya dari negeri
asal agama islam. Pada tahun 1880,di pulau madura terdapat 896 orang haji dan
sepuluh tahun kemudian berkembang menjadi 1.364 orang. Hsil yang paling nyata
dari kehadiran para haji ini adalah semakin bersihnya ajaran dari pengaruh
local, semakin banyak jumlah orang yang menunaikan ibadah haji di suatu daerah,
semakin semarak pula syiar islam dengan institusi-institusinya dan yang paling
menonjol serta berpengaruh besar terhadap perkembangan islam di sekitarnya
adalah pesantren (tim peniliti PMB-LIPI, 1995:49).
Setelah historis,ulama,terutama
dalam masyarakat islam teradisional (NU)telah menjadi panutan masyarakat,baik
mengenai masalah keagamaan maupun masyarakat. Seperti di katakan Dhofier
(1993:45):
“keberadaan seorang ulama sebagai pemimpin pesantren,di tinjau dari tugas
dan fungsinya,dapat di pandang sebagai penomena kepentingan yang unik sebab
ulama di samping sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan pesantren juga
sebagai pemimpin masyarakat “.
Ternyata Dhofier tersebut
menunjukan bahwa ulama memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup luas, baik di
dalam pesantern maupu masyarakat.bahkan,di dalam pesanteren seorang ulama dapat
di ibaratkan sebagai seorang raja dalam sebuah kerajaan kecil dengan kekuasaan
dan kewenangan yang absolut. Menurut Dhofier (1982:58), kekuasaan dan
kewenangan ulama di dalam pesantrennya nyaris mutlak, karena
santri,umumnya,mengangap “ulama adalah pemilik,guru,pemimpin,dan penguasa
tunggal” di dalam pesantrennya. Selainn itu,kekuasaan dan kewenangan ulama juga
dapat masyarakat sekitar pesantren,terutama berwujud pengaruh dan peranan dalam
mobilisasi masyarakat (dhofier,1982:58, effendi,1990:1;tojjoib,1998:111).
Tigkat kepatuhan masyarakat kepada seorang ulama di antaranya dimanifestasikan
dalam bentuk dukungan moril dan matril (berupa pemberian uang maupun
barang-barang lain). Misalnya,ketika anggota masyarakat berkunjung ke rumah
seorang ulama,atau wali santri berkunjung ke pondok pesanteren untuk menjenguk
anaknya,hampir dapat di pastikan memberikan uang (nyabis) atau membawa
barang-barang bawaan.
Anggapan kerajaan di atas
dapat di pahami setidak-tidaknya di lihat dari anggapan para santri dan
masyarakat bahwa seorang ulama adalah pemimpin duniawi sekaligus ukhrowi,atau
dengan kata lain sebagai wakil tuhan di dunia. Hal itu,tidak jauh berbeda
dengan anggapan masyarakat pada massa lalu bahwa seorang raja adalah symbol
kekuasaan mikrokosmos dan makrokosmos. Raja dalam kosmologi jawa di percayai
sebagai seseorang yang memperoleh bisikan langit sehingga dirinya memiliki
kesempurnaan,kesaktian,dan kekuatan maha besar untuk menjalankan
kekuasaan,yakni menjaga keadaan tata
tentrem kerta dahaja mulai tergangun
(Anderson,1972:19). Barang kali,kita dapat membayangkanya sebagai pintu air
yang menampung air seluruh sungai dan bagi tanahyang lebih rendah merupakan
satu-satunya sumber air dan kesuburan (magkis-suseno,1984:100).
Dengan kelebihan pengetahuan dan penghayatan di bidang keagamaan
islam,ulama dianggap memiliki kewenangan khusus dibidang keagamaan. Karena
agama di anggap sebagai acuan nilai,moral,dan norma yang di yakini dan di anut
oleh masyarakat,maka ulama pun sekaligus di sebut sebagai pemimpin oleh sebab
itu, kekuasaan (autlhoroty) ulama
dianggap mempunyai makna sacral betapapun kecil dimensi makrokosmos (Effendy,
1990:2). Bahkan, lebih dipertegas lagi seoerang ulama sering dikaitkan dengan
fenomena kekuasaan, yakni sebagai pewaris risalah kenabian yang bersifat
supranatural. Figure ulama dianggap sebagai seorang yang mampu memberikan saran
sesuai dangan petunjuk tuhan dari hasil istikhoro
(Mansurnoor, 1990:211-233). Sebagai seorang tokoh, sering kali kalangan ulama melakukan istikhoro untuk
meminta petunjuk tuhan. Fenomena itu telah menyebabkan peran ulama menjadi
sangat diperhitungkan, tidak hanya menyangkut masalah-masalah keagamaan, tetapi
juga masalah sosial dan politik. Secara tegas, Hiroko Horikoshi (1987:76)
menyatakan bahwa ulama menguasai pendidikan islam di madrasah, memegang
kekuasaan tertinggi dalam penafsiran Qur’an dan Hadits, dan sering pula muncul
sebagai pemimpin sosial politik
Ulama
menjadi panutan masyarakat, disamping karena dianggap menguasai masalah
keagamaan, juga dianggap memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat
kebanyakan, yakni kesaktian. Para ulama umumnya dianggap mempunyai
kelebihan-kelebihan tertentu berupa kajunela
atau kasekten, terutama ketika
yang bersangkutan hendak membuka “daerah baru” yang masih belum santri.
Perjalanan kiai Kholil yang sangat terkenal dan sekarang mewariskan pondok
pesantren besar dimadura, ketika mulai membuka pesantrennya di bangkalan pada
permulaan abad XIX, tidak terlepas dari kasaktian yang dimilikinya (tim
peneliti PMB-LIPI, 1995:44).
Dalam
kehidupan sosial, masyarakat madura sendiri lebih berorientasi kepada ulama
daripada kepada birokrasi. Namun, ulama dimadura, seperti juga di jawa, selalu
tumbuh dikalangan elite ekonomi dan sekaligus politik setempat. Posisi ulama
yang begitu sentral itu sejajar dengan kemampuan ekonomi mereka yang ham-pir
pasti bersifat elitis. Ini, pertama-tama, berkaitan dengan latar belakang
keluarga, tempat ulama itu ditumbuhkan. Ulama di jawa dan madura selalu tumbuh dari keluarga berada dan terhormat.
Seperti yang dikatakan oleh Effendy (1989:5) bahwa ulama sebagai pendiri
pesantren tidak satupunyang berasal dari keluarga kurang mampu. Akibat berbagai
posisi yang dimiliki ulama tersebut tercipta pola hubungan yang bersifat
paternalitis, yang menem[patkan ulama sebagai patron dan maasyarakat sebagai
klien. Kondisi hubungan dengan paternalitik inilah yang membuat ulama sebagai
panutan atau acuan sikap masyarakat, terutama dalam urusan sosial politik.
Islamisasi di madura, seperti pada umumnya di daerah lain, pada awalnya
berjalan dengan birokrasi. Para Da’I yang melakukan islamisasi awal
berdampingan secara histories dengan para birokrat tradisional. Bahkan, dapat
ditemukan beberapa ulama yang memiliki hubungan darah dengan penguasa
terdisional atau justru berasal dari kalangan kaum ningrat yang dapat
dipastikan sebagai keluarga pejabat pada zaman pemerintahan terdisional. Sejumlah
ulama terkenal di bangkalan, seperti KH. Fuad Amin Imron, sampai sekarang masih
memakai gelar bangsawan “raden” (tim peneliti PMB-LIPI, 1995:46-47). Hal itu,
menunjukkan bahwa kemunculan elite kiai tidak berasal dari orang kebanyakan
atau masyarakat biasa, tapi lahir dari kalangan elite yang sudah mapan, baik
secara ekonomi maupun politik.
Keterlibatan ulama dalam politik praktis (dalam pengertian politik
modern) sudah berlangsung baik sejak zaman penjajahan, masa revolusi
kemerdekaan, maupun sesudah masa kemerdekaan. Sebagai contoh, pada masa
penjajahan dan revolusi kemerdekaan banyak ulama yang menggabungkan diri ke
dalam barisan Hisbullah atau Sabilillah, bahkan sebagian besar menjadi komandan
dan pemimpinnya. Oleh karena itu, banyak santri diantara yang terlibat atau
dilibatkan dalam barisan itu. Akibatnya, banyak pula pesantren yang akhirnya
berkembang menjadi markas Hisbullah, atau Sabilillah, yang karena banyak pula
pesantren yang terganggu pendidikan dan pengajarannya karena ulama dan santrinya
bergerilya di daerah (Effendy, 1990:10). Berikutnya, ulama justru menempati posisi penting dalam pergerakan
nasional. Tidak sedikit organisasi modern kaum pribumi yang didirikan dan
dipimpin ulama. Bahkan, menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan dalam
pergerakan nasional (Shiraishi, 1997).
Selanjutnya, pada masa kemerdekaan, peranan ulama dalam penggung politik
masih terus berlangsung. Bahkan, pada masa-masa awal kemerdekaan semakin besar
dan intensif. Keterlibatan KH. Wahlid Hasyim dari pesantren Tebuireng, KH.
Abdulhalim dari pesantren Majalengka dan sebaginya dalam konstituante untuk
merumuskan dasar negera Indonesia pada dasawarsa lima puluhan adalah salah satu
contohnya (Effendy, 1990:11).
Tampilnya ulama dalam panggung politik, terutama dalam organisasi
politik, semakin dominant ketika NU (Nahdlatul Ulama) berubah menjadi partai
politik. Karena ulama telah menajadi panutam masyarakat, NU sebagai partai yang
didukung oleh ulama tradisional relative tidak sulit untuk meraup suara yang
cukup besar. Bahkan, NU pada pemilu 1971 menduduki posisi terbesar dalam
perolehan suara dimadura: NU memperoleh 67%, PSII 4,9%, Parmusi 2,0%, Golkar
25,5%, dan Partai Nasional 0,5% (De Jongle, 1989:275). Padahal, menjelang
pemilau 1971 berlangsung, rezim orde baru sudah mempersiapkan diri untuk
memenangkan Golkar, diantaranya melalui sekretatian Bersama Golongan Karya
(Sekber Glokar). Bahkan, pemerintah orde baru telah mengeluarkan peraturan
mengenai kehidupan politik para pegawai megeri dengan melarang Keikutsertaan
sejumlah kecil pegawai negeri untuk bergabung dalam suatu partai dan meminta
kepada yang lainnya untuk melaksanakan “monoloyalitas”, yang maksudnya meereka
harus setia kepada Golkar saja (Reeve, 1985:188; Feillard, 1999:117-118).
MENGENAL
PULAU MADURA
Dari sudut pandang latar belakang
etnis, komposisi demografis penduduk dimadura menunjukkan dominasi suku madura.
Namun, kelompok penduduk non madura dapat dijumpai pula, sekalipun secara
kuantitatif merupakan minoritas. Pengamatan secara langsung membenarkan
realitas itu, meskipun sacara absolute tidak dapat dipastikan jumlahnya karena
data sensus penduduk pada periode pascakolonial cenderung meniadakan informasi
penduduk berdasarkan latar belakang etnisitas. Disamping kelompok suku madura
secara mayoritas, dimadura juga dijumpai penduduk dengan identitas etnis Jawa,
Mandar, Bugis, Melayu, Cina, dan kelompok minoritas Eropa juga ditemui
keberadaannya.
Keberadaan kelompok masyarakat
non-madura justru lebih mudah diketahui pada periode colonial, karena data
sensus penduduk menurut asal-usul etnis. Pada tahun 1900, jumlah keseluruhan
penduduk madura mencapai 1.758.000 jiwa, dengan tiga kelompok minoritas utama,
yakni penduduk Eropa (747 jiwa), Cina (4.381 jiwa), Arab (1.774 jiwa), dan
lainnya (111 jiwa). Tiga puluh tahun kemudian, penduduk Eropa menjadi berjumlah
1.051 jiwa dan Cina berjumlah 5.029 jiwa, sedangkan data untuk orang Arab tidak
diketahui (Kuntowijoyo, 1980:82). Angka itu menunjukkan bahwa, secara
kuantitatif, penduduk non-madura memang merupakan minoritas. Kelompok minoritas
terbesar adalah Cina, disusul kelompok Arab pada urutan kedua.
Pada tahun 1930, Residen madura,
W.H. Ockers (dalam kartodirdjo, 1978:CLXX), melaporkan bahwa orang bugis dan
madura bermukim terutama di madura kepulauan, seperti Kangean, Selambu, dan
Bawean. Ockers juga menyebutkan adanya pusat pemukiman orang Kambang dari
Sulawesi di Pulau Sapekan. Laporan bupati sumenep pada tahun 1950 juga
menyebutkan keberadaan komunitas Bugis di pulau Masalembu (Djawatan Penerangan,
1951:33). Lebih lanjut, kajian Vredenbregt (1990:15) memperlihatkan keberadaan
kelompok orang Palembang
di pulau Bawean. Seperti umumnya ditemui pada masa sekarang, pada masa lalu
orang Cina dan Arab bertempat tinggal diwilayah perkotaan. Komunitas-komunitas
non-madura itu dikepalai oleh orang Arab, sedangkan orang Cina dikepalai oleh wijkmeester. Puluhan orang India
juga bermukim di Sumenep (Memori Residen
Madura F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et
al, ed, 1978: CXXXVIII).
Tidak ada data yang secara khusus
menunjukkan bagaimana pertumbuhan masing-masing kelompok etnis yang bermukim di
madura pada era kemerdekaan. Akan tetapi, secara umum, diketahui bahwa jumlah
penduduk madura terus bertambah dalam perjalanan waktu. Menurut kalkulasi
Kuntowijoyo (1980:79), berdasarkan data penduduk 1850-1930, pertumbuhan
penduduk madura rata-rata mencapai 2,7 persen pertahun, sedangkan tingkat
pertumbuhan untuk Jiwa secara umum hanya sebesar 1,9 persen pertahun. Namun, pada periode pendudukan jepang dan
Perang kemerdekaan, penduduk madura mengalami pertumbuhan negative. Dalam
periode 1941-1950 jumlah penduduk madura berkurang sekitar 400.000 jiwa,
sedangkan penduduk jawa bertambah sebesar 2 juta jiwa (De Jogle, 1989:22).
Memasuki periode kemerdekaan, pertumbuhan penduduk madura dilampui oleh
tingkat pertumbuhan penduduk di jawa timur. Dalam periode 1980-2000, penduduk
madura bertambah dari 2.687.000 jiwa menjadi 3.118.000 jiwa. Dalam periode 20
tahun, rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk madura mencapai 0,83% pertahun
tahun (jawa timur dalam angka 2000, 2001:51;
Niehof, 1985: 26).
Menurut dikotomi wilayah desa-kota, tingkat pertumbuhan penduduk di madura
tidaklah bersifat seragam. Menurut Kuntowijoyo (1993:62) atas dasar pengamatan
di kabupaten Bangkalan, pertumbuhan penduduk diwilayah pedesaan madura lebih
lambat daripada wilayah perkotaan. Penjelasan terhadap fenomena tersebut adalah
daya dukung ekonomi wilayah pedesaan yang lebih kecil karena katergantungan
kepada sector agraris yang sudah mencapai titik jenuh dibandingkan dengan
perkotaan yang masih mungkin menyandarkan aktivitasnya pada sector
non-pertanian, khususnya sector perdagangan. Dengan kata lain, wilayah
perkotaan dimadura, sekalipun dari arti yang terbatas, masih dapat memberikan
dukungan ekonomis lebih besar daripada wilayah pedesaan, termasuk dengan
melakukan urbanisasi.
2. Kepadatan
Jika dilihat dari sidut kepadatan penduduk (population density), pda tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk
madura mencapai 588 jiwa/ km2. selama periode 1995-2000, secara konsisten,
kabupaten pamekasan menempati urutan tertinggi dari segi tingkat kapadatan
penduduk, yakni sebesar 804 jiwa/km2 pada tahun 1995 dan 851 jiwa/km2 pada
tahun 2000. secara konsisten pula, urutan kadua ditempati kabupaten bangkalan,
disusul kabupaten Sampang, dan kabupaten Sumenep pada urutan berikutnya. (lihat
Tabel 2.3).
Kepadatan penduduk madura menurut kabupaten 1995 dan 2000
Kabupaten
|
1995
|
2000
|
Bangkalan
|
573
|
605
|
Sampang
|
572
|
580
|
Pamekasan
|
804
|
851
|
Sumenep
|
463
|
483
|
Total Madura
|
564
|
588
|
Jawa Timur
|
703
|
732
|
Sumber: jawa dalam angka 2000 (Surabaya :
BPS Provinsi Jawa TImur, 2001), hlm. 45.
Tingkat kepadatan penduduk madura
tampak tidak selalu parallel dengan besar jumlah penduduk. Hal itu, tentu saja,
juga tergantung pada luas territorial masing-masing kabupaten. Kabupaten
Pamekasan, yang secara absolute mempunyai jumlah penduduk terendah, ternyata
memmpunyai tingkat kepadatan yang tinggi. Sebaliknya, kabupaten Sumenep
mempunyai tingkat kepadatan terendah, sekalipun jumlah penduduknya terbesar di
antara semua kabupaten di madura.
Di daerah lairan sungai yang
mungkin praktik budidaya pertanian pada musim penghujan merupakan daerah yang
paling padat penduduk. Di daerah inilah pada masa lalu berdiri pusat-pusat
kekuasaan (keraton) yang kemudian pada
era kemerdekaan berkembang menjadi berapa ibu kota kabupaten di madura. Hanya daerah
semacam itulah yang berpeluang besar mampu menyangga kepadatan penduduk yang
tinggi dan memungkinkan berkembangnya kelompok-kelompok masyarakat dengan
aktivitas ekonomi non-agraris (De Jogle, 1989). Contoh yang dapat disebut
disini adalah Bangkalan dan Arosbaya di kabupaten Bangkalan, Pamekasan dan
Bundar di kabupaten Pamekasan, serta Sumenep di Kangean di kabupaten Sumenep.
Kepadatan penduduk yang tinggi
juga terdapat didaerah pesisir pantai selatan. Produksi pertanian didaerah ini
adalah ketela dan jagung dan, sebenarnya, dibandingkan dengan padi tidak banyak
mendukung terjadinya konsentrasi penduduk dalam jumlah besar. Kepadatan kawasan
sepanjang pantai selatan hanya dimungkinkan berkat berkembangnya aktivitas
penangkapan ikan dan perdagangan yang terjalin dengan kota-kota lain di pantai
utara jawa. Tjiptoatmodjo (1989), secara komprehensif, telah menggambarkan
ramainya aktivitas perdagangan dikota-kota selat madura hingga pertengahan abad
ke-19. sumber tradisional,Babad Sumenep,
juga menyebutkan adanya aktivitas pedagang dari jawa di kota-kota madura
(Werdisastra, 1996:22).
Berkebalikan dengan kawasan
sepanjang pantai selatan, disepanjang kawasan pantai utara madura tingkat
kepadatan penduduk lebih rendah. Menurut De Jogle (1989:19), hal itu tidak
terlepas dari ketergantungan yang lebih besar dapa aktivitas pokok penangkapan
ikan. Kondisi perairan yang bergelombang besar dan teknologi pelayaran yang
sederhana rupanya tidak memungkinkan mereka melakukan penangkapan ikan
ditempat-tempat yang jauh dari laut jawa. Penangkapan ikan pun hanya dilakukam
di musim timur. Kalaupun di masa lalu aktivitas perdagangan juga telah terjalin
dengan beberapa kota
pantai di jawa. Sulawesi, dan Kalimantan ,
intensitasnya lebih kecil dan bahkan semakin berkurang pada era kemerdekaan.
Tingkat kepadatan penduduk paling
rendah ditemukan di daerah-daerah yang lebih tinggi dengan kondisi alam yang
sebagian besar tersusun atas bantuan karang (De jonge,1989:19). Sekalipun
kegiatan pertanian tetap di lakukan di kawasan itu, hasilnya jelas tidaklah
memadai karena lahan yang tersedia sangat terbatas dan produkvitas lahan pun
jauh lebih rendah dibandingkan dengan kawasan madura lainya yang mempunyai sistem
irigasi relative lebih baik,khususnya pada musim penghujan.
Secara umum,dibandingkan dengan
jawa dan daerah di Indonesia ,pulau
madura termaksud kategori daerah padat penduduk (density populated region). Bahkan, pada massa kolonial belanda,pulau ini,mempunyai
tingkat kepadatan penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
kepadatan penduduk di jawa pada umumnya. Pada tahun 1815,misalnya,kepadatan
penduduk madura adalah 41,2 jiwa per km 2 ,sedangkan
kepadatan penduduk di jawa baru mencapai 33,9 jiwa per km 2.dalam priode 1867-1940, kepadatan penduduk
madura selalu lebih tinggi di bandingkan dengan jawa.pada tahun 1940,kepadatan
penduduk madura meningkat menjadi 414,8 jiwa km 2,
sedangkan kepadatan penduduk di jawa hanya 357,2 jiwa per km 2,(De
jonge,1989:21).
Pada periode
kemerdekaan,kepadatan penduduk di jawa terus berada di atas angka kepadatan
penduduk madura yang turun drastis pada priode pendudukan jepang.pada tahun
1955,angka kepadatan penduduk madura berkurang, yaitu 328 jiwa per km 2,sedangkan kepadatan penduduk di jawa secara
keseluruhan mencapai 409 jiwa per km 2.pada
tahun yang sama,tingkat kepadatan penduduk untuk jawa timur adalah 394 jiwa per
km 2 (Reksohadiprodjo dan Hadisapoetro,
1986:319). Meskipun kepadatan penduduk di mdura terus bertambah, dalam
kenyataanya,laju pertumbuhan kepadatan penduduk tetap lebih lambat.pada tahun
1971,angka kepadatan di madura adalah 458 jiwa per km 2,sedangkan untuk jawa besar 561 jiwa per km 2 (De jonge,1989:21).sementara itu,pada tahun
2000,kepadatan penduduk madura mencapai 588 jiwa per km 2,sedangkan angka kepadatan untuk jawa timur sebesar 732 jiwa per
km 2.
Secara absolute,tingkat kepadatan
penduduk madura memang lebih rendah,tetapi terkanan sosial ekonomi penduduk di
madura jauh lebih besar5. tetapi hal itu terkait dengan fakta bahwa daya dukung
alam madura lebih rendah daripada jawa karena kondisi alamnya yang gersang dan
tandus tidak dapat diingkari,produktivitasi lahan pertanian di madura lebih
kecil dari pada tingkat produktivitasi lahan pertanian di jawa,seperti tampak
jelas, misalnya dalam produksi padi per kapita.sebagai ilustrasi, misalnya,pada
priode 1950-1955 di ketahui bahwa produksi besar per kapita di madura rata-rata
hanya 39,86 kg per tahun,sedangkan untuk jawa timur saja mencapai 143,14 kg
(Reksohadiprodijo dan Hadisapoetro,1986:324). Keadan alam yang gersang dan
tandus merupakan penyabab utama rendah tingkat kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat madura (Wiyata,2002:35).
Rendah tingkat kehidupan
sosial-ekonomi tercemin pula dari tingkat pendidikan yang dapat di nikmati
masyarakat madura. Dapat di tingkatkan bahwa sampai saat ini tingkat pendidikan
di kalangan masyarakat madura masih rendah.berdasarkan data sensus tahun 1971
di ketahui bahwa proporsi jumlah penduduki yang buta hurup (tidak dapat menulis
dan membaca)di kalangan masyarakat madura mencapai persentase sangat
tinggi,yaakni 68% dengan rincian:69.3% di Bangkala,72,1% di sampang,64,4%di
pamekasan,dan 66,5% di sumenep (Niehof,1985>32).berbagai upaya yang telah di
tempuh selama priode Orde Baru untuk memajukan pendidikan di madura masih perlu
di tingkatkan karena, ternyata,jumlah penduduk yang buta hurup masih
tinggi.pada tahun 1995, di kabupaten sampang misalnya,proporsi jumlah penduduk
buta hurup masih sangat tinggi, yakni sekitar 53%,lebih besar dibandingkan
jumlah penduduk yang bisa baca-tulis (47%) (Suyanto,et al., 1997:21).
Memang benar bahwa pada massa kemerdekaan tingkat
kesejahteraan masyarakat madura terus msngalami peningkatan, seperti di
tunjukan oleh peningkatan pendapatan per kapita kurang lebih sepuluh kali lipat
antara tahun 1970 dan 1990. Namun, secara umum, tingkat pendapatan per kapita
penduduk madura kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita penduduk
indoinesia (De jonge,1989:43; De jonge,1990:21). Beratnya tekanan kehidupan
sosial-ekonomi merupakan faktor pendorong (push
factor) yang menggerakkan orang madura melakukan migrasi ke tempat lain di
luar madura dan, permasalahan ini, akan di paparkan secara lebih mendalam dalam
bagian berikut ini.
C. Madura dalam perubahan zaman
Dalam rentangan sejarah jangka
panjang, tidak duragukan bahwa madura dan masyarakatnya mengalami berbagai
dinamika, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Masyarakat madura yang
sekarang adalah masyarakat hasil teransformasi yang telah berlangsung selama
berabad-abad. Dalam prose situ dapat disaksikan bukan hanya serangkaian
perubahan, melainkan juga sejumlah kesinambungan sejarah masih dapat ditemukan.
Dalam konteks ini, cukup releven menengok pemikiran sejarawan besar aliranAnnales,
Braudel, yang membedakan sejarah dalam tiga lapisan, yakni lapisan panjang (longe duree, struktur, geografi),
lapisan menengah (moyenneduree, kunjunktur,
ekonomi), dan lapisan pendek (counte
duree, peristiwa, politik) (Braudel, 1972-1973; Ankersmit, 1987:281-283).
Bertolak dari pemikiran Braudel
tersebut, mulai dengan lapisan ketiga, counte
duree, yang terkait dengan dimensi politik, tampak bahwa madura menampilkan
irama perubahan cepat. Hal itu, jelas jika menilik perkembangan sejarah madura mulai
dari era prakolonial yang diwarnai dengan perebutan hegemoni antara berbagai
pusat kekuasaan local madura, aliansi, dan resistensi terhadap penetrasi
terhadap kekuasaan luar, khususnya yang berpusat dijawa dan bali, integrasi
dalam kekuasaan colonial belanda, pendudukan jepang, pembentukkan Negara
madura, hingga integrasi ke dalam Negara kesatuan republic Indonesia.
Dalam periode kerajaan-kerajaan
Nusantara, madura berurut-turut dibawah kekuasaan Kediri , Singosari, Majapahit, Demak, dan
mataram (Rifai, 1993:7-40). Penguasaan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terntu
saja mempunyai pengaruh bagi madura, adapun pengaruh yang paling terasa hungga
saat ini adalah yang ditinggalkan oleh kerajaan Mataram. Di bawah kekuasaan
mataram, pengaruh budaya jawa semakin mengakar, terutama dengan ditempatkannya
panglima pasukan jawa, Tumenggung Anggadipa sebagai penguasa di sumenep dan
penerimaan rakyat semenep terhadap kepemmpinannya (Riafi, 1993:52).
Perbedaan antara masyarakat
madura barat dan madura timur yang masih dikenali hingga dewasa ini sampai
tingkat tertentu merupakan konsekuensi dari dinammika politik di madura pada
masa lampau. Dari sudut pandang jarak geografis, agak mengherankan bahwa madura
timur yang relative lebih jauh dari pusat-pusat politik dijawa, khususnya
kerajaan mataram, justru lebih banyak mendapat pengaruh budaya jawa. Hal itu,
tampak jelas jika dilihat dari sudut pandang linguistic. Masyarakat madura
timur mengenal adanya tingkatan bahasa (kasar-halus), mirip seperti pola yang
berlaku dalam bahasa jawa. Sebaliknya, dimadura barat cemacam itu tidak banyak
ditemukan karena bahasa yang digunakan dalam masyarakat madura barat ternyata
masih egaliter, yang agaknya mengesankan bahwa masuarakat madura barat lebih
kuat mencerminkan budaya rakyat madura kebanyakan. Bahkan, sampai paruh kedua
abad ke-19, nama madura memang hanya merujuk pada bagian barat pulau tersebut,
yang sekarang merupakan kabupaten Bangkalan dan sampang (Niehof, 1985:23; De
Jogle, 1990:3).
Penetrasi kekuasaan belanda ke
madura diawalai oleh permintaan bantuan dari penguasa sumenep untuk membebaskan
diri dari kekuasaan Mataram. VOC yang menjadi embrio pemerintah kolonoal
belanda memandang madura penting semata-mata dengan pertimbangan keamanan
aktivitas perdagangan yang mereka lakukan, padipada ketertarikkan pada potensi
ekonomi yang dimiliki madura (Rifai, 1993:41). Keberhasilan VOC memadamkan
pemberontakan Ke Lesap yang berlangsung beberapa decade berikutnya semakin
memperkuat kedudukan belanda di madura. Di bawah kekuasaan VOC, pengelolaan
madura barat dan timur dilakukan dengan cara berbeda. Pemekasan dan Sumenep
(madura timur) dikelola sebagai daerah swapraja sehingga pengangkatan bupati
dilakukan melalui pendatanganan kontrak ikatan politik. Sebaliknya, madura
barat diperlakukandengan pendatanganan janji syarat (Rifai, 1993:46).
Namun, pada paruh ekdua abad
ke-19, pemerintah kolonial belanda berangsur-angsur menghapus swapraja di
madura, dengan diwakili dari Pemekasan (1858). Pengelola wilayah madura secara
langsung ditangani sendiri oleh pemerintah colonial hindia belanda sehingga
akhir kekuasaannya dengan membentuk madura sebagai daerah keresidenan
(Abdurrachman, 1971:57). Dalam mengelola wilayah, residen madura dibantu oelh
beberapa orang asisten residen yang wilayah kerjanya tumpang-tindih dengan
daerah kekuasaan bupati. Konsekuensi reformasi administratif tersebut adalah
menguatkan hak-hak ekonomi belanda di satu sisi dan hilangnya privilege yang sebelumnya memiliki kaum
ningrat madura, misalnya menyangkut penarikan pajak, upeti, percaton, dan pancen (Kuntowijoyo, 1993:89-94).
Bagi masyarakat
kebanyakan,reorganisasi admistrasi pemerintahan madura dinilai membawa banyak
dampak positif. Penghapusan kerajaan mengurangi konflik antar penguasa lokal
madura sehingga kesengsaraan rakyat berkurang. Rakyat biasa tidak segan membuka
lahan pertanian baru karena tidak ada kekuatiran bahwa lahan yang dibuka dengan
susah payah akan diklaim oleh raja seperti masa sebelumnya (Rifai, 1993:59).
Dengan kata lain, dibawah pemerintahan langsung, hak milik individual atas
tanah yang mereka peroleh, baik lewat hak waris tertentu maupun hak yasan,
diakui dan dikodifikasikan menurut hukum barat sehingga lebih terjamin.
Disamping itu, secara langsung, rakyat biasa akan merasakan beban mereka
menjadi lebih ringan berkat digantikannya pajak tanah dan pajak rumah tangga
oleh iuran baru yang lebih ringan, termasuk penghapusan kerja wajib (pancen) yang dahulu diberikan para
keluarga bangsawan (De Jogle, 1990:12-13).
Dalam lapisan sejarah madura
jangka menengah (menyangkut dimensi ekonomi), irama perubahan berlangsung lebih
lambat. Pandangan demikian, setidak-setidaknya, menemukan pembenaran dalam
gambaran umum mengenai masyarakat madura bahwa karakteristik masyarakat agraris
masih tetap melekat. Meskipun dalam proporsi yang berubah, kenyataannya
masyarakat penduduk madura masih menguntungkan kehidupannya, baik secara
keseluruhan maupun sebagian besar, pada sector pertanian (De Jogle, 1998b).
masih dominannya sifat agraris seakan mengilustrasikan betapa lama rentang
waktu yang panjang masyarakat madura tidak banyak mengalami perkembangan yang
signifikan. Bahasa Kuntowijoyo (1993:62), “madura sekarang ini masih merupakan
daerah masa lalu”.
Data sensus
tahun 1971 menggungkapkan sekitar 80% dari total angkatan kerja dimadura,
sebesar 911.000, mengeluti sector agraris (termasuk nelayan) untuk menopang
kehidupannya. Persentase tertinggi terdapat dikabupaten Pamekasan, yakni 88,2%,
sehingga diketiga kabupeten lainnya masing-masing: Sampang (77,4%), Sumenep
(78,2%), dan Bangkalan (76,9%) (Niehof, 1985:19).Data struktur penduduk menurut
mata pencaharian di madura tahun 1992 menyebutkan bahwa 64% penduduk berkerja
di sector pertanian,di susul kelompok penduduk dengan mata pencaharian di
sector perdagangan sebesar 11%,dan industri kurang lebih 9% (jawa
timur membangun,1993). Secara lebih mendetail,sekitar 60% penduduk
pamekasan adalah petani dan buruh tani,sedangkan di kabupaten sampang,211.000
orang (sekitar 85%) dari 261.000 orang jumlah angkatan kerja bermata pencaharian
sebagai petani (tim LIPI,1995:17).
Sebagai
perbandingan,pada akhir abad ke-19 residen madura,luplink weddik,mencatat bahwa
sector pertanian merupakan tulang pungung kehidupan mayoritas masyarakat madura (niehof,1985:28).
Dalam kegiatan
pertanian,tanah merupakan factor penting karena menjadi pondasi bagi
berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut. Perubahan yang terjadi menyangkut
persediaan dan cara lahan pertanian digunakan merupakan petunjuk penting
mengenai arah perkembangan sector pertanian. Data statistic mengenai areal
tanah pertanian madura paling tua yang berhasil di peroleh adalah sejak tahun
1886. untuk periode sebelumnya, data tidak tersedia. Namun ,secara umum,dapat
di duga bahwa areal tanah pertanian pada priode sebelumnya cendrung meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berdasarkan pada data yang tersedia, dapat di tampilkan secara kronologis
perkembangan lahan pertanian di madura pada era colonial.
Berbeda dengan jawa, yang pertanianya secara
dominant di lakukan pada lahan sawah pertanian madura sebagian besar dilakukan
pada lahan tegalan. Dominasi tegalan dalam pertanian boleh di katakana belum
beriubah. Meskipun selama priode pemerintahan orde baru dengan di lancarkan
kebijakan pertanian yang popular dengan sebutan revolusi hijau di antaranya
melalui pembangunan sistem irigasi lahan sawah dengan irigasi teknis di madura
tetap sama saja,sempit, dan terbatas. Program revolusi hijau dengan target
peningkatan produksi beras ternyata tidak membawa pengaruh besar terhadap
sector pertanian madura,khususnya dalam hal produksi padi. Hal itu,di sebabkan
program tersebut lebih di rancang untuk menerapkan di daerah-daerah dengan
sector pertanian sawah dari pada ekosistem yang lain. Seperti di kemukakan Palte (1989:12). Terdapat bias
sawah dalam kebijakan pemertitah orde baru di sector partanian. Dengan
demikian,program tersebut kurang cocok, baik bagi pertanian di daerah dataran
tinggi maupun di daerah dengan karaktistik fisik berupa ekologi tegalan,
seperti madura.
Mengacu pada pikiran Braudel mengenai sejarah
lapisan jangka panjang, secara structural,madura tidak banyak berubah. Ekologi
tegalan masih mempengaruhi cara kegiatan-kegiatan ekonomi di lakukan. Dengan
dominanya lahan tegalan aktivitas pertanian padi hanya dapat dilakukan di areal
tanah yang relatif terbatas. Kalaupun aktivitas penanaman padi di
selengarakan,sebagian besar penanam hanya di lakukan setahun sekali,yakni saat
musim penghujan.hal tersebut untuk menjamin tercukupinya kebutuhan irigasi
dengan pertimbangan sangat terbatasnya persediaan air irigasi di daratan
madura. Sehubungan dengan itu,tanaman pertanian yang lebih dominant dalam
ekologi tegalan madura adalah jagung,tenaman yang tengkat kebutuhan irigasinya
lebih kecil dari pada tanaman padi. Namun,selain jagung masih mdi jumpai pula
berbegai jenis tanaman lainya,seperti ketela, kacang-kacangan, kedelai,
umbi-umbian dan tembakau.
Lebih dominanya tanaman jagung di bandingkan
dengan padi dalam pertanian di madura secara eksplisit tercemin dalam luas
areal penanaman. Data statistic colonial untuk tahun 1920 menunjukan bahwa
total penanaman padi hanya mencapai 81.100 hektar,sedangkan penanaman jagung
mencapai 371.900 hektar. Pada tahun 1940,area pananaman padi,meningkat sedikit
menjadi 86.300 hektar,sedangkan untuk penanaman jagung terjadi peningkatan
lebih besar,yakni menjadi 309.700 hektar (boomgaard dan van zanden,
1990:96-97). Pada tahun 2000,luas panen padi di seluruh madura sebesar 120.000
hektar, sedangkan luas panen jagung mencapai 377.800 hektar (jawa timur dalam angka 2000,2001:140,144).
Akibatnya,meskipun mempunyai corak agraris,dalam
segi pemenuhan kebutuhan pangan, madura sangat tergantung pada impor beras dari
luar pulau. Kekurangan dalam persediaan kebutuhan bahan pangan,khususnya
beras,harus di tutup mendatangkan dari daerah lain, baik dari jawa maupun
bali,yang secara histories di kenal sebagai daerah lumbung padi,termasuk di
antaranya adalah keresidenan besuki. Tidak mengherangkan,inpor beras bagi
madura merupakan fenomena yang mencolok dan sudah berlangsung lama. Pada tahun
1866, dilaporkan bahwa pamekasan mendatangkan beras sebesar 41.119 pikul beras
dan 98.178 pikul padi ( kuntowijoyo, 1980:98) dapat di duga bahwa kegiatan
memasukan beras dan padi dari luar terus berlangsung sepanjang tahun karena
penduduk madura juga terus bertambah. Besarnya infor berfluktuasi dengan di
jadikanya bahan pengan non beras, utamanya jagung,sebagai salah satu bahan
makanan pokok. Bagi masyarakat madura,konsumsi jagung sebagai bahan pangan
pokok merupakan kebiasan yang mempunyai akar histories panjang dan sebagian
bentuk adaptasi cultural dengan kondisi limgkungan fisik yang mereka hadapi di
madura ( manggistan, 1986:99).
Bukti kualitatif juga banyak menggambarkan adanya
impor beras dari luar ke madura. Sumber-sumber arsip colonial, khususnya memori
residen madura, selalu menyebutkan adanya impor beras. Residen betten (dalam
kartodirdjo, et al, ed., 1978:CXLI)
pada tahun 1923 menulis bahwa madura setiap tahun harus mendatangka beras dari
jawa. Demikian pula, kontrolir Sampang, Van Mourik (dalam Kartodirdjo, et la, ed., 1978:CLXXVI), pada tahun
1924 menyebutkan bahwa setiap tahun harus didatangkan bahan pangan beras dalam
jumlah cukup besar. Residen madura pada era kemerdekaan, R. Soeharto
Hadiwidjojo, pada tahun 1951 menyatakan bahwa produksi bahan pangan di madura
hanya mencukupi untuk periode 7,8 bulan hingga kekurangannya harus
dipecahkan dengan mendatangkan dari
daerah lain (madura membangu,
1951:18).
Pada periode orde baru, ketergantungan terhadap
beras yang didatangkan dari luar pulau tampaknya semakin bertabah besar, karena
disamping jumlah penduduk terus meningkat, dikalangan masyarakat madura telah
terjadi peralihan bahan makanan pokok secara signifikan dari jagung ke beras,
bahkan di Bangkalan hal ini sangat dianjurkan (Bangkalan Ceria, 1993: 106). Kecenderungan yang sama juga
berlangsung didaerah-daerah lain di Indonesia, sebagaimana ditengarai oleh Van
Der Eng (Van der Eng, 1996:205; Subaharianto dan Nawiyanto, 2002:C). dengan
semakin merosotnya ketahanan pangan seperti ditunukkan dengan pentingnya katan
impor beras dewasa ini, serangkaian upaya ditepuh di madura untuk mendorong
msyarakat madura menguangi ketergantungan pada bahan pangan beras dan
menganjurkan mereka kembali mengkonsumsi bahan pangan jagung lebih banyak.
Komoditas pertanian di madura yang mempunyai arti
paling penting secara komersial hanyalah tembakau. Posisi strategis tembakau
bagi perekonomian masyarakat madura baru mulai terjadi terutama sejak decade
pertama abad ke-20. perluasan budidaya tenaman tembakau tidak terpisahkan dari
sepak terjang kaum migrant madura yang bekerja di perkebunan tembakau di jawa,
khususnya di Besuki, sebagai salah satu dari tiga pusat perkeunan tembakau
terpenting pada era Indonesia colonial, selain Deli Sumatera Utara dan Vortenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).
Pada saat kembali kemadura dari siklus migrant musiman, mereka mempraktikkan
pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam penanaman tembakau pada lahan
yang mereka miliki. Tanaman itu dibudidayakan pada lahan-lahan kering yang
sebelumnya tidak pernah ditanami pada saat musim kemarau (De Jogle, 1990:15).
Perluasan tanaman tembakau di madura semata-mata
merupakan bentuk usaha pertanian rakyat yang di9lakukan dalam skala kecil dan
meibatkan banyak keluarga petani, daripada merupakan usaha dalam skala besar
yang dikembangkan oleh para pengusaha swasta barat. Dari beberapa rintisan
usaha perkebunan, madura dianggap tidak memberikan keuntungan secara memadai
sehingga para pengusaha barat tidak tertarik melakukan investasi lebih lanjut. Rintisan usaha perkebunan yang dilakukan
pun pada akhirnya ditinggalkan (Kuntodirdjo, 1980:59-6).
Produksi tembakau hanya sebagian kecil digunakan
di madura, sebagian besar produksi tembakau di jual ke jawa sebagai tembakau
rajangan atau tembakau kerosok (Memory
Residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et
la, ed. 1978:CXLI). Produk tembakau y7ang dihasilkan di madura sebagian
dibeli oleh pabrik-pabrik rokok yang banyak berdiri diberbagai kota di jawa,
sebagian lagi diekspor ke laur negeri (Memory
Residen J.G. van Heyst, dalam Kartodirdjo, et la, ed. 1978:CXLVI). Meningkatnya persaingan dalam pasar
tembakau membuat sebagian pengusaha pabrik terpaksa membeli bahan baku tembakau
dari wilayah marginal yang harganya lebih murah. Factor inilah yang mempengaruhi
penerimaan tembakaumadura yang dari segi kualitas sebenarnya jauh dibawah
tembakau jawa (Vleming, 1925:167).
Sejak tahun 70-an, areal penanaman tembakau
mengalami peningkatan secara signifikan dengan jangkauan pasar yang semakin
luas dan melibatkan jaringan pedagang yang semakin banyak (De Jogle, 1990:21).
Kekacauan yang berlangsung di daerah produsen tembakau di jawa sesudah
proklamasi sebagai akibat kasus-kasus sengketa tanah antara perkebunan dan
petani memungkinkan tembakau madura masuk ke pasar tembakau secara lebih cepat.
Dalam decade berikutnya, areal penanaman terus menunjukkan kacenderungan kearah
perluasan. Tembakau madura merupakan salah satu baku penting bagi industri
rokok di Indonesia, khususnya rokok kretek (Hartodi, 1990:1). Meningkatnya
permintaan bahan baku, seiring dengan ekspansi industri rokok pada era
kemerdekaan memberikan rangsangan bagi petani madura untuk memperluas penanaman
tembakau. Seperti tampat dalam tabel 2.6, areal penanaman tembakau meluas
secara signifikan dari 19.400 hektar pada tahun 1975 menjadi 37.000 hektar pada
tahun 2000.
Tabel 2.6 luas penanaman tembakau di madura
Tahun
|
Area (Ha)
|
1900
|
2.593
|
1920
|
3.551
|
1935
|
5.507
|
1965
|
13.241
|
1975
|
19.402
|
1995
|
32.050
|
2000
|
37.079
|
Sumber: jawa
timur dalam angka 2000.
Berdasarkan data luas area penanaman seperti
tampak dalam tabel 1.6, daerah produksi tembakau yang terpenting dimadura
adalah kabupaten Pamekasan, diikuti oeh kabupaten Sumenep. Dalam area yang
lebih kecil, penanaman juga dilakukan di kabupaten Sampang, sedangkan dikabupaten
Bangkalan secara praktis dapat dikatakan tidak signifikan. Demikian juga,
secara umum, tembakau lebih penting bagi perekonomian masyarakat di madura
timur daripada di madura barat. Penjelasan itu menyangkut perbedaan kondisi
tanah dan kalim antara kedua bagian wilayah, karena tanaman tembakau tidak
dapat ditanam di sembarang tempat. Untuk mendapatkan tanaman tembakau yang
berkualitas diperlukan sejumlah persyarakat khusus menyangkut kondisi tanah dan
iklim karena tembakau termasuk tanaman yang sangat rentan dan beresiko tinggi.
Abel 2.7 areal
penanaman tembakaudi madura, 1995-2000 (dalamhektar)
Kabupaten
|
Tahun
|
|
1995
|
2000
|
|
Bangkalan
|
-
|
20
|
Sampang
|
4.185
|
6.035
|
Pamekasan
|
18.032
|
18.347
|
Sumenep
|
9.833
|
12.617
|
Total Madura
|
32.050
|
37.019
|
Jawa Timur
|
93.603
|
98.380
|
Sumber: jawa
timur dalam angka 2000
Di laur aktivitas sector pertanian, sebagian
penduduk madura menyandarkan kehidupannya pada sktor perdagangan,peternakan,
dan maritime, khususnya perikanan, dan garam. Perkembangan sector non-pertanian
merupakan salah satu konsekuensi dari keterbatasan dan ketidakmampuan sector
pertanian di madura dalam menjamin kehidupan seluruh penduduk madura.
Perdagangan dari madura terutama terkait dengan berbagai hasil bumi yang
dihasilkan di wilayah itu. Di samping itu, selain terkait dengan produk-produk
pertanian, ternak khususnya lembu,juga merupakan barang daganganyang menonjol
dari daerah madura (memory residen F.B.
Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed.,
1978:CXLI).
Peternakan lembu memberikan konstribusi sangat signifikan
bagi perekonomian masyarakat madura, karena banyak ternak lembu dikirim ke luar
daerah terutama Jawa untuk diprdagangkan, baik aebagai sapi pemancek maupun
untuk pemenuhan kebutuhan pasar daging. Pada era colonial, diperkirakan madura
mengirim puluhan ribu lembu sebagai lembu potong. Pada tahun 1926, misalnya,
dikirim hamper 80.000 ekor lembu potong, sedangkan pata dahun 1927 sebanyak
70.000 ekor (memory residen J.G. van
Heyst, dalam Kartodirdjo, 1978:CLXIII). Begitu pentingnya sapi bagi orang
madura, bukan saja tercermin dari segi ekonomis melainkan juga dalam aspek
sosiologis. Bagi orang madura, sapi juga merupakan symbol status dan karapan
sapi melekat sebagai salah satu identitas masyarakat madura hingga sekarang
(Robnson, 1977: 22-23).
Sector perikanan juga telah lama dan secara
tradisional digeluti sorang madura. Laporan colonial menyebutkan bahwa madura
mengirim sejumlah besar ikan asin ke jawa dan bali. Disamping itu, produk ikan
asin, sector perikanan madura juga menghasilkan tripang dan terasi. Terasi terutama dikirim ke
bali, sedangkan tripang dikirim kesingaura. Sector ikan dan sector garam di
madura merupakan dua usaha yang saling melengkapi. Pasa saat musim penghujan,
tampak dan talangan terndam air sehingga yang mengring dipergunakan untuk areal
pembuatan garam.
Industri garam di madura agaknya jauh lebih
menonjol daripada sector perikanan. Hal itu, setidak-tidaknya, tercermin dari
atribut yang telah lama dilekatkan pada madura sebagai pulau garam. Produksi
garam di madura tersebar diberbagai tempat, baik di Pamekasan, Sampang, maupun
Sumenep (memory residen F.B. Batten, dalam
Kartodirdjo, et la, ed,
1978:CXLII-CXLV). Garam di madura tidak hanya dihasilkan oleh pemerintah,
tetapi juga diproduksi oleh rakyat. Posisi garam akyat sangat penting seperti
diindikasikan oleh kualitas produksinya, sampai-sampai pemerintah colonial
merasa perlu untuk melakukan pembatasan terhadapgaram rakyat. Bahkan, kemudian,
pemerintah colonial melakukan monopoli garam (memory kontrolir sampang, F. van Mourik,dalam Kartidirdjo, et al, ed., 1978: CLXXXVI).
Terlepas dari beberapa potensi ekonomi tersebut,
jumlah penduduk madura yang padat dan lahan pertanian yang terbatas serta
kurang suburmembuat beban kehidupan penduduk menjadi semakin berat.
Peluangmenjadikan sector pertanian sebagai andalan untuk menopang kesejahteraan
masyarakat madura dapat dikatakantertutup. Hal itu sjajar dengan kesimpulan
ahan (1996:147-28) bahwa kondisi tanah yang kering dan pemilikan lahan yang
semakin sempit tidak akan mampu memberikan penghidupan yang layak bagi rumah
tangga petani madura, sedangkan industrialisasi, khususnya yang mempunyai
kapasitas menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, merupakan satu-satunya
pilihan untuk membangun kehidupan masyarakat madura yang lebih baik. Diabaikannya
pilihan ini hanya akan melestarikan wajah muram adura sebagai asalah satu
daerah miskin dan terbelakang di Indonesia.
4.4. MENGENAL BATAK KARO DI SUMATERA
UTARA
Bahasan ini mengenai etnis Batak Karo yang
berdomisili di Kecamatan Namo Rambe, di luar tanah Karo yang masih memiliki
keterikatan dengan daerah Karo. Subyek penelitian adalah masyarakat
muslim Karo yang tinggal di Kecamatan Namo Rambe Kabupaten Deli Serdang. Secara
kuantitatif di kecamatan ini terdapat 12.460 jiwa penduduk Muslim (sekitar 40%
dari 29.726 jiwa), namun yang termasuk dalam kelompok muslim karo hanya
berjumlah 2.321 jiwa. Jumlah kira-kira 15% dari penduduk dari etnis Karo yang
ada di sana .
Mereka ini tersebar pada 36 desa di seluruh kecamatan.
Dahulu ada pendapat
umum di lingkungan masyarakat Karo: "bahwa masuk agama Islam atau menjadi
muslim berarti keluar dari suku Karo". Istilah senada berkembang pula di Namorambe, yang menyatakan bahwa
"masuk Islam berarti menjadi orang Jawa. Pernyataan ini
mengesankan Islam adalah suatu sistem yang sama sekali baru dan bertolak
belakang dengan budaya Karo. Alasan yang digunakan yang mendukung
pendapat umum ini adalah dikarenakan materi ajaran Islam itu sendiri, misalnya
soal bahwa haram memakan daging babi atau ketika seseorang meninggal dunia
mestilah segera dikebumikan, dan lain sebagainya. Tetapi sikap sosial serupa
tidak hanya terhadap Islam. Sebab, seperti dikemukakan oleh Pdt. Dr. Ginting
Suka, bahwa sesungguhnya kasus konversi dalam masyarakat Karo, bukan hanya
Islam saja yang dianggap sebagai pemecah kekeluargaan dalam masyarakat Karo,
agama Kristen pun pada masa penjajahan dulu demikian, bahwa "masuk Kristen
berarti sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai orang Karo".
Belakangan,
terutama setelah banyak orang Karo yang menjadi ustaz atau pendeta, kasus
"pobia" terhadap Islam dan Kristen oleh masyarakat Karo pada umumnya,
sudah tidak terjadi lagi pada kurun waktu 15 tahun terakhir, karena mayoritas
orang Karo telah melakukan konversi dari kepercayaan pemena ke salah
satu agama besar, khususnya Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Hindu.
Suatu hal yang
menarik adalah sikap sosial dan pemahaman komunitas Muslim Karo yang cenderung
moderat. Dalam kasus Namorambe, sikap "moderat" ini diwakili oleh
gerakan dakwah organisasi muslim Karo (KAMKA). Salah satu implikasi sikap
moderat ini adalah sikap terhadap adat-budaya Karo. Mereka menyatakan dalam
sikap dan perilaku bahwa "agama Islam" bukanlah musuh
"adat" Karo. Menurut pengakuan salah seorang pengurus KAMKA, Erwin
Tarigan, bahwa kini agama Islam bagi masyarakat Karo bukanlah menjadi halangan
untuk melakukan adat-istiadat. Terkait dengan isu bahwa Islam menghalangi
masyarakat untuk "beradat", justru dibantah oleh Erwin Tarigan,
dengan mengutarakan satu contoh bahwa sesungguhnya kini Islam malah menjadi
agama alternatif bagi masyarakat yang secara adat dianggap menayalahi, seperti
kawin semarga.
Menurut pengakuan
salah seorang pengurus KAMKA, bahwa faktor perkawinan, menjadi faktor
penting masuk Islamnya masyarakat Karo. Konversi dengan motif perkawinan
dianggap justru lebih kuat mentaati agama baru daripada konversi massal karena
otoritas. Mereka yang telah menjadi muslim karena latar belakang perkawinan
lebih serius pada agamanya yang baru itu. Cara seperti ini sangat berhasil
dilakukan dalam proses Islamisasi dengan damai dan tanpa paksaan.
Salah seorang
pemuka masyarakat yang dulu pernah menjabat sebagai Kepala desa Namo Pinang,
kecamatan Namorambe, menceritakan bahwa dirinya adalah salah seorang dari
banyak masyarakat Namorambe yang memeluk Islam pada masa Haji Baharoeddin
Siregar sebagai Bupati Deli Serdang. Bagaimana perhatian Bupati dan mesranya
kawan-kawan yang baru muslim ketika itu saat diundang makan bersama oleh
seorang Bupati diceritakan olehnya. Sungguh ia bukan menjadi muslim yang taat
karena tidak belajar Islam secara serius setelah "bersyahadat" namun
ia tidak memakan daging babi sedikitpun. Pantangan ini bukan karena syariat
Islam, atau pantangan "sila tengka", tetapi disebabkan adanya
larangan dari roh halus yang masuk kepada istri beliau, dan roh halus itu
mengaku sebagai Haji Halim. Anehnya justru beliau secara perlahan menjauh dan
keluar dari Islam karena takut kepada para leluhur, menurut beliau para leluhur
"marah" kepadanya. Banyak kisah yang diceritakan terkait dengan
kekuatan "magis" yang diartikan sebagai pencegahan agar beliau tidak
berada sebagai seorang muslim. Akan tetapi beliau tidak menceritakan bagaimana
kepercayaan kepada kekuatan magis itu ketika kini beliau menjadi muslim
kembali. Alasan mengapa menjadi muslim adalah karena sebahagian anak-anak
beliau yang telah merantau sudah menjadi muslim, "ada rasa malu"
kepada anak-anak, dan demi anak-anak, akhirnya beliau merasa enak berada
bersama gerakan organisasi KAMKA.
Gelombang kedua
masuk Islamnya masyarakat Namorambe, yang terkait dengan faktor
"penguasa" sungguhpun tidak ada bukti adanya unsur memobilisasi
kekuatan besar ditambah dengan intimidasi dan paksaan, terjadi pada masa
Tenteng Ginting, sebagai Bupati Deli Serdang yang ke VIII (3 Maret 1979 s/d 3
Maret 1984). Salah seorang tokoh masyarakat mengenang peristiwa bagaimana ia
memeluk Islam ketika itu, ia menceritakan betapa bangganya menjadi seorang
muslim karena salah seorang putra terbaik Deli Serdang adalah orang Karo dan
beragama Islam pula. Akan tetapi sangat disayangkan, karena ternyata dari
sekitar 50 orang yang ketika itu bersayahadat menjadi muslim, justru sampai
kini hanya satu orang saja yang bertahan dalam agama Islamnya, itupun mungkin
karena ianya tidak berada lagi di Namorambe karena merantau.
Terjadinya konversi
agama menjadi muslim di Namorambe lebih banyak disebabkan oleh faktor
psikologis dan sosiologis, misalnya disebabkan karena merasa terlindungi oleh
kuatnya solidaritas keislaman di masyarakat dalam bentuk organisasi dan LSM,
faktor malu sebagaimana kasus mantan kepala desa Namo Pinang, faktor
perkawinan semarga yang disahkan dalam Islam, faktor cinta/perkawinan dan lebih
banyak terjadi pada generasi belakangan disebabkan oleh faktor keturunan,
karena orangtuanya sudah menjadi muslim, maka merekapun mestilah muslim.
Sedangkan faktor teologis yakni masuk Islam karena "hidayah" sulit
untuk dibuktikan, terjadi di daerah Namorambe.
Modus Konversi(pindah agama).
Hubungan masyarakat Karo dengan agama Islam, diduga sudah terjadi sejak lama,
yakni awal abad ketujuh belas, karena pada masa itu "datanglah gelombang
invasi dari berbagai marga dari arah Dairi dan Toba yaitu Barus, Lingga dan
Sitepu dan lain-lain yang menurut suku "Karo" itu bukan asli Karo
sehingga dinamakannya Karo-Karo. Mereka itu lalu menetap dan membuat
perkampungan (kuta) sampai di dataran rendah dekat Deli Tua dan Binjai.
Marga Tarigan datang dari Dolok dan Simalungun dan juga dari Lehe (Dairi)
berjalan menuju Nagasaribu dan Jupar. Satu cabang mereka pergi turun ke pesisir
(Ale-Deli dekat Pulau Brayan) dan bahkan sampai ke Siak. Masa itu juga Guru
Patimpus mendirikan perkampungan-perkampungan (Kuta-Kuta) sampai di Medan
sekarang". Sementara itu di wilayah "Dusun" (pedalaman/di
bawah kaki bukit Barisan) ada suatu suku yang menyebut dirinya Karo (atau Haro
di Asahan) yang kini sisanya masih tinggal di kampung Siberraya (dekat di atas
Deli Tua) dan disebut bahwa mereka marga Karo Sekali (asli) Mereka inilah
(yang Islam) yang bercampur baur dengan orang-orang Melayu pesisir yang
menjadikan penduduk kerajaan Haru (Deli).
Kerajaan Haru yang Islam berpusat di Deli. Sejak akhir abad ke 16 nama Haru
telah berubah menjadi Ghuri dan kemudian diawal abad ke 17 menjadi Deli. Ketika
Raja Haru bernama Raja Pahlawan dihina oleh raja Pasai sehingga terbitlah
peperangan. Akibatnya Pasai diduduki Haru tetapi Pasai kemudian dibantu Malaka
sehingga Malaka yang amenjadi musuh Haru. Dalam suatu perundingan di Pangkalan
Dungun delegasi Haru dipimpin oleh Serbanyaman Raja Purba dan Raja Kembat.
Nama-nama ini berbau Karo. Bila Haru di Deli adalah Islam maka tidak mustahil
orang-orang Karo sudah sangat dekat atau menjadi muslim pada masa itu karena
memang penduduk Haru itu berasal dari penduduk Karo Sekali (asli).
Kedekatan masyarakat Karo dengan penguasa di tanah Deli mungkin sudah
ditakdirkan Tuhan, sehingga konversi menjadi muslim dengan latar belakang
kekuasaan menjadi senaluri dengan masyarakat Karo. Sosialisasi bahwa agama
Islam itu mengajarkan kebersihan dan merasionalisi bahwa ajaran Islam itu
sesuai dengan kodrat kemanusiaan, tampak membuahkah hasil yang memadai. Lebih
dari itu tokoh-tokoh muda yang mempunyai wawasan "luas" dan tentunya
"moderat" dan "rasional" menjadi pendorong yang membuat
masyarakat "bergairah" melakukan konversi menjadi muslim.
Masyarakat Karo yang menjadi muslim karena "keturunan" tentu lebih
banyak dibandingkan kepada faktor penyebab yang lain. Menurut Massa Sembiring,
bahwa ketika ada pengabdian masyarakat dari mahasiswa, pernah didata sekitar
1500 keluarga masyarakat Karo muslim yang ada di Namorambe. Dari jumlah
tersebut terdapat sedikit yang muslim karena menyadari bahwa Islam adalah agama
yang "benar" dan diridhai Tuhan. Kebenaran agama Islam disadari setelah
lama mereka menjadi muslim, biasanya mereka yang muslim sejak kecil karena
orang tua mereka lebih dulu menjadi muslim, lalu mereka belajar agama Islam
melalui sekolah dan ada yang sampai ke perguruan tinggi; mereka inilah yang
keislamannya "dalam", keimanannya "kokoh" dan beberapa di
antara mereka inilah yang kemudian menjadi pengajar Islam dan pengembang Islam
di tengah-tengah masyarakat di Namorambe.
Konversi agama menjadi muslim karena menikah dengan wanita atau lelaki muslim
termasuk faktor terbanyak kedua setelah faktor keturunan. Menurut salah
serorang pengurus KAMKA bahwa konversi agama menjadi muslim akibat perkawinan
ini dapat terjadi mereka yang berasal dari pemeluk agama Kristen maupun mereka
yang berasal dari penganut kepercayaan nenek moyang yaitu "pamena".
Apabila mereka berasal dari pemeluk Kristen, maka tantangan dirasakan lebih
keras, dibanding mereka yang berasal dari "pamena".
Respon Sosial Terhadap
Konversi Agama.
Adalah pengalaman
seorang yang dulunya beragama Kristen, tapi belakangan jatuh cinta dan menikah
dengan seorang wanita yang sejak kecil sudah menjadi muslim karena orang tuanya
sudah lama muslim. Beliau mengaku mendapat teror dari pihak keluarganya, karena
ia adalah satu-satunya dalam keluarga yang keluar dari Kristen kemudian menjadi
muslim karena perkawinan. Bentuk teror dan ancaman itu bermacam modelnya,
pertama tentunya diboikot dan dianggap tidak lagi keluarga sehingga dalam kurun
waktu tertentu tidak diajak bicara dalam hal apapun yang terjadi dalam
keluarga. Tetapi belakangan teror itu berubah menjadi upaya untuk menarik
kembali ke dalam agama Kristen tentunya dengan berbagai cara pula, antara lain
dengan mengupayakan agar ianya datang dan akrab dengan keluarga, sehingga
ketika ada upacara pesta disuguhkan makanan yang dilarang oleh agama Islam,
"daging babi" misalnya. Kini pasangan itu hidup serasi dan sudah
mempunyai keturunan. Keluarga mereka terlihat taat beribadah dan mengakui bahwa
teror keluarga yang masih Kristen itu berhenti ketika mereka mempunyai anak
yang pertama, kini anak mereka sudah tiga orang.
Sepanjang sejarah
konversi masyarakat Karo, menjadi muslim, respon sosial hanya sebatas tekanan
psikologis. Hukuman dalam bentuk adat hampir dikatakan tidak terjadi terutama
pada masa belakangan ini, karena sungguhpun ia adalah seorang muslim, tetapi
pembagian harta warisan misalnya masih menggunakan adat dan istiadat Karo.
Ungkapan bahwa masuk Islam berarti menjadi orang Jawa, tidak berarti bahwa
mereka yang menjadi muslim lantas dilakukan adat Jawa kepadanya. Sikap sosial
masyarakat Karo yang non-muslim terhadap keluarganya atau masyarakat lainnya
yang menjadi muslim sangat interaktif. "Silatengka" atau larangan
memakan makanan tertentu semisal "daging babi" bagi masyarakat Karo,
telah membuat masyarakat Karo yang non-muslim tidak sakit hati atau tersinggung
kepada saudara mereka yang muslim ketika tidak mau ikut makan bersama dengan
mereka yang sedang memakan daging babi. Ternyata bukan hanya mereka yang muslim
berpantang makan daging babi tetapi yang beragama Kristen juga banyak yang
berpantang makan daging babi. Adanya larangan dan pantangan yang juga
terdapat dalam adat istiadat masyarakat Karo terutama dalam soal makanan itu,
tumbuh menjadi tenggang rasa dan saling menghargai terhadap kepercayaan dan
agama yang berbeda dalam masyarakat Karo.
Pesta adat setahun
sekali yang disebut "pesta tahun", salah satu upacara yang masih
dilakukan oleh masyarakat Karo, adalah menjadi salah satu perekat kekeluargaan
dan budaya masyarakat Karo, baik yang beragama Islam maupun yang non-muslim.
Karena persoalan makanan dan minuman, interaksi sosial sedikit terganggu, akan
tetapi tidak pernah menjadi persoalan yang mengarah kepada perpecahan dan
keterbelahan yang abadi dalam kekeluargaan masyarakat Karo. Sungguhpun sampai
kini ada beberapa kasus bahwa keluarga yang menjadi muslim tidak mau datang
berkunjung ke rumah saudaranya yang masih belum muslim dengan alasan "soal
makanan dan minuman", atau bahkan masih ada diantara mereka yang tidak mau
menghadiri pesta adat setahun sekali itu.
Dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya di sebuah warung kecil kepunyaan orang Karo yang muslim,
banyak orang minum kopi dan teh manis sambil bercerita bersama, padahal di
antara pengunjung yang singgah di warung kopi itu beberapa di antaranya adalah
orang Karo yang non-muslim. Dalam hal kunjung mengunjungi ketika terjadi
kematian pun mereka interaktif. Untuk mengatasi ketegangan psikologis karena
isu bahwa Islam itu menolak adat dalam hal "kematian", maka
masyarakat Karo muslim mengupayakan untuk datang segera ke rumah duka bila yang
meninggal itu berasal dari keluarga atau masyarakat yang non-muslim. Sikap
seperti ini menghasilkan respon yang baik dan bahkan kini sudah dapat diterima
oleh masyarakat bila orang Islam punya aturan seperti itu, bukan karena tidak
lagi mau menjadi orang Karo.
Masyarakat Karo,
dikatakan mempunyai watak mudah tersinggung dan keras, namun dalam soal agama
dan konversi termasuk masyarakat yang paling mudah berpindah agama atau
keyakinan. Entah mengapa sebabnya akan tetapi sikap seperti itu menjadi modal
utama dalam persoalan bertoleransi, sehingga "agama" bukan menjadi
hambatan dalam berinteraksi antara keluarga dan masyarakat. Mereka tetap
melakukan interaksi baik dalam kekerabatan, adat budaya, ekonomi maupun dalam
bidang politik.
Interaksi dalam Kekerabatan
Seperti etnis Batak
pada umumnya, suku Karo sangat menjunjung tinggi kekerabatan. Dalam kehidupan Orang Karo, kekerabatan menjadi unsur
terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan kekerabatan
ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari hubungan kekerabatan
ini merujuk pada hubungan darah dan perkawinan. Kelompok kekerabatan yang
paling kecil disebut jabu (keluarga). Istilah jabu dapat juga
menunjuk kepada kelompok sada bapa (satu ayah) yaitu kelompok
kekerabatan yang terdiri atas para pria sekandung yang telah menikah, dan
kelompok sada nini (satu kakek) yang masih dapat diketahui garis
silsilahnya. Kelompok kekerabatan yang terbesar adalah merga (marga,
klen).
Satu hal paling
penting dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo adalah bahwa kekerabatan itu merupakan hubungan sosial terbatas yang
diikat oleh hubungan yang spesifik. Konsep kekerabatan pada suku ini
terbentuk atas dasar hubungan darah (garis keturunan; geneologis, agnata) dan
perkawinan (affina). Dengan hubungan darah orang Karo menjadi sangat dekat,
sedangkan dengan perkawinan, pihak pria dihubungkan
dengan pihak wanita, kedua belah pihak menjadi berkerabat. Bila selama ini
telah terjadi hubungan kekerabatan, maka dengan terjadinya perkawinan,
kekerabatan itu semakin dieratkan, dan bila selama ini belum terjadi hubungan
kekerabatan, maka dengan terjadinya perkawinan ini, menambah anggota kerabat.
Berdasarkan hubungan agnata dan affina yang terus berkembang di lingkungan suku
Karo tercipta pola hubungan atau sistem kekerabatan atau kekeluargaan yang
meluas. Dari konsep merga dan bere-bere terbentuk pola hubungan
kekeluargaan bertingkat (sifat kedekatannya).
Dari dua faktor
ini, orang Karo memiliki dua identitas sekaligus, yaitu merga dan bere-bere.
Merga merupakan warisan yang tetap yang diterima dari jalur keturunan
ayah (geneologis), sedangkan bere-bere diperoleh melalui jalur
perkawinan (garis keturunan ibu). Merga disebut untuk laki-laki,
sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru
disandang di belakang nama seseorang. Lain hal dengan bere-bere, sebutan
ini tidak pernah dicantumkan sebagai identitas diri. Bere-bere akan
ditanya dalam kegiatan ertutur, untuk mengetahui hubungan kekeluargaan
seseorang.
Dalam istilah Karo,
kekerabatan disebut perkadekaden dan kerabat disebut kade-kade.
Pengertian kekerabatan dalam sistem budaya Karo sangat luas, jika
diabstraksikan pada masyarakat Karo akan terbentang suatu jaringan kekerabatan
yang menyangkut semua orang Karo. Ini bermakna bahwa -- jika dicari
silsilahnya, setiap orang Karo memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain.
Kekerabatan itu bersambung-sambung antara yang satu dengan yang satu lainnya,
bagaikan jaringan rantai jala.
Masyarakat Karo
dengan seluruh adat-istiadatnya tidak bisa dilepaskan dari peranan sangkep
si telu/daliken si telu dalam ikatan kekeluargaan. Hubungan kelompok sosial
dalam sistem kekerabatan ini membentuk pola-pola relasi sosial, baik tutur sapa
maupun struktur sosial dalam adat. Fungsi-fungsi ini lebih jelas terlihat dalam
kegiatan adat masyarakat Karo seperti upacara perkawinan, kemalangan, memasuki
rumah baru, ndilo wari udan (memanggil hari hujan), perumah begu
(memanggil arwah leluhur/nenek moyang), ngaleng tendi (memanggil roh
yang meninggalkan badan/jasad karena terkejut, sehingga orang itu sering
sakit), erpangir kulau (berlangir untuk membersihkan diri atau menolak
kemungkinan malapetaka karena mimpi buruk), porpor sage (upacara saling
memaafkan antara keluarga yang bertikai), ngulihi tudung (mengambil
pakaian perempuan yang baru kawin dari rumah orang tuanya), mukul
(upacara makan bersama pengantin), ngembah manuk mbur (upacara 7 bulanan
istri untuk anak yang pertama, ngelandekkan galoh (upacara mengingat dan
berterima kasih kepada arwah nenek moyang/leluhur), dan mere buah huta-uta
(memberi jamuan kepada penjaga tempat yang dianggap keramat).
Daliken Si
Telu pada etnis Karo terbentuk berdasarkan hubungan perkawinan antara merga-merga.
Merga adalah identitas geneologis yang terbentuk menjadi clan
(klan) khusus dan dengan nama tertentu. Setiap orang Karo tahu garis
keturunannya sampai beberapa generasi ke atas sampai ke merga induk atau
klan besar. Ertutur itu penting untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di
dalam masyarakat Karo. Ertutur (bertutur) adalah salah satu ciri orang
Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Setiap orang
Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi
masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam
proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang
lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa. Biasanya proses menmukan tutur diawali
dengan menanyakan marga, kemudian bere-bere (marga ibu) seseorang yang
juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka kenal, bahkan
mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk mengetahui tingkat
kekerabatan tersebut25. Menurut Henry Guntur Tarigan, tutur adalah sebuah pemeo Karo
yang berbunyi “Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe”, (kalau tidak
pandai bertutur, takkan ada tempat ke mana pun). Pemeo ini lebih terasa pada
masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan.
Pola kekerabatan
yang diatur dalam adat Karo, seperti diutarakan di atas memiliki implikasi ke
dalam pola interaksi sosial. Implikasi dimaksud berkenaan dengan tanggung jawab
sosial dan budaya, serta pola-pola hubungan antarindividu. Pertama,
implikasi sosial-budaya dari pola kekerabatan itu berkaitan dengan posisi dan
fungsi seseorang terhadap yang lain. Dalam hal ini, terdapat dua aturan pokok;
(1) orang yang berposisi sebagai anakberu harus hormat, takzim, dan
patuh kepada kalimbubu, serta selalu siap melaksanakan tugas-tugas
pengabdian kepada kalimbubu; dan (2) orang yang berposisi sebagai
junior, seperti kelas anak atau adik, harus menghormati dan mematuhi kelas
bapak atau abang. Kedua, implikasi dalam interaksi
sosial dari pola kekerabatan itu adalah adanya pola hubungan-hubungan yang
bersifat khusus antara satu sama lain. Dalam konteks ini, terdapat beberapa
kategori pola hubungan, dua di antaranya yang bersifat ekstrim adalah; (1) pola
hubungan yang akrab, seperti antara senina, antara dua laki-laki dan
perempuan yang berimpal, antara senina siparibanen atau sipemeren,
dan antara seseorang dengan mami; dan (2) pola hubungan terbatas bahkan
sangat terbatas (rebo; hubungan yang ditabukan), seperti antara
pemuda-pemudi yang erturang, antara seorang laki-laki dengan isteri
iparnya, antara anak dengan mertua (lain jenis; antara permen dengan
mertua laki-laki, atau antara menantu laki-laki dengan mertua perempuan). Pola
hubungan yang bersifat rebo ini sangat ketat dalam budaya Karo, sehingga
interaksi di antara mereka boleh dikatakan tidak ada, walau dalam bentuk
komunikasi biasa.
Interaksi Sosial Kekerabatan di
Namo Rambe
Sebagai etnik yang
plural dalam agama dan homogen dalam adat-budaya, dalam sistem sosial suku Karo
tidak mempersoalkan perbedaan agama, pekerjaan, organisasi, dan afiliasi
politik tetapi sangat konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya. Prinsip yang
dipegang orang Karo adalah semua orang yang termasuk dalam jaringan daliken
si telu adalah saudara dekat yang harus diperlakukan sesuai dengan tata
aturan adat. Karena itu, jika orang-orang Karo melaksanakan upacara adat atau
terjadi perjumpaan antara dua orang atau lebih Karo, maka yang utama adalah
hubungan kekerabatan (ertutur). Setiap orang harus menjalankan fungsi
sosialnya dalam melaksanakan adat, tanpa dibatasi oleh perbedaan-perbedaan. Di
dalam pergaulan juga, setiap pihak anakberu harus menunjukkan sikap dan
perilaku hormat kepada kalimbubu, demikian pula seterusnya setiap orang
dari generasi yang lebih muda (dilihat dari silsilah keturunan) harus hormat
kepada yang generasi yang lebih tua, sekalipun generasi yang lebih muda lebih
tua usianya dari generasi yang lebih tua. Semua itu dilakukan dengan penuh
kesadaran, tanpa dibebani oleh perbedaan keyakinan (agama).
Jadi yang
mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat
keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat
dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup
yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam
masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki
pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri.
Berdasarkan
penegasan di atas, pada umumnya orang-orang Karo di Kecamatan Namo Rambe lebih
mengedepankan norma-norma adat dalam pergaulan sosial antara mereka yang
berkerabat. Hal ini memberi makna bahwa ikatan daliken si telu atau
rakut si telu merupakan dasar utama dalam interaksi sosial antara mereka
yang masuk ke dalam jaringan kekerabatan.
Bagaimanapun dalam
persintuhan budaya tidak dapat dihindari adanya pergeseran tradisi etnik,
termasuk di lingkungan masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe. Dengan semakin
meluasnya jaringan pergaulan ke luar batas-batas etnik, tentu dengan sendirinya
terjadi penetrasi kebudayaan secara gradual. Terlebih lagi di kalangan
masyarakat Karo Namo Rambe, yang dalam kategori budaya Karo disebut sebagai Karo
Jahe, yang sejak lama telah banyak mengadopsi budaya Melayu Deli. Mungkin pada
konteks inilah perlu dicermati lebih jauh pergeseran pola interaksi kekerabatan
di lingkungan masyarakat Karo.
Pada dasarnya jiwa
dan tujuan perlakuan orangtua sebagai anak laki-laki dan perempuan dalam
masalah pewarisan dapat disimpulkan sebgai berikut: anak laki-laki sebagai
pewaris keluarga (marga) mewarisi harta benda yang mewarisi marga yang menjadi
marga yang menjadi tanda (lambang) keluarga (marga) terutama tanah dan barang-barang
yang tidak bergerak lainnya. Anak perempuan mendapat pembagian harta benda yang
adil untuk kepentingannya sendiri dan rumah tangganya kemudian dan hal ini
harus dianggap sebagai haknya. Jadi, menurut adat Karo bahwa seorang anak
perempuan tetap memperoleh warisan yang ditinggalkan oleh orang tuannya yang
diambil dari harta lain yang tidak melambangkan kekuasaan marga. Adat istiadat
ini masih dipegang teguh sebagai jiwa suatu masyarakat yang mampu menciptakan
kesejahteraan, tidak perlu diubah secara radikal, jika ada yang kurang sesuai
dengan perkembangan zaman dapat dimodifikasi, tanpa mengurangi nilai-nilai
luhur yang terkandung didalamnya. Dalam masyarkat Karo hak dan kewajiban, tugas
dan kedudukan pria dengan wanita berbeda, tapi harus di ingat perbedaan
tersebut bukan berarti wanita lebih rendah dari seorang laki-laki.
Hukum waris semacam
ini telah berlaku sejak lama di Tanah Karo, tidak diketahui secara pasti kapan
dan bagaimana asal usulnya terjadi, kemungkinan sama tuanya dengan sejarah orang
Karo, masalah waris tersebut sendiri kenyataannya adat istiadat orang Karo
masih dipegang teguh komunitas Masyarakat yang mendiami dataran tinggi itu.
Adat istiadat ini pulalah salah satu pengikat yang terbukti mampu memelihara
keutuhan, kesejahteraan, kebudayaan, dan persaudaraan dikalangan masyarakat
Karo, kekuatan spirituil adat terbukti hasilnya tentang kemampuan menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan besar dalam lingkungan
kemasyarakatan sehari-hari. Hukum waris tersebut terjadi pada masa lampau
ketika masyarakat masih jauh berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang.
Interaksi dalam Adat-budaya
Secara sosiologis
upacara adat dalam peresmian perkawinan merupakan dasar dan titik tolak untuk
memperoleh pengakuan dari kerabat dan masyarakat sekitar sebagai anggota dalam
sistem adat-budaya. Orang-orang muda, belum
dibenarkan ikut campur dalam soal-soal adat. Kaum muda dikerahkan sebagai
pekerja. Menurut adat Karo, orang dari luar suku Karo pun dapat
dimasukkan ke dalam komunitas adat, jika yang bersangkutan telah diberi marga
Karo melalui pesta adat. Jika diberikan marga dengan upacara adat, maka secara
adat dia telah diakui dalam setiap kegiatan adat, tetapi jika tidak pernah
diadati maka ia tidak memiliki tempat duduk di acara adat.
Berkenaan dengan
interaksi sosial antara penganut agama Islam dengan penganut agama lainnya
dalam adat-budaya di lingkungan masyarakat Karo di Kecamatan Namo Rambe, perlu
terlebih dahulu diberi pembatasan domain interaksi yang menjadi perhatian
penelitian ini. Domain dimaksud adalah interaksi sosial dalam upacara adat,
baik yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban maupun dalam keterlibatan
kelompok-kelompok sosial dalam mempersiapkan dan melaksanakan upacara adat.
Mungkin orang akan
menduga-duga bahwa hidangan (makanan) menjadi persoalan kritis yang dapat
menjadi faktor pemisah antara kelompok Muslim dan non-muslim dalam upacara
pesta. Tetapi ternyata dugaan tersebut tidak menjadi persoalan penting bagi
masyarakat Karo, sebab sudah sejak lama orang-orang Karo memiliki tatacara yang
elegan untuk mengatasinya. Tatacara dimaksud adalah tradisi silatengka; yaitu
model hidangan khusus (special foods) yang sengaja disiapkan untuk
orang-orang yang tidak bisa memakan hidangan utama dalam pesta. Hidangan khusus
itu biasanya dipersiapkan secara tersendiri oleh orang-orang Muslim, baik bahan
maupun proses pemasakannya. Hidangan khusus ini tidak hanya dinikmati oleh
orang-orang Muslim saja, tetapi juga non-muslim yang berpantang pada makanan
tertentu yang biasa dihidangkan dalam upacara pesta. Dengan demikian, faktor
makanan bukanlah faktor pemisah bagi orang Muslim dengan non-muslim dalam
interaksi antar komunitas dalam kegiatan pesta di lingkungan masyarakat Karo.
Sekalipun pada
masyarakat Karo ada tradisi hidangan silatengka, namun dalam
pelaksanaannya sebagian orang-orang Islam masih merasa ada ganjalan psikologis.
Ganjalan dimaksud timbul dari perasaan ragu atas peralatan yang digunakan untuk
memasak, sebab dalam proses penyediaan hidangan khusus tersebut belum tersedia
peralatan khusus yang higenis dari kemungkinan bercampurnya dengan makanan yang
tidak halal. Ini tentu akan dapat diatasi jika orang-orang Islam di sana telah mempersiapkan
peralatan khusus (milik khusus umat Islam) yang terbebas dari kemungkinan
percampuran dengan peralatan lain yang kurang higenis.
Interaksi dalam Bidang Ekonomi
Interaksi sosial masyarakat beda agama pada etnis Karo di Kecamatan Namorambe
dapat dilihat pada tiga aspek, yakni Aron, Koperasi, pekan, dan pajak
pagi. Sejalan dengan profesi pertanian yang menjadi pekerjaan utama
masyarakat Karo, aron, koperasi, pekan, dan pajak pagi
memiliki nilai strategis dan penting dalam konteks interaksi sosial masyarakat.
1.
Aron.
Aron
merupakan salah satu aktivitas tradisi kegiatan ekonomi pertanian yang ada di
lingkunan etnis Karo, yakni aktivitas mengerjakan lahan pertanian yang
dilakukan secara` bersama-sama dan dilakukan secara bergiliran antar anggota
masyarakat dalam suatu desa. Aktivitas ini dimulai sejak dimulainya penyiapan
lahan pertanian, proses penanaman, perawatan hingga pemanenan. Dalam istilah
lain, tradisi ekonomi pertanian seperti ini dapat disamakan dengan apa yang di
daerah lain disebut dengan gotong royong khususnya pada etnis Jawa. Tidak jelas
kapan kegiatan aron ini dimulai. Akan tetapi, diperkirakan sejarah
timbulnya aron ini sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat etnis Karo. Seperti diketahui bahwa masyarakat etnis Karo sebagian
besar tinggal di daerah dataran tinggi (bukit barisan) yang sumber mata
pencaharian pokoknya adalah bertani dan berternak.
Kegiatan pertanian merupakan profesi yang memerlukan banyak tenaga kerja,
apalagi lahan yang akan ditanamai sangat luas. Oleh sebab itu diperlukan
anggota keluarga lain untuk mengerjakannya. Dalam konteks inilah aron
diperlukan, yakni untuk menyahauti keterbatasan tenaga kerja. Aron
biasanya melibatkan lebih kurang 10 orang, laki-laki dan perempuan. Meskipun
dalam kenyataannya kaum perempuan lebih banyak terlibat daripada kaum
laki-laki. Karena dalam masyarakat Karo tumpuan pekerjaan pertanian lebih
banyak dikerjakan kaum wanita daripada kaum laki-laki. Hingga saat ini, tradisi
aron, meskipun variasi jenis industry alat-alat pertanian semakin
berkembang dan mempermudah pengerjaan pertanian, tradisi aron masih terus hidup
di kalangan masyarakat Karo, khsusnya di kecamatan Namorambe. Meskipun
harus diakui bahwa ada sedikit perubahan dalam tingkat kuantitas maupun
kualitasnya. Hal ini sejalan dengan dinamika perubahan masyarakat yang mengarah
kepada penggunaan teknologi canggih semakin dominan, termasuk dalam kegiatan
ekonomi yang berbasis pertanian dan peternakan seperti yang ada di
kecamatan.Namorambe.
Selain itu, tradisi
aron berkembang didasarkan juga atas pertimbangan-pertimbangan masa
tanam, masa panen yang jika terlewatkan akan mengganggu seluruh proses
produksi. Misalnya tanaman jagung dan padi harus dikerjakan pada waktu-waktu
tertentu. Biasa dikaitkan dengan musim penghujan. Dalam hal inilah penting
dikerjakan bersama-sama secara massal secara bergiliran untuk mengejar masa
tanam dan panen tersebut. Bersamaan hal itu pula cara pertanian dengan
menggunakan tradisi aron ini juga dapat mengurangi onkos produksi. Biaya
pengeluaran pertanian yang banyak dapat ditekan ke dalam tingkat yang paling
rendah, dengan cara mengerjakan lahan secara bersama-sama.
Di atas hal itu semua, sebenarnya ada dimensi lain yang lebih tinggi dari
tradisi aron, yakni memperkuat ukuhuwah atau tali kekeluargaan antar
anggota masyarakat. Kebersamaan mengerjakan lahan pertanian secara
bersama-sama, kemudian juga diikuti dengan acara makan bersama ketika
istrirahat untuk makan siang, pulang dan pergi ke lahan pertanian secara
bersama-sama, ini secara langsung maupun tidak langsung dipandang semakin
memperteguh ikatan persauadaraan warga desa.bahkan secara lebih luas tradisi aron
ini dipandang turut member andil yang besar bagi upaya-upaya mempertahankan
ikatan persaudaran warga di tengah ancaman konflik antar suku, ras, dan agama.
Karena tradisi aron sebagaimana juga yang ada di lokasi penelitian
dilakukan oleh masyarakat tanpa memertimbangkan agama dan etnis. Hal inilah
yang membuat tradisi aron memiliki nilai penting dikaitkan atau
dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas lain sebagai salah satu bentuk
interaksi sosial masyarakat. Dengan ungkapan lebih tegas dapat dikatakan bahwa
tradisi aron di lingkungan masyarakat Karo Kecamatan Namorambe merupakan
suatu bentuk system ekonomi tradisional yang memiliki nilai-nilia modern
sekaligus. Disebut tradisional karena tradisi ini sebagai wahana
melestarikannilai-nilai local. Disebut modern karena tradisi ini dapat menekan
tingkat cost/biaya produksi yang juga menjadi pertimbangan system ekonomi
modern.
2.
Koperasi
Bidang lainnya
sebagai penunjang kegiatan ekonomi di Kecamatan Namorambe adalah koperasi.
Meskipun baru didirikan sejak 2006 yang lalu, akan tetapi pertumbuhan dan
perkembangan koperasi di Kecamatan namorambe memperlihatkan perkembangan
ke arah yang sangat positif. Hal ini dapat diukur dari beberapa hal. Pertama,
dilihat dari sisi modal awal. Sejak didirikannya koperasi ini hanya memiliki
modal awal 17, 4 juta, akan tetapi dalam perjalanannya yang masih berusia
lebih kurang setahun, modalnya telah berkembang menjadi 50 juta rupiah.
Kedua dilihat dari sisi bidang usaha, berawal dari system simpan pinjam, kini
koperasi telah merambah ke bidang usaha yang lebih luas yang meliputi bidang
jasa, seperti: biro jasa (pengurusan SIM, STNK, passport, dan lain-lain).
Ketiga, sejalan dengan bidang garapan koperasi, maka kini, jumlah pengurus
koperasipun semakin ditingkatkan. Awalnya jumlah pengurus koperasi 20 orang,
kini jumlah tersebut meningkat menjadi 59 orang.
Sejalan dengan
dinamika koperasi tersebut, masyarakat Islam Namorambe memperlihatkan
intensitas komunikasi dan interaksi sosial yang semakin berkualitas lewat
koperasi ini. Apalagi sebagian pengurus koperasi ini juga warga non-muslim.
Dalam arti kata koperasi di Namorambe menjadi instrument atau mediator proses
sosial melalui kegiatan ekonomi. Karena latar belakang primordial seperti agama
tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kegiatan ekonomi, khususnya
koperasi.
3.
Tiga (Pekan)
Aspek perekonomian
lain yang juga tidak kalah pentingnya di Namorambe adalah apa yang disebut
dengan Tiga atau ertiga yang berarti jualan atau berjualan.
Dalam kosa kata Indonesia
istilah tiga ini lebih dekat dengan pekan. Jadi tiga atau ertiga
dalam istilah Karo adalah kegiatan jual-beli yang dilaksanakan dalam waktu
tertentu. Biasanya kegiatan tiga atau pekan adalah seminggu sekali,
yakni hari Senin. Pada hari inilah masyarakat Namorambe dan sekitarnya
melakukan aktivitas ekonomi secara lebih khusus.
Sebagian masyarakat
menjual hasil ladang dan ternak mereka, seperti coklat, ayam, kembiri, gula
aren dan lain sebagainya. Sementara sebagian besar yang lain menjadikan hari
pekan ini sebagai hari libur atau menghentikan aktivitas ke ladang untuk
belanja ke pekan memenuhi segala kebutuhan mereka yang berkaitan dengan
sembilan bahan pokok. Sebaliknya dalam hari pekan ini pula masyarakat luar
membawa barang dagangan seperti sayuran dan buah-buahan yang tidak ditemui di
Namorambe. Demikian juga Pedagang luar membawa kebutuhan-kebutuhan masyarakat
yang menyangkut sandang, sepatu dan peralatan rumah tangga lainnya.
Dengan demikian
kegiatan tiga atau pekan bagi masyarakat Namorambe merupakan alemen
penting bagi wahana interaksi sosial secara lebih luas. Karena di hari tiga
atau pekan inilah berbagai latar belakang masyarakat melakukan kegiatan ekonomi
tanpa memandang latar belakang primordial, seperti agama, etnis dan sebagainya.
4.
Pajak pagi
Kegiatan
perekonomian yang lain yang juga tetap eksis di masyarakat Namorambe adalah
Pajak pagi. Pajak pagi adalah kegiatan ekonomi sebagaian masyarakat Namorambe
dengan cara mengumpulkan barang dagangan local untuk dibawa ke luar
Namorambe,termasuk ke pajak-pajak pagi yang ada di kota
Medan . Cara
yang biasa ditempuh dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut. Pada waktu siang
hari hingga sore masyarakat Namorambe yang menggeluti profesi sebagai orang
pajak ini pergi ke berbagai pelosok daerah Namorambe untuk mencari dan
mengumpulkan barang dagangan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Kemudian
pada malam harinya, barang-barang dagangan tersebut dibawa ke pajak-pajak untuk
didistribusikan atau dijual ke berbagai pajak di luar Namorambe. Mereka ini
umumnya adalah kaum ibu.
Demikianlah
kegiatan sebagian masyarakat Namorambe yang berprofesi sebagai orang pajak pagi
sebagai sebutan bagi kegiatan ekonomi seperti itu. Pelaku-pelaku ekonomi
seperti ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang beragama non-Islam, tetapi
juga mereka yang beragama Islam. Dalam proses ekonomi seperti ini mereka juga
tidak melihat latar belakang primordial seperti suku dan agama sebagai landasan
bekerja. Hal-hal sepertri ini mereka lupakan. Bagi mereka yang terpenting
adalah bagaimana roda ekonomi dapat berjalan. Sekali lagi bahwa profesi ekonomi
sebagai orang pajak yang dilakukan oleh sebagian masyarakat membuktikan bahwa
proses interaksi sosial melalui kegiatan ekonomi seperti ini berjalan secara
alamiah sejak dahulu hingga sekarang, tanpa hambatan-hambatan yang berarti.
Interaksi dalam Aspek Politik
Interaksi sosial
masyarakat beda agama pada etnis Karo di Namorambe dapat dilihat dari aspek
sejarah berdirinya kuta-kuta (kampung). Karena dari pendirian kampung inilah
kemudian melahirkan system kepemimpinan di dalam masyarakat Karo. Oleh sebab
itu untuk menyoroti aspek politik atau kepemimpinan masyarakat Karo di
namorambe harus dimulai dari sejarah pembentukan suatu kampung. Untuk memulai
kajian ini sejarah awal munculnya masyarakat Karo secara singkat akan
disinggung terlebih dahulu.
Dalam suatu sumber
disebutkan bahwa masyarakat karo berasal dari suatu daerah yang cukup jauh yang
datangnya secara bergelombang. Kemudian di antara mereka ada yang membangun
suatu pemukiman (manteki kuta). Pemukiman yang dibangun tersebut awalnya
sangat sederhana, yakni berupa rumah gubuk yang kecil (sopo) agar
dapat dihuni. Orang atau sosok yang pertamakali membuka/membuat kampung melalui
pendirian sebuah sopo inilah yang kemudian disebut sebagai pendiri
kampung (si manteki kuta).
Setelah bangunan tempat tinggal didirikan, pendiri kampung ini kemudian
mendorong keluarganya untuk pindah ke tempat itu. Hal ini untuk menjaga
kemungkinan adanya ketakutan dari ancaman-ancaman yang bakal muncul. Oleh sebab
itulah rumah-rumah yang dibangun seiring dengan ramainya orang yang datang,
system perumahan karo dibangun secara berkelompok (rembak) dan memanjang
(ergedang). Seiring dengan perjalanan waktu, pemukiman-pemukian yang
berkelompok itupun semakin banyak. Setiap jenis kelompok pemukiman inilah
kemudian yang disebut dengan kesain, dan masing-masing kelompok ini
dikepalai oleh seorang kepala kelompok yang disebut dengan pengulu. Yang
berhak menjadi kepala kelompok (kesain) ini adalah orang pertama kali
membangun rumah di suatu pemukiman. Demikianlah seterusnya, sehingga banyaknya
kelompok-kelompok pemukiman inilah yang kemudian menjadi wilayah yang disebut
dengan kuta.
Jadi, kuta dengan
demikian dapat terdiri dari beberapa kelompok pemukiman (kesain),tetapi
juga dapat terdiri dari satu kelompok perumahan. Kuta atau kampung yang
kecil mungkin bisa terdiri dari satu kelompok pemukiman (kesain), dan
yang menjadi pengulu-nya adalah orang pertama kali membangun kampung
itu. Bisa jadi kalau yang mendirikan suatu kelompok pemukiman (kesain)
itu merga Ginting, maka pengulunya harus merga Ginting dan
seterusnya. Demikianlah system kepemimpinan yang ada di masyarakat Karo yang
dimulai dari pendirian sebuah pemukiman (kuta).
Sejalan dengan perkembangan masyarakat Karo, system kepemimpinannyapun juga
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam pada itu, terdapat empat
jenis kepemimpinan di dalam masyarakat Karo:
1.
Pengulu, yakni sosok yang mengepalai seluruh warga kampung.
2.
Guru Sibaso, yakni sosok yang mampu meramal hari yang tiga puluh berikut
gerakan-gerakannya. Jadi ia merupakan tokoh yang mampu sebagai perantara
hubungan antara manusia dengan sosok kuasa-kuasa super natural, demikian juga
sosok yang dapat meramu obat. (pen.dukun).
3.
Pande, yakni sosok yang mampu bertukang, seperti ahli teknik.
Demikianlah sejarah
terbentuknya suatu kampung (kuta) di dalam masyarakat Karo yang kemudian
melahirkan suatu kepemimpinan dalam adat-istiadat Karo. Jika dikaitkan dengan
konteks sekarang, khususnya di Kecamatan Namorambe, system kepemimpinan seperti
ini murni tentu tidak ada. Karena masyarakat karo Namorambe seperti halnya juga
masyarakat lain sudah hidup dalam kesatuan yang lebih besar, yakni Negara. Oleh
sebab itu kepemimpinan di suatu desa atau wilayah didasarkan pada ketentuan
Negara, yakni apa yang dikenal sekarang dengan kepala desa.
Meskipun demikian,
dalam hal yang berkaitan dengan adat-istiadat Karo, masyarakat karo Namorambe
tetap menjadikan kepemimpinan adat sebagai sumber rujukan, sumber penyelesaian
masalah. Apa bila terjadi perselisihan antar warga dalam suatu persoalan,
biasanya terlebih dahulu diselesaikan secara`adat. Kemudian apabila secara adat
sulit untuk diselesaikan baru diselesaikan secara hokum kenegaraan, yakni
pengadilan. Berdasakan pengamatan yang dilakukan, kepemimpinan adat ini masih
berjalan efektif di tengah-tengah masyarakat Karo, baik yang beragama Islam
maupun yang beragama non-Islam. Bahkan hingga sekarang masyarakat Karo
Namorambe tetap memberi apresiasi atau penghargaan kepada keturunan/anak cucu
yang dianggap sebagai pendiri kampung (Si manteki Kuta) dengan berbagai
cara. Artinya anak-anak keturunannya tetap dihargai atas jasa-jasa orang tua
atau opungnya sebagai pendiri kampung.
Jika dikaitkan
dengan perhelatan politik atau pemilihan kepala desa, dan seterusnya. Sekarang
ini telah terjadi perubahan-perubahan. Akan tetapi perubahan-perubahan tersebut
tidak begitu signifikan. Artinya masyarakat Karo tetap saja menjadikan hubungan
adat sebagai salah satu dasar dalam meilih pimpinan. Sementara faktor agama
tidak begitu menjadi bahan pertimbangan utama.
Dalam hal lain,
khususnya dalam kepemimpinan, masyarakat Karo termasuk suku yang menganut
system kepemimpinan Patrilineal, yakni system yang menjadikan Bapak sebagai
asal garis keturunan.
Penutup
1.
Kesimpulan
Masyarakat etnis
Karo di Kecamatan Namo Rambe masih kuat mempertahankan adat-istiadat lokal. Hal
ini menjadi indikasi bahwa adat-istiadat menjadi parameter utama untuk mengukur
loyalitas seseorang terhadap kekaroan. Ini menandakan bahwa identitas lain yang
datang kemudian, seperti agama, profesi, tempat tinggal—bukanlah faktor pemisah
antara orang-orang Karo, sepanjang identitas baru itu tidak mengurangi
kesetiaan pada adat Karo. Atas dasar itu lah makanya orang-orang Karo, termasuk
dari komunitas Muslim, tetap setia menerima dan melaksanakan adat-budayanya
melebihi kesetiaan pada yang lainnya. Dengan demikian, perbedaan agama bukan
menjadi faktor pemisah bagi etnis Karo yang sama-sama setia mempertahankan
tradisi kekaron.
Sekalipun
adat-istiadat menjadi faktor penentu dalam mempererat interaksi sosial di
kalangan etnis Karo, namun konversi agama tidaklah begitu saja diterima
masyarakat. Masalahnya, dalam budaya Karo juga ada “agama” warisan nenek-moyang
mereka. Karena itu, pada awalnya, perpindahan (konversi) agama menjadi Kristen
atau Muslim, dipandang sebagai bagian dari “pembangkangan” terhadap
adat-istiadat itu. Tetapi kemudian, pandangan ini menjadi berubah karena
berbagai faktor, seperti semakin meningkatnya persintuhan antara sebagian
orang-orang Karo dengan masyarakat luar yang sudah beragama Kristen atau Islam.
Berdasarkan realitas ini kemudian orang-orang Karo semakin mempersempit
definisi adat-istiadat sebagai sistem sosial dan sistem budaya dalam arti
upacara (srimonial) tanpa dibebani oleh unsur kepercayaan. Dengan demikian,
penerimaan terhadap perbedaan kepercayaan bagi orang Karo muncul belakangan
setelah menyadari pentingnya pergaulan sosial yang lebih luas dengan masyarakat
di luar etnis.
Hal yang paling
menarik dari pola interaksi yang tercipta pada masyarakat Karo di Kecamatan
Namo Rambe adalah mengkristalnya kesadaran pluralitas agama, tetapi tetap dalam
bingkai adat lokal Karo. Kesadaran ini tidak hanya dimiliki oleh komunitas
penganut agama tertentu, melainkan semua komunitas dari berbagai penganut
agama, termasuk komunitas Muslim. Dalam pandangan dan praktek keseharian yang
ditunjukkan orang-orang Karo, hal-hal yang berkaitan dengan pergaualan sosial,
hubungan kekerabatan, kerjasama ekonomi, dan afiliasi politik tidak boleh
dibatasi oleh sekat-sekat agama. Sepertinya terdapat pendapat yang kuat dalam
diri orang-orang Karo, bahwa agama itu adalah urusan pribadi kepada Tuhan,
sementara interaksi sosial harus dijalankan secara normal tanpa membeda-bedakan
identitas keagamaan.
Orang-orang Muslim
sendiri, tentunya setelah melewati sejarah yang panjang, berusaha untuk menjadi
Muslim yang taat dengan tetap setia pada adat-istiadat Karo. Dalam banyak hal,
orang-orang Karo Muslim berusaha menjalankan inti pokok budaya Karo dengan
beberapa modifikasi yang tidak menyolok. Hasilnya, komunitas Muslim tetap
diterima sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Karo. Jadi,
berdasarkan proses sosial yang pajang tersebut, konversi agama ke Islam tidak
lagi menjadi “peristiwa sosial” yang harus dipersoalkan dalam lembaga adat
-- sekalipun masih sering menjadi persoalan dalam keluarga, sebab
kesadaran pluralitas sudah menjadi milik bersama masyarakat Karo.
Pustaka Acuan
Drs. Soelaiman
Joesoe dan Drs. Noer Abijono, Pengantar Psychologi Sosial, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1981), h. 25.
Gintings, Pdt.
E.P. Adat Istiadat Karo: Kinata Berita Si Meriah I Bas Masyarakat Karo, Toko
Buku & Percetakan GBKP Abdi Karya, Kabanjahe, 1995.
http://van-odin.net/blog/2007/07/11/sistem-kekerabatan-masyarakat-karo/
Jalaluddin
Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Manula, Ismail. Mengenal
Batak, (Medan: CV. Kiara, 1985).
Pasaribu, Rudolf Agama
Suku dan Batakologi,(Medan: Pieter, 1988).
4.5. Suku Jawa
Transmigrasi di Indonesia dilaksanakan sejak tahun 1905. Kala itu masih
dalam pemerintahan kolonial Belanda. Program transmigrasi itu dinamakan kolonisasi. Tujuannya adalah
untuk memecahkan masalah kemiskinan dan kekurangan lahan usaha pertanian di
Jawa, Bali, Madura dan Lombok, yang sekaligus mengurangi kepadatan penduduk di
pedesaan daerah tersebut. Menurut Rukmadi Warsito dan beberapa peneliti
transmigrasi lainnya, pemindahan penduduk di Indonesia itu merupakan usaha yang
besar dan berat bahkan merupakan usaha pemindahan penduduk terencana yang
paling besar di dunia dengan melibatkan tenaga dan dana sangat banyak.
Di Kalbar program transmigrasi
gencar digalakkan sejak tahun 1970/1980/1990 -an. Di daerah Kalbar yang paling
sering disoroti oleh para peneliti adalah lokasi Rasau Jaya, Sungai Kakap Kab.
Pontianak dan Parindu Kab. Sanggau (PIR Tran Sawit). Berikut ini jumlah
transmigran di Kalbar sejak tahun 1980-an
Kesan
adanya pembedaan antara orang Jawa Blora dan orang Jawa Kebumen, bahwa yang
pertama lebih agamis dari yang kini tidak lagi setajam di masa sebelum dekade
1970-an. Dimaklumi, kelompok warga Jawa Blora, sesuai dengan letak geografis
asal migrasi, secara kultural relatif lebih Islamis (Islam puritan) dari
kelompok lainnya yang sisi kehidupan keagamaan amat sinkretis. Daerah Blora
dalam pengelompokan kebudayaan Jawa tergolong ke dalam kebudayaan pesisir,
sedang daerah Kebumen masuk dalam kebudayaan Jawa Bagelen (Koentjaraningrat,
1984: 25-26).
Tingginya semangat kerja
orang Jawa, di sisi lain, juga dapat di amati
pada lahan-lahan perkarangan mereka tanam di lahan-lahan itu. Namun,
yang cukup mencolok adalah buah rambutan. Jenis buah ini ditanam nyaris di
setiap rumah orang Jawa. Sedemikian meratanya tanaman itu di pemukiman orang
Jawa, sehingga ada kesan orang Jawa kaya karena buah rambutan. Kesan tentang
kondisi ekonomi rata-rata orang Jawa yang relatif baik tampak bukan sekedar
basa-basi. Dalam komentarnya, Rasyid, sekretaris daerah, mengatakan, ”Kali
pertama datang, rumah orang Jawa persis seperti kandang sapi. Namun, kini,
mereka rata-rata memiliki TV berwarna.”
Pada dasarnya pandangan
ideal orang Jawa menghendaki agar seseorang mampu mengendalikan diri, hati-hati
namun tetapbersikap anggun yang flegmatis, sesuai dengan peribahasa ”aja ngaya” atau ”aja ngangsa” yang bermakna sama ”jangan bersusah payah”. Namun,
pada saat-saat tertentu untuk menggugah semangat kerja sama dan gotong royong,
orang Jawa pun memiliki ungkapan ”rawe-rawe
rantas malang-malang putung” yang artinya, ”segala yang merintangi harus
disibakkan, dan segala yang merintangi harus di patahkan” (Koentjaraningrat,
1984:438). Sangat mungkin, karena suasana ”keterjepitan” kehidupan orang-orang
Jawa selaku migran yang penuh tantangan, sehingga ungkapan semboyan tadi amat
berpengaruh dalam mendorong semangat kerja sekaligus pemacu untuk meraih
kehidupan masa depan yang mereka cita-citakan.
Sejumlah aparat daerah
menilai, orang-orang Jawa dikenal taat menjalankan program-program pemerintah.
Indikasi itu terlihat mulai dari kegiatan ibu-ibu PKK, program KB,
proyek-proyek peremajaan karet hingga pembayaran pajak tanah PBB. Pada masa
orde baru lalu, orang-orang Jawa adalah anggota GOLKAR yang setia. Perilaku
orang Jawa sedemikian itu sama sekali tidak mengherankan. Dengan orientasi
nilai budaya yang vertikal, orang Jawa merasa sangat tergantung pada bantuan
dan restu pada orang-orang penting dan berpangkat, tidak terkecuali, dalam hal
ini, para pejabat pemerintah. Di sisi lain, orang Jawa juga memiliki orientasi
nilai budaya kolateral (Koentjaraningrat, 1984:441). Dalam hal ini, mereka
merasa berkewajiban menjalin hubungan yang baik dengan para tetangga dekat,
dengan berbagai rasa baik dalam keadaan senang atau susah. Dalam pandangan
orang Jawa, tetanggalah orang terdekat yang paling mungkin untuk dimiliki
budaya lentur yang menjadikan mereka banyak dihargai. Dengan budaya itu, mereka
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, namun tanpa kehilangan
identitas kejawaannya.
Dari sisi mata
pencaharian, sebagian besar orang Jawa adalah petani dan pedagang, lainnya
menekuni beragam jenis profesi, mulai dari tukang kayu, tenaga buruh, karyawan
hingga pegawai negeri. Dibandingkan dengan warga-warga suku bangsa lain, nyaris
tidak ada orang Jawa yang ambil bagian di kegiatan-kegiatan usaha dan industri
kecil di Kalimantan Barat, baik sebagai tenaga buruh atau karyawan, kecuali
hanya beberapa orang, maupun sebagai pengusahanya sendiri. Namun, di profesi
pegawai negeri, terutama guru, prosentase orang Jawa amat tinggi melampaui
kalangan suku-suku bangsa lain. Ini terjadi, oleh karena kuantitas dan kualitas
sumber daya manusia di kalangan orang Jawa relatif unggul. Pada mulanya, secara
ekonomis orang Jawa tidak berarti apa-apa. Namun, mereka dengan cepat mengalami
perubahan-perubahan dalam kualitas kehidupan berkat semangat pendidikan yang
sudah tertanam kuat dalam tata budaya mereka.
Tidak berlebihan di sini
untuk menilai, suku Jawa, lebih-lebih generasi tuannya, amat menyadari posisi
mereka sebagai pendatang dan sebagai perantau yang membawa kenangan tentang
kesempitan hidup di daerah yang mereka tinggalkan. Kesadaran itulah yang memacu
semangat untuk meretas hidup di negeri yang mereka diami kini. Mereka juga
ulet, sabar, memiliki rasa kebersamaan, keterbukaan dan berfikir ke depan.
Penampilan lembut yang tidak jarang ”dimanfaatkan”, misalnya sebagai sasaran
pencurian dan perampokan, meski bercitra kurang positif, namun hal itu,
sekurang-kurangnya tidak mengurangi posisi ”tengah” mereka di antara suku-suku
yang ada, terutama antara suku-suku Dayak dan Madura serta Melayu dan Madura.
Sebagaimana diketahui, warga suku-suku bangsa tadi dalam beberapa tahun terakhir
terlibat dalam sejumlah pertikaian di beberapa tempat di Kalimantan Barat
(lihat daftar peristiwa tentang hal ini di daftar lampiran). Pada umumnya suku
Dayak memandang suku Jawa sebagai saudara tua, sementara orang Jawa sendiri
tidak memiliki masalah, baik dengan orang Melayu ataupun orang Madura.
4.6. Suku-suku Bugis, Banjar
Tidak mudah untuk
menbedakan identitas anggota kedua suku bangsa ini di Kalimantan Barat. Dari
segi bahasa di kalangan generasi muda, pakaian, model rumah dan bahkan warna kulit pun tidak berbeda; begitu
juga dengan jenis pekerjaan dan lokasi pemukiman. Seorang pendatang, oleh karena itu, tidak segera
dapat membedakan jenis suku bangsa orang-orang tersebut. Kecuali dari pengakuan
yang bersangkutan, maka untuk mengetahuinya diperlukan keterlibatan diri dalam
kehidupan keseharian mereka. Memang terdapat keluarga-keluarga Bugis yang
menggunakan bahasa suku bangsanya di lingkungan anggota serumah. Namun, jumlah
mereka tidak banyak.
Secara umum terlihat bahwa
sebagai hasil dari proses interaksi sosial antara warga Bugis dan warga
suku-suku bangsa lain di daerah ini, selama lebih dari seabad, telah terjadi
proses akulturasi budaya. Banyak nilai budaya Bugis yang terserap ke dalam
budaya setempat, terutama budaya Melayu. Dalam rangka penyesuaian itu, tidak
sedikit nilai-nilai budaya Bugis, seperti siri
ma siri, yang hilang. Tidak sedikit pula anak Bugis yang dilahirkan di
Kalimantan Barat, dalam beberapa dekade terakhir, dipandang atau pada saat
tertentu malah memandang diri sebagai orang Melayu.
Identitas yang masih
tersisa yang menjadi warisan budaya ketiga suku ini terdapat pada kegiatan
ritual yang berkaitan dengan peringatan daur hidup seseorang. Di kalangan suku
Bugis, lazim terselenggara ”Naik Tojang” untuk merayakan kelahiran bayi berumur
7-40 hari. Sementara, untuk peringatan yang sama di kalangan suku Banjar di
sebut ”Naik Ayun”, dan ”Gunting Rambut” di lingkungan suku Melayu.
Upacara-upacara yang menggunakan bermacam peralatan, perlengkapan, berjenis
makanan dan bahkan jenis hewan tertentu, sebagai lambang, pada intinya memiliki
makna dan tujuan yang tidak jauh beda. Yakni, terselipnya harapan akan
kesehatan dan kesejahteraan sang bayi dalam mengarungi kehidupan kedepan.
Berbeda dengan yang lain, acara gunting rambut lebih bernuansa ke-Islaman.
Upacara prosesi pernikahan
dengan warna dan ciri budaya masing-masing dari ketiga suku bangsa tersebut
juga masih tetap bertahan di Kalimantan Barat.
Khusus di kalangan
sementara suku Bugis, terdapat upacara ritual magis yang berlkaitan dengan roh
leluhur yang disebut Lasuji. Sedang
di lingkungan orang Melayu lazim di selenggarakan upacara robo-robo. Upacara ini tampaknya telah memasyarakat, karena pada
kenyataannya telah pula diikuti oleh sekalian warga suku bangsa lain yang
muslim. Tentang kedua upacara ini telah dijelaskan di bab II.
Meski tidak setinggi
prosentase penduduk Dayak, namun jumlah ketiga suku ini, lebih-lebih suku
Banjar, yang berdiam di dan dekat sungai cukup besar. Maka tidak jauh berbeda
dengan suku Dayak, warga suku Bugis dan suku Banjar dalam hal mata pencaharian
lebih banyak bergulat di sekitar sungai. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan usaha pengangkutan air, barang ataupun penumpang, dan usaha
penggergajian serta perdagangan kayu merupakan lahan mata pencaharian mereka.
Sedang warga Melayu terbagi secara
seimbang dalam mata pencaharian, antara pertanian, wira usaha dan
perburuhan.
Diantara ketiga suku
bangsa tersebut, suku Bugis tetap terdepan dalam penguasaan terhadap
sumber-sumber daya di daerah, terutama lahan perkarangan dan kebun. Betapapun,
banyak di antara pemilik lahan itu tidak lagi tinggal di , dan sudah tidak
menjadi penduduk, Kalimantan Barat. Kecenderungan suku ini untuk pindah ke
Pontianak di masa lalu dan yang tetap berlangsung hingga kini, menimbulkan
dugaan tentang kemungkinan yang terjadi di masa mendatang. Yakni,
sekurang-kurangnya, makin menciutnya kuantitas mereka secara berarti.
Uraian diatas memberikan
gambaran yang jelas bahwa suku Bugis memiliki ikatan amat longgar dengan dengan
tanah kelahiran. Orientasi mereka yang kuat pada keuntungan material,
menjadikan kebun bukan sebagai lahan pertanian melainkan sebagai ajang untuk
mewujudkan orientasinya itu. Oleh karena itu, meski tinggal di daerah, memiliki
kebun luas, namun tidak banyak di antara orang Bugis itu yang menjadi petani
penggarap; mereka sebenarnya adalah pedagang. Banyak kalangan muda suku Bugis
dan suku Banjar, yang makin kemelayu-melayuan, kini tampak kehilangan
orientasi, tidak ingin menjadi petani namun belum siap dengan pekerjaan lain.
Kenyataan-kenyataan yang
dikemukakan tadi agaknya tidak dapat menolak begitu saja penilaian sebagai
pengamat, bahkan suku Melayu sebagai kurang disiplin dalam pemenuhan janji dan
penghargaan terhadap waktu erta rendah semangat kerjanya. Kelompok suku ini
juga dikatakan, tidak hemat alias suka menghambur-hamburkan uang (Alatas,
1991:141). Suku Melayu dalam konteks ini termasuk suku-suku Bugis dan Banjar
yang tinggal di Kalimantan Barat. Sudah tentu, keluarga sederhana seperti
Hasyim, suku Melayu asli tinggal di RT. 02/I, dan Kasim, suku Bugis tinggal di
RT. 02/II, merupakan pengecualian. Kedua nama tadi berserta anak-anaknya
tergolong orang-orang ulet, hemat dan pekerja keras. Dua orang putera dari yang
tersebut pertama dan tiga orang putera-puteri dari keluarga kedua saat ini
sedang menempuh kuliah diperguruan tinggi negeri dan swasta di Pontianak.
Banyak warga yang tinggal dekat dengan kedua keluarga tadi sama mengetahui
bahwa beberapa orang putera dari salah seorang keluarga tadi, di samping kuliah
juga berkebun sayur dan menjualnya sendiri ke Pontianak. Beberapa orang putera
dari keluarga lainnya, dalam menunjang biaya kuliah, juga bekerja sebagai
tukang parkir dan pekerjaan-pekerjaan serabutan lain.
Penilaian lebih jauh
terhadap suku-suku Banjar dan Melayu, lebih-lebih yang terakhir, tidak mudah
diberikan, mengingat jumlah mereka yang tidak banyak dan tinggal terpencar.
4.7. Suku Cina (Tionghoa)
Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan
perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui
Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat
Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di
luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang
dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah
berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda
mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh
perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Larangan Pedagang Cina di Pedesaan
Pada tahun 1959 adalah saat yang sangat menyedihkan bagi warga Cina di Indonesia, khususnya di Kalbar. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1959 tentang larangan orang-orng melakukan usaha perdagangan di pedesaan. Jelas PP tersebut ditujukan bagi warga Cina yang nota bene kegiatan hari-hari mereka adalah berdagang. Karena merasa tidak bebas, maka mereka melakukan pemberontak dengan tidak mentaati PP tersebut. Sementara jumlah orang Cina semakin bertambah dan merambah sampai ke berbagai pedalaman di Kalbar.
Karena begitu uletnya warga Cina menguasai daerah pedalaman dengan membuka lahan hutan yang kemudian dijadikan tempat pertanian dan perkebunan serta pemukiman, maka tidak heran banyak tempat dimana bekas mereka berada diberi nama seperti di Mandor yang dikendalikan oleh suku Thiau Cu yang melakukan pekerjaan pertambangan emas. Nama-nama daerah tersebut adalah; Pat Khu Chin, Lohabang, Taynam, Sinam, Pat Meong Thio, Fa Jin Tan, Sya Kok, Lo Nam Kok, Chap Kha La, Ta Kong dan sebagainya.
Pada tahun 1959 adalah saat yang sangat menyedihkan bagi warga Cina di Indonesia, khususnya di Kalbar. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1959 tentang larangan orang-orng melakukan usaha perdagangan di pedesaan. Jelas PP tersebut ditujukan bagi warga Cina yang nota bene kegiatan hari-hari mereka adalah berdagang. Karena merasa tidak bebas, maka mereka melakukan pemberontak dengan tidak mentaati PP tersebut. Sementara jumlah orang Cina semakin bertambah dan merambah sampai ke berbagai pedalaman di Kalbar.
Karena begitu uletnya warga Cina menguasai daerah pedalaman dengan membuka lahan hutan yang kemudian dijadikan tempat pertanian dan perkebunan serta pemukiman, maka tidak heran banyak tempat dimana bekas mereka berada diberi nama seperti di Mandor yang dikendalikan oleh suku Thiau Cu yang melakukan pekerjaan pertambangan emas. Nama-nama daerah tersebut adalah; Pat Khu Chin, Lohabang, Taynam, Sinam, Pat Meong Thio, Fa Jin Tan, Sya Kok, Lo Nam Kok, Chap Kha La, Ta Kong dan sebagainya.
Meski telah menjalin
hubungan dekat dengan suku-suku bangsa lain dan bahkan secara ras sudah banyak
tercampur akibat perkawinan, khususnya, dengan suku Dayak, namun sebagian besar
orang Tionghoa di Kalimantan Barat masih menggunakan bahasa Tionghoa sebagai
alat komunikasi dalam keluarga dan dengan sesamanya. Sesuai dengan golongan
bahasa sub suku-bangsanya, maka terdapat mereka yang berbahasa Tiociu, jumlah
mayoritas, sebagian lainnya berbahasa Khek dan lainnya Kanton.
Pengelompokan orang-orang Tionghoa ke dalam tiga
sub suku bangsa ini, dalam keseharian, kenyataannya bukan saja dapat
diidenfikasi dari segi bahasa melainkan juga
dari sisi mata pencaharian. Sebagian besar golongan Tiociu di daerah ini
bermatapencaharian sebagai pedagang dan pengusaha, sebagaimana juga golongan
Kanton, sedangkan golongan Khek lebih banyak menjadi petani.
Terdapat kelaziman di kalangan warga Tionghoa,
yang di Kalimantan Barat tinggal mengelompok di pinggir sungai dan nyaris
terisolasi ini, untuk melakukan pemujaan kepada leluhur, baik dari garis ayah
maupun ibu. Hubungan sosial kekerabatan dari kedua garis orang tua tadi mereka
jalin secara akrap.
Sejauh pengamatan langsung di lokasi-lokasi
pemukimannya, orang-orang Tionghoa di daerah ini menggunakan bahasa setempat
dan menjalin hubungan baik dengan warga sekitar, lebih-lebih dengan aparat
daerah, terutama kepala daerah. Hanya saja, sarana hubungan itu lebih banyak
terbatas pada kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya soal bisnis dan
soal-soal menyangkut pengurusan formalitas. Berbeda dengan warga sekitar,
banyak di antara mereka amat menaruh curiga terhadap pendatang baru atau orang
yang belum mereka kenal.
Terdapat indikasi kuat bahwa kalangan muda ”suku”
ini yang keluar dari daerah untuk tinggal dan bekerja atau, bahkan menetap, di
Pontianak. Oleh karena itu, bukan hal aneh bahwa yang tinggal di daerah ini
banyak terdiri dari orang dewasa, orang tua dan anak-anak.
[1] Bandingkan dengan
cerita ini, masuknya Islam membuat corak baru yang membedakan antara Kaharingan
dan Banjar di Kalimantan Selatan. Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri
mereka sebagai orang Banjar dan menggunakan bahasa Banjar sementara Dayak yang
masih menganut Kaharingan tetap menyebut diri mereka sebagai Dayak dan
menggunakan bahasa asli mereka (Akh. Fauzi Aseri, 1990:7).
[2] .
Merujuk kepada Pabali Musa (2003:1)Informasi yang agak jelas tentang keberadaan
Islam di kawasan pantai barat Kalimantan barat
ketika berdiri kerajaan Islam sambas. Kerajaan ini didirikan oleh Raden
Sulaiman (1009-1081 H/ 1601-1670). Kerajaan inilah antara lain yang memainkan
peranan penting dalam penyebaran Islam di Kalimantan Barat, khususnya di
Sambas.
0 comments:
Post a Comment