Politik Identitas

Politik identitas menjadi perbincangan multikultur di Kalbar.

Pergumulan Identitas

Setiap generasi di planet ini bergumul dalam pusaran identitas mereka.

Generasi Multikultur

Generasi multikultur tidak akan mudah terporvokasi politik identitas.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, March 5, 2012

BAB II KONSEP DASAR HUBUNGAN ANTAR MANUSIA


 A.    Siapa Manusia itu?
Peta Konsep
Anda pasti akan heran dengan subjudul  itu? Apakah penulis ini bukan manusia? Kalau penulis manusia,  mengapa membuat judul seperti itu? Anda akan menyangka bahwa penulis memberikan pertanyaan tolol….. sudah jelas namun dipertanyakan. Banyak orang akan berpikir seperti itu. Tidak salah ataupun keliru….. masalahnya, dapatkah anda memberikan gambaran pengertian tentang manusia itu? Atau, jika ada orang yang mengatakan bahwa anda seperti monyet, marah tidak anda? Tersinggungkah? Atau justru mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengiyakan. Begitu pula sebaliknya, apakah hal tersebut juga anda lakukan ketika ada orang yang mengatakan bahwa anda seperti manusia?
Bagi anda yang marah jika dikatakan seperti monyet, tidak keliru. Anda marah karena anda merasa sebagai manusia yang dilecehkan karena dianggap seperti monyet. Tetapi jangan-jangan, anda justru akan tersenyum dan tidak marah jika ada yang mengatakan anda seperti manusia? Kalau itu yang terjadi, penulis justru marah kalau dikatakan seperti manusia. Sebaliknya, penulis akan mengangguk-anggukkan kepala jika ada yang mengatakan bahwa penulis seperti monyet. Mengapa? Karena jika ada yang mengatakan saya seperti monyet berarti saya masih manusia; sedangkan jika saya dikatakan seperti manusia artinya saya bukan manusia – maka saya marah.
Lantas, siapa sih manusia itu? Para ahli biologi menyebutnya manusia adalah hewan yang berakal budi. Mengapa? Karena dalam dunia hewan, manusia digolongkan metazoa dengan phylum chordata, subphylumnya vertebrata masuk dalam klas mammalia yang ordenya primata, sub-orde antropoidea, keluarga dari homonidae dengan genus homo masuk spesies sapiens. Wacana seperti ini yang kemudian melahirkan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis. Disebut makhluk biologis karena manusia memiliki tanda-tanda yang sama dengan makhluk primata lainnya, yakni ditandai oleh:
a.     Sebagian primata hidup di atas pohon, hanya baboon dan manusia yang hidupnya di atas tanah.
b.     Anggota badannya mudah digerakkan, terutama yang berusia muda.
c.     Jari-jari primata dapat memegang benda kasar ataupun halus, mencengkeram, meraih dan fungsi lainnya.
d.     penglihatan primata lebih tajam, tetapi penciumannya lebih buruk dari mamalia lainnya.
e.     Otak primata relative lebih besar volumenya daripada mamalia lainnya.
Manusia sebagai makhluk biologis, sesuai dengan sifat dan kemampuannya maka diberikan berbagai macam sebutan. Pertama, manusia disebut homo sapiens yakni dikategorikan sebagai bagian dari zoology (Ilmu Hewan) yang dapat menggunakan sifat dan kemampuan berpikir secara bijaksana, sehingga manusia juga disebut sebagai makhluk rasional. Ke dua disebut homo faber, karena manusia mampu menggunakan sifat dan kemampuannya untuk membuat dan mempergunakan alat. Ke tiga disebut homo loquens, yakni makhluk yang dapat berbicara dan berkomunikasi social. Ke empat disebut homo sosialis, karena sifat dan kemampuannya untuk berkelompok (bermasyarakat). Ke lima disebut homo economicus, karena  menggunakan sifat dan kemampuannya untuk mengorganisasi pemenuhan kebutuhan hidupnya.  Ke enam disebut homo religiousus, disebut begitu karena ia memiliki sifat dan kemampuan untuk berpikir dan menyadari adanya kekuatan supranatural (Tuhan Yang Maha Segalanya).  Ke tujuh disebut homo delegans, karena sifat dan kemampuannya untuk mendelegasikan pekerjaan kepada yang lain dan menyadari keterbatasannya. Ke delapan disebut homo legatus, karena sifat dan kemampuannya untuk mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya.  Ke Sembilan disebut Artis creator, karena sifat dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan (estetika). Oleh karena itu, manusia memiliki berbagai macam sebutan yang menunjukkan bahwa manusia itu makhluk multidimensional.
Manusia juga disebut makhluk Individu, yaitu manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara anggota tubuhnya yang satu dengan yang lain. Kata Individu berasal dari kata latin ‘individuum’ artinya yang tak terbagi, entitas yang terkecil. Dalam pemahaman ilmu social-budaya menunjuk pada tabiat kehidupan jiwa manusia yang majemuk dengan peranannya dalam kehidupan social-budaya manusia. Dengan kata lain, individu menunjuk kepada keterbatasan manusia sebagai manusia perseorangan, manusia yang membutuhkan manusia lainnya, manusia sebagai mahkhluk social-budaya yang otonom. Manusia dalam berbagai hal banyak kesamaannya dengan yang lainnya, tetapi dalam banyak hal pula banyak perbedaannya. Sejenis tetapi berbeda, setiap individu mempunyai keunikannya sendiri. Keunikannya ini yang menjadikan tingkat peradaban yang berbeda, maka akan menghasilkan deferensiasi social.
Keunikan individu menjadi kepribadiannya. Tingkat kepribadian ini ikut menentukan dan mewarnai dunia social-budaya. Kepribadian yang unsurnya pengetahuan, perasaan dan naluri itu kemudian dikelola sedemikian rupa hingga melahirkan budaya, pola prilaku dan budaya materi.
Deferensiasi social melekat dan berkaitan dengan dunia social-budaya manusia. Pemberian identitas social kepada orang lain menjadi contoh konkrit deferensiasi social yang melekat pada manusia, sedang saya seorang siswa yang paling (maha) dibanding siswa lainnya ini adalah contoh konkrit dari deferensiasi social yang berkaitan dengan dunia social-budaya.
Ernst Cassirer (1944) memberikan pandangannya tentang manusia dan mencoba menggambarkannya dalam satu istilah ‘animal symbolicum’. Dengan istilah ini, Cassirer merangkum semua sebutan untuk manusia yang di uraikan di muka, sekalipun istilah itu masih juga tidak mampu menghadirkan gambaran manusia secara utuh.
Setiap individu merupakan suatu pribadi yang unik, berbeda antara yamg satu dengan yang lain. Aku bukan kamu dan kamu bukan aku, oleh karena itu kepribadian setiap individu juga berbeda. Kepribadian individu sangat tergantung kepada factor:

1) Pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa sescorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan individu itu ada bermacan-macam hal yang dialaminya melalui penerimaan pancaindranya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang lain, sebagai getaran eter (cahaya dan warna), getaran autistik (suara), bau, rasa, sentuhan, tckanan rnekanikal (bcrat-ringan), tckanan termikal (panas-dingin) dan sebagainya yang masuk kedalam sel­-sel tertentu dibagian-bagian tertentu dari otak.
Seluruh proses akal manusia yang sadar (conscious) tadi dalam ilmu psikologi disebut "persepsi". Sementara itu, penggambaran baru dengan banyak pengertian tentang keadaan lingkungannya, disebut "apersepsi". Penggambaran yang lebih intensif terfokus, yang terjadi karena pemusatan akal yang Iebih intensif, disebut "pengamatan".
Adapun penggambaran abstrak tentang sesuatu berdasarkan penggabungan dan perbandingan dengan penggambaran lain yang sejenis berdasarkan azas-azas tertentu secara konsisten disebut "konsep". Sebaliknya adapula penggambaran baru yang kadangkala .juga tidak realistik , disebut "fantasi".
Seluruh penggambaran, (persepsi), apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi tadi merupakan unsur-unsur pengctahuan seseorang individu yang sadar. Selain itu, banyak pengetahuan atau bagian-bagian dari himpunan pengetahuan yang ditimbun oleh seorang individu selama hidupnya, seringkali hilang dari alarn akalnya yang sadar atau dalam kesadarannya dengan berbagai sebab, disebut "alam bawah sadar" (sub­conscious), kemudian ada pula pengetahuan individu yang saling baur dan tercampur, disebut "alarn tak sadar" (unconscious).

2) Kecuali pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam "perasaan" . Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilairrya sebagai suatu keadaan positif atau negatif.Suatu perasaan selalu bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi, biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seorang individu. Kehendak itu bisa bersilat positif artinya individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasanya sebagai suatu hal yang akan rnemberikan kenikmatan, keuntungan, kebahagiaan kepadanya , atau bisa juga negatif, artinya ada upaya untuk menghindari, menjauh, tidak senang, merasa tidak enak dan sebaginya dari hal yang dirasanya sebagai hal yang akan mcmbawa perasaan tidak nikmat padanya. Suatu kehendak keras untuk mendapatkan sesuatu, dinamakan "keinginan" . perasaan dan upaya keras untuk mendapatkan suatu itu, juga disebut "emosi" .

3) Setiap individu memiliki dorongan naluri.
            Dengan pengetahuan dan perasaannya maka dorongan naluri harus dikelola sedemikian rupa agar antara yang satu dengan yang lain menyadari bahwa kita sama dan sederajat (apalagi dihadapan Sang Pencipta). Dalam proses mengelola dorongan naluri inilah nilai-nilai sosial tentang cinta-kasih (bahkan diajarkan oleh Tuhan sendiri melalui nabi-nabiNya), tanggung jawab, pengabdian, keadilan, pandangan hidup, keindahan, penderitaan, kegelisahan dan harapan bermunculan dalam berbagai versi sangat tergantung kepada kepribadian setiap individu.
Manusia juga disebut sebagai makhluk cultural. Manusia merupakan kelompok makhluk yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi dalam proses evolusi sehingga memiliki kedudukan yang khusus di dalam ekosistem alam sekitarnya. Perbedaan yang utama bahwa manusia dikaruniai Tuhan selain kecerdasan juga akalnya. Dengan akal inilah maka membedakan secara mutlak manusia dengan binatang. Manusia dengan akalnya dapat berusaha membantu tubuhnya menghadapi berbagai keadaan, berbagai tempat dan cara hidup, sehingga lebih luas dalam menyesuaikan diri dengan alam sekitar, di mana ia hidup. Dengan akalnya manusia membuat alat-alat yang dapat digunakan untuk melengkapi dirinya alam keadaan tertentu.
Dengan kecerdasan otaknya dapat membantu tubuhnya dan mempermudah hidupnya. Misalnya ia tidak perlu memanjat pohon untuk mengambil buah-buahan, hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan galah. Apa yang dibuat dan diciptakan pada awalnya terbatas pada benda-benda yang diperlukan untuk mempertahankan hidup. Pertama kebutuhan untuk makan maka alat-alatnya berkaitan dengan upaya mencari makan. Kedua yaitu alat yang digunakan untuk menyambung akal sehingga mengalami kemajuan dan semakin luas bentuk alat-alat tersebut dan kegunaanya. Hal ini mempermudah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan menjadi dasar perekonomian dalam lingkungan sosial dengan kerja yang teratur.
Semua kemampuan manusia itu dilandasi oleh dorongan naluri yang dimilikinya, ditambah dengan kemampuan akal pikirannya, maka jadilah manusia yang seperti anda-anda bayangkan saat ini. Dorongan naluri yang dimiliki oleh manusia adalah sebagai berikut:
a.     dorongan naluri untuk mempertahankan hidup
b.     dorongan naluri untuk mencari makan
c.     dorongan naluri untuk mencari teman
d.     dorongan naluri untuk meniru
e.     dorongan naluri untuk sex
f.        dorongan naluri untuk mengabdi
g.     dorongan naluri akan keindahan
Dorongan naluri-dorongan naluri itu diolah dengan akal-pikirannya menghasilkan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki oleh semua manusia di dunia. Keinginan atau hasrat disertai dengan keindahan akan melahirkan kesenian. Keinginan atau hasrat mengatur alam sekitar dalam menghadapi  tenaga alam yang gaib menimbulkan kepercayaan dan keagamaan. Keinginan untuk mengetahui apa yang dihadapinya akan menimbulkan ilmu pengetahuan.
Semua ciptaan manusia merupakan hasil usaha untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru sesuai kebutuhan jasmani dan rohaninya dikenal dengan kebudayaan. Sehingga manusia memiliki dua bagian yang tidak dapat dilepaskan yaitu segi kebendaan adalah buatan manusia merupakan perwujudan dari akal yang hasilnya dapat diraba atau nyata. Segi kerohanian yaitu alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur dan tidak dapat diraba hanya dapat dipahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan.
Manusia juga disebut makhluk politik (zoon politicon). Dalam setiap interaksi dengan manusia lain, selalu terdapat kepentingan sekalipun kepentingannya itu tersembunyi. Manusia selalu menginginkan pengakuan akan eksistensinya, sehingga manusia akan berdaya-upaya agar kepentingannya itu terpenuhi. Oleh karena itu, manusia akan menggunakan seluruh kemampuan akal pikirannya untuk menyusun strategi untuk mempengaruhi manusia lainnya. Pada ranah ini manusia mulai berpolitik, dengan argumentasi-argumentasi yang disusun dalam pikirannya, manusia menyembunyikan kepentingannya. Paling tidak, manusia yang satu akan mempengaruhi manusia lainnya, dengan maksud agar ia mempunyai pengikut. Jika sudah demikian maka mulailah manusia membuat kelompok, karena aku dan kamu sependapat maka menjadi kita. Dia-dia bukan kita, tetapi mereka; ketika bertemu dengan mereka maka kita menjadi kami. Dan selanjutnya, manusia mengenal dan mengenakan identitas sosialnya agar mudah menandai siapa kawan dan siapa yang ‘the others’ (yang bukan kawan), siapa ‘orang dalam’ dan siapa ‘orang luar’. Untuk lebih jelasnya silakan simak bab Politik Identitas.
Lantas, mengapa sering terjadi yang tadinya kawan berubah menjadi lawan? Homo homini lupus, manusia adalah srigala bagi manusia lainnya.  Hal itu disebabkan sifat manusia yang dinamis. Pikiran manusia itu tidak dapat diikat oleh waktu maupun tempat. Detik ini ia bicara kedelai, sebentar kemudian sudah menjadi air tahu, besok sudah menjadi tempe. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk homo duplex  yang memperlihatkan sifat-sifat yang paradox (bertentangan). Misalnya, disatu pihak ia menjadi konsumen produk masyarakat, dipihak lain ia juga menjadi produsen produk masyarakat; disatu pihak ia menjadi pengendali masyarakat (controler) dipihak yang lain ia menjadi obyek yang dikendalikan masyarakat; satu sisi menjadi pengaman masyarakat, dipihak lain menjadi perusak masyarakat. Pada satu sisi ia menjadi penegak nilai-nilai social, dan disisi lain ia menjadi pelanggar nilai-nilai social. Manusia itu hakim sekaligus terdakwa, bertindak sebagai jaksa dan juga pada saat yang sama ia akan bertindak sebagai pembela.
Hakekat manusia sebagai homo duplex tersebut, dapat diungkapkan sebagai mahluk yang dikuasai oleh nafsu hewani di satu pihak; dan dipihak lain dikendalikan oleh  “semangat malaikat”. Sifat manusia seperti itu, menurut Zijderveld menunjukkan Manusia merupakan individu yang unik. Baik kehidupannya, cara berfikirnya, emosinya, kesadarannya, dan segala tingkah-lakunya serta tindakannya. Dipihak yang lain, pada saat yang sama, manusia merupakan anggota dari jenisnya, menjadi mahluk sosial yang diatur oleh norma sosial yang membatasi cara berfikir, pengungkapan perasaan, dan tindakannya sesuai dgn peraturan serta pola masyarakat.
Manusia sebagai individu, bertindak dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri, sedangkan sebagai mahluk sosial ia harus bertindak sesuai dengan pola masyarakatnya dan bertanggug jawab serta mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada masyarakat. Pada tataran ideal, Manusia yang dapat menyeimbangkan kedua hakekat tersebut, merupakan manusia yang dapat tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat. Ia benar-benar dapat mengungkapkan dinamikanya secara seimbang. Nyatanya, sering dilindas oleh dinamikanya sendiri. Dinamika manusia yang memadukan manusia dengan sesamanya dan dunia lingkungannya, memadukan ‘dunia sosial’ yang penuh makna dengan ‘dunia alamiah’ yang penuh keteraturan, regularitas. Dunia sosial dunia yang serba tidak teratur, meloncat-loncat, hari ini senang lima detik berikutnya sedih. Menghayati dan mendalami hakekat kehidupan manusia memerlukan penginderaan dan kepekaan terhadap gejala-gejala seperti digambarkan di muka, yang meliputi sikap dan tingkah laku serta seluruh kepribadiannya sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Kemampuan seperti itu,  selain dapat diperoleh dari mempelajari bidang keilmuan yang berhubungan dengan gejala-gejala bersangkutan, juga dapat diperoleh dari latihan penghayatan terhadap gejala serta masalah sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita harus melakukan penginderaan, pengamatan dan penghayatan tentang apa yang kita alami di masyarakat.

B.    Konsep Dasar Hubungan Manusia: Manusia membutuhkan manusia lainnya

Meskipun manusia itu makhluk individu namun ia tidak akan sanggup untuk hidup sendirian di muka bumi ini. Coba anda perhatikan kisah Penciptaan! Mengapa Tuhan menciptakan Hawa? Mengapa Adam tidak dibiarkan sendirian oleh Tuhan? Yah…. Jawabannya dapat berbagai macam, tetapi intinya manusia tidak dibiarkan hidup sendirian oleh Tuhan. Oleh karena itu, manusia tidak akan sanggup hidup sendirian. Jika manusia hidup sendirian, maka manusia tidak akan dapat menyalurkan berbagai macam dorongan naluri yang dimilikinya. Manusia tidak akan dapat berkembang sebagai individu yang utuh. Manusia tidak akan memiliki kebudayaan dan manusia tidak akan memenuhi dunia seperti sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia itu HIDUP, dinamis perkembangannya.
Lantas, untuk apa hidup? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita berangkat dari proses siklus hidup manusia. Ketika seorang anak manusia dilahirkan mengapa harus menangis, sebab kalau tidak menangis justru orang-orang dewasa di sekitarnya mulai kawatir terhadap anak itu. Justru dengan menangis, bayi itu memberi sinyal sedang belajar bernafas, sebab tanpa bernafas ia tidak akan hidup. Bahkan menetek pun, seorang bayi tidak lantas otomatis pandai menetek tetapi ia harus belajar dengan bimbingan sang mama. Si bayi terus menerus berkembang dan belajar banyak hal. Mulai dari tengkurap, merangkak, berdiri dan kemudian baru belajar berjalan. Semua itu adalah proses belajar yang harus dilalui dan dialami oleh si bayi, hingga ia dapat berlari dan menjadi manusia mandiri. Tentu dengan syarat, selama si bayi itu mendapatkan kasih-sayang (asih), pengawasan (asuh) dan bimbingan (asah).
Dengan kata lain ilustrasi di atas, mengajak anda untuk memahami konsep-konsep dasar hubungan antar manusia. Pertama, seorang manusia agar dapat berhubungan dengan manusia lainnya maka harus ada kontak terlebih dahulu. Ibarat orang hendak menelpon seseorang, maka ia akan memperhatikan nada sambungnya terlebih dahulu. Nada sambungnya menunjukkan sibuk atau tidak, ini sama dengan harus kontak terlebih dahulu. Kedua, setelah ada tanda-tanda kontak baru kemudian terjadilah komunikasi. Dalam proses komunikasi ini, terjadi berbagai macam hubungan, mulai dari hubungan yang baik-baik hingga hubungan yang berakhir buruk. Komunikasi yang baik, biasanya ditandai dengan canda-tawa, saling pandang, saling merespon maksud dari lawan komunikasinya. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut interaksi antar manusia (interaksi sosial).
Interaksi social merupakan dasar (factor utama) dalam proses-proses social. Artinya, interaksi sosial merupakan kunci dari seluruh kehidupan sosial. Manusia hanya dapat dikatakan sebagai makhluk sosial, apabila ia mampu berinteraksi dengan orang lainnya, tanpa interaksi sosial maka kehidupan sosial tidak akan pernah mungkin terjadi. Perhatikan semut, mereka setiap bertemu selalu beradu kepala, saling membau sebagai tanda ’aku kawanmu’, ’aku orang diri’. Selama proses interaksi sosial terjadi, maka biasanya para komunikator itu saling bergaul, saling bertengkar, saling berkawan dan saling bermusuhan dan kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan nilai dan norma sosial.
Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis dalam bentuk sebagai berikut:















Suatu kerjasama yang terjadi dalam masyarakat, suatu waktu dapat berubah menjadi suatu persaingan yang berujung pada suatu pertikaian. Suatu pertikaian tidak akan selamanya berlangsung, maka akan tercipta akomodasi hingga akhirnya akan kembali menjadi suatu proses kerjasama. Jika suatu proses akomodasi dapat tercipta dalam kondisi yang asosiatif, maka akan diikuti oleh proses asimilasi dan akulturasi. Akan tetapi, jika tercipta dalam kondisi yang dissosiatif maka yang akan berkembang adalah proses persaingan yang akan berujung pada pertikaian (baik dalam bentuk ketegangan maupun konflik).
            Dalam proses kerja sama pasti ada norma dan nilai-nilai yang diberlakukan secara bersama dan di taati bersama. Ada kesepakatan yang dibuat dan digunakan bersama dengan sanksi yang disepakati bersama pula. Agar norma dan nilai ini dapat diakomodir oleh semua pihak maka kemudian kelompok yang terlibat itu akan saling berkomunikasi untuk membuat wadah sosial yang dapat menampung seluruh aspirasi anggotanya, yang disebut dengan lembaga sosial (institusi sosial).
            Lembaga sosial (institusi sosial) pengertiannya ada dua, yang berbentuk material dan non material. Pengertian institusi sosial yang berbentuk material adalah lembaga yang berupa wadah bagi persatuan orang untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya: sekolah menengah atas negeri I, yang terdiri dari pengurus sekolah, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Pengertian ini sama dengan istilah asosiasi sosial. Pengertian lain yang berbentuk non-material adalah apa yang disebut sebagai pranata sosial, yakni norma-norma dan nilai-nilai yang diberlakukan untuk mengatur hubungan antar pengurus, pengelola, guru, murid dan komite sekolah. Jadi lembaga sosial (institusi sosial) adalah himpunan dari norma-norma sosial yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat.
Istilah lembaga sosial dalam kehidupan sehari-hari sulit dipahami karena membingungkan. Secara implisit, lembaga sosial mempunyai fungsi sosial sebagai berikut:
a.     Memberi pedoman kepada anggota-anggota masyarakat, tentang bagaimana harus berbuat dan bersikap dalam pergaulannya di masyarakat;
b.     Menjaga keutuhan masyarakat;
c.     Memberikan pegangan untuk pengendalian sosial (social control) terhadap prilaku anggota masyarakat.
Agar supaya hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma sosial yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.
Norma sosial yang dibangun dan dihasilkan itu akan berguna untuk menjadi ’koridor’ bagi dinamika sosial manusia dalam berinteraksi. Dengan demikian, norma sosial merupakan aturan main para anggota masyarakat dalam berinteraksi. Norma sosial dibagi dalam empat tingkatan, mulai dari tingkat yang paling longgar sanksinya hingga tingkatan yang paling berat sanksinya. Pertama, disebut cara (usage) yang menunjuk pada suatu perbuatan. Misalnya saja: cara makan, cara tidur, cara ngomong, setiap individu pasti berbeda-beda. Ada orang yang cara makannya ”heboh”, mulutnya berbunyi mengecap, tangannya kanan-kiri digunakan dan sajian di meja makan berantakan. Tetapi ada juga yang cara makannya sangat diam, diatur, dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, sajian di meja makan dijaga agar tetap rapi. Perbedaan pada cara hanya menimbulkan sanksi  cemoohan saja. Kedua, kebiasaan (folkways) yakni menunjuk pada perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kalau cara makannya saja heboh, maka cara itu jika diulang-ulang akan menjadi kebiasaan makan heboh. Kebiasaan jika dilanggar maka sanksinya dapat berupa jadi bahan omongan orang sekitar. Ketiga, tata-kelakuan (mores) yakni menunjuk pada kebiasaan yang dianggap sebagai cara berprilaku dan diterima sebagai norma pengatur. Sanksi bagi pelanggar berupa pengucilan, pe-marginal-an. Ke-empat apa yang disebut adat (istiadat – customs) yakni menunjuk pada tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat. Bila adat dilanggar maka sanksinya berwujud denda adat yang besarnya tergantung kepada berat-ringannya pelanggaran.
Norma sosial dapat menjadi pranata sosial jika melalui proses berikut: (a) institutionalization, proses pelembagaan yang meliputi norma sosial baru yang dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari; (b) internalized, proses pelembagaan yang meliputi norma tersebut kemudian menjadi ”darah daging” dalam jiwa angota-anggota komunitasnya. Dalam pemahaman seperti ini, menjadi sulit kiranya untuk mengatakan pranata sosial atau norma sosial yang lebih penting. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa hal itu diperlukan ketika kita akan menganalisisnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari justru agak sulit untuk memilah mana yang pranata dan mana yang norma. Norma sosial harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, lebih khusus lagi anggota komunitas (kelompok pendukung kebudayaan), oleh karena itu diperlukan pengawasan sosial (social – control).
Hubungan antar manusia hanya akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan jika norma-norma sosialnya dijaga dan difungsikan sebagaimana mestinya dan sesuaikan dengan tuntutan jaman. Hubungan antar manusia menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan masyarakat. Sebelum terjadi perubahan maka biasanya didahului oleh proses-proses sosial terlebih dahulu, yakni proses interaksi sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila anggota atau kelompok masyarakat saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan. Dengan kalimat lain, pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama menyebabkan perubahan dan perkembangan masyarakat, inilah yang disebut dengan dinamika sosial.
Hubungan antar manusia menghasilkan kehidupan bersama, kehidupan bersama hanya akan terjadi kalau ada proses interaksi sosial. Oleh karena itu, interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Meskipun secara jasmaniah manusia saling bertemu, saling bersinggungan, saling melihat, tetapi belum tentu (bahkan tidak akan) menghasilkan pergaulan hidup dalam kelompok sosial. Contohnya adalah penonton film di bioskop, penonton sepakbola, atau orang-orang yang berkerumun disekeliling tukang obat di pasar, merupakan contoh kelompok manusia yang bukan kelompok sosial. Kelompok jenis ini disebut crowd (kerumunan). Pergaulan hidup atau interaksi sosial baru terjadi manakala para anggotanya saling mengadakan kerjasama, saling bertegur-sapa dsb.nya untuk mencapai tujuan bersama. Tentu saja dalam proses kerja sama ini dapat mengakibatkan adanya persaingan, dan ketika persaingannya memanas maka akan berubah menjadi pertikaian. Adanya pertikaian dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan, maka kemudian diperlukan proses akomodasi – proses penyelarasan kembali agar pertikaian kembali menjadi kerjasama baru. Begitu seterusnya dengan landasan dasar belajar dari pengalaman.
Di situ ada proses belajar yang merupakan representasi dari konsep dinamika sosial. Oleh karena itu, guna membahas masalah di atas, saya berangkat dari konsep tersebut. Untuk itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian dinamika sosial, agar pemahaman kita berangkat dari satu titik start yang sama. Dengan berangkat dari titik start yang sama berarti kita menyamakan persepsi; sehingga pembahasannya menjadi lebih terarah, tidak bertabrakan tetapi terus saling bersinggungan.
Dinamika sosial, di dalamnya berisi proses internalisasi (internalization), sosialisasi (socialization), dan enkulturasi (enculturation) (Koentjaraningrat, 1980). Ke tiga istilah ini menunjuk pada proses belajar di dalam masyarakat, dengan kata lain masyarakat merupakan wahana pendidikan mengenai hubungan antar manusia bagi setiap anggotanya. Bagaimana pengertian ke tiga istilah tersebut?
            Pertama, saya mulai dari istilah internalisasi. Maksud daripada istilah ini adalah menunjuk pada proses panjang seorang anak manusia dari sejak ia dilahirkan, hingga ia hampir meninggal. Selama hidupnya ia belajar dan memperoleh pengalaman mengenai perasaannya, hasratnya, nafsunya, dan emosinya; sehingga ia dapat hidup bersama dengan anak manusia lainnya. Ia belajar bagaimana ”rangsangan” itu datang dan bagaimana ia harus memperoleh dan mengelolanya, agar ia terpuaskan. Setiap hari selama ia masih hidup, maka ia bertambah pengalamannya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perasaannya (secara antropologis, ia belajar memperoleh kesenangan, kegembiraan, perhatian, kebencian, kecintaan, benar – salah, malu dan lain-lain; secara sosiologis, ia mempunyai keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya); hasratnya (secara antropologis, ia ingin menyalurkan hasrat untuk bergaul, meniru, mencari tahu, berbakti, keindahan dan lain-lain; dan secara Sosiologis ia mempunyai keinginan untuk bersatu dengan manusia lainnya/masyarakat). Semua itu diperolehnya melalui proses belajar yang disebut dengan istilah internalisasi. Apa yang diperolehnya itu kemudian menjadi milik kepribadiannya yang khas, unik dan berbeda dengan orang lain. Mengapa ia harus belajar itu semua? Hal itu dikarenakan setiap orang mempunyai dorongan naluri untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, yang dalam Sosiologi disebut dengan istilah gregariuosness. Dengan demikian tidak mengherankan kalau ada ahli Antropologi atau Sosiologi yang menyebut manusia sebagai social animal (makhluk sosial).
            Ke dua, istilah sosialisasi dimaksudkan menunjuk pada proses belajar dari seorang manusia tentang pola-pola berprilaku dalam hidup bermasyarakat dengan berbagai macam peranan sosialnya, dan proses ini dilakukan dari sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Agar mempermudah mendapatkan gambaran tentang sosialisasi, maka mari kita bandingkan dua anak manusia, yang satu dilahirkan ditengah keluarga pejabat di kota dan yang lainnya dilahirkan ditengah keluarga biasa di kampung/desa. Si anak pejabat dari lahir sudah dikelilingi dengan berbagai ”fasilitas”. Ada pembantu, bahkan baby sitter, ada ibunya bahkan neneknya, yang masing-masing memberikan perhatian dan kasih sayang dengan pola prilaku yang berbeda. Selama pertumbuhan awalnya itu, ia sudah harus menghadapi berbagai tokoh sehingga ia harus menyesuaikan diri dengan tokoh-tokoh itu, sehingga ia memiliki hubungan sosial yang lebih intensif dan kemudian mendorongnya menjadi individu yang mudah mengutarakan isi hati serta menerima maksud dan pikiran orang lain. Sebaliknya, si anak ”kampung” yang paling intensif berhubungan dengan ibunya. Kalau ia mempunyai kakak, kakaknya sudah asyik main sendiri paling hanya sekali-kali. Oleh karena itu, biasanya anak ”kampung” cenderung menjadi individu yang tertutup, pemalu dan cenderung kesulitan untuk menyampaikan isi hatinya.
            Perbedaan ’kepandaian’ yang dimiliki  (oleh anak pejabat dan anak desa itu) melalui proses belajar dan akan dijadikan miliknya yang kemudian dikembangkan secara turun temurun. Hal ini dilakukan secara horizontal dalam kelompoknya yang berbeda-beda sehingga penggabungan orang-orang yang disengaja disertai aturan-aturan mengenai hubungan antara satu dengan yang lainnya akan menimbulkan perbedaan. Oleh karena itu, norma social yang berkembang di kota berbeda dengan yang di desa. ada proses inkulturalisasi dalam keluarga.
Ketiga, konsep enkulturalisasi. Istilah ini maksudnya adalah bahwa manusia mewariskan kebudayaannya kepada generasi berikutnya. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan utama dalam kehidupan sosial manusia. Keluarga merupakan kelompok primer bagi seorang anak manusia, di dalam keluarga terbentuklah frame of reference dan sense of belonging. Di dalam keluarga, manusia pertama kali memperhatikan hasrat keinginan orang lain, meniru pola prilaku individu yang yang menjadi reference-nya, belajar memberi dan menerima dari orang lain.  
Gabungan dari hal yang terkecil yaitu antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan bentuk keluarga. Gabungan yang lebih besar yaitu keluarga dengan keluarga yang disebut masyarakat. Maka pengalaman satu anggota keluarga yang diturunkan pada anggota lainnya termasuk kepandaiannya. Cara menurunkan kebudayaan tersebut karena manusia diberikan kepandaian berbicara. Bahasa adalah alat perantara yang paling utama bagi manusia. Dengan bahasa maka manusia dapat memahami sesuatu bersama-sama, dapat mendengar dari orang lain, ditambah pengamalannya sendiri sehingga semakin luas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat yang bersifat universal, yang memberikan fondasi bagi perkembangan individu dan kepribadiannya. Oleh karena itu, keluarga merupakan inti dari masyarakat, seperti kata Cooser (1967) bahwa keluarga merupakan mediator dalam mengaktualisasikan dan men-sosialisasikan nilai-nilai sosial. Dari sisi ini, tampak bahwa keluarga mempunyai fungsi pendidikan bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Kalau keluarga merupakan inti masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat juga mempunyai fungsi pendidikan bagi setiap individu yang menjadi anggotanya. Keluarga menjadi guru pertama (dan utama) bagi setiap individu, dan masyarakat menjadi ’guru besar’ bagi setiap individu. Dengan kata lain masyarakat sebagai salah satu wahana pendidikan kebudayaan. Dengan demikian masyarakat mempunyai kewajiban untuk mendidik generasi berikutnya agar mereka menjadi manusia-manusia yang mampu menghargai manusia lainnya. Kemampuan manusia terbatas dari apa yang didapat dalam masyarakat, karena berbeda-beda kepentingannya dan prioritas yang digunakan dalam hidupnya, meskipun terjadi dalam lingkungan yang sama. Sehingga pendukung kebudayaan bukanlah manusia secara individu tetapi juga masyarakat secara umum.
Dinamika sosial dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Dinamika sosial mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
·   Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling menghargai
·   Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain
·   Menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap sesama anggota kelompok
·   Menimbulkan adanya i’tikad yang baik diantara sesama anggota kelompok.
Proses dinamika sosial mulai dari individu sebagai pribadi yang masuk ke dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda-beda, belum mengenal antar individu yang ada dalam kelompok. Mereka membeku seperti es. Individu yang bersangkutan akan berusaha untuk mengenal individu yang lain. Es yang membeku lama-kelamaan mulai mencair, proses ini disebut sebagai “ice breaking”. Setelah saling mengenal, dimulailah berbagai diskusi kelompok, yang kadang diskusi bisa sampai memanas, proses ini disebut ”storming”. Storming akan membawa perubahan pada sikap dan perilaku individu, pada proses ini individu mengalami ”forming”. Dalam setiap kelompok harus ada aturan main yang disepakati bersama oleh semua anggota kelompok dan pengatur perilaku semua anggota kelompok, proses ini disebut ”norming”. Berdasarkan aturan inilah individu dan kelompok melakukan berbagai kegiatan, proses ini disebut ”performing”. Secara singkat proses dinamika sosial dapat dilihat pada gambar berikut:


  

Alasan pentingnya dinamika sosial:
·   Individu tidak mungkin hidup sendiri di dalam masyarakat
·   Individu tidak dapat bekerja sendiri dalam memenuhi kehidupannya
·   Dalam masyarakat yang besar, perlu adanya pembagian kerja agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik
·   Masyarakat yang demokratis dapat berjalan baik apabila lembaga sosial dapat bekerja dengan efektif




BAB III PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME


Dialog Budaya di Menjalin
Kata Kunci:  Masyarakat, Pluralisme ; Budaya, Multikulturalisme

    A.   Pendahuluan
Samuel P. Huntington (1993)[1]  “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Ramalan Huntington tersebut diperkuat dengan alasannya mengapa di masa depan mendatang akan terjadi benturan antarperadaban. Antara lain adalah:
Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar. Kedua, Dunia sekarang semakin menyempiti interaksi antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang ataumasyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, diasmping memperlemah negara-negara sebagi sumber identitas mereka. Keempat, timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Disatu sisi barat berada di punjak kekuatan. Di sisi lain mungkin ini akibat dari posisi Barat tersebut, kembalinya fenomena asal , sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban Non-Barat.  Kelima,  karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan, keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat.2
Akan tetapi asumsi tersebut tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi, persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu karena persamaan suku dan kebudayaan. Dan “multikulturalisme justru menjadi sebuah pemersatu yang kokoh. Beberapa hal ini yang kemjudian dibeberapa negara menjadi dasar dikembangkannya pendidikan multikulturalisme.
·         Pendidikan Multikulturalsme
Pendidikan multikultural biasanya muncul dalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakat seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat ini sering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen. Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memiliki identitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup dengan watak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untuk menyelenggarakan pendidikan multikultural. Sebagai contoh adalah adalah seprti negara jepang atau Norwegia, tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi di Australia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapa ketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangan dalam kehidupan sosial.
Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka(prejudice) yang memengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk. Misalnya, setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandang perangkat prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi, misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China, dan sebaliknya. Kelompok etnis tertentu menyimpan sejumlah prasangka terhadap kelompok etnis lainnya, atau pemeluk agama tertentu mempunyai prasangka terhadap pemeluk laiinya.
Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifat langgeng. Dari waktu ke waktu, berbagai prasangka itu berubah. Perubahan dalam prasangka ini dapat menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai, saling membenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan saling menghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan penduduk dalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosial yang ada dalam diri masing-masing.
B.      Apa Itu Pluralisme dan Multikulturalisme.
Pluralisme berhubungan erat dengan dan menjadi dasar dari multikulturalisme. Idealnya, suatu masyarakat multikultural merupakan kelanjutan dari pluralisme. Masyarakat multikultural biasanya terjadi pada masyarakat plural. Sebaliknya, pluralisme bukan apa-apa tanpa menjadi multikulturalisme. Pengakuan terhadap pluralisme seharusnya meningkat menjadi multikulturalisme. Namun, kenyataannya, kesenjangan selalu ada antara pengakuan pluralisme dengan pelaksanaan multikulturalisme.
1.      Pluralisme
Apa yang dimaksud dengan pluralisme? Kita dapat mengikuti beberapa kategori makna pluralisme.

Pertama, makna pluralisme jika dihubungkan dengan konsep lain:
1)      Pluralisme (ethnic)-pluralisme etnik-adalah koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan sosial dan budaya antara beragam kelompok etnik yang ada dalam suatu masyarakat;
2)      Pluralisme (political)-pluralisme politik-merupakan koesistensi atau pengakuan terhadap kesetaraan dalam distribusi kekuasaan kepada berbagai kelompok interest, kelompok penekan, kelompok etnik dan ras, organisasi dan lembaga politik dalam masyarakat;
3)      Struktur kekuasaan yang pluralistik-(pluralistic power structure)- merupakan sebuah system yang mengatur pembagian hak kepada semua kelompok yang beragam dalam suatu masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan;
4)      Model pluralis (pluralistmodel)-adalah analisis sistem politik yang memandang bahwa kekuasaan merupakan perluasan dari persaingan antara berbagai kelompok interest;
5)      Dual pluralist theory-teori yang mengatakan bahwa kekuasaan dalam sistem sosial didistribusikan di antara beragam kelompok dan individu;
6)      Pluralisme media. Dalam studi media (media studies), (1) pluralisme merupakan pandangan bahwa media massa mempunyai kebebasan dan kemerdekaan yang sangat besar dan diakui oleh negara, partai politik, dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat; (2) media massa harus dipandang sebagai media untuk melakukan kontrol sosial. Karena itu, media harus dikelola oleh sebuah manajemen yang profesional sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi yang ideal bagi kebebasan dan kemerdekaan berpendapat rakyat; (3) dalam pandangan pluralisme media, audensi tidak boleh dilihat sebagai sasaran yang dapat dimanipulasi media. Audensi harus dipertimbangkan dalam relaksi yang setara dengan media karena audensi merupakan sumber pemberitaan dan sasaran bisnis; dan (4) pluralisme juga memandang bahwa media masa merupakan agen terciptanya kebebasan berpendapat dari suatu masyarakat demogratis. Karana itu institusi media harus dibiarkan bebas untuk mengontrol pemerintah dan berhubungan dengan audiens, di mana audens bebas memilih informasi yang bermanfaat bagi mereka (Liliweri, 2003)

Kedua, maka pluralisme sebagai doktrin:
1)      Pluralisme adalah dokrin yan mengatakan bahwa dalam setiap masyarakat, tidak ada satupun ”sebab” yang bersifat tunggal (monism) atau ganda (dualism) bagi terjadinya perubahan suatu masyarakat. Pluralisme yakin, ada banyak sebab yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala sosial atau perubahan dalam masyarakat.
2)      Pluralisme merupakan dokrin yang pada awalnya timbul sekitar tahun 1980-an. Pemunculan kembali ideologi itu dikarenakan tidak ada satupun ”gaya simbolik budaya” yang mampu menciptakan dominasi budaya dalam suatu masyarakat yang beragam.

3)      Konsep pluralisme dimaknai oleh pemerintah sebagai proses melakukan bargaining atau kompromi terhadap para pemimpin dari beragam kelompok (etnik dan ras atau kelompok lainnya) yang bersaing dalam bidang bisnis, tenaga kerja, pemerintahan, dan lain-lain. Pluralisme dianjurkan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat yang semakin modern dan kompleks, agar setiap individu atau kelompok dapat berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Dalam arti luas, konsep ini menjelaskan bahwa tak ada satu kelompok pun yang menduduki keputusan selama-lamanya. Kekuasaan itu selalu berganti; sekurang-kurangnya pergantian itu dilakukan melalui pengaruh individu atau kelompok terhadap kelompok yang berkuasa dalam proses pengambilan keputusan.

Ketiga, makna pluralisme dalam konsep ilmu pengetahuan (ilmu sosial):
1)      Pluralisme merupakan sebuah model ”politik” yang memungkinkan terjadinya perluasan peran individu atau kelompok yang beragam dalam masyarakat untuk terlibat dalam proses politik bagi lahirnya demokrasi terbuka. Jika ini tercapai, akan hadir sebuah spektrum sosial atas kekuasaan yang lebih demokratis, karena kekuasaan berada ditangan beberapa individu dari beragam kelompok yang berbeda-beda.
2)      Pluralisme menggambarkan suatu keadaan masyarakat di mana setiap individu atau kelompok yang berbeda-beda dapat memperkaya peran mereka dalam suatu masyarakat sebagai social fabric.
3)      Pluralisme merupakan salah satu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa sosial, misalnya sebab dari sebuah perubahan sosial, harus dapat di uji melalui interaksi beragam faktor dan bukan dianalisis hanya dari satu faktor semata-mata, dan beragam faktor itu adalah faktor kebudayaan. Inilah yang membedakan pandangan Weber bahwa kebudayaan imatetiil mendorong perubahan sosial, dari pandangan Marx bahwa perubahan sosial bersumber dari kebudayaan materiil.
4)      Pluralisme merupakan pandangan posmodern yang mengatakan bahwa semua kebudayaan manusia harus dihargai dan diperhatikan. Tak ada satu kebudayaan (atau masyarakat) pun yang superior terhadap kebudayaan atau masyarakat yang lain; bahwa setiap kebudayaan mempunyai kontribusi tertentu terhadap proses memanusiakan orang lain. Pandangan ini wajar, karena pada kenyataannya betapa sering kita menemukan ada kebudayaan atau seperangkat kebudayaan dari komunitas atau masyarakat tertentu yang tidak kita ketahui secara pasti. Oleh karena itu, pluralisme menglaim bahwa dalam masyarakat dimana kita hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang tidak setara. Karenanya, setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara sosial oleh penduduk yang beragam. Tesis utama pluralisme sering digunakan dalam ilmu politik secara konservatif, bahwa kekuasaan sosial ekonomi harus disebarkan secara berimbang di antara semua kelompok dalam masyarakat.
Dari beberapa pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa secara teoritis, pluralisme (budaya) merupakan sebuah konsep yang menerangkan ideal (ideologi) kesetaraan kekuasaan dalam suatu masyarakat multikultur, di mana kekuasaan ”terbagi secara merata” di antara kelompok-kelompok etnik yang bervariasi sehingga mendorong pengaruh timbal balik di antara mereka. Dan dalam masyarakat multikultur tersebut, kelompok-kelompok etnik itu dapat menikmati hak-hak mereka yang sama dan seimbang, dapat memelihara dan melindungi diri mereka sendiri karena mereka menjalankan tradisi kebudayaannya (Suzuki, 1984).

Rumusan istilah  yang dapat ditarik dari rumusan-rumusan makna pluralisme di atas adalah: pertama, pluralisme (budaya) menggambarkan kenyataan bahwa dalam masyarakat, ada kelompok-kelompok etnik yang tidak terakulturasi ke dalam identitas budaya etnik. Pada umumnya budaya kelompok seperti ini menampilkan perilaku budaya yang berbeda, misalnya berbicara dengan bahasa yang lain dari bahasa etniknya, memeluk agama yang berbeda dengan mayoritas agama yang dipeluk etniknya, dan lain-lain, yang berarti mereka menampilkan sistem nilai yang berbeda dari nilai etniknya. Kedua, bahwa terbentuk pula pluralisme struktural dalam masyarakat, yang menggambarkan perbedaan budaya di antara, kelompok-kelompok etnik, tetapi perbedaan tersebut hanya terletak pada wilayah struktur sosial semata-mata. Berarti, meskipun kelompok-kelompok etnik itu mempunyai beberapa unsur budaya yang sama dengan budaya dominan, mereka selalu tampil dengan budaya tertentu (subkultur) yang terpisah dari kelompok dominan.
Menurut Suzuki, bagaimanapun juga, dalam pluralisme terkandung konsep bahwa setiap orang tetap memiliki etnik tertentu dan tetap mempraktikkan etnisitas sebagai suatu yang sentral dalam menentukan relasi mereka dengan orang lain dari kebudayaan dominan. Akhirnya, pluralisme sebagai sebuah ideologi berasumsi bahwa semua ”isme” (rasisme, reksisme, kelasisme) merepkan pendekatan bagi kehidupan yang harmonis satu sama lain. Bagaimanapun juga, konsep pluralisme budaya memang sangat bertentangan dengan fokus  etnisitas yang tunggal. Sebagaimana dikatakan oleh Newman, pluralisme merupakan gerakan yang berdampak terhadap perubahan struktur sosial  masyarakat, dimulai dari perubahan struktur sosial individu dan kelompok (Suzuki 1984; Soderquist 1995).
Sementara itu, john Gray dalam Singelis (2003) mengatakan bahwa pada dasarnya pluralisme mendorong  perubahan cara berpikir dan bersifat universal, untuk mencegah klaim  pandangan  bahwa ada  kebudayaan yang paling benar. Menurut Gray, semua kebudayaan itu penting sehingga tidak ada satu  kebudayaan pun yang mengklaim bahwa apa yang dikatakan oleh kebudayaan itu menjadi rasionalisasi atas semua kebudayaan lain. Inilah argumentasi paling penting dari pluralisme. Jadi, seorang pluralis-dengan kata lain –harus dan selalu akan mengatakan bahwa meskipun setiap kebudayaan memiliki norma-norma universal, dan norma-norma tersebut dapat diberlakukan kapan dan dimana saja, harus diingat bahwa norma-norma universal itu tidak lebih baik daripada validitas kearifan budaya sendiri.



2. Multikulturalisme
Konsep multikulturalisme, berdasarkan pengamatan Parsudi Suparlan (2002),  tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic group) atau kebudayaan sukubangsa (ethnic culture) yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Kalau konsep dan prinsip kemajemukan lebih menekankan pada keanekaragaman yang ada dalam realitas masyarakat per se, kemajemukan adalah sesuatu yang dapat dilihat dan diterima secara kasat mata, sesuatu yang fisik, realitas fisik (physical reality).
Oleh karena itu keanekaragaman (pluralism) itu terletak atau adanya lebih dahulu dari atau cikal bakal dari akan tampilnya  multikulturalisme. Jadi, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang bersifat majemuk atau beragam dalam kesukubangsaan atau etnisitas (etnicity), dan yang menerima dan menghargai keanekaragaman yang sudah tentu mengandung di dalamnya perbedaan -- misalnya budaya, nilai-nilai budaya, pendapat atau ide dan apa saja yang terkait dengan keberagaman fisik, sebagai suatu realitas yang ada. Dengan konsep ini, multikulturalisme lebih dipandang dan semestinya diperlakukan sebagai ideologi dan bukan lagi sebagai prinsip – sebagaimana pluralisme sudah diperlakukan.
Multikulturalisme menurut Para  Ahli
         Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan  ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
         Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati. 
C.      Perjalanan   Multikulturalisme di Indonesia
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas mengenai “multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
 Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu  melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

D.    Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia
Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa. Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.
Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.

Masalah model
Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?
Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.
Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

E.      Ketika Multikulturalisme Menjadi Sebuah Masalah
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merpakn budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horisontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya. Dalam hal yang pertama, perkembangan ekonomi pasar membuat beberapa kelompok masyarakat tertentu, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang, naik peringkatnya menjadi kelompok masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat setempat yang mandeg perkembangannya.  Dalam hal kedua, kelompok masyarakat etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream, yaitu berada di pinggiran, mulai menembus masuk ke tengah mainstream. Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya
F.       Penutup
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu.   Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan keputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a.      Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b.      Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c.       Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga
 Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.  


[1] Pendapat Samuel P Huntington (1993) tentang alasan terjadinya suatu konflik peradaban adalah didominasi oleh hal-hal yang berbau SARA, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan